Anda di halaman 1dari 3

Model Kritik Sastra Modern

Pada zaman Renaissance atau kelahiran kembali, bangkit lagi kegiatan kritik sastra. Pada masa ini para kritikus
sastra memandang puisi dari segi estetika, bukan dari segi moral semata-mata. Dengan pandangan tersebut di atas
berarti “kritik sastra modern” telah lahir. Meskipun pada zaman ini timbul beraneka ragam pendirian, tetapi
memiliki satu kecendrungan yang sama, yakni : “berusaha menilai sastra dengan akal budi dan kecintaan akan
keindahan”. (Liaw Yock Fang, 1970 : 44).

Dan Uraian di atas tampak bahwa ada pergeseran peranan kritik sastra. Pada sastra klasik, kritik sastra bersifat
memberi penerangan (explanatory) dan penghakiman (Judicial), sedang pada zaman Renaissance, kritik sastra
bersifat memberi pengajaran azas tertentu (doctrinal).

Perlu dicatat, bahwa pada zaman ini terbitan buku kritik yang lengkap, yang kemudian dipandang sebagai sumber
daripengertian kritik modern, berjudul “Criticus” hasil karya Julius Caesar Scaliger (1485-1558). Buku tersebut
merupakan jilid ke-6 dari rangkaian bukunya yang berjudul “Poetica”. Dalam Poetica, Scaliger meneliti dan
membandingkan antara pujangga-pujangga Yunani dan Latin dengan titik berat pada usaha pertimbangan,
penyejajaran dan penghakiman terhadap Homerus guna mengagungkan Vergilius. Berkat usahanya yang luar
biasa itu, Scaliger mendapat gelar “Le Grand Critique” (1623) atau Kritikus besar di kalangan para sastrawan
Prancis (Andre Hardjana, 1981:3).

Penyair dan juga kritikus sastra yang terkenal dan berpengaruh pada abad ke-17 di Prancis ialah Boileau. Bukunya
yang sangat berpengaruh berjudul “L’Art Poetique”. Buku ini menjadi sumber terbitnya karya Pope (Penyair
Inggris) yang berjudul “Essay on Criticism”.

Di Inggris, pada abad ke-17 yang mendapat gelar “Bapak Prosa Inggris” dan “Bapak Kritik Sastra Inggris” ialah
dramawan, penyair, dan kritikus sastra John Dryden (1631-1700). Karya Dryden yang terkenal ialah (1) “Esei
Tentang. Puisi Dramatik” (An Essay of Dramatic, Poesy, tahun 1668). Karya tersebut berbentuk percakapan antara
4 tokoh, yaitu Niander, Crites, Lisideius, dan Eugenius; percakapan itu tentang puisi dramatik. (2) The Preface to the
Fables, tahun 1700; prakata ini memuat pendapat-pendapat Dryden tentang tokoh-tokoh sastra dunia, misalnya
Homerus, Ovidus, Vergilius, dan Chancer.

Mulai abad ke-18 Criticism (kritik sastra) telah dipakai secara luas. Kritik sastra tumbuh dan berkembang menjadi
satu tradisi yang kokoh dan tak dapat dipisahkan dari pendidikan dan pengajaran sastra. Kritikus terkenal di Prancis
pada masa ini Voltaire (1694-1778); pendapat Voltaire : “sajak adalah musik jiwa penyairnya”, karena itu tak dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Voltaire berkata : “Puisi harus mempunyai kejelasan dan kemurnian seperti
yang terdapat dalam prosa; sajak yang tak dapat mengatakan sesuatu dengan lebih cepat dan lebih baik dari prosa,
adalah sajak yang jelek” (Liaw Yock Fang, 1970: 72-73).

Pada abad ini di Inggris kritik sastra berkembang pesat. Tokoh terpenting adalah Samuel Johnson (1709-1784). la
berpendapat bahwa sastra harus memberi pelajaran yang berfaedah bagi pembacanya. Johnson juga menyadari bah-
wa latar belakang sejarah dan masyarakat sering mempengaruhi karya sastra seorang pengarang. Maka ia menga-
takan: “Bila suatu karya sastra akan diteliti, harus dibandingkan dengan keadaan zaman dan masyarakat tempat
pengarang itu hidup. Riwayat hidup penyair-nya adalah contoh yang baik untuk menjelaskan ukuran-ukuran
penilaian itu”.

Selanjutnya kritik sastra berkembang sejajar dengan tumbuhnya aliran Romantisme. penyair dan juga kritikus yang
beraliran Romantisme di Inggris yang terkenal adalah (1) William Words-Worth (1770-1850); (2) Samuel Tylor
Coleridge (1772-1834). Words-Worth mencetuskan gagasan yang revolusioner, yakni: memilih tema bagi sajak-
sajaknya “kehidupan rakyat” dan diungkapkan dalam bahasa sehari-hari. Pendapatnya tentang puisi berbunyi :

“Puisi adalah limpahan perasaan yang meluap-luap, yang timbul dari renungan dalam ketentraman. Puisi yang baik
hanya dilahirkan oleh penyair yang berpikiran dalam dan panjang”. (Liaw Yock Fang, 1970:84-85).

Karya sastra Words-worth berwujud kumpulan sajak, dan dalam Mukadimahnya berisi pandangan-pandangannya
tentang puisi. Samuel Tylor Coloridge (1772-1834) sezaman dengan Words-worth dan menyokong gagasan-gagasan
Words-worth, Tetapi tentu saja tidak semua pandangan Words-worth disetujui. Dalam bukunya yang berjudul
“Biographia Literaria”, Coleridge mengkritik sajak-sajak Words-worth. la mendefinisikan sajak sebagai berikut :

“sajak ialah sejenis karangan yang berlawanan dengan karya sains. Sajak bertujuan memberi kesenagan secara
langsung”.

Sebagai kritikus sastra, Coloridge memiliki kedudukan yang penting; analisisnya tajam dan ilmiah. Penyair di
Prancis yang terkenal sebagai penulis drama, novels, dan kritikus sastra yang beraliran romantisme adalah Victor
Hugo (1802-1885). Di Jerman dapat diketengahkan Johan Wolfgang von Goethe (I799-1832). la tidak memiliki
teori kritik sastra yang teratur, tetapi oleh Sainte-Beave diberi gelar “kritikus yang terbesar dari segala zaman;
oleh Matthow Arnold disebut “kritikus agung”. Teori -teori sastra Goethe dapat dibaca dalam bukunya “Percakapan
dengan Eckermann” (Conversation with Eckermann). Goethe adalah orang pertama yang menggunakan istilah
“sastra dunia” (World literature). la berpendapat bahwa sastra kebangsaan tak ada artinya. Para penyair hendaknya
menyambut datangnya Zaman sastra dunia. Kata Goethe :

“Kesusastraan yang tidak diperkaya oleh sastra asing adalah sastra yang mati”. (Liaw Yock Fang, 1970:98-99).

Pada abad ke-20 ini, kritik sastra terus berkembang berbagai aliran kesusastraan bermunculan. Begitu juga aliran
dan jenis-jenis kritik sastra lahir. Jenis kritik sastra dengan tokoh-tokohnya yang sangat berpengaruh dewasa ini.

Krirtik Sastra Indonesia Modern Dan


Permasalahannya.
Sejak lahirnya, bersamaan dengan lahirnya kesusastraan indonesia modern, sekitar tahun 1920 hingga sekarang,
kritik sastra indonesia modern selalu diiringi masalah, baik yang praktis maupun yang teoritis. Masalah kritik sastra
itu meliputi hal-hal disekitar kurangnya tempat, kurangnya kritikus sastra(yang profesional) tidak cocoknya
pandangan kritikus dengan para sastrawan. Tidak cocoknya teori kritik sebagai landasan kritik dengan corak dan
wujud kesusastraan indonesia modern yang bersifat nasional dan regional, pertentangan antara kritik sastra
sastrawan dan kritik sastra akademik, dan sebagainya.

Sampai sekarang, berdasarkan bukti yang di dapatkan, kritik sastra ( terapan) indonesia modern yang pertama ditulis
oleh Muhammad Yamin berjudul “Sejarah Melayu”. (Jong Sumatera, no 2-3 tahun. 192 : 26-28) dan “syair
Bidasari” (Jong Sumatera, no.6, 1921 : 7-10) meskipun keduanya berupa kritik terhadap sastra lama, tetapi gaya dan
corak tulisannya bercorak kritik sastra modern yang impresionistik dan ekspresif indonesia moodern, pertamakali di
dapatkan dalam majalah Panji Pustaka, (tahun 1932 : 838-839).

Dapat diduga ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana sebab dialah yang menjadi redaktur sastra dengan ruang
“memajukan kesusastraan”. Sebelum tulisan tentang kritik sastra (teoritis) adalah aturan balai pustaka yang terkenal
sebagai “Nota Rinkes” yang bersifat aturan untuk buku-buku yang hendak di terbitkan oleh balai pustaka, aturan
yang mengharuskan dipatuhinya ketertiban : tidak boleh berpolitik, menyinggung agama (netral teradap agama) dan
tidak menyinggung kesusilaan masyarakat (Teeuw, 1955 ;60) dan hendaknya juga karangan memberikan didikan
kepada masyarakat pembaca. Aturan balai pustaka ini mengarahkan corak buku yang diterbitkan oleh balai pustaka
pada umumnya, termasuk buku sastra.

Dengan demikian corak kritik sastra balai pustaka ini bertipe pragmatik. Khusunya buku-buku sastra harus di edit
bahkan buku (naskah) yang bertentangan dengan aturan itu harus di ubah atau ditolak sama sekali. Jadi, secara teori
peraturan-peraturan balai pustaka yang terkaenal dengan “Nota Rinkes” yang membatasi corak penulisan karya
sastra dapat dianggap teori kritik sastra indonesia modern yang pertama kali meskipun dalam abad ke 19 ada kritik
sastra hindia belanda (lihat termorshuizen,1983:7) misalnya kritk terhadap karya-karya P.A. Daum bertanggal antara
1885-1894.

Jadi, sudut pandang atau perspektif pragmatik itu tidak sesuai dengan sudut pandang (perspektif) pengarang yang
ekspresif yang lebih mengutamakan nilai seni daripada mendidik masyarakat pembaca. Disamping itu pula, kritik itu
yang pragmatik bertentangan dengan inetensi pengarang. Orientasi ekspresif itu, seperti di kemukakan oleh Armijn
Pane tahun 1933 (1952:23) sebagai berikut:
“sebaik-baiknua pujangga yang dibandingkan itu sendiri yang jadi ukuran sebab ialah yang menjadi cermin
masyarakat dan jaman dan lagi pula individunya tiadakah sia-sia, yang kita utamakan ialah sajak (karya sastra, RDP)
pujangga itu benar-benarkah menyatakan sukmnya atau tidakkah ia mencerminkan sukmya itu dengan tepatnya”.

Kritik sastra pujangga baru dapat dikatakan menjadi pendasar kritik Sastra Indonesia Modern, meski sebelunya
sudah ada Krirtik Sastra Balai Pustaka, tetapi secara nyata Kritik Sastra Balai Pustaka tidak dikenal umum karena
hanya terbatas pada pertimbangan buku dikalangan Balai Pustaka saja. Hal ini berbeda denga kritik sastra pujangga
baru yang disiarkan dalam majalah pujangga baru sejak Juli 1933.

Kritik sastra pujangga baru disebut pendasar Kritik Sastra Indonesia Modern karena pada kenyataannya gagasan-
gagasan, praktek-praktek kritik sastra dan corak kritik sastra pujangga baru diteruskan oleh para sastrwan dan
kritikus sesudahnya, baik tipe kritiknya yang ekspresif (kritik sastrawan), bercorak impressionistik, bersifat esaistis.
Hal ini tampak pada pengertian kritik sastra yang merupakan pertimbangan baik buruk karya sastra, sebagai
penerangan, untuk perkembangan kesusastraan (untuk mendidik sastrawan muda) dalam “kritik kesusastraan”.
(1932-838-839) yang kemudian diteruskan H.B. Jassin seperti tampak dalam esainya “kritik sastra” (1959:44-47)

Kritik sastra (terapan) para kritikus sastra pujangga baru yang esaistis–impressionistis yang dipergunakan pula untuk
mengemukakan pandangan pribadi tentang sastra dan kebudayaan pada umumnya itu diteruskan pada oleh para
kritikus sastrawan angkatan 45 seperti H.B.Jassin, Chairil Anwar, Asrul Sani dan sebagainya. Kemudian diteruskan
oleh Ajip Rosidi, Wiratmo Sukito, Subagjo Sastroowardoyo, Goenawan Mohammad, dan sebagainya samapai
sekarang.

Perlu dicatat pula, bahwa pada zaman pujangga baru ada dua corak atau tipe kritik sastra yang ditruskan sampai
sekarang. Yaitu Tipe Kritik Sastra Pragmatik Sutan Takdir Alisjahbana dan Tipe Kritik Sastra Sanusi Pane yang
bersifat ekspresif. Kritik sastra pragmatik Sutan Takdir Alisjahbana dan Tipe Kritik Sastra Ekspresif Sanusi Pane
saling bertentangan.

Pertama, Takdir Alisjahbana menghendaki karya sastra itu berguna bagi pembangunan bangsa, sedangkan Sanusi
Pane menghendaki karya sastra itu mengutamakan nilai estetiknya, karya sastra “seni untuk seni”. Kedua, tipe kritik
itu diikuti sampai sekaranag, kritik “Jalur” pragmatik diteruskan lewat kritik pragmatik “relisme sosialis” lekra
sampai pada sastra dan kritik sastra “kontekstual” Arif Budiman, Ariel Heryanto dan para pengikuktnya. Tipe
ekspresif Sanusi Pane diteruskan lewat kritik Chairil Anwar, Asrul Sani, Subagio Sastrowardoyo, Ajip Rosidi,
Wiratmo Sukito, Goenawan Mohammad dan sebagainya sampai sekarang, meskipun juga dengan penamabahan-
penambahan.

Demikian sedikit penjelasan tentang kritik sastra klasik dan modern. Semoga bermanfaat.

Referensi:

 Rahmat Djoko Pradopo. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik Dan Penerapannya. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta
 Baribin, Raminah. 1987, Kritik dan Penilaian Sastra, Ikip Semarang Press, Semarang
 Atar Semi, Drs. 1984, Krirtik Sastra, Angkasa. Bandung.
 Partini Sardjono Pradoto Kusumo, Dr. 2005, Pengkajian Sasatra, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai