Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN BACAAN

PEGANGAN PENELITIAN SASTRA BANDINGAN


Karya Sapardi Djoko Damono

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Sastra Bandingan Tugas Pertama
Dosen: Prof. Dr. Hasanuddin WS, M. Hum.

Oleh
Noibe Halawa
NIM. 17174054

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS BAHASA DAN SENI

0
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2017
Kata Pengantar

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas berkat dan
pertolongan-Nya, sehingga dapat menyelesaikan laporan bacaan ini dengan judul buku
“Pegangan Penelitian Sastra Bandingan”. Laporan ini guna memenuhi tugas pertama pada
mata kuliah Sastra Bandingan. Saya berterimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Hasanuddin WS,
M. Hum selaku dosen pengampu mata kuliah yang telah membimbing dan mengarahkan
dalam menulis laporan bacaan ini.
Dalam penyusunan laporan bacaan ini, tidak sedikit hambatan penulis hadapi misalnya
memperoleh buku pegangan penelitian sastra bandingan yang asli sangatlah sulit walaupun
sudah berupaya mencarinya, baik di perpustakaan maupun di toko-toko buku namun tidak
mendapatkan sehingga menggunakan buku fotokopi.
       Laporan bacaan buku ini berisikan pengenalan dan pendalaman mengenai sastra
bandingan yang ada di Indonesia dan juga di luar Indonesia yang berasal dari buku yang
dibandingkan. Di dalam buku ini juga terdapat beberapa contoh dari karya sastra yang
dibandingkan, baik berbentuk terjemahan dan tradisi. Sastra bandingan merupakan
perbandingan tidak hanya mengenai karyanya saja, namun juga bahasa yang digunakan.
Laporan ini tidak luput dari kekurangan oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran
dari pembaca guna sempurnyanya laporan ini.
Akhir kata semoga laporan bacaan ini dapat berguna bagi penulis dan pembaca
hendaknya, sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan.

Padang, 15 september
2017

Noibe Halawa

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 1

DAFTAR ISI 2

A. Pendahuluan ......................................................................... 3

B. Bagian Buku (bab/sub bab yang dilaporkan) ...................... 4

C. Komentar Penulis Laporan tentang Isi

Bacaan yang Dilaporkan ....................................................... 17

D. Penutup, pandangan penulis tentang buku yang dilaporkan,

manfaat dan kritik.................................................................. 22

E. Daftar Pustaka ...................................................................... 23

2
A. Pendahuluan
Salah satu ilmu tentang sastra bandingan adalah kajian ilmu sastra yang membahas
atau menelaah karya sastra sebagai objek kajiannya. Mengkaji ilmu sastra tidak akan pernah
habis selama peradaban manusia masih ada dalam ruang lingkup tertentu. Salah satu buku
yang membahas sastra bandingan adalah buku ”Pegangan Penelitian Sastra Bandingan” yang
ditulis oleh Sapardi Djoko Damono.
Beliau dilahirkan di Kampung Baturono, Solo pada tanggal 20
Maret 1940. Setelah lulus SMA beliau memilih jurusan sastra,
kemudian melanjutkan pendidikannya di jurusan Sastra Inggris
Universitas Gajah Mada (UGM) tahun 1964. Beliau adalah
seorang pujangga Indonesia terkemuka, sastrawan, penulis,
sekaligus penyair ternama, dia berhasil menulis berbagai karya
sastra, baik puisi, balada, kumpulan sajak, kumpulan cerpen,
esai,
kritik sastra, artikel atau kolom di berbagai surat kabar, dan buku-buku tentang sastra
lainnya.
Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini diterbitkan oleh lembaga penerbit yaitu
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2005 yang beralamat di Jalan
Daksinapati Barat IV Rawamangun-Jakarta 13220, dengan ISBN 979 685 513 5. Tebal isi
buku adalah 121 halaman dan ketebalan secara keseluruhan terdiri atas 127 halaman. Cover
bagian dalam, identitas buku, dan kata pengantar, daftar isi diberi nomor halaman dengan
angka romawi iii-v. Sedangkan bagian satu (pendahuluan) tidak diberi nomor halaman,
antara bagian satu dan bagian dua, terdapat satu halaman kosong tanpa nomor halaman dan
dua (beberapa pengertian dasar) diberi nomor halaman dengan angka 2. Bagian-bagian
pembahasan terdiri 119 halaman dan daftar pustaka 2 halaman.
Karena belum menemukan buku asli maka saya menggunakan buku fotokopi dengan
sampul (cover) luar berwarna biru tua. Namun saya menemukan foto cover asli di internet
seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

3
Tulisan judul buku tertulis di tengah buku yaitu “Pegangan Penelitian Sastra
Bandingan” dan di atasnya tertulis nama penulis; Sapardi Djoko Damono serta di atasnya lagi
tercetak gambar kaca pembesar. Sedangkan pada bagian bawah tertulis nama penerbit, yaitu
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan jenis huruf (font) yang digunakan adalah
Times New Roman.
Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini dibahas dengan beberapa bagian garis
besar yaitu: Bagian pertama; Pendahuluan, kedua; Beberapa Pengertian Dasar, ketiga;
Perkembangan Sastra Bandingan, keempat; Asli, Pinjaman, Tradisi, kelima;Terjemahan,
keenam; Sastra Bandingan Nusantara, ketujuh; Membandingkan Dongeng, kedelapan; Dalam
Bayangan Tagore, kesepuluh; Jejak Romantisisme Dalam Sastra Indonesia, kesebelas;
Gatotkoco; Kasus Peminjaman Dan Pemanfaatan, kesebelas; Alih Wahana, dan terakhir
kedua belas; Penutup.

B. Bagian Buku (bab/sub bab yang dilaporkan)


Bagian buku ini terdiri dari dua belas bagian. Setiap bagian berisi pembahasan yang
dijelaskan secara khusus sesuai bagian masing-masing dan juga setiap pembahasan disertai
contoh sehingga mudah difahami.
Buku ini tidak menggunakan penomoran bagian-bagian bab dan hanya mencantumkan
judul. Begitu juga setiap bagian tidak ada penanda topik, seperti nomor atau sub-sub bab
yang akan dibahas. Supaya lebih jelas di bawah ini akan dibahas bagian-bagian buku
tersebut.

Bagian Satu
Pendahuluan
Pada pendahuluan ini, menjelaskan isi atau pembahasan yang akan dikaji dalam buku
secara umum dan ini merupakan pegangan bagi para peneliti untuk melakukan penelitian
dengan menggunakan pendekatan sastra bandingan. Dijelaskan betapa pentingnnya
membanding-bandingkan untuk mengukur, menilai dan memahami suatu masalah (sastra).

4
Bagian Dua
Beberapa Pengertian Dasar
Bagian ini, diuraikan pengertian dasar sastra bandingan, yang dikutip dari pendapat
para ahli, yaitu Remak dan Nada. Pada pengertian ini dijelaskan bahwa membandingkan
sasatra perlu dilakukan dengan membandingkan sastra di negara lain karena hanya melalui ini
yang dimaksud dengan sastra banding. Di dalam beberapa pendapat terdapat pro dan kontra.
Selanjutnya Clements menguraikan lima pendekatan yang digunakan dalam melakukan
penelitian sastra bandingan yakni tema/mitos, genre/bentuk, gerakan/zaman, hubungan-
hubungan antara sastra dan bidang serta dan displin ilmu lain, dan perlibatan sastra sebagai
bahan bagi perkembangan teori yang terus-menerus bergulir.

Bagian Tiga
Perkembangan Sastra Bandingan
Pada bagian ini diuraikan perkembangan sastra bandingan yang berawal di Eropa yang
terbagi menjadi sejumlah bahasa dan kebudayaan serta bersumber dari mitologi Yunani dan
Kitab Suci orang Kristen, yaitu Perjanjian lama dan Baru. Ditinjau dari segi linguistik dan
budaya setiap bangsa memiliki bahasa dan aksara, ciri-ciri, mitologi yang berbeda-beda serta
cenderung menolak untuk dibanding-bandingkan. Dijelaskan bahwa abad ke-19 para peminat
sastra bandingan di Eropa baru tertarik untuk membicarakan sastra bandingan. Juga pada
abad ke 20 studi sastra bandingan mendapat pengukuhan ketika jurnal Revue de Littererature
Comparee diterbitkan tahun 1921 yang salah satunya berisikan karangan-karangan tentang
sejarah intelektual yang melacak pengaruh dan hubungan yang melewati batas-batas
kebahasaan.

Bagian Empat
Asli, Pinjaman, Tradisi
Pada bagian ini dibahas tentang dampak perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat
cepat terhadap budaya yaitu membuatnya menjadi tidak asli lagi. Hal yang sama terjadi pada
karya sastra, dijelaskan dengan beberapa contoh yang ada di Indonesia dan di negara-negera
lain bahwa peniruan karya sastra sangat mungkin dan banyak terjadi, bahkan itu telah
berlangsung sejak lama ketika manusia saling berinteraksi satu sama lain, yaitu karya sastra
yang diciptakan selalu ada kemiripan dengan karya-karya sebelumnya, hanya saja apakah itu
terjadi secara kebetulan, sengaja dilakukan atau tidak. Selanjutnya dijelaskan bahwa bahwa
nasib karya sastra di negeri asalnya kadang tidak mendapatkan tempat yang layak dan

5
terhormat, padahal sastra tersebut menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu dan menjadi
pengaruh besar bagi yang menciptakan karya-karya sastra besar.

Bagian Lima
Terjemahan
Pada bagian ini menjelaskan tentang terjemahan yang dilakukan para sastrawan, baik
oleh dirinya sendiri maupun dilakukan orang lain. Dicontohkannya bahwa katika pada zaman
masa lampau meminjam dan kemudian mengembangkan aksara dari bangsa lain, langkah
pertama yang dilakukan untuk mempraktekkan hasil pinjaman tersebut adalah dengan cara
menerjemahkannya. Salah satu contoh dimaksud adalah yang dilakukan oleh moyang kita
yaitu mengembangkan aksara yang dipinjamkan dari India dan menghasilkan aksara Jawa,
Sunda, dan Bali.

Bagian Enam
Sastra Bandingan Nusantara
Bagian ini membahas tentang studi sastra bandingan yang ada di Indonesia. Ia
menjelaskan tentang objek yang bisa dikaji dalam studi sastra bandingan di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negeri yang kaya sumber bagi penelitian sastra bandingan.
Sebab ratusan bahasa sebagai kristalisasi nilai-nilai serta norma, dan ratusan kebudayaan
etnik yang menghasilkan kesenian yang telah mencapai bentuk tulis maupun cetak. Pada
bagian ini juga diuraikan beberapa bahasa yang mengembangkan aksaranya sendiri seperti
Jawa, Bali, Bugis, dan Batak, dapat menghasil karya sastra dalam aksara bahasa mereka
sendiri, dan disebut sastra daerah dan biasanya dipengaruhi oleh perkembangan mitologi
kelompok etnik tersebut mengembangkan mitologi sendiri, bahkan diantaranya
mengembangkan agama sendiri.
Clementes (1978) menawarkan studi perbandingan berdasarkan konsep dan karya
sastra yang berkembang di nusantara, yakni (a) genre dan bentuk, (b) periode, aliran, dan
pengaruh, serta, (c) tema dan mitos. Selain itu dijelaskan mengenai genre yang berkembang
di Indonesia yang contohnya adalah genre wiracarita yang berbentuk syair kidung, kakawin,
hikayat, berbagai jenis teater rakyat, dan penglipur lara. Sedangkan sastra tradisonal, sastra
didaktik hadir beragam bentuk seperti syair, hikayat, cerita berbingkai, kidung, sastra tanya-
jawab, cerita binatang, yang fungsinya sebagai wahana memberi nasihat. Di Indonesia,
kebudayaan Melayu telah menghasilkan Sejarah Melayu, selain itu kebudayaan Jawa juga
telah mengasilkan sejumlah besar babad, yang juga dianggap sejarah. Maka, sebenarnya

6
sastra sejarah dihasilkan oleh semua masyarakat yang pernah memiliki kerajaan, sebab dalam
satu fungsinya adalah untuk mencatat apa yang telah dilakukan suatu dinasti dalam
menciptakan kerajaan yang dipimpinnya.
Salah satu contoh sastra sejarah adalah I La Galigo yang berasal dari Bugis dan babad
Tanah Jawi dari Jawa. I La Galigo mengungkapkan asal-usul orang Bugis, mulai dari
penciptaan manusia sampai ke gambaran mengenai raja-raja. Bugis yang menjadi pahlawan
masyarakatnya. Sedangkan Sastra sejarah babad Tanah Jawi dimulai dengan penciptaan
dunia yang didasari oleh mitologi Hindu, kemudian diteruskan dengan genesis yang diambil
dari kitab suci agama di Barat yang menyebut Adam dan nabi-nabi lainnya, kembali ke
Kahyangan atau kerajaan langit para dewa, hingga menjelma ke dalam kehidupan dunia
menjadi manusia. Maka apabila ditelusuri lebih jauh, banyak hal yang diungkapkan dalam
sastra sejarah. Kemudian, salah satu genre tradisi lisan di Indonesia yang dimiliki oleh setiap
suku bangsa, yaitu mantra. Genre sastra lisan yang satu ini biasanya dipergunakan untuk
mencapai maksud atau tujuan tertentu. Dalam masyarakat lama, mantra dipercaya dapat
menimbulkan dan menghasilkan berbagai hal di samping mendukung niat seseorang untuk
mencapai tujuan, baik bersifat positif maupun negatif. Setiap masyarakat  menciptakan
mantra untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tentu saja dipengaruhi kondisi geografis dan
budaya yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat. Misalnya, mantra orang Sangir sangat
jauh berbeda dengan mantra orang Bali.
Studi mengenai bentuk merupakan penelitian sastra bandingan, meskipun cakupannya
tidak seluas studi mengenai genre. Jawa, Sunda, dan Bali memiliki bentuk-bentuk tembang
yang sama. Namun, perbandingan bentuk-bentuk tersebut bisa saja menghasilkan pengertian
mengenai perkembangan dan strategi pengembangan dalam bentuk tersebut. Ada beberapa
penelitian yang bisa dilakukan untuk sastra perbandingan mengenai bentuk, yaitu tembang,
pantun, parikan, soneta, sastra tanya jawab dan cerita berbingkai. Sesuai kutipan Damono
(Ikram, 1990:10), bentuk yang sangat digemari oleh para sastrawan adalah sastra tanya-
jawab, seperti bentuk serupa kesusastraan Arab dan Sansekerta. Selain itu, para sastrawan
juga sangat menggemari bentuk cerita berbingkai, contohnya kisah 1001 Malam. Alasan para
sastrawan menggemarinya, mungkin karena memiliki kelenturan yang memungkinkannya
untuk menampung berbagai masalah didaktik yang berkembang dari masa ke masa.
Para sastrawan melakukan penelitian untuk mengetahui asal-usul dan seluk-beluk
karya sastra itu bisa dihasilkan, serta untuk menjelaskan mengenai upaya transformasi yang
dilakukan masing-masing kebudayaan yang ada. Contohnya, cerita Amir Hamzah yang
aslinya berbahasa Arab, kemudian mengalami perubahan bentuk yang sangat jauh dalam

7
sastra Bugis, Sasak, Melayu, dan Jawa. Cerita lain yang mengalami transformasi adalah
kisah-kisah mistik para Nabi Muhammad yang terdapat dalam sastra tulis daerah di
nusantara, yang serupa dengan kisah-kisah mengenai para wali. Cerita-cerita seperti itu baik
tema dan mitos ketika diolah dengan kreativitas yang lebih oleh para sastrawan akan
menghasilkan wajah baru dalam dunia sastra modern.

Bagian Tujuh
Membandingkan Dongeng
Pembahasan pada bagian ini lebih fokus ke dongeng, karena sebuah dongeng dapat
dibandingkan dengan dongeng lain, yang berasal dari berbagai negara, tentunya dongeng
yang mirip. juga tidak hanya mengungkapkan keaslian dan pengaruhnya terhadap yang lain,
tetapi lebih kaitan-kaitan antara perbedaan dan persamaan yang ada dan watak suatu
masyarakat. Mencakup segala jenis kisah yang dalam pengertian Barat dipilah-pilah menjadi
mitos, legenda, dan fabel. Contoh untuk menunjukkan pendekatan perbandingan mitos dalam
dongeng adalah kisah Oedipus di Yunani Kuno yang telah berkembang selama ribuan tahun
di masa lampau. Tetapi, di dalam akhir cerita kisah Oedipus ini terdapat berbagai versi yang
berbeda, baik versi Homerus maupun versi Sophocles. Perbedaan versi inilah yang nantinya
digunakan dalam membandingan dongeng. Kisah tentang Oedipus sangat terkenal di berbagai
negeri Eropa. Para sastrawan seperti Pierre Corneille, John Dryden, dan Voltaire, berhasil
menggunakan tokoh dalam dongeng itu menjadi sebuah rentetan drama yang panjang. Pada
zaman selanjutnya, kisah ini diungkapkan lagi atas ketertarikan dikalangan dramawan
Perancis menjadi bentuk pertunjukan drama. Pendekatan yang berbeda dilakukan oleh
seorang dramawan Yunani klasik, Sophocles dalam Oedipus Rex ’Oedipus Sang Raja’
ending ceritanya berakhir teragis. Kemudian drama tersebut dilanjutkkan oleh Sophocles
dalam drama Oedipus di Kolonus, sang raja meninggal dalam pengembaraan.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa tradisi kebudayaan yang sama, kisah
mengenai Oedipus ini memiliki versi yang berbeda. Artinya bahwa setiap zaman memiliki
cara sendiri untuk mengungkapkan dan menafsirkan masalah yang sangat hakiki dalam hidup
manusia. Tradisi lisan yang beredar di Yunani Kuno itu ditafsirkan oleh orang Yunani sendiri
dan juga kemudian oleh bangsa-bangsa lain di Eropa yang tentunya mendapat pengaruh dari
kebudayaannya. Di Indonesia kisah yang mendapat pengaruh dari kisah Oedipus adalah kisah
Sangkuriang yang berasal dari Priangan-kebudayaan Sunda, atau kisah Prabu Watu Gunung,
dalam kitab Babad Tanah Jawi, yang dikenal sebagai kebudayaan Jawa Klasik. Tradisi lisan
tentang kisah Sangkuriang ini disesuaikan dengan kondisi geografis asal-muasal cerita itu,

8
dan dikaitkan dengan Gunung Tangkubanperahu. Kisah Sangkuriang pernah dibuat dalam
berbagai genre dan versi, yang dilakukan oleh seorang dramawan, Utuy Tatang Sotani, yang
menulis kembali cerita tersebut menjadi sebuah drama dengan dua versi yang berbeda. Kisah
Sangkuriang banyak mengalami perkembangan di Pariangan dalam berbagai versi. Ditilik
dari berbagai segi, perbedaan yang ada antara versi-versi itu, lisan manupun tertulis, tentu
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sosial dan budaya. Jadi untuk menemukan dan
mengapresiasi makna yang lebih dalam dapat dilakukan dengan cara penelitian sastra
bandingan, baik penokohan, latar, perlambangan, dan alur, bisa ditelusuri, kemudian
menentukan perbedaan dan persamaannya dalam upaya pemahaman mengenai kebudayaan
penciptaannya.
Kemiripan dalam khasanah sastra Jawa klasik itu juga ditemukan dalam Babad Tanah
Jawi, yaitu sebuah kitab Jawa klasik yang dianggap sebagai sejarah, mengutip berbagai kisah
dari tradisi lisan untuk menentukan asal-usul suku bangsanya. Di awal buku itu dapat kita
temukan alur dan tokoh yang bisa dibandingkan dengan kisah Oedipus dan Sangkuriang.
Kisah Jawa tentang percintaan dan perkawinan antara anak laki-laki dan ibunya itu sama
sekali berbeda dalam latar, penokohan, dan alur. Sementara dalam kebudayaan Yunani klasik
kisah itu tidak mengaitkan  kisahnya dengan penciptaan dunia. Oedipus, Sangkuriang, dan
Prabu Watugunung merupakan tokoh utama dalam kisah yang mirip, yaitu seorang laki-laki
yang membunuh ayahnya dan mengawini ibunya, hanya saja ketiganya hadir dalam versi
yang berbeda. Dalam hal ini, untuk membandingkannya harus menggunakan pendekatan
status sosial  tokoh-tokoh yang berbeda satu sama lain, dan bisa dilakukan penafsiran secara
objektif, bahkan bisa juga dikaitkan dengan faktor sosial, politik, dan budaya.

Bagian Delapan
Dalam Bayangan Tagore
Seorang sastrawan Asia yang pertama menerima Hadiah Nobel bidang kesusastraan
tahun 1913 adalah Rabindranath Tagore ia berasal dari India. Puisinya versi Inggris yang
berjudul Gitanjali. Sejumlah karyanya diterjemahkan dalam bahasa asing, Melayu, Jawa, dan
bahasa Indonesia bahkan menjadi panutan dalam banyak hal bagi para penyair muda pada
majalah Pujangga Baru 1930-an. Namun, lambat-laun penyair-penyair India tidak mengacu
lagi padanya, Tagore tidak ada lagi dalam puisi mereka. Puisi Tagore bergema semangat
India Purba. Salah seorang penyair Inggris William Buttler Yast menyatakan bahwa dalam
puisi Tagore perempuan sudah kehilangan arti badaniahnya, kehilangan arti sebagai
perempuan yang nyata. Hubungannya dengan sastra Indonesia, puisi Tagore telah

9
diterjemahkan yang diberi judul Tukang Kebun. Keberadaan Tagore dalam sastra Indonesia
dianggap terlalu tua. Namun, Damono di dalam buku ini tidak membenarkan hal tersebut.
Bahkan, puisi Tagore Gitanjali memberikan pengaruh besar minatnya dalam menekuni
kesusastraan ketika remaja, karena ia juga mengagumi beberapa karya besar dari Eropa, Cina
dan  Jepang, yang karya tersebut sudah ada ratusan tahun sebelum Tagore muncul.
Keunggulan karya sastra adalah kemampuannya menerobos pembatas zaman, artinya
karya yang baik akan dihargai dan dihayati dari zaman ke zaman, baik di negerinya sendiri
maupun di negeri asing. Ketika Gitanjali diterjemahkan pertama kali dalam bahasa Inggris
pertamakali tahun 1912, pembaca Barat menjadi sadar bahwa di zaman modern ada pujangga
non-Barat yang bisa menghasilkan karya agung. Setahun kemudian Tagore menerima Hadiah
Nobel. Ezra Pound menyatakan bahwa ia menemukan Yunani Baru dalam puisi Tagore.
Akhirnya, selama tiga puluh tahun gema karya Tagore, terutama puisi Gitanjali dan Tukang
kebun terdengar jelas di Barat, maupun di Timur. Selanjutnya, sejak itu banyak munculnya
sajak-sajak yang bergaya Tagore. Puncak minat terhadap gaya penulisan Tagore di Indonesia
terjadi pada tahun 1930-an dan 1940-an, seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Aoh K.
Hadimadja, dengan menulis prosa liris yang mirip seperti gaya penulisan Gitanjali dan
Tukang Kebun. Setelah tiga puluh tahun Tagore menerima Hadiah Nobel, pupularitas Tagore
mulai menurun. Hal itu disebabkan tidak ada penyair yang mencoba dengan sunguh-sungguh
untuk mengembangkan gaya penulisan prosa liris Tagore.
Tidak banyak yang tahu tentang Tagore yang telah menghasilkan lebih dari 1000
sajak Dia lebih dikenal sebagai pujangga Asia pertama menerima Hadiah Nobel. Tagore
bagian yang tidak bisa terpishakna dalam kesusastraan Indonesia, berdasarkan edisi bahasa
Inggris karya Tagore, Amal Hamzah dan Hartojo Andang Djaja telah berhasil menulis puisi
yang indah melalui karya-karyanya yang telah diterjemahkannya. Damono mengutip
pendapat Ghos, bahwa sajak Gitanjali, Tukang Kebun, telah menampilkan sejumlah lirik
yang terindah. Namun, di sisi lain terungkap bahwa Tagore sangat sering menulis tanpa
adanya dorongan yang kuat, tanpa tegangan tinggi antara perasaan dan ekspresi. Ia pun
mengakui bahwa puisi Tagore enak dan memikat, hanya saja jarang yang bisa mengharukan
dan meyakinkan pembaca.
Menurut Damono terhadap, kelemahan puisi Tagore lebih terlihat dalam terjemahan
bahasa Inggrisnya dari pada aslinya, meskipun ada beberapa sajak yang lebih baik dalam
terjemahan bahasa Inggrisnya. Tagore sering menerjemahkan sajaknya sendiri, sehingga ia
memiliki kebebasan ketika ingin mengubahnya, bahkan menciptakannya kembali. Akibatnya
ada sajak mistiknya Sonar Tari atau Perahu Kencana, mengalami reparasi sampai dua pertiga

10
bagian sehingga yang tinggal hanya sepertiga sajak yang sama sekali tidak mengandung
darah hidup versi aslinya. Dalam menerjemahkan Gitanjali, Amal Hamzah telah berusaha
sebaik-baiknya untuk mengalihkan berbagai gagasan romantik. Dia termasuk yang ’setia’
dalam menerjemahkan berdasarkan interpretasinya; ia tidak menambahkan ataupun
mengurangi. Lain halnya Hartojo Andangdjaja dalam menerjemahkan Tukang Kebun,
dengan menggantikan semua kata ganti orang kedua itu dengan huruf kecil, kecuali dalam
persi bahasa Inggris. Menurut Damono, puisi Tagore sangat mempesona karena mengandung
ketaksaan, atau ketegangan  yang muncul karena penafsiran terhadap hubungan-hubungan
yang diungkapkan puisi itu antara Tuhan dan  manusia atau antara manusia dan manusia.
Gaya prosa liris Tagore, Hartojo tidak tertarik, sedngakan Amir Hamzah dan Sanusi
Pane menaruh minat yang besar terhadap gaya penulisan Tagore. Dalam puisi Amir Hamzah
yang berjudul Doa, terdapat kemiripan gaya penulisannya dengan Tagore. Jejak teknik
penulisan puisi bahkan mempengaruhi beberapa sajak ciptaan Takdir Alisyahbana, yaitu
seorang sastrawan yang sering menyuarakan kebudayaan baru dan menyingkirkan segala
sesuatu yang dianggapnya lama. Amir Hamzah dan Tagore jika dilihat dari sejarah
kehidupannya, sama-sama berasal dari kehidupan yang selalu berkecukupan, bahkan bisa
dikatakan tidak pernah menderita. Hal itu pula yang mempengaruhi karya-karya sastra
mereka. Namun, perbedaannya dengan Amir Hamzah, Tagore menjalankan berbagai kegiatan
sosial dan politik. Kebesaran jasa-jasanya di bidang kebudayaan merupakan alasan
penganugerahan gelar kebangsawanan Inggris Sir kepadanya pada tahun 1915, tetapi empat
tahun kemudian Tagore mengembalikan gelar itu sebagai protes terhadap kekejaman
pemerintah kolonial Inggris di Punjab.
Dapat diambil kesimpulan bahwa studi mengenai seorang tokoh dalam penelitian
sastra bandingan, mampu menghasilkan berbagai jenis tinjauan, baik mengenai jejak, kritik,
penerimaan, maupun masalah penerjemahan karya-karya sastra yang dihasilkan. Tagore
hanyalah suatu contoh, tokoh-tokoh lain akan menunjukkan bahwa sastra kita merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sastra dunia

Bagian Sembilan
Jejak Romantisisme dalam Sastra Indonesia
Pada bagian ini menjelaskan tentang perkembangan dan perluasan mahzab, yaitu
romantisisme di Indonesai sebelum kemerdekaan. Sajak J.E. Tatengkeng berjudul Berikan
Aku Belukar, dan sajak Sanusi Pane Mencari, merupakan bukti karya kreatif yang
menunjukkan ciri serta semangat yang mirip satu sama lain, bisa dikelompokkan menjadi

11
sebuah gerakan atau kesadaran, di dunia Barat disebut romantisisme. Sebenarnya di negeri
luar Eropa juga terdapat ciri-ciri Romantisisme yang hadir dalam bentuk tradisi lisan maupun
dalam kitab-kitab klasik dalam berbagai bahasa yang tersebar di seluruh Asia. Ciri-cirinya
romantisisme yaitu, penekanan pada pembebasan individu dari sikap sosial, politik yang
konvensional dan mengekang. Damono menjelaskan, bahwa pengarang romantik umumnya
menaruh minat terhadap kebudayaan abad pertengahan, yang cenderung percaya kepada
iman, bertentangan dengan zaman pencerahan dan juga logika. Sehingga, tatanan, konvensi,
dan protokol sosial dianggap sebagai kekangan terhadap kebebasan individu, kadang emosi
sering disampaikan secara berlebihan. Ia mengutip kata-kata William Wordsworth, seorang
tokoh utama gerakan romantik dalam perkembangan puisi Inggris, spontaneous overflow of
powerful feeling, yang artinya “luapan spontan dari perasaan yang menggebu-gebu.” 
Gejala Romantisisme di Indonesia, muncul ketika negeri ini berada dalam situasi
pergolakan politik, yang dilandasi oleh rasa kebangsaan pada diri kalangan kaum muda. Di
Eropa nasionalisme muncul pada saat yang bersamaan dengan rangkaian keributan politik
dan kesadaran seniman tentang pentingnya kesenian rakyat. Di Hindia Belanda nasionalisme
mulai berkembang di awal abad ke-20 dan  puncaknya pada Sumpah Pemuda 1928. Para
penyair secara sadar menulis sajak-sajak tentang makna kebangkitan bangsa, dengan cara
mengungkapkan rasa kebangsaan berapi-api. Contohnya sajak Fantasi oleh Ipih, Bangunlah,
O Pemuda oleh Hasjmy, dan drama Bebasi oleh Rustam Effendi. Seperti yang diungkapkan
oleh Takdir, individualisme menjadi penting dalam gerakan romatik Eropa. Sebelum abad ke-
18, hanya sedikit orang Eropa yang mencoba untuk menjadi individu di luar “kasta” yang
melahirkan mereka. Orang tidak mau keluar dari kelompok sosial yang telah melahirkannya,
seperti bangsawan, petani, dan pedagang. Namun, individualisme semakin meluas ketika
berkembangnya merkantilisme kaum industrialis menolak untuk mengikuti pola kehidupan
mereka sebelumnya. Hal itu menjadi gagasan yang menarik, sebab mereka bisa berbuat dan
menjadikan pasar sendiri tanpa harus ada aturan dari gereja maupun aristokrasi.
Perkembangannya mencapai ribuan tahun di Eropa, yang membongkar tatanan sosial seiring
terjadinya revolusi.
Tokoh sejarah Eropa adalah Napoleon Bonaparte yang sangat erat kaitannya dengan
gagasan individualisme. Terlihat ketika telah berhasil dengan kedudukan tinggi di Prancis, ia
ingin menguasai Eropa, di sinilah para tokoh mulai disanjung sekaligus juga dibenci. Seiring
perjalanan waktu pemberontakan mulai bangkit, “menemukan diri sendiri”, bahwa iman
terbaik hanya bisa dicapai dengan menentukan pilihan sendiri. Tugas pemerintah adalah
melayani individu atau masyarakat yang telah memilihnya. Gagasan yang mengagung-

12
agungkan individu itu yang kemudian harus ditanggung masyarakat dan tradisi. Gagasan
romantik seperti itu mulai mempengaruhi pemikiran dan pesona anak-anak muda di
Indonesia, dalam menghadapi situasi sosio-budaya. Sehingga timbulnya pemikiran romantik
tidak hanya timbul dalam kesusastraan, namun juga dalam perjuangan politik pada masa itu.
Sejak 1920-an serangkaian tindakan nasionalisme, idealisme, dan individualisme muncul
dalam berbagai bentuk, salah satunya majalah Pujangga Baru yang diterbitkan intelektual
muda. Damono mengatakan bahwa, Takdir tidak segan-segan menyebutkan bahwa gagasan
itu lahir dari “kaum terpelajar”, karena mereka memang belajar melalui pendidikan Barat.
Rasa yang diagung-agungkan oleh penyair tanah air itu menjadikan nilai penting juga bagi
gerakan Romantik Eropa. Seiring dengan itu, yakni muncul sentimentalis atau perhatian
terhadap perasaan kecil (cengeng). Kemudian muncul perhatian terhadap segala sesuatu
eksotik, yang jaraknya jauh, tempat dan waktu, juga tidak jarang mempunyai konotatif
primitif. Kegemaran seniman Eropa mengambil objek negeri-negeri jauh, masa lampau, dan
nilai-nilai sederhana yang mereka agung-agungkan dan mereka sebut primitif, tetapi ada
dampaknya juga terhadap gagasan budayawan tanah air waktu itu.
Indonesia pada masa kolonial Belanda juga merasakan penderitaan sehingga adanya
persamaan mendalam terhadap kaum miskin dan tertindas, terutama akibat revolusi industri.
Pada masa itu Belanda membangun pabrik gula, kina,  teh untuk perdagangan internasional,
akibatnya menimbulkan  kesengsaraan bagi rakyat, karena menggusur sawah dan ladang para
petani. Sama halnya romantisisme Eropa, para penyair saat itu juga mengungkapkan rasa
simpati atas kesengsaraan rakyat sebagai kaum tertindas, akibat situasi ekonomi yang
merosot, dengan sebutan malaise. Sajak-sajak Ali Hasjmy, A.M.D.G Myala, dan M.R. Dajoh
mengungkapkan simpati itu. Salah satu sajak M.R. Dajoh yang berjudul Perempuan
Menumbuk Padi. Hal itu mengingatkan kita pada sajak seorang penyair Inggris, William
Blake yang berjudul London sepenuhnya juga ungkapan simpati penderitaan rakyat yang
mewakili sejumlah besar sajak zaman Romantik karena penderitaan akibat industrilisasi.
Blake dalam sajaknya The Chimney Sweeper, menegasan simpati terhadap anak-anak yang
bernasib malang. Dajoh juga menciptakan sajak yang menggambarkan penderitaan anak-
anak, dengan judul Pekerjaan Anak.
Ciri-ciri Romantisisme bisa dilihat dalam sejumlah cerita rekaan yang diterbitkan
pada masa itu. Namun yang jelas jika ingin mengetahui dan mendapat pemahaman serta
gambaran yang lebih jelas, tentunya kita harus memperhatikan dan menguraikan perbedaan
serta persamaan kecenderungan yang ada pada kesusastraan Indonesia terhadap
perkembangan kesusastraan Eropa abad ke-17 dan ke-18.

13
Bagian Sepuluh
Gatoloco, Kasus Peminjaman dan Pemanfaatan
           Meminjam dan memanfaatkan segala sesuatu yang bersumber pada khasanah tradisi
dan kitab klasik yang cenderung sangat kuat dan merupakan kesusastraan modern. Sajak
Goenawan Muhammad yang berjudul Gatoloco, sama judulnya dengan kitab suluk.
Perbedaannya bisa dilihat dari penulisan kata Kau yang bisa diartikan dengah Tuhan,
sedangkan kau merupakan manusia biasa, begitu juga dengan kata Aku. Atas dasar itu sajak
tersebut dikaitkan hubungan manusia dengan Tuhan, sehingga menjadi tema penting dalam
berbagai jenis kesusastraan dalam berbagai kebudayaan. Damono mengungkapkan, ada lima
jenis hubungan yang menjadi masalah utama manusia; hubungannya dengan Sang Pencipta,
alam, masyarakat, manusia lain, dan dirinya sendiri. Hal yang paling rumit ialah yang
dikatakan pertama diantaranya, yang sering menjadi teka-teki dan tak pernah ada jawaban.
Contohnya, tertera dalam ungkapan sajak Goenawan Muhammad;
            Oke. Kini aku mencoba mengerti. Ternyata Kau tetap
            Ingin mengekalkan teka-teki dan mengelak dari setiap ujung
            Argumentasi. Ta[i mengapa Kau tetap di sini?
Ia beranggapan bahwa, argumentasi memang hanya milik manusia, dan hanya bisa
dipergunakan dalam hubungannya dengan manusia lain, tidak dalam hubungannya dengan
Tuhan. kehadiran Kau selalu membawa teka-teki, kemudian memancing persona untuk
memecahkan. Dilanjutkan dengan jawaban;
“Jangan cemas,” gurau-Mu, “Aku tak,’kan menembakkan pistol
Ke pelipismu yang tolol.”
Kematian dikaitkan dengan kehadiran Kau. Ketegangan dalam sajak ini berkisar
tentang masalah manusia yang hakiki. Pertanyaan makna kehadiran Tuhan dalam hidup
manusia, mungkin saja untuk mengingatkan, atau menggugat atas manusia yang selama ini
menekankan pentingnya tindakan atau penghayatan. Terlihat jelas sekali, pernyataan tersebut
pembahasannya masih seputar hubungan manusia dan Tuhan. Jika sajak Goenawan
Muhammad dikaitkan dengan kitab suluk dengan menggunakan pendekatan sastra bandingan,
makna tersirat akan bisa lebih mudah dipahami. Kaitannya sangat jelas masalah religiusitas
manusia di zaman modern. Kemudian, latar, metafor, lambang, dan segala piranti puitik yang
digunakan penyair modern sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Perbandingan
yang dilakukan akan menghasilkan pemahaman yang lebih baik, sekaligus sikap yang ada
dalam masyarakat tertentu di Jawa mengenai hubungan manusia dan Tuhan. Goenawan telah

14
berhasil meminjam dan memanfaatkan kitab Gatoloco untuk mengungkapkan posisi manusia
di hadapan Tuhannya.     

Bagian Sebelas
Alih Wahana
Perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain merupaka pengertian dari
Alih wahana. Karya sastra selain dapat diterjemahkan, juga bisa dialihwahankan menjadi
jenis kesenian lain. Cerita rekaan bisa diubah menjadi tari, drama, atau film; sedangkan puisi
bisa lahir dari lukisan atau lagu. Sebaliknya bisa juga terjadi novel ditulis berdasarkan film
atau drama. Membandingkan benda budaya yang beralih wahana itu merupakan kegiatan
yang sah dan bermanfaat bagi pemahaman yang lebih dalam mengenai hakikat sastra. Pada
tahun 1950-an, di sudut alun-alun kota Solo, tokoh Romeo dan Juliet bisa masuk dan
dimainkan masuk dalam lakon ketoprak. Kasus seperti ini dalam penelitian sastra bandingan,
pertama kali yang perlu diuraikan adalah bahwa lakon Shakespeare itu telah menyeberang
bagitu jauh, baik waktu dan tempat. Ia pun diterima oleh masyarakat banyak dalam
perjalanan yang selama ratusan tahun. Kisah-kisah seperti cerita Romeo-Juliet ini pun telah
dihadirkan kembali dalam bentuk cerita novel, terus diubah menjadi skenario sampai menjadi
sebuah film. Sebenarnya, antara karya sastra dan film didasarkan sejumlah unsur strukturnya
yaitu tokoh, latar, alur, dialog, dan sebagainya dan diubah sedemikian rupa sesuai dengan
keperluan jenis kesenian, untuk bisa dinikmati.
Pada teori film, dipergunakan sejumlah jargon yang bersumber dalam teori sastra.
Proses perubahan karya sastra menjadi film disebut ekranisasi. Tata bahasa sangat dibutuhkan
bagi sutradara dalam menyusun bahasa yang dipergunakannya untuk pembuatan film.
Perbedaannya, kalau dalam fiksi penciptanya hanya seorang, sedangkan dalam pembuatan
film yang bekerja melibatkan orang banyak. Misalnya, novel Sitti Nurbaya, ketika selesai
dijadikan film, kemudian ditentukan oleh pilihan sutradara, dengan berusaha memilih aktor
yang tepat yang mencirikan penggambaran atas tokoh Sitti Nurbaya. Unsur penting dalam
ekranisasi ini yaitu dialog. Dialog yang diambil dari novel seperlunya saja untuk kepentingan
film. Jika dialog itu hilang atau perannya dikurangi, makan novel Mh. Rusli akan muncul
sebagai suatu karya seni yang amanatnya berbeda. Perbedaan itu merupakan objek penelitian
penting dalam sastra bandingan. Jika diangkat ke panggung ketoprak, susunan dialognya
tentu akan berbeda pula dengan film.
Mengubah film menjadi novel atau membukukan film sudah ada di Indonesia.
Prosesnya, novelis berusaha memindahkan bahasa gambar ke bahasa verbal dan dibantu

15
dengan skenario film itu sendiri. Contohnya, cerpen Melly Goeslaw yang berjudul Tentang
Dia, sempat dijadikan film oleh sutradara Rudy Sujarwo, kemudian ditulis kembali menjadi
sebuah novel oleh Moamar Emka. Perbedaan dan persamaan yang terjadi dalam proses
tersebut bisa dijadikan sebagai bahan studi sastra bandingan. Adegan, dialog, penokohan, dan
latar bisa dibanding-bandingkan untuk mengusut ideologi apa yang ada di balik perubahan-
perubahan tersebut. Dalam pementasan ketoprak dan drama Shakespeare, para pemainnya
tentunya harus profesional, hal ini agar mereka bisa menafsirkan yang tertulis dalam teks.
Kemampuan menafsirkan inilah yang menarik untuk dibahas dalam sastra bandingan.
Sangatlah banyak dan sering terjadi tentang alih wahana ini,. Misalnya saja tokoh-
tokoh ciptaan Milne, di zaman sekarang mengalami alih wahana. Selain bukunya berubah
menjadi film kartun, kemudian mereka rubah lagi menjadi barang dagangan seperti tshirt, tas,
boneka, hingga mainan anak-anak lainnya, yang kini terpajang di toko-toko di seluruh dunia.
Hal ini sangat menarik dalam studi sastra bandingan. Namun, permasalahan yang bisa
diuraikan adalah tentang tokoh-tokoh yang berupa rentetan kata berubah menjadi gambar
animasi dan boneka hingga dalam berbagai film. Kasus selanjutnya, misalnya epos
Ramayana dan Mahabhrata diangkat ke film, pasti diketahui juga perbedaan dalam
penggambaran fisik tokoh sekaligus dalam beberapa karakternya. Citraan tokoh Arjuna yang
difilmkan di India dan Indonesia tampak ada berbeda, karena dalam kebudayaan Jawa,
Sunda, dan Bali diciptakan tokoh-tokoh yang tidak terdapat di dalam sastra India. Hal ini
tentu saja dilakukan agar sesuai dengan kebudayaan masing-masing daerah.
Istilah musikalisasi puisi ada di Indonesia, yakni perpaduan antara puisi dan musik.
Artinya jika karya sastra diperlakukan secara kreatif akan mampu menghasilkan karya yang
lebih indah, yaitu dengan cara memadukan puisi dan musik, dalam bentuk nyanyian. Kajian
yang dapat dilakukan sastra bandingan mengenai musikalisasi puisi ini, antara lain tentang
proses suasana dan jiwa puisi terekam dalam lagu, pengaruh nada dalam memahami puisi.
Selain itu, sastra bandingan juga bisa meneliti hubungan antara anasir bunyi dalam puisi dan
lagu. Kekayaan bunyi dalam puisi bisa dianalisis berdasarkan konsep-konsep yang ada dalam
bidang seni musik, hal ini dilakukan agar hubungan antara makna dan anasir bunyi dalam
karya sastra bisa lebih dipahami.
Damono menjelaskan pada bagian terakhir pembahasan tentang alih wahana ini
adalah kasus alih wahana yang terjadi pada kesusastraan Jawa. Dalam sastra bandingan ada
suatu prinsip penting yang menyatakan bahwa karya sastra yang sudah diterjemahkan atau
disadur berubah statusnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sastra bahasa sasaran dan
bukan lagi menjadi milik sastra bahasa sumber. Dengan demikian, karya sastra Jawa yang

16
bersumber dari sastra asing yang diperoleh melalui proses terjemahan, saduran atau
pinjaman, secara sah telah menjadi bagian sastra Jawa.
Penerjemahan karya sastra ke bentuk yang sama dengan sumbernya, puisi menjadi
puisi, prosa menjadi prosa, tanpa melakukan perubahan atas unsur-unsurnya. Kemudian,
penyaduran karya sastra ke bentuk yang sama dengan sumbernya, melalui proses penyesuaian
dalam unsur sastra agar sesuai dengan tuntutan kebudayaan yang akan menjadi induknya.
Selanjutnya, penyaduran karya sastra ke bentuk yang berbeda dengan sumbernya, puisi
menjadi prosa, atau sebaliknya, tanpa melakukan perubahan terhadap beberapa unsurnya,
seperti latar, alur, dan penokohan. Terakhir, dengan penyaduran tradisi lisan ke karya sastra
dengan mempertahankan beberapa unsurnya, baik latar, alur, dan penokohan. Damono juga
menekankan bahwa alih wahana merupakan peluang yang tidak ada habisnya bagi para
penelitian sastra bandingan. Penelitian sastra selalu melibatkan pancaindra yang pada
dasarnya membanding-bandingkan apa yang dilihat melalui pancaindra.

Bagian Dua Belas


Penutup
            Pada bagian penutup ini Damono menguraikan secara ringkas langkah-langkah dalam
melaknasanakan penelitian sastra bandingan. Sesuai prinsip-prinsip Clements, yang
mengatakan bahwa setidaknya ada lima pendekatan yang dilakukan untuk melakukan
penelitian sastra bandingan, yakni tema/mitos, genre/bentuk, gerakan/zaman, hubungan-
hubungan antara sastra dan bidang seni atau disiplin ilmu lainnya.
Tema/Mitos: langkah-langkah dalam penelitian ini yiatu, usahakan menggunakan bahan
perbandingan naskah asli, yakni baik ditulis bahasa Inggris atau bahasa Indonesia, jika
membicarakan mengenai stilistika hindari karya terjemahan.
Genre/Bentuk: dalam hal ini bisa pembicaraan yang dikaji bisa apa saja, misalnya cerita
detektif sebagai genre-nya. Hal yang diungkapkan bisa perbedaan dan persamaan dua karya
sastra, atau satu karya dari daerah/bangsa yang berbeda.
Gerakan/Zaman: ini pembicaraannya mengenai Romantisisme “modern”, yang berawal dari
Eropa. Gerakan mashab lain seperti realisme, eksistensialisme, dan absurdisme bisa menjadi
pokok bandingan yang berharga untuk menyusun sejarah dan pemahaman sastra.

17
Sastra dan Bidang Seni serta Disiplin lain: jenis pendekatan ini tentu saja menuntut adanya
penguasaan atas kedua seni yang dibandingkan. Misalnya puisi dan musik, langkahnya
dengan jenis pertanyaan yang sama tetapi berdasarkan jargon yang berbeda-beda, yang ada
kaitannya dengan musik.
Sastra sebagai Bahan Pengembangan Teori: mengkaji teori resepsi dan tanggapan pembaca,
misalnya mengungkapkan bagaimana suatu karya sastra berubah bentuk, ketika diterima oleh
kebudayaan lain, dan perubahan bentuk karya sastra itu sendiri.

C. Komentar Penulis Laporan tentang Isi Bacaan yang Dilaporkan


Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono
sebenarnya sudah memberi gambaran cukup jelas tentang kajian sastra bandingan. Di dalam
buku tersebut dijelaskan hampir semua pengetahuan tentang sastra bandingan. Namun perlu
diingat, jika ingin memahami secara mendalam tentang isi buku tersebut, hendaknya harus
dibaca berulang-ulang hal itu karena cara pembahasan yang dilakukan Damono dalam
bukunya bukan sepenuhnya teoritis, tetapi lebih pada bentuk kepenulisan karya sastra.
Namun, apabila dibaca berulang-ulang secara tuntas, dengan cara bab per bab, akan mudah
memahami, juga dengan mudah menarik kesimpulan maksud yang disampaikannya dalam
buku ini. Demi menambah wawasan serta pengetahuan tentang kajian penelitian sastra
bandingan, penulis membandingkan dua buku peneliti sastra, khususnya sastra bandingan
yaitu:
1. Metodologi Penelitian Sastra.
Buku ini karangan Suwardi Endraswasa, diterbitkan
oleh penerbit CAPS di Yogyakarta tahun 2011, cetakan
pertama dengan ISBN (13) 978-602-97912-1-1, serta
ketebalannya 204 halaman, 16 x 24 cm. Buku ini ada
karena adanya rasa keprihatinan pengarang terhadap
perkembangan penelitian sastra yang masih kekurangan
metodologi untuk berpijak dalam melakukan penelitian.
Oleh sebab itu, tidak ada salahnya buku ini dipakai
sebagai referensi dalam metodologi kajian sastra
nantinya. Buku ini sengaja dihadirkan untuk para
peneliti, agar bisa menentukan dan memilih metode
yang sejalan, cocok, atau sesuai dengan hal yang akan
diteliti, termasuk dalam penelitian sastra bandingan.

18
Buku Metodologi Penelitian Sastra karangan Suwardi Endraswasa. ini membahas
berbagai macam metodologi penelitian sastra. Ada dua belas jenis penelitian sastra yang
disajikan dan disertai metodologinya di dalam buku ini. Salah satu di antaranya adalah bagian
13 yang membahas Penelitian Sastra Bandingan. Pembahasan pada bagian ini disajikan
dalam enam sub bagian. Bagian buku yang membahas penelitian sastra bandingan ini
merupakan lanjutan dari buku Damono yang membahas sastra bandingan secara luas.
Berdasarkan uraian tersebut perbedaan antara buku Metodologi Penelitian Sastra
karangan Suwardi Endraswara dengan buku Sastra Bandingan karangan Sapardi Djoko
Damono, terletak pada struktur dan gaya penulisannya saja. Sebab kita tahu, bahwa setiap
orang mempunyai ciri khas yang berbeda-beda dalam menulis. Perbedaan lainnya yaitu
bahasa yang digunakan Suwardi lebih mudah dipahami, dibanding Damono. Hal itu karena
buku Suwardi lebih bersifat teoritis, sederhana dan kurang mendalam kajiannya. Sedangkan
bahasa yang digunakan Damono masih banyak ejaan dan susunan kalimatnya masih banyak
dipengaruhi ejaan lama. Ia sering menggunakan kata-kata yang perlu dianalisis lebih dalam.
Selain itu, pembahasannya cenderung lebih luas dan tajam, sehingga tidak bisa dipahami jika
hanya dibaca secara sepintas. Dengan demikian, bagian buku Metodologi Penelitian Sastra
yang membahas penelitian sastra bandingan tersebut dapat dikatakan sebagai materi
pendukung atau tambahan terhadap buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Hal itu
bertujuan untuk menambah pemahaman mengenai sastra bandingan. Akan tetapi, buku
Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karangan Sapardi Dojoko Damono memiliki
penjelasan yang lebih lengkap dan lebih luas mengenai sastra bandingan jika dibandingkan
dengan buku Metodologi Penelitian Sastra pada bagian penelitian sastra bandingan. Tentu
saja karena buku Damono benar-benar khusus diciptakan untuk mengkaji tentang sastra
perbandingan.

Jika kita membandingkan buku Sastra Bandingan karya Yosi Wulandari ini dengan
buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Saparji Djoko Damono, dilihat dari segi isi
dan pembahasannya mayoritas tidak jauh berbeda, karena di dalam buku Yosi sendiri
mayoritas merujuk atau mengutip dari buku Damono, bahkan kutipan dari pendapat Damono
langsung. Salah satu bukti, pendapat Remak tentang definisi sastra bandingan, dinyatakan
(dalam Damono, 2005:2), yaitu kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian
hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain seperti seni. Selain
itu, pendapat Endraswara juga menjadi ladang kutipan oleh Yosi. Artinya, buku karya Yosi

19
kurang lebih, bahkan bisa dikatakan isinya sama dengan buku karya Saparji Djoko Damono
dan buku karya Suwardi Endraswara. 
Namun yang membedakan buku Yosi pembahasannya lebih mudah dipahami dan
lebih bagus keteraturannya, karena buku terbitan baru yang banyak mempelajari dari buku-
buku sastra bandingan lainnya sebagai referensi. Tapi tetap saja sebagai referensi tambahan,
karena pijakan para peneliti masih pada buku Damono. Sejauh hasil perbandingan, perbedaan
yang tampak hanyalah fisiknya. Misalnya bentuk sampul, ketebalan, jenis dan ukuran font
yang dipakai, dan hal-hal lain yang serupa. Hanya saja, yang lebih membedakan ialah di
dalam buku Sastra Bandingan karya Yosi Wulandari, ada beberapa contoh-contoh hasil studi
perbandingan sastranya, sedangkan di buku Suwardi Endraswara dan Saparji Djoko Damono,
contoh seperti itu tidak ditemukan. Sehingga buku ini bisa juga dijadikan rujukan tambahan
bagi peneliti dalam melakukan penelitian nantinya. Buku Damono tetap menjadi rujukan
yang utama, karena pembahasan lebih kompleks meskipun susah dipahami sebelum dibaca
lebih cermat dan berulang-ulang.
Dari uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa bagian buku Metodologi Penelitian
Sastra karya Suwardi Endraswara dan buku Sastra Bandingan karya Yosi Wulandari yang
sama-sama membahas penelitian sastra bandingan tersebut dapat dikatakan sebagai materi
pendukung terhadap buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Saparji Djoko
Damono. Bertujuan untuk menambah pemahaman mengenai sastra bandingan. Tetapi buku
Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karangan Sapardi Dojoko Damono memiliki
penjelasan yang lebih lengkap dan lebih luas mengenai sastra bandingan.

D. Penutup, pandangan penulis tentang buku yang dilaporkan, manfaat dan kritik.
Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono
merupakan buku penjelasan tentang sastra bandingan secara khusus. Buku ini terdiri atas dua
belas bagian. Bagian pertama; Pendahuluan, kedua; Beberapa Pengertian Dasar, ketiga;
Perkembangan Sastra Bandingan, keempat; Asli, Pinjaman, Tradisi, kelima;Terjemahan,
keenam; Sastra Bandingan Nusantara, ketujuh; Membandingkan Dongeng, kedelapan; Dalam
Bayangan Tagore, kesepuluh; Jejak Romantisisme Dalam Sastra Indonesia, kesebelas;
Gatotkoco; Kasus Peminjaman Dan Pemanfaatan, kesebelas; Alih Wahana, dan terakhir
kedua belas; Penutup.
Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono ini
dibandingkan dengan dua buku. Buku pertama berjudul Metodologi Penelitian Sastra karya
Suwardi Endraswara, materi tentang sastra bandingan terdapat pada bagian 13 Penelitian

20
Sastra Bandingan. Bagian ini terdiri atas sub bagian tentang konsep sastra bandingan;
intertekstual dan sastra bandingan; sastra bandingan, sastra nasional, dan sastra dunia; ruang
lingkup sastra bandingan; konsep pengaruh dalam sastra bandingan; dan metode sastra
bandingan.
Sastra Bandingan karya Yosi Wulandari, merupakan buku pembanding yang kedua,
buku ini terdapat tujuh bab yang pembahasannya tentang sastra bandingan. Setiap bab,
memiliki beberapa sub-sub bab yang pembahasan dan jumlah yang berbeda. Namun isi serta
pembahasannya tidak jauh berbeda dengan buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya
Sapardi Djoko Damono dan buku Metodologi Penelitian Sastra karya Suwardi Endraswara,
yang membedakan hanya tampilan fisik buku, serta adanya hasil studi perbandingan di
dalamnya.
Dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya antara buku Pegangan Penelitian Sastra
Bandingan yang membahas sastra bandingan, Metodologi Penelitian Sastra yang juga
membahas penelitian sastra bandingan, begitu pula dengan buku Sastra Bandingan dari segi
isi tidak terlihat adanya perbedaan. Hanya dari segi susunan penulisan dan bentuk fisik buku
yang membedakannya. Bahkan buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan dianggap sudah
mencakup kedua buku pembandingnya. Manfaat yang diperoleh dari hasil laporan bacaan ini
adalah bisa menambah ilmu pengetahuan mengenai sastra bandingan. sebagai pengantar
untuk memahami sastra bandingan secara luas dan mendalam, dijadikan sebagai pegangan
untuk mengkaji sastra bandingan di Indonesia.

E. Daftar pustaka
Supardi Djoko Damono. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Departemen
Pendidikian Nasional.
Suwardi Endraswasa. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Yosi Wulandari. 2014. Sastra Bandingan: Sebuah Pengantar Teori dan Pengkajian Sastra
Bandingan. Solo: Jagat Abjad.
Profil Sapardi Djoko Damono. [Online]. Tersedia: http://profil.merdeka.com. [Diakses
Tanggal 15 September 2017].

21

Anda mungkin juga menyukai