Anda di halaman 1dari 4

Sesi Tanya Jawab Kelompok 9

PERTANYAAN DAN JAWABAN

1) Nama : Rodhiah

Pertanyaan:
Bagaimana bentuk teori kritik sastra pada kelompok Lekra. Dapatkan kelompok kalian
memberikan salah satu contoh dari teori tersebut terhadap karya sastra pada zaman itu?
Jawaban:
Kritik satra terapan tokoh-tokoh Lekra diselipkan dalam esai atau polemik dengan tokoh
diluar Lekra, timbangan buku, dan pembicaraan sastrawan dari karya sastranya dalam uraian
sejarah sastra Indonesia modern, seperti tampak dalam tulisan Boejoeng Saleh berjudul
“Perkembangan Kesusastraan Indonesia” (1956) dalam Almanak Seni 1957, buku Sejarah Bakri
Siregar Sejarah Sastra Indonesia Modern I (1964), dan uraian sejarah Pramodya Ananta Toer
dalam makalahnya yang sangat panjang di Seminar Fakultas Sastra UI, 26 Januari 1963.
Tambahan :

Adapun Sitor Situmorang, lebih-lebih sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ia nampak
sangat progresif sebagai ketua LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) PNI, ia bekerja sama
dengan Lekra, sajak-sajaknya bersifat “revolusioner”. Para seniman dan sastrawan Lekra dan
para simpatisannya menganut paham realisme sosialis yang pernah dikemukakan oleh Sutan
Syahir pada tahun 1938 dan paham ini dijadikan teori penciptaan seni budaya, termasuk seni
sastra dan teori untuk mencapai sastra nasional dan buku sastra internal yang diIndonesiakan.
Selain itu, “isi” atau gagasan-gagasan yang terdapat dalam karya sastra secara umum atau garis
besarnya. Dengan cara begitu saja, sudah dapat dikatakan bahwa karya sastra yang dikritik sesuai
atau tidak dengan ide dan konsep realisme sosialis. Kalau cocok dikatakan bernilai, kalau tidak
dikatakan sebagai karya boejuis dan tidak bernilai. Tokoh-tokoh kritikus Lekra yang menonjol di
antaranya, yaitu Boejoeng Saleh Poeradisastra, Bakri Siregar, Klara Akustia atau A.S. Dharta,
dan Pramoedya Ananta Toer.
2) Nama : Putri Miftahul Jannah

Pertanyaan
Mengapa Lekra tidak mengembangkan kritik terapan?
Jawaban:
Kritik terapan lebih sedikit, sangat sedikit, dibandingkan dengan tulisan-tulisan yang
dapat digolongkan sebagai teori kritik sastra. Para kritikus golongan Lekra tidak atau kurang
mengembangkan kritik terapan. Hal ini, diduga karena Lekra lebih mementingkan tujuan sastra
daripada wujud ekspresinya, maka seolah-olah tidak begitu perlu mengkritik struktur estetiknya
atau pun intrinsik di dalamnya (inner structure).
Tambahan :

Dengan demikian, cukup dibicarakan “isi” atau gagasan-gagasan yang terdapat dalam
karya sastra secara umum atau garis besarnya. Dengan cara begitu saja, sudah dapat dikatakan
bahwa karya sastra yang dikritik sesuai atau tidak dengan ide dan konsep realisme sosialis. Kalau
cocok dikatakan bernilai, kalau tidak dikatakan sebagai karya boejuis dan tidak bernilai. Tokoh-
tokoh kritikus Lekra yang menonjol di antaranya, yaitu Boejoeng Saleh Poeradisastra, Bakri
Siregar, Klara Akustia atau A.S. Dharta, dan Pramoedya Ananta Toer.

3) Nama : M. Arief Hidayanto

Pertanyaan
Tokoh sastrawan Lekra yang menentang realisme sosialisme dengan realisme barat?
Tolong jelaskan. Sekian terima kasih.
Jawaban:
Saat itu tokoh sastrawan Lekra Pramoedya Ananta Toer mempertentangkan realisme
sosialis dengan realisme barat. Para seniman dan simpatisannya menganut paham realisme
sosialis yang berkonsep “seni untuk rakyat” dan menolak “seni untuk seni” konsep dari zaman
pujangga baru. Saat itu tokoh sastrawan Lekra Pramoedya Ananta Toer mempertentangkan
realisme sosialis dengan realisme barat.

Tambahan :
Tokoh sastrawan Lekra Pramoedya Ananta Toer mempertentangkan realisme sosialis
dengan realisme barat meskipun tidak tampak jelas perbedaan antara keduanya. Ia juga
menjelaskan sastra, politik dan filsafat itu tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi, intinya seluruhnya
selalu bernapaskan perlawanan terhadap segala yang berbau “humanisme borjuis” dan untuk
memenangkan “humanisme proletar”. Jelaslah, kritik sastra Lekra bertipe juga pragmatik.

4) Nama : Sonia Triquraini

Pertanyaan
Mengapa pada pertengahan tahun 1950-an corak sastra angkatan 1945 mulai melemah?
Jawaban:
Pada akhir tahun 1950-an timbul gagasan baru dalam lapangan sastra dan kritik sastra
Sastra Revolusioner, yang sesungguhnya merupakan varian saja dari sastra dan kritik sastra
Lekra, hidup berdampingan dengan sastra Lekra. Dapat dikatakan pada pertengahan tahun 1950-
an corak sastra Angkatan 1945 mulai melemah dengan timbulnya gagasan baru dalam sastra dan
dengan munculnya sastrawan-sastrawan baru. Akhir tahun 1950-an, Pramoedya menjadi tokoh
utama kritikus kelompok Lekra, ia tercatat sebagai anggota Pimpinan Pusat Lekra. Lebih-lebih
sesudah tahun 1960, peranannya sebagai sastrawan dan kritikus sastra Lekra sangat menonjol.

5) Nama : Anisa Ayu Lestari


Pertanyaan
Apakah maksud gagasan Sitor Situmorang yang mengatakan bahwa teori revolusioner
berorientasi pragmatik. Mohon berikan contohnya juga. Terima kasih.
Jawaban:
Teori ini berpusat pada gagasan Sitor Situmorang dalam bukunya Sastra Revolusioner
mengatakan bahwa teori revolusioner berorientasi pragmatik. Menurut Sitor, untuk mengambil
peran dalam revolusi serta mendapat isi revolusionernya, tradisi sastra perjuangan masa lalu
harus dibangkitkan, untuk mencapai sastra nasional dan bukan sastra internasional yang
diindonesiakan. Karena sesungguhnya sastra adalah milik rakyat tidak ada kelas-kelas dalam
sastra. Pada hakikatnya teori lekra dan reviolusioner sama, teori pragmatik yang mengarahkan
sasarannya pada penulisan sastra bagi tujuan politik.
6) Nama : M. Eka Arifansyah
Pertanyaan :
pada makalah anda di bagian kritik revolusioner disebutkan bahwa Sitor Situmorang
mengemukakan (teori) dari metode ilmu sastra revolusioner dengan berlandasan TAVIP
(Tahun Vivere Pericoloso, tahun menyerempet-menyerempet bahaya), apakah maksud
dari pernyataan ini?
Jawaban :
Bung Karno menjadi orang pertama yang mempopulerkan istilah Vivere Pericoloso
dalam pidato kenegaraan peringatan HUT 17 Agustus di tahun 1964. Sudah menjadi
kebiasaan presiden pertama RI tersebut menggunakan istilah asing pada setiap pidatonya
tersebut. Kali ini, dia mengambil istilah dari bahasa Italia, vivere (hidup) dan pericoloso
(berbahaya). Istilah ini sebenarnya lebih tepat disebut dengan vivere pericolososamente
Di tahun yang sama pula, bangsa Indonesia sedang mengalami masa-masa genting atau
berbahaya apalagi saat itu sedang terjadi konfrontasi dengan Malaysia yang kemudian
melahirkan Ganyang Malaysia. Makanya tidak berlebihan bila kemudian Bung Karno
memperkenalkan istilah tersebut dan menyebut tahun 1964 sebagai tahun penuh bahaya
atau the years of living dangerously. .

Anda mungkin juga menyukai