Anda di halaman 1dari 89

BAB I

PENDAHULUAN

KOMPETENSI DASAR

Saudara Mahasiswa, dalam bab ini Anda akan membaca berbagai informasi

tentang berbagai masalah yang terkait dengan sejarah sastra, khususnya sejarah

sastra Indonesia. Bacalah uraian di bawah ini dengan saksama dan pahamilah

berbagai hal yang berkaitan dengan masalah angkatan dan peridisasi Sejarah

Sastra Indonesia. Secara khusus Anda diharapkan dapat:

1. Menjelaskan perbedaan teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra

2. Menjelaskan masalah angkatan dan periodisasi dalam sejarah sastra

3. Menjelaskan bahwa terdapat dua golongan apabila membicarakan masalah

angkatan dan periodisasi dalam sejarah sastra

4. Menjelaskan periodisasi sejarah sastra Indonesia yang disusun oleh berbagai

ahli

5. Menjelaskan awal lahirnya sejarah sastra Indonesia

6. Menjelaskan pengertian sastra Indonesia modern dan ciri-cirinya

7. Menjelaskan keterkaitan antara karya sastra, pengarang, dan masyarakat

1
URAIAN MATERI

1.1 Masalah Angkatan dan Periodisasi dalam Sejarah Sastra

Sebagaimana kita ketahui, wilayah studi sastra dibagi atas tiga bidang

utama, yaitu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Teori sastra adalah

bidang studi sastra yang memberikan pengetahuan tentang pengertian sastra pada

umumnya, mengenai arti, asal, bentuk, isi, pemakaian rima, gaya bahasa, aliran-

aliran dalam sastra dan sebagainya. Kritik sastra adalah bidang studi sastra yang

memberikan kritik-kritik terhadap hasil-hasil karya sastra yang berupa penilaian

dan pertimbangan atau sasran-saran atas hasil karya sastra. Sejarah sastra berarti

bidang studi sastra yang membicarakan riwayat dan pertumbuhan dan

perkembangan sastra beserta seluk-beluknya yang berhubungan dengan

pertumbuhan dan perkembangan sastra tersebut.

Pembicaraan sejarah berarti menyangkut berbagai peristiwa yang terjadi di

masa lampau tanpa ada hal yang ditinggalkan. Begitu pula ketika kita

membicarakan sejarah sastra Indonesia, berarti berbagai peristiwa kesastraan yang

pernah terjadi di Indonesia harus dijabarkan secara terinci tanpa ada yang

dikecualikan. Perbincangan sejarah sastra logikanya diawali ketika bangsa

Indonesia melahirkan karya sastra sampai saat ini, baik lisan maupun tulis.

Istilah yang erat dengan perbincangan sejarah sastra adalah menyangkut

‘angkatan’ dan ‘periodisasi’. Masalah angkatan merupakan masalah yang peka

dalam dunia sastra Indonesia. Kita dapat mengaca bagaimana reaksi masyarakat

ketika ada upaya untuk menamakan ‘Angkatan 45’ atau ‘Angkatan Chairil

Anwar’ dan beberapa tahun kemudian muncul perdebatan lagi masalah lahirnya

2
‘Angkatan 50’ atau ‘Angkatan Sesudah Chairil Anwar’ atau ‘Angkatan Terbaru’;

kemudian muncul lagi perdebatan ketika ada yang berusaha memberi nama

‘Angkatan 66’. Istilah periodisasi lebih mengacu pada tahun atau periode lahirnya

sekelompok karya sastra yang memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan ciri

karya sastra sebelum dan sesudahnya.

Perdebatan terjadi karena sebagaimana setiap masalah, pasti ada yang pro

(setuju) dan ada yang kontra (menolak). Dan masing-masing pihak mempunyai

alasan-alasan yang dapat diterima, tetapi tetap saja tidak diperoleh kata sepakat.

Meskipun demikian, karena istilah tersebut sudah dilontarkan kepada masyarakat,

pada akhirnya istilah tersebut dipakai saja. Namun, akhirnya masyarakat pemakai

bahasa lah yang menentukan istilah tersebut berterima atau tidak.

Jika kita telaah, perdebatan terjadi karena tidak pernah dijelaskan terlebih

dahulu apa yang dimaksud dengan istilah ‘angkatan’ tersebut. Angkatan

merupakan terjemahan dari ‘generatie’ yaitu masalah yang seharusnya erat

kaitannya dalam sejarah sastra, terutama dalam pembabakan waktu atau

periodisasi sejarah sastra. Jadi sebenarnya merupakan masalah para penelaah

sastra, atau lebih tepat lagi para penelaah sejarah sastra. Perdebatan terjadi

sebagian besar disebabkan oleh adanya pengarang yang ikut di dalamnya. Apabila

pengarang terlibat akan membuat pendapat mereka tidak lagi objektif.

Secara garis besar, apabila kita berbicara angkatan dalam sastra, dapat

dibagi dalam dua golongan, yaitu: (1) mereka yang menafsirkan masalah

‘angkatan’ secara subjektif dari kedudukannya sebagai pengarang (pendekatan

pengarang), dan (2) mereka yang melihatnya secara objektif berdasarkan karya-

3
karya sastra yang nyata. Kedua pihak berdebat tak kunjung selesai karena mereka

dalam berdialog tidak menyadari bahwa kata dan istilah yang mereka gunakan

meskipun sama bunyi dan ejaannya tetapi berbeda kandungan isinya.

Sebagai wakil dari golongan pertama yang subjektif adalah Pramudya

Ananta Toer, dalam eseinya ‘Tentang Angkatan’ (1952). Menurutnya, angkatan

adalah suatu golongan yang diikat oleh ‘satu ikatan jiwa, kesatuan semangat

dalam rangkuman tempat, masa, dan lingkungan yang sama’. Sikap ini

ditunjukkan oleh Asrul Sani dan Idrus ketika menyikapi lahirnya ‘Angkatan 45’.

Sikap ini seolah-olah mengandung arti bahwa urusan pengarang lah untuk masuk

atau tidak kepada sesuatu ‘angkatan’.

Sebagai wakil dari golongan kedua yang objektif adalah Rachmad Djoko

Pradopo. Menurutnya angkatan dalam sastra adalah suatu bagian waktu yang

dibatasi oleh suatu sistem norma-norma yang tersangkut dalam proses sejarah itu

dan tak dapat dipisahkan darinya. Sepuluh tahun kemudian, Boejoeng Saleh

mengatakan hal yang hampir sama, tetapi istilah yang digunakan adalah period.

Dia mengatakan bahwa ‘pembagian period-period sastra itu berdasarkan atas pola-

pola kebudayaan (cultural patterns) yang sudah menimbulkan sesuatu keadaan

kemasyarakatan terhadap lahirnya bentuk-bentuk mereaksi tertentu berwujud cara

cara berpikir dan merasa serta cara mengungkapkan kepada pikiran dan perasaan

tersebut. Kemudian, Rachmad Djoko Pradopo dan Nugroho Notosusanto

mengartikan istilah angkatan yang sama dengan arti period atau periode (Rosidi,

1988:15).

4
1.2 Pembagian (Periodisasi) Sejarah Sastra Indonesia

Pemisahan kesusastraan Indonesia lama dengan kesusastraan Indonesia baru

(modern) dengan patokan yang jelas, bukan suatu hal yang mudah. Pemisahan ini

sama sulitnya dengan pemisahan antara kesusastraan Indonesia sebelum perang

dan kesusastraan Indonesia sesudah perang. Hal ini karena sifatnya yang sangat

relatif. Sampai sekarang, pengetahuan kita tentang sejarah sastra Indonesia terbagi

atas tiga periode, yaitu: Sastra Indonesia Lama (Klasik), Sastra Peralihan, dan

Sastra Indonesia Baru (Modern).

Berdasarkan sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, banyak ahli yang

berusaha menyusunnya. Dan antara satu ahli dengan yang lain terjadi perbedaan

pendapat dalam menyusun periodisasi Sejarah Sastra Indonesia. Mereka yang

berusaha menyusun antara lain Sabaruddin Ahmad, Zuber Usman, B. Simorangkir

Simanjuntak, J.S. Badudu, HB Jassin, Ayib Rosidi, Nugroho Notosusanto, C.

Hooykaas, dan Bakri Siregar.

Dari berbagai pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa sebenarnya

terdapat tiga periode atau pembabakan dalam sejarah sastra Indonesia. Untuk

lebih jelasnya, ringkaksan pembabakan atau periodisasi Sejarah Sastra Indonesia

dapat dijelaskan sebagai berikut.

A. Sastra Indonesia Lama (disebut juga dengan istilah Sastra Kuna=Sastra

Klasik=Sastra Daerah=Sastra Nusantara), yang meliputi:

1. Sastra masa Purba : ... s.d. ± 500

2. Sastra masa Hindu : ± 500 s.d. ± 1450

5
3. Sastra Islam : ± 1450 s.d. ± 1800

B. Sastra Peralihan (disebut juga masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi):

± 1800 s.d. ± 1908

C. Sastra Indonesia Baru (Sastra Modern): ± 1908 s.d. sekarang, yang terdiri:

1. Sastra masa Kebangkitan:

a. Sastra Periode 20 (Angkatan 20-an/ Angkatan Balai

Pustaka/Angkatan Siti Nurbaya): ± 1908 s.d. ± 1933

b. Sastra Periode 30 (Angkatan 30-an/Angkatan Pujangga Baru): ±

1933 s.d. 1942

c. Sastra Periode 42 (Sastra masa Pendudukan Jepang): ± 1942 s.d. ±

1945

2. Sastra masa Perkembangan:

a. Sastra Periode 45 (Sastra Angkatan 45): ± 1945 s.d. ± 1952

b. Sastra Periode 50 (Sastra Angkatan 50): ± 1952 s.d. ± 1961

c. Sastra Periode 60/66 (Sastra Angkatan 60-an/66): ± 1961 s.d. 1974

d. Sastra Periode 70 (Sastra Angkatan 70-an/Sastra Kontemporer): ±

1974 s.d. sekarang

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sejarah sastra Indonesia

diawali dari sejak adanya bangsa Indonesia, walaupun ketika itu belum bernama

Indonesia (baca=Nusantara). Dan Nusantara ketika itu diwakili oleh berbagai suku

6
bangsa yang tersebar di seluruh Kepulauan Indonesia, yang identik dengan istilah

Sastra Daerah sesuai dengan jumlah suku-suku bangsa yang ada di Nusantara.

Meskipun masyarakat ketika itu belum mengenal bahasa tulis, tetapi diyakini

penduduk Nusantara sudah mengenal sastra yang merupakan salah satu bentuk

kebudayaan yang mempunyai nilai sangat tinggi yang pada awalnya dalam bentuk

sastra lisan.

Seiring dengan perkembangan pola pikir masyarakat maka berkembang pula

kehidupan sastranya. Dan setiap periode memiliki ciri khas yang berbeda dengan

periode berikutnya atau sebelumnya. Setidaknya diyakini bahwa periode

sesudahnya merupakan perkembangan dari periode sebelumnya. Demikianlah,

perkembangan kehidupan sastra masyarakat Indonesia bertumbuh dan

berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya dari

waktu ke waktu. Kehidupan bersastra masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh

gerak kehidupan berbudaya yang ditentukan oleh kehidupan sosial politik.

Maksudnya, kehidupan sosial politik yang terjadi pada kurun waktu tertentu

sangat berpengaruh pada kehidupan bersastra masyarakatnya. Hal ini wajar karena

sastra dapat dikatakan sebagai cermin kehidupan masyarakat pada suatu zaman

dan pada suatu tempat.

Dapat dikatakan bahwa sastra merupakan salah satu perekam perkembangan

kebudayaan masyarakat yang sangat jujur. Hal ini karena adanya keterkaitan yang

sangat erat antara sastra, pengarang, dan masyarakat. Pengarang sebagai bagian

dari masyarakat ikut melihat, mengalami, dan merasakan apa yang dilihat,

dialami, dan dirasakan oleh masyarakat ketika itu. Melalui kelebihannya dalam

merekam dan merangkai peristiwa, pengarang mampu menghadirkan sebuah

7
dunia yang mencerminkan dunia yang sesungguhnya. Pengarang mempunyai

keistimewaan (berupa kepekaan rasa) tentang berbagai peristiwa yang dialami

anggota masyarakat lain, kemudian menjadikannya dalam bentuk karya sastra.

Dunia baru yang dihadirkan pengarang dapat sama, mirip, atau berbeda sama

sekali dengan dunia yang sesungguhnya.

PERTANYAAN PERLATIHAN

Setelah Anda membaca uraian materi tersebut, jawablah pertanyaan-pertanyaan di

bawah ini dengan terinci sehingga jelas!

1. Jelaskan yang Anda ketahui tentang perbedaan teori sastra, kritik sastra,

dan sejarah sastra

2. Jelaskan masalah angkatan dan periodisasi dalam sejarah sastra.

3. Dalam membicarakan masalah angkatan dan periodisasi sastra terdapat

dua kubu. Sebutkan dan jelaskan keduanya!

4. Jelaskan periodisasi sejarah sastra Indonesia yang disusun oleh berbagai

ahli. Bagaimana pendapat Anda?

5. Menurut Anda, kapankah sesungguhnya diawali sejarah sastra Indonesia?

6. Jelaskan pengertian sastra Indonesia modern dan ciri-cirinya

7. Jelaskan maksud pernyataan bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara

karya sastra, pengarang, dan masyarakat.

8
RANGKUMAN

Wilayah studi sastra dibagi atas tiga bidang utama, yaitu teori sastra, kritik

sastra, dan sejarah sastra. Masing-masing bidang memiliki ciri khas. Istilah yang

erat dengan perbincangan sejarah sastra adalah ‘angkatan’ dan ‘periodisasi’.

Masalah angkatan merupakan masalah yang peka dalam dunia sastra Indonesia.

Secara garis besar, apabila kita berbicara angkatan dalam sastra, dapat

dibagi dalam dua golongan, yaitu: (1) mereka yang menafsirkan masalah

‘angkatan’ secara subjektif dari kedudukannya sebagai pengarang (pendekatan

pengarang), dan (2) mereka yang melihatnya secara objektif berdasarkan karya-

karya sastra yang nyata. Masing-masing memiliki alasan yang kuat untuk

mempertahankan pendapatnya.

Sampai sekarang, pengetahuan kita tentang sejarah sastra Indonesia terbagi

atas tiga periode, yaitu: Sastra Indonesia Lama (Klasik), Sastra Peralihan, dan

Sastra Indonesia Baru (Modern). Masing-masing periode memiliki ciri khas yang

membedakan dengan periode sebelum atau sesudahnya.

TUGAS PENGAYAAN

Sebutkan nama-nama ahli yang telah berusaha menyusun sejarah sastra

Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam bab ini. Bacalah berbagai buku sumber

yang membicarakan hal itu. Kemudian ceritakan, bagaimanakah pendapat mereka

masing-masing? Jelaskan pula persamaan dan perbedaan pendapat mereka.

9
BAB II

SASTRA INDONESIA LAMA

(SASTRA DAERAH = SASTRA NUSANTARA = SASTRA KLASIK)

KOMPETENSI DASAR

Saudara, melalui uraian dalam bab ini diharapkan Anda mendapatkan

berbagai keterangan tentang pengertian sastra klasik atau sastra daerah atau sastra

Nusantara, yang dalam beberapa sumber disebut dengan istilah Sastra Indonesia

Lama. Anda juga diharapkan dapat menjelaskan empat sastra daerah yang

tergolong besar, yang memiliki pengaruh yang besar pula dalam khasanah

perkembangan sastra Nusantara. Keempat sastra daerah itu adalah Sastra Jawa,

Sastra Sunda, Sastra Melayu, dan Sastra Bali. Di samping itu, Anda juga akan

mendapatkan pengetahuan tentang ciri-ciri umum karya sastra klasik.

Secara khusus setelah membaca uraian dalam bab ini diharapkan Anda

dapat:

1. Menjelaskan pengertian sastra klasik secara terinci

2. Menyebutkan empat sastra daerah yang tergolong besar dalam khasanah sastra

klasik beserta peranannya

3. Menjelaskan ciri khas karya sastra pada masa Purba beserta contoh karyanya

4. Menjelaskan tugas pawang dan penglipur lara pada masa sastra Purba

10
5. Menjelaskan ciri khas sastra pada masa Hindu dan contoh pengarang-

pengarang besar beserta karya sastranya

6. Menjelaskan ciri khas sastra pada masa Islam dan contoh pengarang-pengarang

besar beserta karyanya

7. Menjelaskan berbagai hal yang terkait dengan sastra zaman Peralihan beserta

tokohnya

8. Menyimpulkan ciri khas sastra pada masa klasik secara umum

URAIAN MATERI

2.1 Pengantar

Sebelum adanya gerakan nasionalisme, kesusastraan di Indonesia masih

bersifat kedaerahan dan dinamakan sastra daerah atau sastra Nusantara yang

bersifat klasik. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara

yang terdiri atas berbagai suku bangsa yang berbeda-beda adat-istiadatnya,

budayanya, maka karya sastra Nusantara ini sangat beragam jika dilihat dari segi

isi. Dengan demikian, seluruh karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang-

pengarang dari berbagai daerah yang ada di wilayah Nusantara dan isinya

bercirikan kedaerahan, digolongkan sastra Nusantara atau sastra klasik atau lebih

kita kenal dengan sebutan sastra Indonesia lama. Selain itu, sastra Nusantara atau

sastra klasik menggunakan bahasa daerah.

11
Berdasarkan uraian tersebut maka sastra Indonesia lama atau klasik terdiri

atas sastra Jawa, sastra Sunda, sastra Bali, sastra Melayu, sastra Aceh, sastra

Sasak, sastra Gorontalo, sastra Madura, dan sastra-sastra daerah lain yang dimiliki

oleh sejumlah suku bangsa yang ada di Indonesia yang telah memiliki budaya

bersastra. Oleh karena setiap daerah memiliki bahasa daerah dan kebudayaan yang

berbeda maka sastra daerah tersebut juga memiliki ciri tersendiri. Sebagai contoh,

sastra Jawa mengenal jenis sastra dengan nama kakawin, macapat,

guritan/geguritan, dan gancaran. Sastra Melayu memiliki jenis syair, pantun,

gurindam, legenda, mite, sage, dongeng, hikayat dan sebagainya. Sastra Sunda

mengenal bentuk macapat, sastra Bali menganal bentuk kakawin, sastra

Gorontalo, dan sastra-sastra daerah lain juga memiliki bentuk-bentuk sendiri.

Dengan demikian disimpulkan bahwa bentuk-bentuk Sastra Indonesia Lama atau

Sastra Nusantara atau Sastra Daerah meliputi berbagai bentuk sastra daerah

yang dimiliki oleh sejumlah suku bangsa di Nusantara ketika itu, tidak hanya

bentuk-bentuk sastra yang dimiliki oleh suku Melayu sebagaimana kita ketahui

selama ini.

Sebagaimana kita ketahui, dari sekian jumlah sastra Nusantara, terdapat

beberapa daerah yang tergolong besar dalam khasanah Sejarah Sastra Indonesia.

Kita sebut saja Sastra Jawa, Sastra Melayu, Sastra Sunda, dan Sastra Bali.

Keempat sastra daerah tersebut digolongkan sastra besar baik karena usianya yang

sudah sangat tua, dari jumlah karya, maupun karena pengaruhnya terhadap

perkembangan sastra daerah lain.

Sastra Jawa merupakan sastra paling tua dan paling kaya di Nusantara. Kaya

dalam arti jika dilihat dari segi jumlah dan ragam karya sastranya. Selain itu,

12
sastra tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap sastra lain. Sebagi

contoh, genre khas sastra Jawa yang bernama macapat, telah mempengaruhi

sastra daerah Sunda dan sastra daerah Madura sehingga sastra Sunda dan Sastra

Madura juga mengenal bentuk macapat. Contoh lain, genre sastra yang bernama

Panji pengaruhnya sampai ke Sastra Melayu, bahkan kisah-kisah Panji dikenal

dengan baik di dalam masyarakat Tagalog dan Campa. Dan kisah Epos

Mahabharata dan Ramayana telah diakui para ahli sebagai karya yang jauh lebih

indah dari pada karya aslinya yaitu yang dari India.

Dalam sejarahnya, sastra Jawa memang paling tua. Hal ini dibuktikan

dengan telah dilaluinya berbagai periode. Sastra Jawa dalam pertumbuhan dan

perkembangannya dibedakan atas:

A. Sastra Jawa Klasik:

1. Sastra Jawa Kuna, memiliki ciri-ciri:

a. Menggunakan bahasa Jawa Kuna (bahasa Kawi)

b. Berbentuk kakawin

c. Isi terpengaruh ajaran agama Hindu/Budha

2. Sastra Jawa Tengahan, memiliki ciri-ciri:

a. Menggunakan bahasa Jawa Tengahan

b. Berbentuk kakawin (terjemahan dari Jawa Kuna)

c. Isi terpengaruh ajaran agama Hindu/Budha

13
3. Sastra Jawa Baru, memiliki ciri0ciri:

a. Menggunakan bahasa Jawa Baru (Jawa pesisiran)

b. Berbentuk macapat

c. Isi terpengaruh ajaran agama Islam

B. Sastra Jawa Modern:

Sejak masuknya pengaruh budaya Barat ke dalam khasanah sastra Jawa.

Sebagai contoh, akhirnya dikenal bentuk-bentuk sastra yang bernama

cerkak/cerita cekak (terjemahan dari cerpen) dan guritan atau geguritan

(bentuk puisi). Namun, dalam perkembangannya, diberi nama geguritan

(puisi) dan gancaran (prosa). Dan dari segi isi, sangat beragam, termasuk

pengaruh berbagai ajaran agama ke dalam isi karya sastra. Dalam hal ini yang

dimaksudkan adalah agama Kristen, melengkapi keragaman isi karya sastra

yang terpengaruh ajaran agama Hindu/Budha, dan Islam.

Sastra Melayu juga merupakan sastra yang tua dan memiliki pengaruh yang

sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan sastra daerah lain bahkan

sastra Indonesia modern di kemudian hari. Sastra Melayu sangat kaya dari segi

jumlahnya dan dari segi isinya sangat bagus. Banyak sastrawan Melayu yang

namanya sangat besar dalam khasanah sejarah sastra Indonesia karena karya-

karyanya yang besar. Kita telah mengenal nama-nama Nuruddin Ar-Raniri, Raja

Ali Haji, Hamzah Fansuri, Tun Sri Lanang Datuk Bendahara Raja, dan Abdullah

bin Abdul Kadir Munsyi. Mereka adalah tokoh-tokoh sastra Melayu yang akhirnya

14
turut mewarnai khasanah sastra Indonesia dan kebesaran nama mereka karena

karya-karyanya juga diakui banyak negara.

Sastra Sunda juga merupakan sastra yang tua dan kaya pula. Namun, pada

zaman dahulu kurang mendapat perhatian dari para ahli atau peneliti sastra. Hal

ini jika dibandingkan dengan perhatian yang diberikan kepada sastra Jawa.

Dengan demikian, masih sangat banyak naskah-naskah kuna yang berupa sastra

yang belum diteliti. Sastra Sunda mulai tertulis sejak zaman Padjadjaran (abad

XIX) dan sebelumnya masih berupa sastra lisan. Kita mengenal kisah-kisah dalam

sastra Sunda antara lain: Ciung Wanara, Lutung Kasarung, Mundinglaya di

Kusumah,dan lain-lain.

Dalam khasanah Sastra Bali, banyak dilakukan pengerjaan atau penulisan

kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Hal ini dapat kita maklumi karena isinya

untuk kepentingan ajaran agama Hindu di daerah tersebut. Meskipun demikian,

terdapat pula karya asli Bali yang kita kenal dengan judul Layonsari dan

Jayaprana. Kisah ini senada (seversi) dengan kisah Roro Mendut dan Pronocitro

dalam khasanah sastra Jawa. Dan dalam lingkup universal, kita mengenal karya

sastra yang sejenis yaitu Romeo dan Yuliet.

Penyebutan keempat sastra daerah tersebut bukan berarti sengaja menafikan

karya sastra dari daerah lain. Penulis percaya, sastra daerah lain juga tidak kalah

besar dan menariknya. Namun, untuk kepentingan saat ini, dirasa contoh keempat

sastra daerah tersebut sudah mencukupi. Diperlukan penelitian mendalam lagi

untuk mendapatkan pengetahuan tentang sastra daerah lainnya di Nusantara.

15
Yang perlu diketahui adalah bahwa sastra daerah tersebut sebagian besar

berbentuk tembang (Jw=kakawin, macapat) atau puisi (dalam khasanah

kesusastraan modern) dan berkisah tentang negeri antah berantah yang berbentuk

kerajaan (istana sentris). Para tokoh utama berkisar pada keluarga kerajaan, yaitu

bisa sang raja, sang ratu atau permaisuri, pangeran, puteri, atau binatang yang

merupakan jelmaan dari tokoh-tokoh tersebut. Yang dimaksudkan jelmaan

misalnya, ada seorang puteri yang dikutuk oleh penyihir menjadi bangau, dan

akan kembali menjadi puteri jika bertemu dengan seorang pangeran yang tampan

dan baik hati serta mencintainya dengan tulus atau dapat pula terjadi sebaliknya.

Secara garis besar, sastra lama merupakan perwujudan dari pancaran

tatakehidupan masyarakat lama. Karena itu, sastra lama bergantung pada sifat-

sifat masyarakat lama yang menghasilkannya. Berdasarkan corak dan sifat

masyarakat lama, maka sastra lama memiliki ciri-ciri menurut Wirjosudarmo

(1990:3) meliputi:

1) Sastra lama bersifat komunal, yaitu milik bersama

2) Bersifat anonim, yaitu tidak diketahui siapa pengarangnya

3) Bersifat statis menurut ukuran masyarakat sekarang yang serba dinamis, yaitu

gerak perubahannya sangat lambat

4) Bersifat kurang/tidak rasional, yaitu peristiwa yang diceritakan kurang/tidak

dapat diterima akal

5) Bersifat istana sentris, yaitu cerita bergerak di lingkungan atau tentang

keluarga kerajaan

16
6) Bersifat didaktis, yaitu memberikan ajaran/didikan kepada pembaca baik yang

bersfat moral maupun religius

7) Bersifat simbolis, yaitu sebagian besar cerita disajikan dalam bentuk

perlambang

8) Bersifat tradisional, yaitu mempertahankan kebiasaan atau adat agar tetap

berlaku

9) Bersifat klise imitatif, yaitu kebiasaan tiru-meniru yang secara turun-temurun

tetap saja

2.2 Sastra Masa Purba

Sastra masa Purba adalah sastra yang tumbuh dan berkembang sejak zaman

nenek moyang bangsa indonesia yang mendiami tanah air Indonesia mulai

beradab sampai kedatangan agama Hindu. Bentuk sastra pada masa purba adalah

sastra lisan karena waktu itu masyarakat belum mengenal tulisan. Sastra masa

purba memancarkan semangat Animisme dan Dinamisme.

Hasil karya sastra purba pada mulanya tidak digunakan orang untuk

menghibur diri melainkan untuk berhubungan dengan roh-roh nenek moyang

yang menurut anggapan masyarakat ketika itu bersarang di mana-mana. Jadi hasil

karya sastra saat itu dijadikan sebagai alat untuk memperoleh kekuatan gaib. Oleh

karena itu bentuk sastra pada masa itu berupa mantra-mantra atau doa-doa

yang bersifat lisan. Hal itu karena masyarakat masa purba selalu hidup dalam

ketakutan pada roh-roh nenek moyang. Guna membina hubungan dengan roh-roh

17
nenek moyangnya, orang mempergunakan mantra-mantra atau doa-doa dengan

kata-kata pilihan dan bentuk-bentuk yang tetap agas kekuatan gaibnya tidak

hilang.

Untuk tiap-tiap keperluan ada mantra atau doa tertentu, dan tidak sembarang

orang boleh melafalkannya. Yang boleh mengucapkannya hanyalah orang-orang

yang arif dan memiliki kedudukan tinggi di tengah-tengah masyarakat. Orang

tersebut dipercaya memiliki hubungan erat dengan roh-roh nenek moyang atau

yang biasanya dikenal dengan nama pawang. Dengan demikian, tugas pawang

dalam masyarakat sangat luas, yakni:

1. Sebagai pimpinan dalam kenduri.

2. Sebagai tempat orang-orang yang hendak bertanya tentang hari baik

(misalnya hendak bertanam padi, membangun dan mendiami rumah baru,

bepergian, menikah, dan sebagainya)

3. Sebagai dukun atau dalang yang dapat mengobati orang-orang sakit,

menjauhkan pengaruh roh-roh jahat, menjadi penghubung antara

masyarakat dengan roh-roh nenek moyang, dan menyampaikan dongeng-

dongeng.

4. Sebagai kepala adat, yang mengatur masyarakat di daerahnya.

5. Sebagai hakim, yang menyelesaikan perselisihan yang mungkin terjadi

antaranggota masyarakat.

Sastra pawang itulah yang dianggap sebagai permulaan sastra purba dan

menjadi bentuk seni rakyat yang sejati. Lama-kelamaan bentuk sastra masa purba

18
mengalami perubahan. Kekuatan gaib bukan lagi merupakan hal terpenting

melainkan kesenangan diri yang labih utama. Dalam hal ini pusat perhatian orang

mulai diarahkan pada ahli-ahli cerita yang dinamakan penghibur hati atau

penglipur lara.

Melalui penglipur lara inilah akhirnya di tengah-tengah masyarakat lahir

bentuk-bentuk sastra seperti kiasan-kiasan, pantun-pantun, cerita dewa-dewi,

binatang yang berlaku sebagai manusia, cerita jenaka, dongeng keajaiban alam.

Penghibur hati biasanya berlagu (Jw=tembang) dalam bercerita. Ceritanya

menarik hati bagi yang mendengarnya, dan karena terhibur sehingga terlupa akan

kedukaan hidupnya. Cerita itu dapat menghibur hati yang sedang lara, karena

itulah dinamakan cerita pelipur lara.

Cerita pelipur lara tersebut berlangsung lama sekali dan disampaikan atau

diwariskan dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi. Setelah masyarakat

mengenal tulis-menulis, barulah cerita tersebut dituliskan, lebih-lebih setelah

agama Islam masuk ke Indonesia. Cara penglipur lara bercerita selalu didahului

kata-kata bahwa ceritanya itu menurut cerita orang zaman dahulu yang diturunkan

dari nenek moyangnya.

Kebiasaan itu menunjukkan bahwa mereka melaksanakan tugasnya seperti

yang telah digariskan oleh leluhurnya. Di samping itu, dapat juga dimaknai

mereka ingin lepas dari tanggung jawab dari segi isi cerita. Kebiasaan semacam

ini terus berlangsung sampai Islam masuk, seperti pada penggunaan kalimat: wa

bihi nasta’inu billahi ala; ini hikayat orang dahulu kala; kata sahibulhikayat; dan

diakhiri dengan kalimat: wallahu ‘alam bishawab.

19
Adapun bentuk-bentuk cerita sastra pada masa purba dapat digolongkan

atas: (1) dongeng masyarakat, misalnya: harimau jadi-jadian, buaya jadi-jadian,

Kiai Ageng Sela, Nyai Rara Kidul, dongeng tentang gempa, dongeng tentang

gerhana, dongeng tentang terjadinya padi, jagung, dongeng tentang kancil dan

buaya, kancil dan lembu, kancil dan harimau, gagak denga ketam, gagak dengan

serigala, dan sebagainya; (2) cerita-cerita didaktis, misalnya: Pulau si Kantan, si

Malin Kundang; (3) cerita-cerita jenaka, misalnya: si Luncai, Cerita Pak Kadok,

Pak Pandir, Pak Belalang, lebai Malang; (4) cerita pelipur lara, misalnya:

Hikayat Malim Deman, Hikayat Anggun Cik Tunggal, Hikayat si Miskin, Kaba

Sabai Nan Aluih.

2.3 Sastra Masa Hindu

Kira-kira pada tahun 500 di Indonesia sudah mulai kelihatan adanya sastra

tertulis. Masyarakat sudah mulai mengenal tulisan setelah bangsa Hindu datang ke

Indonesia. Namun, pada saat itu yang mengenal tulisan hanyalah orang-orang

terentu saja, misalnya para raja dan keluarganya serta kaum bangsawan lainnya

yang jumlahnya hanya sedikit. Masyarakat umum yang jumlahnya sangat banyak

tidak mengenal tulisan.

Bangsa Hindu yang datang ke Indonesia melalui kegiatan perdagangan

ternyata dapat menanamkan nilai-nilai budayanya sangat mendalam pada bangsa

Indonesia. Sifat-sifat feodalisme yang dibawanya makin kuat kedudukannya.

Sejak itu kebudayaan berpusat pada lingkungan keraton, dan sebagai dampaknya

20
dalam kehidupan sastra pun bersifat istana sentris. Dengan demikian, sastra

mendapatkan tempat utama pada masyarakat Hindu.

Karya-karya sastra yang termasuk sastra masa Hindu adalah:

1. Mahabharata

Karya tersebut disusun oleh Mpu Wiyasa, yang merupakan epos

(wiracarita) yaitu cerita tentang kehidupan pahlawan. Wiracarita ini tumbuh dan

berkembang kira-kira 800 tahun, yakni mulai tahun 400 sebelum Masehi sampai

tahun 400 sesudah Masehi.

Epos Mahabharata terdiri aas 100.000 seloka (tiap seloka terdiri atas dua

baris dan tiap baris terdiri atas 16 suku kata) dan terbagi atas 18 jilid (parwa)

sehingga Mahabharata dinamakan juga Astadasaparwa. Kedelapan belas parwa

itu adalah: Adiparwa, Sabaparwa, Wanaparwa,Wirataparwa, Udyogaparwa,

Bismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa,

Santiparwa, Anucasanaparwa, Acwamedikaparwa, Acramawasikaparwa,

Mausalaparwa, Mahaprastanikaparwa, dan Swargarohanaparwa. Tiap-tiap

parwa berisi cerita yang berbeda-beda.

Epos Mahabharata mula-mula disadur dalam bahasa Jawa Kuna pada

tahun 1000, yakni pada zaman pemerintahan raja Darmawangsa; dan pada abad

ke-15 disadur ke dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi (Arab-Melayu).

Saduran-sadurannya pada waktu itu adalah : Hikayat Pandawa Lima, Hikayat

Perang Pandawa Lima, Hikayat Sang Boma, dan Hikayat Langlang Buana.

21
2. Ramayana

Cerita Ramayana disusun oleh Walmiki, yang juga berupa epos

(wiracarita). Cerita ini dalam bentuk gubahan seni yang sangat indah, yang

dinamakan kawya (kawi ‘nyanyian/tembang’=Jw). Cerita ini mengalami

pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung selama kira-kira 400 tahun,

yakni sejak tahun 200 sebelum Masehi sampai tahun 200 sesudah Masehi.

Epos ramayana terdiri atas 24.000 seloka, yang terbagi atas 7 jilid

(kanda) sehingga dinamakan juga Saptakanda. Ketujuh jilid itu adalah:

Balakanda, Ayodyakanda, Aranyakanda, Kiskendakanda, Sundarakanda,

Yudakanda, dan Uttarakanda. Masing-masing kanda berisi cerita yang berbeda-

beda.

3. Pancatantra

Pancatantara merupakan cedita berbingkai dan telah masyhur di seluruh

dunia. Pada awalnya, cerita Pancatantra hanya hidup di lingkungan keluarga raja.

Namun, akhirnya menjadi bacaan umum karena isinya penuh dengan pedoman

hidup bagi manusia.

Menurut kisah, cerita ini berasal dari India. Raja Kisra Anu Syirwan dari

Persi, mengutus dokter pribadinya yang bernama Barzawaih yang pandai

berbahasa Sansekerta pergi ke India. Atas pertolongan seseorang para pegawai,

akhirnya ia dapat masuk ke perpustakaan istana dan menerjemahkan Pancatantra

ke dalam bahasa Persi. Kemudian, pada tahun 672, cerita Pancatantra dari bahasa

22
Persi masuk ke dunia Barat. Seorang ahli yang menyelidiki pengaruh Pancatantara

di dunia Barat bernama Benfey pada tahun 1859.

Di samping ke dunia Barat, Pancatantra juga masuk ke Indonesia.

Seorang sarjana yang menyelidiki perkembangan Pancatantra di Indonesia

bernama Dr. C. Hooykaas. Dan gubahan Pancatantra yang terpenting dn sangat

terkenal adalah Hitopadeça. Dalam sastra Indonesia terdapat dua macam cerita

yang bersumber dari Pancatantra, yaitu Hikayat Panca Tanderan dan Hikayat

Kalilah dan Daminah. Hikayat Panca Tanderan disadur oleh Abdullah bin Abdul

Kadir Munsyi dari Pancatantra yang berbahasa Hindu pada 12 Oktober 1835

dengan bantuan seorang sahabatnya dari India yang sangat paham bahasa Hindu

yang bernama Tambi Matu Virabattar.

Secara singkat, Pancatantra berisi cerita tentang seorang raja

(Amaraçakti) dari India yang memiliki tiga putera (Wasuçakti, Ugraçakti,

Anekaçakti) sangat sedih karena ketiga puteranya itu sangat membenci buku.

Akibatnya, ketiganya tidak dapat menjadi orang pandai. Kemudian raja mencari

brahmana (Wisnuçarman) yang akhirnya dapat mendidik mereka dalam waktu

enam bulan sehingga mereka menjadi orang yang sempurna ilmunya. Dalam

mendidik, sang brahmana menggunakan cara baru, yakni dengan jalan

menceritakan Pancatantra (panca=lima; tantra=cerita). Kelima cerita itu berupa:

a. Cerita orang yang memutuskan persahabatan

b. Cerita orang yang mencari persahabatan

c. Cerita tentang peperangan antgara burung gagak dengan burung hantu

23
d. Cerita tentang orang yang telah kehilangan harta benda yang telah

diberikan kepada orang lain, tetapi kemudian menyesal.

e. Cerita tentang orang yang melakukan perbuatan dengan tidak dipikirkan

masak-masak terlebih dahulu sehingga akhirnya menyesal.

4. Syukasaptati

Dalam sastra Indonesia, cerita ini lebih dikenal dengan nama Hikayat

Bayan Budiman. Cerita ini berisi tujuh puluh cerita bayan atau burung nuri, yaitu

cerita berbingkai yang isinya tentang sepasang burung nuri yang dapat berbicara

dan berlaku seperti manusia. Burung jantan akhirnya dapat mencegah perbuatan

majikannya yang mau berbuat serong dengan laki-laki lain dengan jalan bercerita

yang sangat menarik sampai 70 malam, sampai sang suami majikannya pulang

dari berdagang. Intinya, cerita tersebut digubah sebagai bahan renungan budi

pekerti.

Syukasaptati yang terdapat dalam bahasa Sansekerta diterjemahkan oleh

Nakhsyabi pada tahun 730 Hijriyah ke dalam bahasa Parsi dengan judul Tuti

Nameh. Kemudian, terjemahan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki oleh Sari

Abdullah Effendi, dan pada 1801 diterjemahkan ke dalam bahasa Hindustani oleh

Haidari.

Hikayat ini juga terkenal dalam sastra Jawa dan Bugis, bahkan ada

terjemahnnya di Eropa. Hikayat ini diterjemahkan dalam bahasa Jawa oleh Kali

Hasan pada tahun Dal 773 atau diselesaikan pada 25 Rabiulawal 1269 bertepatan

hari Jumat pukul delapan. Dalam sastra Indonesia, hikayat tersebut masuk melalui

sastra Parsi, yaitu Tuti Nameh, dan dikenal dengan judul Hikayat Khojah

24
Maimun, Hikayat Khojah Mubarak, dan Cerita Taifah. Pada 1934 Bayan

Budiman diterbitkan oleh Balai Pustaka berdasarkan buku terbitan Dr. RO

Windstedt yang diusahakan di Singapura, dengan sedikit perubahan sesudah

dilakukan perbandingan dengan naskah-naskah yang ada di Jakarta.

Selain cerita-cerita tersebut, ke dalam sastra =-sastra masa Hindu ini

dimasukkan juga cerita-cerita Jawa asli yang disebut dengan Cerita Panji.

Walaupun cerita-cerita tersebut bukan berasal dari India tetapi terasa di dalamnya

ada unsur-unsur Hinduisme. Cerita Panji berasal dari Jawa Timur, dan ceritanya

meliputi 4 kerajaan yakni Daha, Kahuripan, Gagelang, dan Singosari. Dari Jawa

Timur cerita Panji meluas ke Pulau Bali (dengan nama Malat), Lombok,

Sulawesi, Kalimantan, Palembang (dengan nama Anggreni), bahkan sampai ke

Kamboja dan Siam.

Cerita Panji banyak sekali macamnya, dan dalam sastra Indonesia dikenal

dengan berbagai judul, dalam bentuk hikayat, syair dan bentuk lain. Contoh dalam

bentuk hikayat, antara lain: Hikayat Panji Kuda Semirang, Hikayat Panji

Semirang, Hikayat Naya Kusuma, Hikayat Cekel Waneng Pati, Hikayat Dalang

Indera Kusuma, Hikayat Prabu Anom, Hikayat Dewa Asmara Jaya, Hikayat

Anom Mataram, Hikayat Dalang Pudak Asmara, dan sebagainya. Dan dalam

bentuk syair, misalnya: Syair Panji Semirang, Syair Ken Tambuhan, dan dalam

bentuk lain, misalnya: Lelakon Mesa Kumitar, Undakan Agung Udaya, Cerita

Wayang Kinudang, dan Serat Gambuh.

Cerita Panji tergolong cerita komunal dan bersifat anonim, karena cerita

itu sudah memasyarakat sehingga menjadi cerita milik rakyat.

25
2.4 Sastra Masa Islam

Sesudah kerajaan Sriwijaya surut, kekuasaan berpindah ke negeri

Malaka. Pada saat itu Malaka merupakan pusat perdagangan baik yang dari dalam

maupun luar negeri. Oleh karena itu banyak saudagar asing yang datang ke kota

tersebut dan membawa pengaruh dalam hal kebudayaan yang mereka bawa dari

nagara asalnya. Kebudyaan Islam, terutama yang menyangkut agama dan bahasa

yang menjadi pengantar agama, menimbulkan kesan yang sangat mendalam di

hati orang-orang Melayu. Dengan demikian, pengaruh Islam pun mulai masuk ke

dalam sastra Melayu.

Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud dengan sastra masa Islam

adalah sastra Indonesia yang sudah terpengaruh agama Islam. Islam masuk ke

Indonesia adalah melalui Persi, sedangkan penyebarnya adalah orang-orang

Gujarat. Itulah sebabnya dalam sastra bercorak Islam sering masih terasa adanya

pengaruh Persi. Namun, sistem feodalisme yang sudah mengakar dalam

masyarakat Indonesia masih terasa; hanya pemegang peranan dalam sastra bukan

lagi raja-raja Indonesia-Hindu melainkan Indonesia-Islam. Tokoh-tokoh cerita

yang ditampilkan mengenai pahlawan-pahlawan Islam serta penjelasan mengenai

peraturan-peraturan dalam agama Islam.

Dampak lain dari pengaruh Islam adalah pada sifat sastra Melayu yang

berubah menjadi kearab-araban. Orang Melayu bahkan menganggap huruf Arab

sebagai huruf milik sendiri sehingga dinamakan huruf Jawi atau Arab-Melayu.

Sayang sekali perkembangan sastra yang maju pesat pada waktu itu tidak dapat

26
bertahan lama karena pada tahun 1511 Angkatan Laut Peringgi (Portugis)

menghancurkan Malaka dan menguasai kota tersebut.

Pada peristiwa tersebut, perpustakaan istana dibakar, dan Sultan Mahmud

Syah terpaksa pindah ke Pahang, kemudian ke Bintan, tetapi dihancurkan pula

oleh Portugis. Selanjutnya sultan pindah ke Kampar dan meninggal di sana.

Sultan digantikan oleh anaknya yang bergelar Sultan Alaudin Syah II dan

mendirikan negeri Johor. Dari negeri itu sultan berkali-kali melakukan

perlawanan kepada Portugis tetapi selalu gagal. Peristiwa ini menyebabkan sisa-

sisa kebudayaan Melayu hancur, bahkan ketika Portugis memperkuat benteng-

benteng pertahanan, mereka mengambil batu-batu dari makam raja-raja Malaka.

Beruntunglah, Sultan Johor ketika itu memerintahkan kepada para

pujangga untuk mengadakan penulisan ulang atau membuat lagi buku-buku yang

sudah lenyap itu. Akhirnya dari Johor lah sekarang kita dapat menyelidiki sastra

Melayu yang berbahasa Melayu Johor.

Adapun para pujangga istana yang termasuk masa sastra Islam dapat

dijelaskan sebagai berikut.

a. Tun Muhammad atau Tun Seri Lanang

Terkenal sebagai penulis Sejarah Melayu atau Sulalatussalatina.dia adalah

seorang bendahara kerajaan johor yang bergelar Bendahara Paduka Raja.

27
Buku ini mulai ditulis tahun 1612, tetapi karena berbagai peristiwa yang

menyebabkan dia berhenti menulis, dan baru selesai pada 1616.

b. Hamzah Fansuri

Tokoh ini adalah ahli suluk (sufi) termashur yang telah mengunjungi

banyak negara. Ilmu kebatinannya mengenai sifat Tuhan, dunia dan

manusia tidak dapat diterima oleh ulama Islam pada waktu itu. Akibatnya,

banyak buku beliau yang dibakar. Buah penanya antara lain:

 Syair Perahu

 Syair Burung Pingai

 Syair Burung Pungguk

 Syair Dagang

 Syair Sidang Fakir dan

 Asrar al Arifin (berbentuk prosa)

c. Syamsuddin al-Sumatrani

Tokoh ini merupakan murid Hamzah Fansuri dan yang mempunyai nama

lengkap Syamsuddin Ibnu Abdullah al-Sumatrani. Dia seorang pujangga

dan ahli suluk yang hidup di istana raja Aceh bernama Sultan Iskandar

Muda Mahkota Alam Johan Perkasa Alamsyah (1607-1636) dan

memengku jabatan sebagai Perdana Menteri.

28
Buku-bukunya meskipun banyak dibakar, tetapi sempat banyak disalin

orang dan pengaruhnya bahkan sampai ke pulau Jawa. Buah penanya

adalah:

 Sarh Rubali Hamzah al Fansuri (tafsir tentang syair Hamzah Fansuri)

 Mir’at al Mu’minin

 Mir’at al Iman

d. Nuruddin ar-Raniri

Tokoh ini adalah ahli agama dari Gujarat (India) yang berpegang teguh pada

agama Islam yang kolot. Dialah yang dengan keras menentang ajaran ahli-

ahli sufi Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani. Menurutnya, ajaran

kedua ahli sufi tersebut dapat membahayakan keteguhan iman orang-orang

Islam pada waktu itu. Polemiknya terhadap mereka ditulis dengan judul

Tabyan fi Ma’rifat Alayat (1664).

Pengaruhnya yang besar terhadap Sultan Aceh ditunjukkan dengan

keberhasilannya dalam hal mendesak sultan agar memerintahkan untuk

membakar karya-karya dua ahli sufi tersebut yang dianggap dan

dikhawatirkan dapat menyesatkan umat.

Adapun buah pena Nuruddin adalah:

 Akhbar al Akhirat (Kabar dari Akherat)

 Sirat al Mustaqim (Jalan yang Lurus)

29
 Bustanussalatina (Taman Raja-raja)

e. Bukhari al-Jauhari

Tokoh ini adalah seorang ulama Isalam Johor yang menetap di Aceh pada

pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Johan Perkasa

Alamsyah (1607-1636). Buah penanya yang sangat terkenal Tajussalatina

atau Mahkota Raja-raja.

f. Raja Ali Haji

Tokoh ini adalah seorang pujangga yang masih merupakan saudara sepupu

Raja Ali yang menjadi raja muda di Riau pada 1844-1857. Buah penanya

adalah:

 Gurindam Dua belas

 Silsilah Melayu dan Bugis

g. Siti Saleha

Tokoh wanita ini adalah saudara Raja Ali Haji. Menurut H. Von de Wall,

dialah yang mengarang buku Syair Abdul Muluk tetapi menurut pengakuan

Raja Ali Haji sebagaimana dalam suratnya kepada Roorda van Eysinga

pada 2 Juli 1846, dia sendirilah yang menggubahnya.

Perlu diketahui, buku-buku sastra masa Islam ditulis dalam corak prosa dan

syair. Mula-mula sastra Islam bercorak ajaran-ajaran Islam, riwayat para nabi,

hikayat pahlawan-pahlawan Islam, dan hal-hal yang berhubungan dengan

30
ketatanegaraan. Setelah itu barulah bercorak sejarah, pelipur lara, dan

simbolis/didaktis.

PERTANYAAN/PERLATIHAN

(1) Jelaskan pengertian sastra klasik secara terinci

(2) Sebutkan empat sastra daerah yang tergolong besar dalam khasanah sastra

klasik beserta peranannya

(3) Jelaskan ciri khas karya sastra pada masa Purba beserta contoh karyanya

(4) Jelaskan tugas pawang dan penglipur lara pada masa sastra Purba

(5) Jelaskan ciri khas sastra pada masa Hindu dan contoh pengarang-

pengarang besar beserta karya sastranya

(6) Jelaskan ciri khas sastra pada masa Islam dan contoh pengarang-pengarang

besar beserta karyanya

(7) Jelaskan berbagai hal yang terkait dengan sastra zaman Peralihan beserta

tokohnya

(8) Simpulkan ciri khas sastra pada masa klasik secara umum

RANGKUMAN

Sebelum lahir nasionalisme, sastra Indonesia diwarnai oleh sastra daerah

yang akhirnya disebut juga dengan sastra Nusantara atau sastra klasik. Dalam

31
berbagai buku sejarah, sastra tadi disebut dengan sastra Indonesia Lama. Disebut

demikian karena sastra-sastra tersebut lahir dan bercirikan kedaerahan baik dari

segi bentuk maupun isi serta bahasa yang digunakan.

Dari banyaknya sastra yang dilahirkan oleh berbagai suku bangsa di

Indonesia, terdapat empat daerah yang karya sastra tergolong besar. Hal ini dilihat

dari segi jumlah dan keragaman karya serta pengaruhnya pada sastra daerah lain

bahkan negara lain. Keempat sastra daerah tersebut adalah Sastra Jawa, Sastra

Sunda, Sastra Melayu, dan Sastra Bali.

Dalam sejarahnya, setiap sastra lahir dipengaruhi oleh keadaan sosial dan

budaya masyarakatnya, begitu pula yang terjadi dalam karya sastra klasik. dalam

sejarahnya, kehidupan masyarakat Nusantara klasik diwarnai oleh nilai-nilai atau

ajaran agama tertentu bahkan sebelum dikenal nama agama, masyarakat kita

memiliki nilai kehidupan yang bercirikan animisme dan dinamisme. Berdasakan

hal ini, sastra klasik dibagi menjadi beberapa periode, yaitu sastra masa purba,

sastra masa Hindu, dan sastra masa Islam. Dan setiap periode menghasilkan

pengarang besar dan karya sastra yang besar pula.

TUGAS PENNGAYAAN

(1) Bacalah salah satu karya sastra klasik dari Jawa dan buatlah rangkuman serta

berilah komentar tentang karya tersebut

32
(2) Bacalah salah satu karya sastra klasik dari Sunda dan buatlah rangkuman

serta berilah komentar tentang karya tersebut

(3) Bacalah salah satu karya sastra klasik dari Melayu dan buatlah rangkuman

serta berilah komentar tentang karya tersebut

(4) Bacalah salah satu karya sastra klasik dari Bali dan buatlah rangkuman serta

berilah komentar tentang karya tersebut.

BAB III

SASTRA PERALIHAN

(MASA ABDULLAH BIN ABDUL KADIR MUNSYI)

33
KOMPETENSI DASAR

Anda telah mempelajari bab 1 dan bab 2. Kiranya belum banyak

pengetahuan tentang sejarah sastra Indonesia yang Anda ketahui. Dalam bab ini

Anda diharapkan mendapatkan berbagai pengetahuan tentang sastra peralihan.

Anda diharapkan memahami mengapa disebut zaman peralihan, siapa pelopornya

dan bagaimana kiprah sang pelopor sehingga dia disebut tokoh zaman peralihan

serta apa saja karya-karyanya.

Secara lebih khusus, setelah membaca bab ini Anda diharapkan dapat:

1. Menjelaskan pelopor sastra pada zaman peralihan dan latar belakang

keluarganya

2. Menjelaskan kepeloporan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dalam hal sastra

zaman peralihan

3. Menjelaskan perbedaan karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dengan

karya-karya sastra sebelumnya

4. Memberi contoh karya-karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yang berupa

karya sastra

5. Memberi contoh karya-karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yang berupa

selain karya sastra.

URAIAN MATERI

34
Sastra peralihan dipelopori oleh seorang tokoh sastra Melayu yang bernama

Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Dikatakan peralihan karena masa itu

merupakan masa beralihnya dari satu zaman ke zaman lain, yakni dari zaman

klasik ke zaman modern. Maksudnya adalah bahwa pada waktu itu terjadi

peralihan dalam kebiasaan bersastra. Ciri khas penulisan sastra Indonesia

mengalami perubahan, yakni dari sastra yang berciri klasik ke sastra yang baru

yang tidak lazim ada sebelumnya. Peralihan ini tentu masih membawa beberapa

ciri sastra lama, disertai bentuk-bentuk sastra pembaruannya.

Abdullah bin Abdulkadir Munsyi lahir pada 1796 di Malaka. Beliau adalah

sosok yang berdarah campuran Melayu-Arab-Keling dan meninggal di Jeddah

pada 1854 di Jeddah. Dari keturunan yang bermacam-macam itu Abdullah

mendapat julukan peranakan Melayu (anak Jawi pekan). Karena itu pula, pada

masa anak-anak dia harus mempelajari tiga bahasa, yaitu bahasa Melayu, bahasa

Arab, dan bahasa Keling. Dan untuk keperluan pekerjaannya kelak dia harus

mempelajari bahasa Inggris, bahaa Belanda, dan bahasa Cina. Oleh karena

kemampuannya dalam menguasai banyak bahasa itulah yang menyebabkan

banyak orang berguru padanya dan akhirnya mendapat gelar Munsyi yang berarti

guru bahasa.

Moyang laki-laki Abdullah bernama Syekh Abdulkadir, seorang guru agama

dan ahli bahasa yang berasal dari Yaman (Arab). Mula-mula ia menetap di Nagore

di tanah Keling (India) dan menikah dengan perempuan Keling. Dari perkawinan

tersebut lahirlah kakek Abdullah. Kakek Abdullah akhirnya pergi ke timur dan

menetap di Malaka sebagai guru bahasa. Di sana dia menikah dengan perempuan

anak seorang alim yang terkenal pada masa itu. Nenek Abdullah adalah seorang

35
terpelajar juga dan menjadi guru kela pada suatu sekolah di Malaka yang paling

banyak muridnya ketika itu.

Dari perkawinan itu, lahirlah ayah Abdullah yang juga menjadi guru agama

sekaligus guru bahasa. Selain itu, ia menjadi pembantu (asisten) Marsden, seorang

peneliti bahasa berkebangsaan Inggris. Dan dari perkawinannya yang kedua kali,

Syeh Abdulkadir mempunyai lima orang anak laki-laki, dan Abdullah merupakan

anak bungsu. Keempat saudara Abdullah telah meninggal ketika mereka masih

anak-anak.

Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dianggap sebagai perintis jalan menuju

sastra Indonesia baru, karen dialah yang pertama menerobos benteng sastra lama.

Dia orang yang kali pertama meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama dalam

berkarya sastra. Dia berani meninggalkan bentuk-bentuk ikatan lama dan menulis

dengan cara lain pada masa itu. Hal itu terjadi karena pengaruh dari pergaulannya

dengan ilmuwan-ilmuwan Barat seperti Raffless, Milne, Crawford, Newbold, dan

lain-lain. Dari mereka Abdullah mengenal berbagai bentuk sastra Barat dan

akhirnya mempengaruhinya dalam cara menulis sastra.

Perbedaan Abdullah dengan para pengarang sebelumnya meliputi dua hal,

yaitu: (1) apa yang dijadikan pokok pembicaraan, dan (2) bahasa yang digunakan.

Pada hal yang pertama, para pengarang sebelumnya selalu mengarang tentang

istana (istana sentris). Hal ini dapat dimaklumi karena kehidupan pengarang tidak

dapat bebas, mereka bergantung pada raja. Oleh karena mereka digaji oleh

kerajaan dan merupakan pegawai raja, maka mereka hanya menulis hal yang baik-

baik saja dari raja dan keluarganya serta tidak pernah menulis yang buruk-buruk

36
tentang mereka. Abdullah sudah menceritakan sesuatu yang terjadi di lingkungan

sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari. Ditulisnya juga kisah tentang orang yang

dikenalnya (akhirnya disebut otobiografi), bahkan tidak segan-segan dia menulis

riwayat hidupnya sendiri dengan tidak menyembunyikan hal-hal yang kurang baik

pada dirinya. Ditulisnya juga masalah kebakaran, perampokan, dan tentang

perlawatannya jika dia sedang bepergian.

Perbedaan kedua, yakni dalam hal pemakaian bahasa. Kebiasaan pengarang

sebelumnya selalu terikat dengan penggunaan kata-kata dan bentuk-bentuk yang

sudah tetap (bahasa klise) yang melambung tinggi. Abdullah menggunakan

bahasa sehari-hari dengan mengemukakan bentuk baru yang dibuatnya sendiri. Ia

mencari kekuatan ekspresinya pada kata-kata biasa yang sering dipakai dalam

kehidupan sehari-hari.

Meskipun melakukan pembaruan, Abdullah tetap tidak dapat

menghilangkan beberapa kebiasaan dalam menulis sastra, yakni ketika menulis

prosa dalam bentuk hikayat dan menulis puisi dalam bentuk syair. Oleh karena

itu, pantaslah jika Abdullah disebut sebagai tokoh peralihan, yakni beralihnya

kebiasaan lama ke kebiasaan baru. Dapat disimpulkan bahwa pembaharuan

Abdullah terutama dalam segi isi dan bentuk prosa.

Adapun karya-karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi adalah:

1. Hikayat Abdullah

Karya ini pada mulanya diterbitkan pada 1849 di Singapura, kemudian

disalin dalam huruf Arab dan diterbitkan di Leiden oleh H.C. Klinkert

37
pada 1882. Pada 1953 melalui Penerbit Jambatan, diterbitkan lagi dengan

anotasi oleh R.A. Datuk Besar dan Dr. R. Roolvink.

Dari isi yang terlihat dalam sistematika penulisannya, sesungguhnya buku

tersebut yang benar-benar mengisahkan riwayat Abdullah hanyalah tiga

pasal (dari 32 pasal). Yang lain merupakan cerita berbagai masalah

sehingga lebih tepat jika buku ini digolongkan buku sejarah suatu masa.

2. Sejarah Melayu

Buku ini terbit pada 1831 berdasarkan naskah Sejarah Melayu susunan

Tun Muhammad atau Tun Seri Lanang pada 1612.

3. Hikayat Panca Tanderan

Hikayat ini disadur dari Pancatantra yang berbahasa Hindu pada 12

Oktober 1835 dengan bantuan sahabatnya dari India yang bernama Tambi

Matu Virabattar.

4. Syair Singapura Dimakan Api

Buku ini mengisahkan peristiwa yang terjadi di Singapura dalam bentuk

syair, yaitu tentang suasana kebakaran besar yang terjadi ketika itu. Buku

ini terbit pada 1830.

38
5. Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura ke Kelantan

Buku ini terbit pada 1838, berisi tentang berbagai peristiwa yang dialami

Abdullah selama melakukan perjalanan dari Singapura menuju Kelantan.

Oleh karena berisi peristiwa yang dilihat dan dialami sang tokoh dalam

hidupnya maka karya Adullah ini ada yang menggolongkannya sebagai

bagian dari biografi.

6. Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah

Gubahan ini belum diterbitkan karena baru 20 halaman saja dikerjakan.

Abdullah tidak dapat melanjutkan karena dia meninggal secara mendadak

dalam perjalanannya dari Jeddah ke Mekkah ketika hendak menunaikan

ibadah haji pada 1854.

Satu hal yang perlu diketahui berkaitan dengan karya-karya Abdullah

adalah ternyata beliau tidak hanya menulis dalam bentuk karya sastra. Karya-

karyanya ada pula yang dalam bentuk nonsastra. Adapun kegiatan Abdullah lain

yang bukan termasuk menghasilkan karya sastra adalah:

1. Menerjemahkan Hikayat Panca Tantra (dari Persi berbahasa Tami)

menjadi Panca Tanderan berbahasa Melayu.

2. Menerbitkan buku ‘Sejarah Melayu’

3. Mengarang bahasa, adat, dan kepercayaan orang Melayu

4. Menyalin Alquran

39
5. Menerjemahkan Injil dalam bahasa Melayu

PERTANYAAN PERLATIHAN

Saudara mahasiswa, untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat pemahaman

Anda mengenai isi dalam bab ini maka jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah

ini dengan benar!

(1) Jelaskan pelopor sastra pada zaman peralihan dan latar belakang

keluarganya

(2) Jelaskan kepeloporan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam hal sastra

zaman peralihan

(3) Jelaskan perbedaan karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dengan karya-

karya sastra sebelumnya

(4) Berikan contoh karya-karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam

bentuk karya sastra

(5) Berikan contoh karya-karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam

bentuk selain karya sastra

(6) Berikanlah pendapat Anda tentang Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari

berbagai aspek sesuai dengan pemahaman Anda.

RANGKUMAN

40
Sastra peralihan dipelopori oleh seorang tokoh sastra Melayu yang bernama

Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Dikatakan peralihan karena masa itu

merupakan masa beralihnya dari satu zaman ke zaman lain, yakni dari zaman

klasik ke zaman modern. Peralihan dari kebiasaan dalam menulis karya sastra

yang lama ke dalam bentuk baru.

Abdullah bin Abdulkadir Munsyi berasal dari keluarga berilmu, dan sejak

kecil dia telah keras mencari ilmu sehingga dia menguasai banyak bahasa dan

mendapatkan julukan Munsyi yaitu guru bahasa. Pada masa dewasa dia banyak

bergaul dengan tokoh-tokoh penting Eropa dan mengenal berbagai karya sastra

Eropa. Dari pergaulan dan pengenalannya dengan bangsa Barat inilah yang

akhirnya mempengaruhinya dalam menulis karya sastra. Dia perkenalkan cara

penulisan baru dalam berkarya sastra yang tidak lazim di masa sebelum dia, yakni

dalam hal penggunaan bahasa dan isi serta bentuk.

Abdullah mempelopori penggunaan bahasa Melayu keseharian dalam

karyanya, begitu pula yang diceritakan adalah tentang peristiwa sehari-hari,

bahkan dia menulis kisahnya sendiri, yang akhirnya orang mengenal dengan nama

bentuk otobiografi. Dalam kepeloporannya sebagai pembaharu, dia tidak

meninggalkan seluruh ciri sastra lama, terbukti dia juga menulis karyanya dalam

bentuk syair.

TUGAS PENGAYAAN

Saudara, untuk memperkaya wawasan Anda tentang zaman peralihan ini, bacalah

buku-buku karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Untuk kepentingan ini,

41
berbagilah tugas dengan teman Anda, yaitu membagi tugas membaca. Satu anak

membaca satu karya. Jika Anda sudah membaca, buatlah rangkumannya dan

diskusikan dengan teman Anda mengenai karya-karya Abdullah tersebut!

BAB IV

SASTRA INDONESIA BARU (MODERN)

KOMPETENSI DASAR

Anda tealah membaca uraian yang terdapat dalam bab 1, bab 2, dan bab 3.

Dengan demikian wawasan Anda mengenai sejarah sastra Indonesia semakin

42
bertambah terutama yang berkaitan dengan sastra klasik. Dalam bab ini Anda

akan mendapatkan tambahan pengetahuan khususnya tentang sastra Indonesia

modern. Bagaimaa sejarah lahirnya sastra Indonesia modern? Apa hubungan

antara sastra Indonesia dengan bahasa Melayu? Jika Anda ingin mendapatkan

jawabannya, bacalah uraian dalam bab ini dengan saksama. Dengan demikian,

secaa umum Anda diharapkan memiliki pengetahuan tentang latar sosial politik

lahirnya sastra Indonesia modern. Secara khusus, setelah membaca uraian materi

dalam bab ini Anda diharapkan dapat:

1. Menjelaskan latar sejarah (berbagai peristiwa) yang menumbuhkan

nasionalisme dan yang pada akhirnya memicu lahirnya sastra Indonesia

modern

2. Menjelaskan tentang kebijakan tanam paksa yang dicanangkan oleh

pemerintah jajahan

3. Menjelaskan pelaksanaan politik etis di bumi jajahan Hindia Belanda

4. Menjelaskan dampak positif dan negatif dari pelaksanaan politik etis bagi

bangsa Indonesia

5. Menjelaskan hubungan antara bahasa Melayu dengan nasionalisme dan

perkembangan sastra Indonesia

6. Menjelaskan latar belakang lahirnya Sumpah Pemuda

7. Menjelaskan pentingnya peristiwa Sumpah Pemuda bagi bangsa dan

perkembangan sastra Indonesia

43
8. Menjelaskan berbagai peristiwa penting yang memicu dipilihnya bahasa

Melayu sebagai bahasa nasional

URAIAN MATERI

4.1 Latar Belakang Sosial Politik Lahirnya Sastra Indonesia Modern

4.1.1 Latar Sejarah

Sejarah menjelaskan bahwa di Kepulauan Nusantara pernah berdiri

kerajaan-kerajaan besar yang memiliki peran penting dalam perbincangan ilmu

pengetahuan dan kebudayaan dunia. Kerajaan-kerajaan besar itu tersebar di Pulau

Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaka, dan Kalimantan. Kita mengenal

Majapahit, Pajajaran, Sriwijaya, Malaka, Pasai, dan lain-lain yang pada abad-abad

silam merupakan kerajaan besar dan cemerlang dalam percaturan dunia.

Namun, pada abad ke-16 dan ke-17, kerajaan-kerajaan itu merupakan

daerah jajahan atau wilayah kekuasaan penjajah dari bangsa Eropa. Pada awalnya

mereka masuk ke bumi Nusantara untuk kepentingan pencarian atau perdagangan

rempah-rempah. Sifat serakah mereka yang akhirnya membuat wilayah dan

bangsa ini di bawah cengkeraman mereka selama berabad-abad. Dalam beberapa

kesempatan bahkan terjadi pertikaian antarbangsa Eropa sendiri untuk

memperbutkan wilayah tertentu di Nusantara yang merupakan penghasil rempah-

rempah yang dianggap potensial. Dimulai bangsa Portugis, kemudian inggris,

dilanjutkan Spanyol, dan terakhir Belanda, telah meluaskan armadanya ke

wilayah-wilayah Nusantara. Beberapa daerah kerajaan yang masih berdaulat

44
setahap demi setahap akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Dan pada awal abad ke-

20, dengan selesainya perang Aceh, seluruh kepulauan Indonesia takluk kepada

pemerintahan Belanda.

Adanya penjajahan di bumi Nusantara tentu saja telah menimbulkan

perlawanan dari berbagai wilayah, oleh banyak tokoh. Namun, semuanya dapat

dengan mudah ditumpas oleh Belanda (kecuali Aceh yang paling sulit

ditaklukkan). Hal ini dapat dipahami karena ketika itu perlawanan yang dilakukan

masih bersifat kedaerahan dan sporadis. Dengan kata lain, belum adanya kesatuan

dan persatuan sebagai bangsa Indonesia. Masing-masing daerah melakukan

perlawanan sendiri-sendiri sehingga memudahkan penjajah untuk menumpasnya.

Dan salah satu cara yang dilakukan Belanda untuk mempermudah pekerjaan

penumpasan pemberontak adalah melalui taktik devide et impera atau politik

memecah-belah. Politik ini terbukti efektif sekali dalam upaya melumpuhkan

perlawanan yang dilakukan oleh kelompok bumiputera terhadap penjajah

Belanda.

Baru pada awal abad ke-20 para pemimpin kita mulai menyadari

kelemahan diri dan kekuatan lawannya. Maka karena adanya perasaan senasib

sepenanggungan sebagai bangsa yang hidup di bawah cengekraman penjajah,

muailah timbul kesadara nasional. Api nasionalisme inilah yangmenghilangkan

perasaan perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan sejarah, lingkungan,

kebudayaan bahasa, adat-istiadat, dan watak. Ketika itu mulai sadar untuk melihat

persamaan dan mengabaikan perbedaan, agar bisa bersama-sama melawan

penjajah. Dan puncaknya lahirnya ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang

terkenal itu dan bunyinya sebagai berikut:

45
Pertama : Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah

yang satu, Tanah Indonesia.

Kedua : Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang

satu, Bangsa Indonesia

Ketiga: Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan,

Bahasa Indonesia

Pengertian Indonesia yang dimaksud dalam Sumpah Pemuda itu melingkupi

seluruh wilayah yang pada masa itu dikenal dengan sebutan ‘Nederlandsch Indie’

(alias Hindia Belanda), yaitu wilayah yang dijajah oleh Belanda.

Sebenarnya, kesadaran dan perlawanan keras itu muncul akibat pelaksanaan

politik kaum penjajah kepada Indonesia yang sangat keras. Semua itu dilakukan

untuk mengangkut kekayaan daerah jajahannya sebanya-banyaknya yakni dengan

diadakannya gerakan tanam paksa (cultuursteel). Akibatnya sangat merugikan

kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia. Kesengsaraan masyarakat semakin

menjadi-jadi, dan menimbulkan reaksi positif dari beberapa gelintir orang yang

berasal dari bangsa Belanda sendiri. Atas perjuangan mereka ini lalu lahir politik

balas jasa atau etische politiek.

Di atas kertas, tujuan politik etis sangat bagus, tetapi kenyataannya tidak

mengubah keadaan sama sekali. Gerakan ini tidak mengurangi sifat penjajah yang

sangat tamak. Tetap saja mereka mengangkut hasil-hasil bumi Hindia Belanda ke

negaranya. Namun, di sisi lain, penjajah mulai memberikan perhatian pada nasib

rakyat. Masyarakat akhirnya dapat bersekolah, memberikan keleluasaan bagi

kaum bumiputera unutk maju dan mendapatkan pendidikan.

46
Dalam politik etis, sesungguhnya tercermin tujuan yaitu membuat bangsa

Indonesia merasa “dekat” dengan bangsa Belanda. Oleh karena itu anak-anak

bumiputera dididik mengenai tatacara kehidupan, Ilmu Bumi Negeri Belanda,

ilmu pengetahuan, moral, dan bahasa Belanda. Bahasa Belanda menjadi bahasa

resmi di seluruh wilayah Indonesia.

4.1.2 Bahasa Melayu dan Nasionalisme

Tujuan yang tersirat dari politik etis sebagaimana diuraikan di atas,

membuat para pemimpin nasional Indonesia semakin giat memperjuangkan

bangsa Melayu sebagai bahasa nasional. Bahasa Melayu yang sudah dikenal sejak

berabad-abad sebelumnya, yakni sebagai lingua franca, ketika itu banyak

digunakan oleh para pemimpin nasional terutama dalam kegiatan berorganisasi,

terutama di lingkungan pergerakan agama Islam. HOS Cokroaminoto dalam

lingkungan Syarikat Islam selalu menggunakan bahasa Melayu. Namun, pada saat

itu penggunaan bahasa Melayu tidak disadari benar pentingnya. Baru setelah

menghadapi ancaman pemaksaan penggunaan bahasa Belanda secara resmi pada

1920, pemakaian bahasa Indonesia mulai dilakukan secara sadar (Rosidi, 1986:3).

Para pemimpin nasional itu menggunakan bahasa Melayu ketika melakukan

pidato-pidato dan melalui tulisan-tulisan. Muhammad Yamin pada 1918 menulis

dalam majalah Jong Sumatra menyerukan penggunaan bahasa Melayu. Tokoh-

tokoh lain yang kita kenal misalnya Haji Agus Salim, Abdul Muis, Tan Malaka,

Semaun, dan lain-lain menggunakan bahasa Melayu dalam tulisan-tulisannya

maupun dalam pidato-pidatonya. Tak kelah pentingnya adalah jasa Soekarno yang

47
telah membuat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang hidup, lincah,

lentuk, sehingga mudah dicerna bukan saja oleh orang-orang yang berasal dari

Kepulauan Riau atau Sumatera, melainkan juga oleh orang-orang yang berasal

dari seluruh wilayah Nusantara yang lain.

Nasionalisme sesungguhnya merupakan suatu paham kebangsaan yang

berasal dari kebudayaan Eropa modern. Lahirnya bahasa Indonesia dan sastra

Indonesia adalah hasil pertemuan bahasa dan sastra Melayu dengan paham-paham

yang berasal dari kebudayaan Eropa modern itu. Akan tetapi, pertemuan dan

pengaruh dari kebudayaan Eropa modern itu tidak hanya dialami oleh bahasa dan

sastra Melayu melainkan seluruh bahasa dan sastra daerah lain yang terdapat di

seluruh Kepulauan Nusantara. Paham-paham dan bentuk-bentuk sastra Eropa

serperti soneta, roman, kritik, esei, dan cerita pendek kemudian banyak diikuti

dan menemui perkembangan yang subur juga dalam sastra-sastra daerah.

4.1.3 Latar Dipilihnya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional

Dipilihnya bahasa Melayu yang secara aklamasi diikrarkan para pemuda

pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 itu merupakan karunia besar bagi bangsa

Indonesia yang selama berabad-abad sebelumnya berada dalam cengkeraman

penjajah. Dengan adanya Sumpah Pemuda itu, segenap masyarakat merasakan

sebagai satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia. Perasaan

persatuan ini akhirnya sangat penting dalam pembentukan rasa nasionalisme yang

akhirnya merupakan cikal bakal lahirnya kemerdekaan Indonesia. Dengan kata

lain, kurang lebih 17 tahun kemudian, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

Bandingkan dengan masa sebelumnya yaitu kurang lebih 350 tahun berada dalam

48
penjajahan. Segala perlawanan anak bangsa seakan sia-sia, kenyataannya penjajah

semakin berkuasa, karena tidak adanya rasa persatuan maka mudah saja ditumpas.

Uraian tersebut menunjukkan betapa besar peranan bahasa Indonesia dalam

mewujudkan kemerdekaan bangsa. Melalui persatuan kemerdekaan dapat diraih,

dan salah satu sarana menggapai rasa persatuan adalah dengan bahasa Indonesia.

Pertanyaan selanjutnya yang muncul di benak kita adalah “Mengapa bahasa

Melayu yang dipilih oleh seluruh masyarakat Indonesia?” bahkan secara aklamasi

tanpa ada yang protes seluruh bangsa (yang memiliki beragam bahasa)

menerimanya. Apakah benar begitu mudahnya bangsa ini menerima bahasa

Melayu sebagai bahasa nasional dari bangsa yang bersuku-suku dan identik

dengan berbagai bahasa daerah?

Kita mengerti bahwa tidak mudah menerima secara bulat hati tentang satu

hal yang sangat penting bagi bangsa yang beragam. Kita bisa membaca sejarah

pernah terjadi peperangan di satu negara semata memperebutkan bahasa

daerahnya menjadi bahasa nasional. Di India, di Filipina, pada masa lalu pernah

mengalami perang saudara semata ada suku-suku yang bersikukuh

mempertahankan bahasa daerahnya yang diangkat sebagai bahasa nasional. Yang

perlu diketahui adalah bahwa jumlah suku bangsa yang ada di dua negara tersebut

tidak sebanyak suku bangsa yang ada di Indonesia. Apa yang terjadi jika masing-

masing suku bangsa di Indonesia saling mempertahankan bahwa bahasa yang

berasal dari sukunya yang harus diangkat sebagai bahasa nsional.

Kita bersyukur karena kejadian ngeri yang kita bayangkan sebagaimana

dipaparkan pada uraian di atas tidak terjadi pada bangsa kita. Tentu saja, untuk

49
mencapai sepakat tersebut didahului oleh peristiwa-peristiwa panjang yang

mandahului. Peristiwa-peristiwa tersebut memicu dipilihnya bahasa Melayu

sebagai bahasa nasional. Di bawah ini dijelaskan berbagai peristiwa yang

mendukung.

1. Peninggalan Bersejarah

Telah kita ketahui bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu,

yang ternyata dari berbagai peninggalan bersejarah telah dikenal masyarakat jauh

sebelumnya. Sejarah bahasa Melayu mulai dikenal ± pada 680 Masehi. Bahasa

Melayu yang menjadi dasar bahasa Indonesia dekenal sebagai bahasa Melayu-

Johor. Nama Melayu kali pertama dikenal sebagai nama kerajaan di daerah

Jambi,di tepi Sungai Batanghari.

Dari informasi yang terdapat dalam sastra Tiongkok disebutkan bahwa pada

kurun waktu tertentu banyak ilmuwan negerinya yang menuntut ilmu ke negeri

Sriwijaya. Nama salah seorang ilmuwan itu adalah I Tsing. Buku tersebut

menjelaskan bahwa ketika itu Sriwijaya merupakan pusat ilmu pengetahuan. Dan

sebelum mendapatkan gelar kesarjanaan, para calon sarjana harus dapat

menerjemahkan kitab-kitab suci ke dalam bahasa Melayu. Dapat dikatakan bahwa

ketika itu bahasa Melayu menduduki tempat tertinggi karena menjadi bahasa ilmu

pengetahuan dan bahasa resmi kerajaan adalah bahasa Melayu tua. Bahasa terebut

tersebar di seluruh wilayah jajahan Sriwijaya. Sebagaimana kita ketahui, pada

abad ke-7, Melayu pun di bawah kekuasaan Sriwijaya. Namun, kerajaan Sriwijaya

yang besar ini akhirnya dikalahkan oleh kerajaan Colamandala dari India pada ±

tahun 1024 Masehi.

50
Selanjutnya, bermacam-macam piagam yang ditemukan di berbagai wilayah

Nusantara juga turut mendukung pendapat bahwa bahasa Melayu sudah dikenal

masyarakat. Piagam itu terdapat di Palembang tepatnya di Kedukan Bukit

(berangka tahun ± 604 tarikh Syaka atau ± 683 tarikh Masehi) dan di Talang Tuo

(berangka tahun ± 606 tarikh Syaka atau ± 684 tarikh Masehi). Piagam ditemukan

juga di Jambi tepatnya di Karangbrahi di dekat Sungai Musi (tanpa angka tahun).

Piagam ditemukan juga di dekat Pulau Bangka tepatnya di Kota Kapur (± tahun

608 tarikh Syaka atau ± 686 tarikh Masehi).

Piagam-piagam tersebut menggunakan bahasa Melayu tertua, dan sejarah

mengakui sebagai bahasa Melayu tertua yang ditemukan di dalam rumpun bahasa

Austronesia. Baris-baris terakhir pada tulisan di Batu Kapur dengan terjemahannya

dapat dibaca di bawah ini.

Syakawarsjâtita Tarikh Syaka lampau

608 ding pratipada syuklapaksya 608 pada pertama hari setengah bulan

Wulan waisyâkha tátkâlânya yang Bulan April tatkalanya—mengucap

mangmang sumpah ini sumpah ini

Nipahat di welânya yang wala Dipahat di waktunya – bala Sriwijaya

Syriwijaya kaliwat menâpik menyerang

Yang bhûmi jawa tida bhakti ka Tanah jawa (yang) tidak takluk kepada

Syriwijaya Sriwijaya

Selanjutnya ditemukan juga piagam di dekat Temanggung (Jawa Tengah)

tepatnya di Gondosuli dengan menggunakan bahasa Melayu Kuno (± tahun 832

51
Masehi) – berdasarkan ahsil penyelidikan Dr. Y.G. Casparis. Pada tahun 1380

ditemukan prasasti di Aceh, antara Sungai Pasai dan Jambu Air, dan bertuliskan

bahasa Melayu Kuno dalam bentuk syair.

2. Semenanjung Malaka

Pada tahun 1400 Masehi kota Malaka merdeka, dan menjadi kota besar.

Kota ini menjadi pusat perdagangan. Oleh karena itu bahasa Melayu banyak

dikenal dan dikuasai masyarakat yang berasal dari berbagai negeri terutama

pedagang. Dari para pedagang inilah bahasa Melayu dikenalkan dan disebarkan ke

berbagai wilayah asal mereka. Dan ketika itu bahasa dan kesusastraan Melayu

berkembang pesat. Dan hasil-hasil kesusastraan mengikuti bentuk Persia-Arab.

Dalam kedudukannya sebagai bahasa pengantar terutama dalam dunia perdangan

ini kita mengenal fungsi bahasa Melayu sebagai lingua franca.

Di seluruh Sumatera, bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar untuk

mendalami ajaran agama Islam. Sayang sekali, pada tahun 1511 Malaka direbut

Portugis, bahkan Sultan Mahmud Syah menyingkir ke Pahang lalau ke Bintang.

Hasil-hasil sastra turut dibakar oleh Portugis. Kelak keturunan sultan yang

mendirikan kerajaan Johor dan ketika itu kehidupan sastra Melayu berkembang

kembali dan menghasilkan salah satu karya sastra yang terkenal yaitu Sejarah

Melayu yang ditulis oleh Tun Mahmud (Hastuti, 1985:1-3).

3. Masa Penjajahan Belanda

52
Pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa resmi mula-mula oleh Kompeni,

kemudian oleh Gubernur Hindia-Belanda, baik dalam surat-menyurat maupun

dalam komunikasinya dengan kepala-kepala rakyat di seluruh wilayah Nusantara.

Pada tahun 1731-1733 bahasa Melayu di Ambon menjadi bahasa pengantar

di sekolah-sekolah agama Kristen. Dan untuk kepentingan penyebaran ajaran

agama Kristen, dilakukanlah penyalinan terhadap kitab suci Injil (Bijbel). Salah

satu salinan Bijbel ke dalam bahasa Melayu yang tekenal adalah yang dilakukan

oleh Leydekker. Pada akhirnya bahasa Melayu tersebar di mana-mana (Hastuti,

1985:1-3).

4. Budi Utomo dan Nasionalisme

Pergerakan Budi Utomo yang dipelopori oleh Dokter Soetomo (1908)

pertama kali berdiri dengan tujuan untuk memajukan budaya masyarakat Jawa.

Ketika itu menurut pengamatan beliau yang sudah mendapatkan pendidikan Barat,

kebudaan Jawa dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

Menurutnya, keterkungkungan masyarakat Jawa pada beberapa nilai yang

dianggap kolot menyebabkan masyarakat Jawa sulit maju; padahal jika diberi

kesempatan yang sama maka masyarakat Jawa juga dapat maju (pandai)

sebagaimana bangsa Barat.

Pergerakan Budi Utomo yang awalnya bukan merupakan pergerakan politik

itu mengalami kemajuan yang pesat terutama pada salah satu bidang organisasi

yang menangani kepemudaan. Bidang kepemudaan itu pada mulanya diberi nama

53
Tri Koro Darmo, tetapi karena selalu dicurigai pemerintah Belanda dalam segala

geraknya maka namanya diubah menjadi Jong Java (=Pemuda Jawa).

Pergerakan pemuda Jong Java ini maju pesat, dan dalam perkembagannya

anggotanya tidak hanya kalangan pemuda dari Jawa, melainkan pemuda dari

berbagai suku bangsa terutama yang sedang menempuh pendidikan di Batavia.

Akhirnya gerakan ini menjadi pemicu lahirnya Jong-jong dari suku bangsa lain

sehingga kita mengenal Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, dan

lain-lain. Pergerakan para pemuda inilah yang kelak melahirkan Sumpah Pemuda.

Sebuah ikrar sebagai satu bangsa meskipun berasal dari berbagai suku bangsa dan

bahasa serta adat istiadat. Perasaan bersatu ini yang akhirnya memicu kedudukan

bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu atau bahasa nasional. Dan semangat

sebagai mencintai bangsa sendiri itu yang disebut dengan istilah nasionalisme.

Sebenarnya cita-cita kesatuan nasional yang sudah diawali pada masa Budi

Utomo itu kemudian berkembang pada Mei 1918 dengan berdirinya Dewan

Rakyat. Yang penting untuk diketahui dari adanya pergerakan-pergerakan ini

adalah para anggotanya adalah orang-orang yang bercita-cita memiliki bahasa

nasional, yakni bahasa Melayu. Perasaan nasional ini yang kemudian mencapai

puncaknya pada Sumpah Pemuda. Pengakuan dan pengangkatan bahasa Melayu

itu kemudian diikuti dengan terbitnya surat-surat kabar yang dipimpin oleh para

wartawan Indonesia. Para wartawan itu adalah: A. Rivai, Haji Agus Salim, dokter

M. Amir, Parada Harahap, Adinegoro, Cindarbumi, Mr. Muh. Yamin, dan Mr.

Sumanang.

54
5. Balai Pustaka dan Pujangga Baru

Peristiwa penting yang turut memicu dipilih dan diterimanya bahasa Melayu

sebagai bahasa nasional adalah lahirnya Balai Pustaka. Lembaga milik pemerintah

Belanda ini memeiliki dua fungsi, yaitu sebagai sebuah penerbitan dan sebagai

nama periode perkembangan sastra Indonesia. Sebagai penerbit, Balai Pustaka

berjasa menerbitkan berbagai buku ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh

masyarakat. Yang kedua, sebagai penghasil karya sastra Indonesia yang memiliki

ciri khas sehingga menjadi sebuah angkatan atau periodisasi dalam khasanah

sastra Indonesia.

Oleh karena telah menerbitkan berbagai buku terutama bidang pertanian,

maka lembaga ini telah turut menyebarkan ilmu pengetahuan. Di satu sisi,

lembaga ini berjasa dalam memperkenalkan dan mengembangkan bahasa Melayu.

Hal ini wajar, karena buku-buku yang diterbitkan tersebut sebagian besar

berbahasa Melayu. Di sisi lain, hasil karya sastra sebagian besar juga

menggunakan bahasa Melayu. Hal ini juga wajar karena sebagian besar pengarang

pada masa itu berasal dari Sumatera yang identik menguasai dan menggunakan

bahasa Melayu. Dengan adanya penyebaran buku-buku pengetahuan dan karya

sastra tersebut maka semakin luas pula wilayah sebaran bahasa Melayu.

Peristiwa yang sama juga terjadi pada masa Pujangga Baru. Banyaknya

karya sastra yang ketika itu terbit menggunakan bahasa Melayu (yang sudah

bernama bahasa Indonesia), semakin memantapkan kedudukan bahasa Melayu di

tengah-tengah masyarakat. Dan dalam perkembangan selanjutnya, bahasa Melayu

berterima dan mendapatkan satu kedudukan lagi setelah diraihnya kemerdekaan

55
bangsa. Puncak perjuangan bangsa Indonesia yang terwujud dalam proklamasi

kemerdekaan itu menambah kedudukan bahasa Melayu semakin kuat, yakni

sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa negara, kedudukan bahasa Melayu tidak

dapat digantikan oleh bahasa lain karena terdapat dalam UUD 1945 pasal 36.

Sejak itu bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan, yakni sebagai bahasa

nasional dan sebagai bahasa negara.

PERTANYAAN PERLATIHAN

1. Jelaskan berbagai peristiwa sejarah yang menumbuhkan nasionalisme dan

yang pada akhirnya memicu lahirnya sastra Indonesia modern

2. Jelaskan yang Anda ketahui tentang kebijakan tanam paksa yang dicanangkan

oleh pemerintah jajahan

3. Jelaskan yang Anda ketahui tentang politik etis dan bagaimana pelaksanaanya

di bumi jajahan Hindia Belanda

4. Jelaskan dampak positif dan negatif dari pelaksanaan politik etis bagi bangsa

Indonesia ketika itu

5. Jelaskan hubungan antara bahasa Melayu dengan nasionalisme

6. Jelaskan latar belakang lahirnya Sumpah Pemuda

56
7. Jelaskan pentingnya peristiwa Sumpah Pemuda bagi bangsa dan

perkembangan sastra Indonesia

8. Jelaskan berbagai peristiwa penting yang memicu dipilihnya bahasa Melayu

sebagai bahasa nasional

RANGKUMAN

Masuknya bangsa Eropa ke Nusantara sedikit demi sedikit kekuasaan

kerajaan-kerajaan besar dikurangi dan pada akhirnya berdiri pemerintahan

penajajahan Hindia Belanda. Adanya penjajahan menimbulkan perlawanan dari

berbagai wilayah, oleh banyak tokoh, tetapi semuanya dapat dengan mudah

ditumpas. Hal ini dapat dipahami karena ketika itu perlawanan yang dilakukan

masih bersifat kedaerahan dan sporadis.

Baru pada awal abad ke-20 para pemimpin kita mulai menyadari kelemahan

diri dan kekuatan lawannya, muailah timbul kesadara nasional. Tujuan yang

tersirat dari politik etis membuat para pemimpin nasional Indonesia semakin giat

memperjuangkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, puncaknya lahir ikrar

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Dipilihnya bahasa Melayu oleh segenap bangsa Indonesia, tentu tidak begitu

saja. Berbagai peristiwa sejarah telah membuat masyarakat Indonesia yang

beragam ini memilihnya. Dari peninggalan-peninggalan sejarah yang berupa

piagam-piagam (prasasti) yang ditemukan di berbagai daearah, membuktikan

bahwa bahasa Melayu sudah akrab dengan masyarakat. Selanjutnya, Semenanjung

57
Malaka yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, juga pernah

menjadi pusat perdagangan sehingga Bahasa Melayu semakin dikenal. Pada masa

penjajahan Belanda, bahasa Melayu sebagai bahasa resmi sehingga bahasa

tersebut memiliki wilayah sebaran yang lebih luas. Pergerakan Budi Utomo yang

memicu lahirnya nasionalisme semakin memperkuat kedudukan bahasa Melayu di

hati masyarakat. Lahirnya Balai Pustaka dan Pujangga Baru juga memperkuat

bahasa Melayu, dan akhirnya mencapai puncaknya ketika kemerdekaan teraih,

yaitu tidak hanya sebagai bahasa nasional melainkan sebagai bahasa negara.

BAB V

ANGKATAN BALAI PUSTAKA

(PERIODE 1920-1933)

Kompetensi Dasar

Anda telah mendapatkan pengetahuan tentang sejarah sastra Indonesia dari

bab-bab sebelumnya. Sekarang, dalam bab ini Anda akan mendapatkan gambaran

tentang salah satu periode sejarah sastra Indonesia, yakni periode Balai Pustaka.

Bacalah dengan saksama setiap uraian di bawah ini, kemudian jawablah

pertanyaan perlatihan secara rangkumannya. Setelah itu jangan lupa mengerjakan

tugas pengayaan, agar wawasan Anda semakin luas.

58
Secara umum Anda diharapkan dapat menjelaskan berbagai peristiwa yang

melatari lahirnya Balai Pustaka, ciri-ciri karyanya, keuntungan dan kerugian

adanya Balai Pustaka bagi perkembangan sastra Indonesia, dan berbagai

pengarang serta karya-karyanya. Secara lebih khusus setelah membaca bab ini

diharapkan Anda dapat:

1. Menjelaskan latar belakang sejarah berdirinya Balai Pustaka

2. Menjelaskan berbagai pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia

Belanda

3. Menjelaskan pelaksanaan dan dampak tanam paksa bagi bangsa Indonesia

4. Menjelaskan latar belakang politk etis dan dampak yang ditimbulkan

5. Menjelaskan pengertian ‘bacaan liar’

6. Menjelaskan tugas-tugas, syarat karya, dan akibat ketentuan Balai Pustaka

7. Menjelaskan jenis terbitan dan cara bekerja Balai Pustaka

8. Menjelaskan penamaan angkatan Balai Pustaka

9. Menjelaskan ciri-ciri roman Balai Pustaka

10. Menjelaskan keuntungan dan kerugian adanya Balai Pustaka bagi

perkembangan sastra Indonesia

11. Menjelaskan maksud politik bahasa

12. Menjelaskan para pengarang Balai Pustaka dan karya-karyanya

59
URAIAN MATERI

5.1 Latar Belakang Sejarah

Sejarah telah menyebutkan bahwa pada abad ke-19 telah terjadi pemerasan

besar-besaran oleh pemerintah penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia.

Hampir seluruh kekayaan bumi Nusantara yang ketika itu bernama Hindia-

Belanda diangkut ke negara Belanda. Diawali dari masuknya Gubernur Jenderal

Daendels yang memegang kekuasaan di Hindia Belanda, dia mengadakan

berbagai pembatasan-pembatasan untuk memperkuat kekuasaannya. Pembatasan-

pembatasan itu meliputi bidang militer, politik, dan ekonomi dengan berntuknya

antara lain berupa: (1) kekuasaan raja-raja Jawa (Jogjakarta dan Surakarta)

dibatasi; (2) tanah rakyat dijual kepada orang asing untuk membuka perkebunan;

(3) kewajiban menanam kopi (tanam paksa); (4) mewajibkan kerja rodi bagi

rakyat yang tidak memiliki ladang atau sawah.

Kebijakan politik tanam paksa dilaksanakan ketika pemerintahan Hindia

Belanda dipegang oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch, dengan beberapa

ketentuan tambahan, yaitu: (1) masyarakat yang mempunyai ladang atau sawah

harus menanam tanaman yang jenisnya sudah ditentukan oleh pemerintah

(sejumlah 1/5 dari luas tanah atau ladang); (2) apabila sudah panen, pemilik sawah

harus menyerahkan hasil 1/5 itu kepada pemerintah, (3) sisanya harus dijual

kepada pemerintah pula dengan harga yang ditentukan sendiri oleh pemerintah.

Kondisi tersebut jelas semakin memberatkan kehidupan rakyat. Sejarah

membuktikan betapa penderitaan rakyat semakin menjadi. Kerja rodi diwajibkan

terutama kepada rakyat yang dinilai masih kuat secara fisik. Mereka diharuskan

60
bekerja untuk membuka atau menebang hutan-hutan belantara di luar Pulau Jawa

yang akan digunakan untuk ladang-ladang atau perkebunan. Selain itu, sebagian

mereka juga dipekerjakan untuk membangun sarana prasarana transportasi,

misalnya jalan raya, rel-rel kereta api beserta stasiunnya, pembangunan irigasi.

Namun, dalam bekerja tidak diperhatikan kesejahteraan atau kesehatan mereka.

Tidak jarang mereka dipaksa bekerja terus-menerus tanpa diberi makan dan

istirahat yang cukup. Akibatnya, banyak di antara mereka yang sakit bahkan

meninggal dunia ketika bekerja.

Akibat berikutnya yang terjadi pada masyarakat dapat kita duga, yaitu: (1)

kehidupan rakyat semakin sengsara, (2) kemiskinan meraja lela, (3) tidak ada

hukum perlindungan terhadap rakyat, (4) kesehatan merosot, (5) ladang sendiri

terbengkalai, dan (6) kelaparan, penyakit, dan kematian merupakan pemandangan

biasa terjadi sehari-hari. Palaksanaan kerja rodi dan tanam paksa jelas sangat

menguntungkan pemerintah Belanda. Hasil kekayaan rakyat diusung untuk

membangun negeri Belanda yang sesungguhnya secara geografis negeri itu sangat

miskin alamnya karena sebagian besar wilayahnya ketika itu berupa lautan.

Akibat kekejaman yang dilakukan pemerintah melalui kerja rodi dan tanam

paksa itu, menimbulkan perlawanan besar-besaran di Jawa (Banten, Cirebon,

Yogjakarta), di Sumatera (Palembang, Aceh, Minangkabau), di Sulawesi Selatan

(Makasar dan sekitarnya), di Maluku, dan di daerah-daerah lainnya. Namun,

pemberontakan-pemberontakan itu senantiasa dapat ditumpas oleh pemerintah.

Yang lebih menyakitkan adalah bahwa peristiwa pemberontakan itu dipakai

sebagai alasan bagi pemerintah untuk semakin memeras rakyat Indonesia. Dengan

alasan banyak biaya yang dibutuhkan untuk menumpas berbagai pemberontakan

61
di berbagai wilayah (khususnya ketika Perang Diponegoro), maka pemerintah

semakin leluasa mencekik kehidupan rakyat dengan berbagai ketentuan. Semakin

lengkaplah penderitaan rakyat Indonesia ketika itu.

Penderitaan rakyat Hindia Belanda yang sudah mencapai puncaknya itu

rupanya memicu perasaan beberapa gelintir bangsa Belanda. Di antara mereka

tergerak hatinya menyaksikan penderitaan rakyat, sehingga mereka berusaha

memperjuangkan nasib rakyat di parlemen di Denhaag. Nama-nama yang kita

kenal di antara mereka adalah Baron van Hoevel, E. Douwes Dekker, dan Mr. C.

Th. Van Deventer. Edwar Douwes Dekker yang mempunyai nama samaran

Multatuli telah menulis buku dengan judul “Andai Aku Jadi Orang Belanda”

mencoba mengungkapkan berbagai penderitaan rakyat Hindia Belanda akibat

kebijakan tanam paksa dan kerja rodi. Dan akibat tulisannya itu sebagian besar

masyarakat dan pemegang kekuasaan di negeri Belanda tergerak hatinya untuk

melaksanakan balas budi kepada rakyat. Sejarah mencatat bahwa telah

dicanangkan politik etis atau yang lebih dikenal dengan istilah politik balas budi.

Politik etis dimulai pada awal abad ke-20, yang pelaksanaannya meliputi

berbagai bidang, yaitu pendidikan, irigasi, migrasi, dan sarana transportasi. Di

bidang pendidikan, diwujudkan dengan didirikannya sekolah-sekolah untuk

bumiputera. Namun, dalam pelaksanaannya anak-anak bumiputera harus terpisah

dari sekolah golongan lain, misalnya ELS (khusus untuk anak-anak bangsa

Eropa), sekolah khusus untuk keturunan Tionghoa, sekolah khusus untuk

keturunan Arab, dan sebagainya. Dan yang perlu diketahui, sekolah untuk anak-

anak bumiputera dibagi atas dua kelompok, yaitu Sekolah Kelas Satu (Jw=

Sekolah Angka Siji) untuk anak-anak bumiputera dari kalangan priyayi atau

62
bangsawan dan pedagang kaya, sedangkan Sekolah Kelas Dua (Jw=Sekolah

Angka Loro) untuk bumiputera dari golongan rakyat jelata yang miskin.

Penggolongan atau pemisahan sekolah-sekolah tersebut dapat dimaknai

sebagai upaya pemerintah penjajah untuk meletakkan bangsa bumiputera pada

tataran paling rendah pada strata sosial. Tujuan utamanya sangat jelas, yakni agar

rakyat senantiasa merasa rendah di antara bangsa-bangsa lain terutama di depan

bangsa Eropa. Penanaman mental psikologis semacam ini sangat penting bagi

pemerintah untuk kelestarian penjajahan mereka di bumi jajahan. Dan akibatnya

sangat kuat bagi bangsa kita, bahkan sampai era sekarang bangsa ini selalu merasa

rendah di antara bengsa-bangsa lain dan cenderung lebih menghargai segala

sesuatu yang berasal dari luar negeri terutama yang berasal dari Barat (Eropa).

Mental semacam ini sampai sekarang masih kita rasakan, dan sulit untuk dikikis

sehingga bangsa kita menjadi bangsa yang konsumtif (pemakai), bukan produktif

(penghasil). Hal ini karena rasa percaya diri tidak atau kurang dimiliki oleh

bangsa kita meskipun kita sudah merdeka selama lebih dari 50 tahun.

Kondisi pemisahan atau penggolongan sekolah untuk anak-anak bumiputera

yang menempati peringkat paling bawah tersebut jelas tidak sesuai dengan cita-

cita nasional atau rasa nasionalisme yang ketika itu sudah mulai didengungkan

oleh pahlawan-pahlawan bangsa. Sebagai jawaban dari rasa ketidakpuasan itu

maka beberapa kalangan pribumi yang mempunyai rasa nasionalisme tinggi

berusaha mendirikan sekolah-sekolah, antara lain:

(1) Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara, pada 1922 di Jogjakarta

63
(2) INS Kayutanam oleh Mohammad Syafe’i pada 1926 di Padang

Sumatera Barat

(3) Sekolah-sekolah (perguruan) Muhammadiyah di berbagai daerah yang

diawali di Jogjakarta oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan.

Pelaksanaan politik etis dalam bidang pendidikan pada akhirnya diketahui

bahwa pemerintah penjajah memiliki maksud lain, yang tetap menguntungkan

pihak mereka. Dengan adanya rakyat yang bisa membaca dan menulis itu

pemerintah mendapatkan tenaga administrasi yang akan dipekerjakan di

perkebunan-perkebunan atau pegawai pemerintah dengan gaji yang rendah.

Politik etis di bidang irigasi, pelaksanaannya juga tidak sesuai dengan janji

pemerintah. Di atas kertas mereka mengatakan bahwa dibangunnya irigasi yang

baik adalah untuk mengatur pengairan-pengairan yang akan digunakan untuk

mengairi persawahan atau ladang-ladang rakyat. Namun, kenyataannya dengan

adanya irigasi tersebut, meskipun sawah-sawah dan ladang-ladang itu dapat

ditanami dengan baik, pada akhirnya yang dapat menikmati hasil pertanian dan

perkebunan adalah pemerintah sendiri.

Begitu pula di bidang transmigrasi, yang di awalnya seolah-olah

menguntungkan masyarakt bumiputera, ternyata tidak. Pemerintah mengadakan

transmigrasi dengan tujuan untuk mengatasi jumlah penduduk yang tidak

seimbang. Sebagian besar penduduk terpusat di Pulau Jawa sehingga dianggap

tidak adanya keseimbangan tenaga kerja. Namun, kenyataannya tujuan

sebenarnya adalah mengirimkan tenaga muda yang ada di Pulau Jawa unutuk

bekerja di luar Pulau Jawa untuk membuka hutan-hutan belantara yang akan

64
dijadikan ladang-ladang dan perkebunan. Dengan dibukanya ladang dan

perkebunan akan ditanami tanaman yang memiliki nilai ekonimis yang tinggi,

misalnya kopi. Banyak pula rakyat yang telah terdidik dijadikan pegawai untuk

mengurusi administrasi perkebunan.

Hal yang sama terjadi dalam pelaksanaan di bidang sarana transportasi.

Pada akhirnya diketahui bahwa dibangunnya jalan-jalan raya, rel-rel kereta api

dan stasiun digunakan sebagai sarana untuk mengangkut hasil-hasil perkebunan

ke Batavia (Jakarta). Dari sisi ini jelas yang mendapatkan keuntungan tetap pihak

pemerintah penjajah.

Demikian pelaksanaan politik etis telah dipaparkan. Pada awalnya, di atas

kertas sebagai usaha balas budi atau membalas kebaikan rakyat Indonesia karena

hasil buminya telah dikeruk habis-habisan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Namun, pada akhirnya diketahui bahwa semua itu sebagai kamuflase dari sifat

rakusnya pemerintah sehingga walaupun mereka seolah-olah melakukan kebaikan

tetapi ternyata tetap menyengsarakan rakyat Indonesia. Di balik kebaikan

tersembunyi ketidakbaikan, itulah kenyataannya.

5.2 ‘Bacaan Liar’ dan Commisie voor de Volkslectuur

Seberapa pun ada sisi-sisi negatif dari pelaksanaan politik etis oleh

pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia, kenyataannya ada juga

keuntungan yang diperoleh rakyata dengan pelaksanaannya itu. Yang jelas,

banyak rakyat yang tadinya tidak dapat baca-tulis akhirnya ‘melek huruf’.

Walaupun mereka dijadikan pegawai dengan gaji yang rendah, kenyataannya

65
mereka juga sangat senang, karena wawasan mereka jadi bertambah dibandingkan

sebelumnya.

Sudah lazim terjadi jika seseorang sudah dapat baca-tulis, orang tersebut

pasti memiliki kebutuhan untuk mengekspresikan kemampuannya itu. Dengan

kata lain, rakyat menjadi ‘haus bacaan’, banyak yang memiliki kegemaran

membaca. Mulai terbit berbagai bacaan baik yang berbahasa Belanda maupun

berbahasa Melayu dan bahasa daerah. Surat kabar yang berbahasa Melayu tidak

hanya terbit di Jakarta dengan nama Bianglala (mulai 1867) melainkan juga

tersebar di daerah lain. Di Surabaya terbit Bintang Timoer (mulai 1862), di

Padang terbit Pelita Ketjil (mulai 1882). Ada juga roman yang ditulis oleh

Peranakan Indo yang berjudul Nyai Dasima (1896) oleh G. Francois. Sampai

sekarang belum ada penelitian yang menjelaskan bagaiman peranan surat-surat

kabar tersebut terhdap kelahiran sastra Indonesia (baca: modern=penulis) (Rosidi,

1986: 14).

Pada awal abad ke-20 di Bandung terbit surat kabar Medan Prijaji yang

memuat cerita-cerita bersambung atau roman dan ditulis dalam bahasa Melayu.

Pada masa itu ditulis juga sebuah roman yang berjudul Hikayat Siti Mariah oleh

H. Moekti, yang walaupun tertulis hakayat tetapi ceritanya tentang kehidupan

sehari-hari dan ditulis dalam bahasa Melayu yang hidup. Di samping itu terbit

roman dengan judul Busono (1910) dan Nyai Permana (1912) oleh Raden Mas

(Djokonomo) Tirto Adhisurjo. Pengarang lain yang juga produltif pada masa itu

adalah Mas Marco Martodikromo, dan berkali-kali mendapatkan hukuman dari

pemerintah karena tulisannya dan terakhir meninggal di Digul-Atas, Irian Barat.

Tulisan-tulisannya antara lain Student Hijau (1914), Syair rempah-rempah

66
(1919), dan Rasa Merdeka (1924). Penulis lainnya adalah Semaun dengan judul

Hikayat Kadiroen (1924) ang segera dilarang oleh pemerintah. Pengarang-

pengarang itu sebagian besar berpaham kiri. Semaun misalnya, adalah pemimpin

Partai Komunis Indonesia. Ketika pada 1926 gagal melakukan pemberonatakan,

dia melarikan diri ke Rusia dan baru kembali ke Indonesia setelah proklamasi

kemerdekaan.

Kegemaran masyarakat akan bacaan rupa-rupanya dimanfaatkan oleh

beberapa orang atau kelompok lembaga tertentu untuk menulis dan menerbitkan

buku-buku tanpa mengindahkan isinya. Dari orang atau penerbit semacam ini

terbitlah buku-buku yang mengandung unsur pornografi terutama oleh penerbit

dari kalangan Tionghoa. Mereka melihat dari unsur keuntungan ekonomis semata

(karena laku keras di pasaran) tanpa mengindahkan dampak moral bagi

pembacanya.

Di sisi lain, terbit juga karangan-karangan yang isinya menumbuhkan

kesadaran masyarakat akan keadaan yang sesungguhnya sebagai bangsa yang

terjajah. Melalui tulisannya pengarang hendak mengajak masyarakat untuk

mencintai negara dan bangsa serta berjuang bersama-sama dalam merebut

kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda. Tulisan semacam ini oleh pemerintah

penjajah dianggap berbahaya karena menghasut masyarakat untuk berontak.

Contoh-contoh tulisan semacam ini sudah disebutkan di atas.

Dua jenis tulisan itulah yang pada akhirnya dinamakan sebagai ‘bacaan

liar’ dan dengan sendirinya pengarangnya dijuluki ‘pengarang liar’ oleh

pemerintah (karena tidak melalui dewan sensor). Oleh karena dianggap liar, maka

67
sebenarnya tidak boleh terbit. Bacaan-bacaan semacam ini tidak dapat diterbitkan

oleh pemerintah sehingga beberapa lembaga penerbitan swasta lah yang

menerbitkannya. Dengan demikian, jumlah bacaan liar semakin banyak yang

dengan sendirinya dianggap sangat mengkhawatirkan pemerintah karena isinya

dianggap menghasut masyarakat.

Kenyataan demikian menyebabkan pemerintah mencari akal supaya

terhindar dari segala kesulitan yang diakibatkan oleh munculnya kesadaran

masyarakat sebagai bangsa terjajah. Tidak lama kemudian didirikanlah Komisi

Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang pada

tahun 1917 berubah nama menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de

Volkslectuur) atau Balai Pustaka yang diketuai oleh Dr. G.A.J. Hazeu.

5.3 Tugas, Syarat, dan Akibat Ketentuan Balai Pustaka

Tugas komisi menurut Dr. A. Rinkes selaku sekretaris adalah: “Hasil

pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya, kalau orang yang telah tahu

membaca itu mendapat kitab-kitan nacaan yang berbahaya dari saudagar kitab

yang kurang suci dan dari orang-oang yang bermaksud hendak mengacau. Oleh

sebab itu bersama-sama dengan pengajaran itu maka haruslah diadakan kitab-

kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan mamajukan

pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam

usahanya itu harus dijauhkan segala yang dapat merusakkan kekuasaan

pemerintah dan ketentraman negeri ” (Peringatan Wilhelmina 25 tahun di atas

takhta, 1923, dalam Rosidi, 1986: 16-17).

Dapat dirinci bahwa tugas-tugas Balai Pustaka meliputi:

68
(a) Mengadakan pengumpulan dan pencatatan cerita-cerita rakyat

(b) Mendirikan perpustakaan-perpustakaan umum dan daerah

(c) Melakukan terjemahan kesusastraan Eropa ke dalam behasa Melayu

(d) Memberi kesempatan kepada orang-oang Indonesia untuk menulis

dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan.

Adapun syarat-syarat tulisan yang hendak diterbitkan oleh Balai Pustaka

adalah:

(a) Isi harus netral terhadap agama

(b) Isi tidak boleh menyinggung kesusilaan

(c) Isi tidak membicarakan persoalan politik apalagi menentang kebijakan

pemerintah

Akibat adanya syarat atau ketentuan terhadap sebuah tulisan sebagaimana

dijelaskan tersebut, pada akhirnya lahirlah istilah KORBAN KETENTUAN

BALAI PUSTAKA. Hal ini karena pengarang harus merelakan apabila tulisannya

diubah oleh dewan redaksi agar karyanya dapat diterbitkan. Contoh karya yang

tergolong ini antara lain:

(a) Salah Asuhan oleh Abdul Muis, menurut pengakuan pengarangnya telah

mengalami banyak perubahan

(b) Belenggu oleh Armjn Pane, tidak dapat lolos sensor Balai Pustaka

sehingga diterbitkan oleh Pustaka Rakyat.

(c) Tenggelamnya Kapal van der Wijck oleh HAMKA, tidak dapat lolos

sensor (baru beberapa tahun kemudian dapat terbit)

69
5.4 Jenis Terbitan dan Cara Bekerja Balai Pustaka

Jenis-jenis bacaan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka antara lain:

(a) Kesusastraan

(b) Ilmu pengetahuan: terutama pertanian dan pertukangan

(c) Berbagai majalah, yaitu: Seri Pustaka (berbahasa Melayu), Panji

Pustaka (berbahasa Melayu), Kejawen (berbahasa Jawa), dan

Parahyangan (berbahasa Sunda).

Cara bekerja Balai Pustaka di tingkat penerbitan dapat dijelaskan sebagai

berikut.

(a) Mula-mula naskah lama dikumpulkan, dibandingkan, dan dipilih untuk

diterbitkan

(b) Menerjemahkan buku-buku dari Barat, misalnya:

 Tiga Panglima Perang dari De Drie Musketiers

 Si Jamin dan Si Johan dari Uit het Volk

(c) Pada akhirnya menerima naskah-naskah asli pengarang Indonesia

5.5 Penamaan Angkatan Balai Pustaka

Balai Pustaka adalah sebuah penamaan kepada pengarang-pengarang

tertentu yang karangannya diterbitkan oleh Balai Pustaka. Di samping itu,

penamaan Balai Pustaka diberikan dengan tujuan untuk membedakan karangan-

karangan yang lahir pada satu periode dengan periode sebelumnya. Perbedaan ini

70
meliputi: isi cerita, masalah yng dikupas, dan bahasa yang digunakan dalam

karya.

Penamaan angkatan terhadap segolongan pengarang pasti menimbulkan pro

dan kontra sebagaimana telah dijelaskan di bab sebelumnya. Sebenarnya

penamaan itu berdasarkan karya sastra, pengarang, ataukah isinya? Sebagai

contoh Marah Rusli yang dikenal sebagai pengarang Balai Pustaka, tetapi juga

menulis “Anak dan Kemenakan” yang terbit pada 1950. Karya tersebut dilihat dari

isi dan bahasa yang digunakan bercirikan Balai Pustaka. Contoh lain, Sutan

Takdir Alisyahbana (STA), yang menulis “Tak Putus Dirundung Malang” (1929)

dan “Dian yang Tak Kunjung Padam” (1932). Dari segi isi, masalah, dan bahasa

yang digunakan jelas bercirikan Balai Pustaka meskipun dia pelopor Angkatan

Pujangga Baru. STA juga menulis “Grotta Azzura” pada 1970. Satu lagi contoh

adalah Hamka yang berkarya di masa Balai Pustaka, tetapi menurut A. Teeuw

tidak termasuk pengarang Angkatan Balai Pustaka karena karya-karyanya bukan

diterbitkan oleh Balai Pustaka.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penamaan sebuah

angkatan karena karya sastranya. Dalam hal ini meliputi: (a) bentuk fisiknya, (b)

masalah yang dikupas, (c) latar dan tema, serta (d) gaya bercerita. Dan untuk

angkatan Balai Pustaka terdapat berbagai nama lainnya yaitu Angkatan Siti

Nurbaya, Angkatan Pra-Pujangga Baru, dan Angkatan Dua Puluhan. Masing-

masing penamaan memiliki alasan yang dapat diterima. Dikatakan sebagai

Angkatan Siti Nurbaya karena pada masa itu karya terbesar (terkenal) adalah yang

berjudul Siti Nurbaya. Disebut sebagai Angkatan Pra-Pujangga Baru karena

71
angkatan ini muncul atau lahir sebelum Pujangga Baru ada. Dan diberi nama

Angkatan Dua Puluhan karena angkatan ini lahir pada tahun 1920-an.

5.6 Ciri-ciri Roman Balai Pustaka

Setiap angkatan (periode) sastra memiliki ciri-ciri khas yang

membedakannya dari ciri-ciri angkatan lainnya. Dan karya-karya Balai Pustaka

memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

(1) Masalah yang diangkat adalah adat-istiadat dengan latar belakang

masyarakat yang bergolak, yaitu yang tetap mempertahan adat dan yang

menentang.

(2) Menggunakan bahasa Melayu Tinggi

(3) Bersifat mendidik dan mengajarkan sesuatu

(4) Gaya bercerita masih berciri sastra klasik, yaitu penuh dengan pepatah-

petitih (bahasa klise) dan berbentuk syair, pantun, dan penuh nasihat.

Berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam cerita yaitu adat, dalam hal

ini dimaksudkan adanya pertentangan antara golongan tua dan golongan muda.

Jika dicermati, dalam mengatasi persoalan tersebut terdapat tiga tipe pemecahan,

yaitu:

(a) Cerita yang memenangkan golongan tua, misalnya Salah Asuhan, dan

Dian yang Tak Kunjung Padam.

(b) Cerita yang memenangkan golongan muda, misalnya Asmarajaya dan

Pertemuan Asmara.

72
(c) Cerita yang akhirnya berdiri di tengah-tengah (netral), misalnya: Karena

Mentua dan Siti Nurbaya.

5.7 Keuntungan dan Kerugian Adanya Balai Pustaka

Lahirnya Balai Pustaka juga membawa keuntungan tersendiri bagi

perkembangan sastra Indonesia, antara lain:

(a) Balai Pustaka mengumpulkan dan membukukan sastra lisan yang ada di

daerah-daerah Nusantara

(b) Memberi kesempatan kepada penulis Indonesia untuk mengambangkan

bakat tulisnya

(c) Memperluas peredaran buku-buku yang diterbitkan untuk memupuk

kegemaran membaca bagi masyarakat dan para siswa di sekolah-sekolah

(d) Secara tidak langsung, dengan adanya buku-buku berbahasa Melayu

maka Balai Pustaka turut mengembangkan wilayah penyebaran bahasa

Melayu

Adapun kerugian dengan adanya Balai Pustaka bagi perkembangan

kesusastraan Indonesia adalah:

(a) Dengan adanya Nota Rinkes maka tidak ada kebebasan pengarang untuk

mencipta (sebagaimana keluhan yang disampaikan oleh Sanusi Pane)

(b) Beberapa buku menjadi korban ketentuan tersebut sebagaimana

dijelaskan di atas

73
5.8 Politik Bahasa

Pada saat itu sebenarnya pemerintah penjajah Hindia Belanda menghendaki

bahasa Belanda menjadi bahasa resmi atau bahasa pengantar di negeri ini tetapi

mengalami kegagalan. Hal ini karena adanya bahasa Melayu yang dianggap lebih

nasionalis. Ketika itu ada semacam kehendak yang sangat besar dari masyarakat

untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai perwujudan dari rasa nasionalisme

yang mulai tumbuh dan berkembang ketika itu.

Di satu pihak, pemerintah penjajah memperbolehkan penggunaan bahasa

Melayu sebagai bahasa pengantar oleh masyarakat karena adanya politik etis.

Sebenarnya pemerintah sudah melakukan berbagai usaha untuk menggagalkan

penggunaan bahasa Melayu tetapi selalu mengalami kegagalan. Contoh usaha

untuk itu antara lain agar karyanya lolos sensor maka harus digunakan bahasa

Melayu Tinggi dan bukan bahasa Melayu Rendah. Maksudnya agar tidak banyak

banyak orang yang mampu menulis, karena yang menguasai bahasa Melayu

Tinggi hanya kalangan terbatas, misalnya para guru bahasa dan masyarakat

Sumatera yang menguasai kaidah-kaidah. Dan dampak dari usaha ini adalah

pengarang-pengarang Balai Pustaka didominasi oleh mereka yang berasal dari

Sumatera.

Karya-karya puncak pada masa Balai Pustaka adalah Siti Nurbaya oleh

Marah Rusli, Salah Asuhan oleh Abdul Muis, dan Belenggu oleh Armyn Pane.

5.9 Para Pengarang dan Karyanya

74
Telah disinggung di atas bahwa pengarang Balai Pustaka didominasi oleh

pengarang dari Sumatera. Di bawah ini diuraikan nama-nama pengarang tersebut

beserta karya-karyanya yang terbit pada masa Balai Pustaka. Berbagai nama

pengarang dan karyanya ini sekaligus menjadi bukti bahwa mereka layak disebut

sebagai pelopor Angkatan Balai Pustaka. Dalam uraiannya akan dibagi atas

pengarang dari Sumatera dan pengarang dari luar Sumatera.

Pengarang dari Sumatera

(1) Merari Siregar

Pernah bekerja sebagai pegawai tata usaha di Rumah Sakit Umum Negeri

Jakarta (1920). Karya-karyanya bermotif kawin paksa dan benih-benih Barat

menentang adat. Adapun karyanya meliputi:

a. Azab dan Sengsara

b. Si Jamin dan Si Johan

c. Binasa Karena Gadis Priangan

Karya Merari Siregar yang mendapat sambutan hangat dari masyarakat

khususnya pemerhati sastra adalah yang berjudul Azab dan Sengsara.

(2) Marah Rusli

Pengarang ini lahir pada 1898, mula-mula belajar di Kweekschool (Sekolah

Guru), kemudian masuk Sekolah Dokter Hewa di Semarang; tetapi akhirnya

menjadi sastrawan terkemuka pada waktu itu. Ciri khas/ gaya penceritaannya

adalah dengan mematikan para pelakunya. Adapun karyanya meliputi:

75
a. Siti Nurbaya

b. Anak dan Kemenakan

c. Pulau Sumbawa

d. Lahami

Dari sejumlah karyanya tersebut yang mendapat sambutan hangat dari

masyarakat luas bahkan menjadi ikon (karya puncak) dari Angkatan Balai

Pustaka adalah Siti Nurbaya.

(3) Abdul Muis

Ayah Abdul Muis dari Minangkabau dan ibunya dari Jawa. Dia tamat

Sekolah Rendah Eropa (Europesche Lagere School=ELS) di Bukittinggi

Sumatera Barat, kemudian melanjutkan ke Stovia Jakarta. Namun, pada 1905

dia menghentikan pelajarannya, kemudian masuk menjadi seorang

pergerakan dan wartawan yang ulung. Dia juga pernah pergi ke Belanda

sebagai delegasi Indie Weerbaar, dan menjadi pemimpin pergerakan Sarekat

Islam. Selanjutnya, menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) pada 1920-

1923. Jadi selain sebagai pengarang dan wartawan, dia juga sebagai ahli

politik.

Adapun buah penanya adalah:

a. Salah Asuhan

b. Pertemuan Jodoh

c. Surapati

d. Robert Anak Surapati

76
Karyanya yang banyak mendapat sambutan dari masyarakat adalah yang

berjudul Salah Asuhan dan Pertemuan Jodoh.

(4) Nur Sutan Iskandar

Pengarang ini lahir di Sungai Batang Sumatera Barat, 23 November 1893.

Dia pernah bekerja sebagai Guru Bantu di Muarabliti dan Padang, kemudian

menjadi korektor di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Adapun buah penanya meliputi:

a. Hulubalang Raja

b. Katak Hendak Jadi Lembu

c. Salah Pilih

d. Karena Mentua

e. Cobaan

f. Mutiara

g. Apa Dayaku Karena Aku Perempuan

h. Cinta Tanah Air

i. Neraka Dunia

j. Pengalaman Masa Kecil

k. Korban Karena Percintaan

Selain itu, dia juga menulis karya yang berupa saduran, yaitu:

a. Jangir Bali dari pengarang R.M.D. Zubir

b. Dewi Rimba

c. Air Susu Dibalas dengan Air Tuba

d. Abunawas

77
Nur Sutan Iskandar juga menulis karya berupa terjemahan, yaitu:

a. Iman dan Pengasihan (dari Quo Vadis)

b. Si Bakhil (dari L’vare)

c. Tiga Panglima Perang (dari De Drie Musketiers)

Dari sejumlah karangannya, yang dianggap baik menurut A. Teeuw adalah

Hulubalang Raja, Katak Hendak Jadi Lembu, dan Jangir Bali.

(5) Jamaluddin/Adinegoro

Pengarang inilah yang pertama mengemukakan persoalan perkawinan

interinsulair (Minangkabau-Priangan). Dalam karyanya tidak lagi dikupas

masalah adat setempat tetapi sudah meluas tentang kesatuan bangsa. Selain

sebagai pengarang dia juga sebagai wartawan.

Adapun buah pena Jamaluddin/Adinegoro adalah:

a. Darah Muda

b. Asmarajaya

(6) Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)

Pengarang ini meskipun menerbitkan karyanya pada masa Balai Pustaka

tetapi tidak termasuk pengarang Balai Pustaka karena karya-karyanya tidak

diterbitkan oleh lembaga tersebut. Seluruh karya Hamka bernafaskan Islam,

dan tampak terpengaruh (bukan plagiat) oleh pengarang Mesir, yaitu Mustafa

Luthfi al Manfaluti.

78
Adapun buah karyanya adalah:

a. Di Bawah Lindungan Kaabah

b. Tenggelamnya Kapal van der Wijck

c. Karena Fitnah

d. Merantau ke Deli

e. Tuan Direktur

f. Terusir

g. Keadilan Illahi

h. Lembaga Hidup

i. Revolusi Agama

j. Ayahku

k. Adat Minangkabau

l. Negara Islam

m. Empat Bulan di Amerika (2 jilid)

n. Kenang-kenangan Hidup Menghadapi Revolusi

Menurut Amal Hamzah, karya-karya Hamka berisi pelukisan perasaan yang

sangat halus. Buku pertama yang diterbitkan dalam bahasa Minang berjudul

Si Bahariah dan laku keras di pasaran sehingga dapat digunakan untuk

membiayai pernikahannya. Karena suatu hal, Hamka pernah berurusan

dengan pemerintah penjajah sehingga dipenjara. Dalam penjara dia mampu

menulis Tafsir Alquran sebanyak 30 Jilid yang sangat terkenal sampai

sekarang, bahkan dicetak ulang di Malaysia. Dan begitu dia keluar dari

penjara royaltinya dapat digunakan untuk pergi haji bersama isterinya.

79
Pendapat Hamka yang patut direnungkan adalah bahwa pada waktu

mencintai profesi kepengarangan maka diperlukan pengorbanan, tetapi buah

yang dihasilkan manis sekali. Selain itu, semua tulisan yang ditulis dengan

cinta adalah kesusastraan.

(7) Hamidah

Pengarang ini menggunakan nama samaran ketika menulis, yaitu Fatimah de

Louis. Pengarang ini termasuk langka, karena ketika itu jarang sekali ada

wanita yang mengarang. Sebagai pengarang wanita yang masih jarang ketika

itu, pengarang ini patut diacungi jempol, meskipun dilihat dari bahasanya

masih sangat kaku. Buah penanya berjudul Kehilangan Mestika.

(8) Sariamin/Selasih/Seleguri

Pengarang ini lahir di Talu (Sumatera Barat, Juli 1909). Setelah menamatkan

Sekolah Kelas Dua di Talu, pada 1921 dia masuk ke Meisjesnormaalschool di

Padangpanjang. Dia mulai menulis sejak berumur 16 tahun dan dimuat di

berbagai surat kabar. Dalam menulis dia selalu menggunakan nama samaran

(lebih dari sepuluh nama). Selain sebagai sastrawan dia juga sebagai guru

wanita, dan karyanya dalam bentuk prosa dan puisi.

Karya-karyanya masih bersifat sastra lama, terutama karena karyanya ada

yang berbentuk syair, gurindam meskipun isinya tidak berciri lama. Menurut

A. Teeuw, bahasanya lancar tetapi isinya dangkal dan tidak ada pertentangn

antara Barat-Timur atau tua-muda.

Adapun karyanya adalah:

80
a. Syair-syair, gurindam, dan cerpen (dumuat di berbagai majalah)

b. Kalau Tak Untung

c. Pengaruh Keadaan

(9) Suman Hs (Hasibuan)

Pengarang ini lahir di Bengkalis, Riau, 1904 kemudian masuk Sekolah Kelas

Dua di Bengkalis dan menempuh ujian Kweekeling serta mengunjungi

Normaalschool di Langsa. Pada 1923 dia menjadi guru bahasa Melayu pada

HIS di Siak Indrapura, kemudian menjadi Kepala Sekolah Kelas Dua di Pasir

Pengrayan. Karangannya bersifat detektif dan lucu, tetapi kurang bernilai

sastra.

Adapun buah penanya meliputi:

a. Kawan Bergelut

b. Percobaan Sertia

c. Kasih Tak Terlerai

d. Mencari Pencuri Anak Perawan

e. Tebusan Dosa (tergolong roman picisan)

(10) Mohamad Kasim

Tidak banyak yang dapat diceritakan dari pengarang ini selain ceritanya yang

bersifat lucu. Selain mengarang sendiri dia juga menulis terjemahan.

Adapun buah karyanya meliputi:

a. Teman Duduk (kumpulan cerpen)

b. Muda Teruna

81
c. Pemandangan dalam Dunia Kanak-kanak

d. Berebut Uang 1 Miliun

e. Pengalaman di Tanah Irak

f. Kekhilafan Hakim

Karya-karya terjemahan Moh.Kasim adalah:

a. Niki Bahtera (dari In Woelige dagen)

b. Pangeran Indu (dari De Vorst van Indie)

(11) Aman Datuk Majoindo

Pengarang ini lahir di Sepayang, Solok, Sumatera Barat pada 1895. Dia

berijazah Guru Bantu dan pernah mengajar di Sekolah Gubernemen Kelas II

di Padang, kemudian bekerja di Balai Pustaka. Karangannya bersifat lucu,

bahasanya lancar dan pendek, serta tampak pengaruh Minang.

Adapun buah penanya adalah:

a. Si Dul Anak Betawi

b. Pertolongan Dukun

c. Si Cebol Rindukan Bulan

d. Menebus Dosa

e. Sebabnya Rafia Tersesat

f. Rusmala Dewi

g. Anak Desa/Cita-Cita Mustafa

(12) Tulis Sutan Sati

82
Pengarang ini lahir di Bukittinggi Sumatera Barat pada 1898. Dia berijazah

Guru Banti dan bekerja di Balai Pustaka sebagai korektor serta meninggal

pada masa pendudukan Jepang. Buah penanya meliputi:

a. Sengsara Membawa Nikmat (cerpen, 1928)

b. Tidak Membalas Guna (roman, 1932)

c. Memutuskan Pertalian (cerpen, 1932)

Pengarang dari Luar Sumatera

(1) A.A. Panji Tisna atau I Gusti Panji Tisna (dari Bali)

Pengarang ini lahir di Singaraja, Bali, 8 Februari 1908. Dia anak sulung dari

raja, Bestuurder (pemimpin) Kerajaan Buleleng, Singaraja. Dia bersekolah di

HIS Singaraja. Dalam penghidupannya dia berniaga, dan pernah memberikan

tenaganya unutk soal rekonstruksi di Bali. Dia adalah sosok yang tidak

memperdulikan kebangsawannya karena kerendahan hatinya.

Ciri khas karanganya adalah dijiwai oleh karma. Bahasanya kurang dikuasai,

dan daya lukisannya kurang kuat sehingga banyak diperbaiki oleh Balai

Pustaka.

Adapun buah penanya adalah:

a. I Swasta Setahun di Bedahulu

b. Sukreni Gadis Bali

c. Ni Rawit Ceti Penjual OrangDewi Karuna

d. I Made Widiadi

83
(2) M.R. Dayoh (dari Minahasa, Sulawesi Utara)

Dalam karyanya tampak pengarang berusaha menghidupkan cerita-cerita

lama tetapi tidak sesuai dengan zaman, dan sifatnya jauh lebih kolot. Selain

roman juga sajak yang dimuat dalam majalah Pujangga Baru. Prosanya selalu

menggambarkan pahlawan yang menghadapi pertempuran.

Adapun buah penanya adalah:

a. Syair untuk ASIB

b. Pahlawan Minahasa

c. Putra Budiman

d. Peperangan Orang Minahasa dengan orang Spanyol

(3) Paulus Supit (dari Minahasa, Sulawesi Utara)

Buah penanya berjudul Kasih Ibu, yaitu sebuah roman kekeluargaan, dan

tidak ada yang menyamai.

(4) L.Wairata (dari Seram, Maluku)

Buah penanya berjudul Cinta dan Kewajiban yaitu buku yang bercirikan:

a. Ceritanya bernafaskan Kristen

b. Gaya ceritanya menggambarkan kehalusan perasaan

c. Isinya mengandung budi pekerti yang luhur

(5) Haji Daeng Muntu (dari Sulawesi Selatan)

Pengarang ini dikatakan sebagai orang Padang karena ayahnya pernah

dibuang ke Padang Sumatera Barat. Dalam ceritanya pengarang ini berusaha

84
menggambarkan adat-istiadat Sulawesi dengan bahasa yang baik. Menurut

Teeuw, karya-karyanya termasuk buku yang gagal karena isinya cengeng

Buah karyanya adalah:

a. Pembalasan

b. Karena Kerendahan Budi

(6) Sutomo Johar Arifin (dari Jawa)

Pengarang dari jawa ini menulis buku dengan judul Andang Teruna pada

1941. Menurut Teeuw, buku ini gagal karena isinya cengeng. Namun,

menurut Zuber Usman, bahasanya mendekati bahasa Armyn Pane yaitu bahsa

pergaulan sehari-hari (meninggalkan bahasa buku), dengan memasukkan

unsur-unsur baru dan segar. Di samping itu, jalan ceritanya lancar dan penuh

percakapan hidup. Kelemahnnya hanya pada pemakaian kata-kata asing yang

tidak pada tempatnya.

PERTANYAAN PERLATIHAN

1. Jelaskan latar belakang sejarah berdirinya Balai Pustaka

2. Jelaskan berbagai pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia

Belanda

3. Jelaskan pelaksanaan dan dampak tanam paksa bagi bangsa Indonesia

4. Jelaskan latar belakang politk etis dan dampak yang ditimbulkan

85
5. Jelaskan pengertian ‘bacaan liar’ dan mengapa muncul istilah tersebut

6. Jelaskan tugas-tugas, syarat karya, dan akibat ketentuan Balai Pustaka

7. Jelaskan jenis terbitan dan cara bekerja Balai Pustaka

8. Jelaskan penamaan angkatan Balai Pustaka

9. Jelaskan ciri-ciri roman Balai Pustaka

10. Jelaskan keuntungan dan kerugian adanya Balai Pustaka bagi

perkembangan sastraIndonesia

11. Jelaskan maksud politik bahasa

12. Jelaskan para pengarang Balai Pustaka dan karya-karyanya

RANGKUMAN

Pemerasan besar-besaran oleh pemerintah penjajah Belanda menyebabkan

kesengsaraan bagi rakyat Indonesia, terutama ketika dipegang oleh Gubernur

Jenderal Van den Bosch. Akibatnya terjadi pemberontakan di beberapa daerah

meskipun dapat ditumpas. Namun, peristiwa itu dijadikan alasan yakni untuk

menganti biaya perang, maka rakyat Indonesia harus menggantinya dengan

melaksanakan tanam paksa dan kerja rodi.

Kesengsaraan rakyat Indonesia membuat simpati beberapa kalangan dari

bangsa Belanda sendiri sehingga lahir kebijakan baru yaitu politik etis atau politik

balas budi. Di bidang pendidikan, irigasi, migrasi, dan sarana transportasi.

Meskipun dalam pelaksanaanya tetap menguntungkan pihak penjajah, tetapi

dalam bidang pendidikan ternyata mampu membawa perubahan besar bagi bangsa

Indonesia, yakni banyak masyarakat yang dapat membaca menulis. Akibatnya

masyarakat haus bacaan sehingga banyak terbit buku-buku yang disebut sebgaai

86
‘bacaan liar’. Untuk mengantisipasi beredarnya buku semacam itu maka

didirikanlah Balai Pustaka.

Balai Pustaka sebagai lembaga pemerintah memiliki tugas-tugas tertentu

dan agar dapat diterbitkan maka pengarang harus memenuhi persyaratan dan

sebagai akitabnya muncul istilah korban ketentuan Balai Pustaka. Akibatnya

karya-karya sastra angkatan ini memiliki ciri-ciri tertentu pula. Ciri-ciri itu

meliputi: (1) masalah yang diangkat adalah adat-istiadat dengan latar belakang

masyarakat yang bergolak; (2) menggunakan bahasa Melayu Tinggi; (3) bersifat

mendidik dan mengajarkan sesuatu; (4) gaya bercerita masih berciri sastra klasik,

yaitu penuh dengan pepatah-petitih (bahasa klise) dan berbentuk syair, pantun,

dan penuh nasihat.

Akibat lain dari berdirinya Balai Pustaka membawa kerugian dan

keuntungan bagi perkembangan kesusastraan Indonesia. Kerugian ditunjukkan

dengan tidak adanya kebebasan pengarang dalam berkarya. Keuntungannya

adalah (1) dikumpulkan dan dibukukannya sastra lisan yang ada di daerah-daerah

Nusantara; (2) memberi kesempatan kepada penulis Indonesia untuk

mengambangkan bakat tulisnya; (3) emperluas peredaran buku-buku yang

diterbitkan untuk memupuk kegemaran membaca bagi masyarakat dan para siswa

di sekolah-sekolah; dan (4) secara tidak langsung, dengan adanya buku-buku

berbahasa Melayu maka Balai Pustaka turut mengembangkan wilayah penyebaran

bahasa Melayu

Terdapat berbagai penamaan terhadap Angkatan Balai Pustaka, yaitu

Angkatan Siti Nurbaya, Angkatan Pra-Pujangga Baru, dan Angkatan Dua Puluhan

,masing-masing dengan alasan yang logis. Pada masa itu terjdai upaya pemerintah

87
untuk membuat bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, tetapi mengalami

kegagalan. Yang terjadi justru perkembangan bahasa Melayu semakin meluas.

Dan dengan karena faktor bahasa ini pula yang menyebabkan angkatan Balai

Pustaka didominasi oleh pengarang yang berasal dari Sumatera Barat.

TUGAS PENGAYAAN

Untuk menambah wawasan Anda tentang Angkatan Balai Pustaka, bacalah karya-

karya para pengarangnya terutama karya puncak. Bagilah kelas Anda, masing-

masing mahasiswa mendapatkan minimal membaca dua buah karya sastra.

Setelah itu, buatlah makalah tentang karya tersebut dengan berbekal pengetahuan

Anda tentang Teori Sastra. Dengan kata lain, kajilah karya tersebut kemudian

sampaikan kepada teman Anda di depan kelas. Diskusikan dengan baik sampai

pemahaman Anda tentang Angkatan Balai Pustaka memadai.

88
89

Anda mungkin juga menyukai