Anda di halaman 1dari 5

Katrin Bandel: ‘Yang Perlu Dibongkar Justru Ideologi Yang

Menempatkan Sastra Sebagai Seni Tinggi.’


indoprogress.com/2014/04/katrin-bandel-yang-perlu-dibongkar-justru-ideologi-yang-menempatkan-
sastra-sebagai-seni-tinggi/
Left Book Review April 15,
2014

MENURUT filsuf asal Prancis Alan Badiou, seni adalah adalah salah satu prosedur utama
dalam mencapai kebenaran. Sastra, yang merupakan bagian dari seni, tentu saja
memiliki kapasitas untuk mengartikulasikan kebenaran. Akan tetapi dalam pengalaman
kesusastraan Indonesia, sastra sebagai salah satu disiplin pengetahuan masih terbatas
untuk mengembangkan potensinya sebagai artikulator kebenaran. Salah satu penyebab
dari situasi ini adalah masih berkutatnya bias-bias ideologi dalam presentasi kesuastraan
itu sendiri. Dalam hal inilah kritik sastra menjadi krusial. Kritik sastra yang bukan hanya
sekedar untuk estetika sastra itu sendiri, tapi lebih dari itu juga mengenai sastra sebagai
artikulasi mereka yang selama ini dikalahkan dalam realitas sosial itu sendiri.

Dalam konteks kritik sastra inilah nama Katrin Bandel penting untuk dimunculkan. Katrin
yang berwarga Negara Jerman namun tinggal lama di Indonesia, banyak memusatkan
perhatian serta tenaga intelektualnya pada kritik sastra, khususnya kritik sastra di
Indonesia. Katrin telah menulis beberapa buku antara lain, Sastra, Perempuan, Seks (2006)
dan yang terbaru adalah Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas Bagi Katrin, pengajar
magister (S2) di program Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

1/5
ini, sastra terlalu penting untuk tidak dikritik mengingat relasinya yang didaktis bagi
perkembangan suatu masyarakat secara luas. Berikut petikan wawancara Left Book
Review (LBR) dengan Katrin Bandel:

Bisa diceritakan mengenai awal mula keterlibatan Anda dalam dunia kritik sastra?

Pendidikan saya adalah pendidikan indonesianis, yaitu saya kuliah di Kajian Indonesia
mulai tingkat S1 sampai S3. Sebelumnya saya sudah menaruh minat khusus pada sastra.
Kebetulan di Universitas Hamburg (Jerman) tempat saya kuliah, Kajian Indonesia
(tepatnya kajian budaya dan bahasa Austronesia) memiliki perhatian khusus pada sastra
sebab itulah minat utama satu-satunya profesor di jurusan yang sangat kecil tersebut.
Dengan sendirinya saya tergiring untuk menulis tesis dan disertasi tentang sastra.
Namun harus saya akui bahwa pada waktu itu saya sama sekali belum secara khusus
memahami dunia sastra dan kondisi kritik sastra di Indonesia. Saya mulai berkecimpung
secara langsung di dunia sastra di Indonesia sendiri baru sejak menetap di Yogyakarta
(tahun 2002), yaitu setelah secara langsung berkenalan dengan teman-teman sastrawan
dan peminat sastra lewat keterlibatan saya di milis ‘penyair’ dan komunitas cybersastra,
dan lewat suami saya yang sastrawan.

Anda cukup intens dalam dunia kritik sastra Indonesia. Pendapat Anda mengenai
posisi kritik sastra dalam dunia kesusasteraan seperti apa?

Sastra adalah bagian dari dunia intelektual. Sebagai intelektual, sastrawan bisa
diharapkan menawarkan wacana kritis mengenai kondisi masyarakatnya. Namun, tentu
hal sebaliknya juga mungkin terjadi, yaitu sastrawan justru menghamba pada kekuasaan.
Kedua hal itu tidak selalu mudah dibedakan satu sama lain, sebab karya sastra menyapa
pembaca (atau pendengar) lewat cerita, imaji, bunyi – pesan ideologis disampaikan
secara implisit. Kritik sastra antara lain memiliki fungsi untuk mengeksplisitkan apa yang
hadir secara implisit tersebut. Dengan demikian, kritik sastra dapat menjadi semacam
instansi pengontrol yang melindungi kita dari tipuan karya yang terkesan kritis, tapi pada
hakekatnya justru menyesatkan. (Meskipun demikian, perlu diingat bahwa kritik sastra
pun tidak selalu mewujudkan hal itu – kritik sastra pun dapat menghamba pada
kekuasaan.)

Mengenai perkembangan dunia kritik sastra akhir-akhir ini, bagaimana Anda


melihatnya?

Maksudnya kritik sastra di Indonesia? Pertanyaan yang agak kelewat luas, sehingga sulit
dijawab… Yang sempat agak intens saya amati tahun lalu adalah penulisan esei kritik
sastra dalam rangka sayembara yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Kebetulan saya salah satu jurinya, sehingga tentu saja saya ‘terpaksa’ membaca semua
esei tersebut. Perkembangan menggembirakan yang saya amati di situ adalah makin
besarnya minat pada pendekatan pascakolonial, yang menurut saya sangat sesuai untuk
kritik sastra Indonesia. Namun juga ada kecenderungan kurang menggembirakan yang
tercermin dari esei-esei sayembara tersebut, yaitu kecenderungan untuk berfokus pada
karya yang sebelumnya mendapat penghargaan atau yang nama penulisnya sudah
2/5
‘beken.’ Dengan demikian, tampak bahwa kritik sastra kurang independen. Menurut
penilaian pribadi saya, terdapat cukup banyak karya menarik yang hampir tidak pernah
dibahas oleh pengamat atau kritikus sastra.

Dalam proses Anda sebagai seorang kritikus sastra, karya sastra seperti apakah
yang Anda nilai sebagai karya sastra yang bermutu atau tidak bermutu?

Saya relatif jarang tertarik untuk secara sangat umum melakukan penilaian tentang
‘bermutu’ atau tidaknya sebuah karya. Bagi saya, jauh lebih menarik untuk lebih dahulu
mendefinisikan unsur mana dari sebuah karya akan dinilai. Misalnya, saya beberapa kali
menulis secara khusus tentang seksualitas dalam karya Ayu Utami, dengan tujuan
menentukan apakah karya tersebut memang ‘feminis’ atau tidak. Hal itu saya lakukan
sebab ‘feminis’nya karya Ayu Utami kerapkali dipuji orang, dan pujian itu berpengaruh
terhadap persepsi orang mengenai feminisme (sehingga tidak jarang orang
berkesimpulan bahwa feminisme itu sama dengan kebebesan seks). Hal lain yang dapat
dijadikan fokus adalah, misalnya, apakah sebuah karya punya semangat kritis atau
semangat pascakolonial, apakah ada pembaharuan estetis yang dilakukan, dan
sebagainya. Dengan demikian, ukuran mutu menjadi lebih konkrit.

Lalu seperti apa pendapat Anda mengenai trend/kecenderungan karya sastra


akhir-akhir ini?

Sangat sulit memberi penilaian umum semacam itu, dan tentu saja pengamatan saya
pun sangat terbatas. Seperti yang sudah saya utarakan di atas, saya melihat bahwa
kerapkali ada karya sastra menarik yang justru kurang mendapat perhatian, baik dari
institusi yang memberi penghargaan dsb, maupun dari kritikus sastra. Contohnya
adalah, misalnya, karya-karya Martin Aleida, karya para buruh migran di Hongkong
(misal, Maria Bo Niok, Mega Vristian), puisi Aslan Abidin, novel Mahfud Ikhwan. Hal itu
pantas disayangkan bukan hanya karena dengan demikian karya tertentu tidak
mendapat apresiasi yang sebetulnya layak diperolehnya, tapi juga karena penghargaan
lebih terhadap karya tertentu cenderung menyebabkan karya tersebut memiliki
pengaruh terhadap karya lainnya, seperti yang misalnya terjadi dalam hal karya Ayu
Utami dan Djenar Maesa Ayu, khususnya berkaitan dengan topik seks. Jadi apabila ada
karya menarik yang kurang diapresiasi, otomatis pengaruhnya pun sangat terbatas,
sehingga pencapaian karya tersebut seakan-akan disia-siakan.

Bagaimana pendapat Anda mengenai buku kontroversial yang memuat 33 tokoh


sastra paling berpengaruh di Indonesia?

Bagi saya, buku semacam itu sebetulnya sangat tidak dibutuhkan. Kritik sastra yang
serius sedang sangat kurang (baik dari segi mutu maupun kuantitas), sehingga
seandainya ada proyek khusus untuk mengembangkan kritik sastra, tentu saja itu sangat
menggembirakan. Misalnya, akan sangat menarik apabila ada penelitian-penelitian
khusus yang secara mendalam menganalisis kiprah dan karya sastrawan tententu,
menganalisis gerakan atau komunitas tertentu, dan sebagainya. Sayangnya, buku ‘33

3/5
tokoh…’ sama sekali tidak menawarkan kontribusi semacam itu. Makin lama makin
tampak betapa buku itu lahir terutama atas inisiatif satu orang, yaitu Denny JA, dan demi
kepentingan pribadi dia. Ini sangat memalukan.

Bisakah diceritakan, bagaimana proses menilai sebuah karya sastra?

Menilai secara pribadi tidak sama dengan sebuah penilaian dalam rangka melakukan
kritik sastra. Penilaian pribadi timbul secara spontan, tanpa perlu selalu dielaborasi.
Misalnya, tidak jarang kita senang membaca karya tertentu karena kebetulan nyambung
dengan pengalaman atau kegelisahan pribadi kita. Namun apabila kita melakukan
penilaian sebagai sebuah kritik sastra, spontanitas respon emosional semacam itu tidak
cukup. Kita perlu secara teliti menelaah karya tersebut sehingga bisa sampai pada
sebuah penilaian yang bisa dipertanggungjawabkan. Penilaian yang bisa
dipertanggungjawabkan adalah penilaian yang bisa dijelaskan, misalnya dengan
mengangkat ciri khas tertentu atau dari sebuah karya dan menjelaskan apa kelebihan
atau kekurangannya, sehingga orang lain bisa memahami argumentasi kita.

Salah satu hal yang jarang didiskusikan adalah bagaimana memahami sastra
Indonesia dalam kaitannya dengan sastra dunia/global. Menurut pendapat Anda,
bagaimana posisi sastra Indonesia dalam konfigurasi sastra dunia/global?

Karena lahir dari masyarakat pascakolonial, sastra Indonesia adalah bagian dari sastra
pascakolonial dengan segala ciri khasnya. Dalam masyarakat pascakolonial, yaitu
masyarakat yang (pernah) dijajah dan mengalami berbagai gejala khusus yang khas
sebagai efek penjajahan tersebut, sastra umumnya mengekspresikan kondisi
pascakolonial tersebut. Dalam konteks itu, sastra bisa digunakan untuk penyadaran dan
perlawanan. Dengan demikian, hubungan dan kerjasama yang seharusnya paling wajar
dijalin adalah dengan negara dunia pascakolonial yang lain, sebab permasalahan yang
dialami masing-masing masyarakat pascakolonial kerapkali mirip satu sama lain, dan
(seharusnya) ada kepentingan bersama yang perlu diperjuangkan Namun sayangnya
bukan itu yang terjadi. Kerjasama kerapkali ditentukan oleh funding, dan yang dapat
menawarkan funding besar tentu bukan negara pascakolonial yang sama-sama miskin.

Menarik pandangan Anda mengenai adanya kepentingan funding dalam


perkembangan sastra. Dalam hal ini kepentingan dalam berkesenian memiliki
semacam hubungan. Di Indonesia sempat berkembang gagasan mengenai ‘seni
untuk seni’ yang berupaya untuk menghilangkan relasi kepentingan dan seni.
Bagaimana pendapat Anda mengenai ‘seni sebagai seni?’

Bagi saya, seni/sastra selalu punya unsur didaktis, tak ada gunanya menolak kenyataan
itu. Karya selalu politis, secara terbuka ataupun terselubung. Maka yang penting dalam
berkarya maupun dalam kritik sastra adalah menyadari dan selalu mempertanyakan
unsur didaktis dan politis itu. Apa yang disampaikan atau diajarkan sebuah karya? Kalau
slogan ‘l’art pour l’art’ (seni untuk seni, red) digunakan untuk mengelak dari pertanyaan
itu, saya rasa itu menjadi sikap yang sangat tidak bertanggungjawab.

4/5
Secara ideal, pengembangan berbagai gaya ekspresi di dunia sastra, termasuk gaya-gaya
eksperimental yang terkesan tidak lugas dalam menyampaikan pesan politis tertentu,
pasti dilakukan dengan alasan yang jelas. Ada sesuatu yang ingin disampaikan lewat
penciptaan gaya tulis tersebut. Misalnya, ada unsur pengalaman manusia yang ternyata,
menurut persepsi pengarangnya, tidak terekspresikan lewat karya dengan gaya lama,
sehingga eksperimentasi dibutuhkan. Dengan demikian, karya sastra dengan gaya
‘seaneh’ apa pun tetap bersifat politis. Sayangnya, di Indonesia, terutama sejak Orde
Baru, sifat politis tersebut jarang sekali dihadirkan dan dibahas secara terbuka, baik oleh
sastrawan sendiri maupun kritikus. Gaya tulis yang ‘inovatif’ dirayakan sebagai
pencapaian hanya karena kebaruannya, namun tidak dipersoalkan untuk apa gaya baru
itu dibutuhkan. Apa yang ingin disampaikan, dan mengapa mesti disampaikan dengan
cara itu? Tanpa adanya rasa tanggungjawab untuk mempersoalkan masalah tersebut,
sastra terancam sekadar menjadi permainan bahasa tanpa makna.

Bagaimana pandangan Anda mengenai posisi sastra Indonesia sekarang dapat


berperan sebagai artikulasi estetis perjuangan politik rakyat pekerja Indonesia?

Rakyat pekerja yang memiliki minat di bidang sastra Indonesia sangat terbatas, dan bagi
saya itu merupakan hal yang wajar. Artikulasi estetis rakyat sangat beragam, baik dalam
bentuk seni tradisional maupun dalam bentuk yang lebih kontemporer. Mengapa buruh
mesti mengekspresikan diri lewat karya sastra modern, atau membaca karya sastra
modern? Saya rasa, sastra modern tidak punya kelebihan dibandingkan jenis kesenian
lain dalam konteks ini. Tentu saja ada perkecualian, seperti misalnya para buruh migran
yang sudah saya sebut di atas, ataupun sastrawan buruh seperti Wowok Hesti Prabowo.
Tapi secara umum, saya rasa yang perlu dibongkar justru ideologi yang menempatkan
sastra sebagai seni tinggi yang seakan-akan unggul dan ‘lebih berbudaya’ dibandingkan
jenis kesenian lain yang tidak jarang lebih dekat dengan rakyat.

Pada dasarnya, sastra modern adalah kesenian milik kelas menengah dan kaum
berpendidikan, sebab umumnya pengarang dan pembaca berasal dari kalangan
tersebut. Bahkan, tidak jarang keakraban dengan dunia sastra memiliki nilai “gengsi”
tertentu bagi kalangan itu, alias menjadi “modal kultural” dalam bahasa Pierre Bourdieu.
Maka bagi saya, salah satu fungsi kritis yang bisa diharapkan dari sastra adalah usaha
untuk mempersoalkan kehidupan kelas menengah tersebut. Karya sastra dapat menjadi
lahan subur dimana kelas menengah dapat mempertanyakan dirinya sendiri,
ideologinya sendiri.

Sebagai pertanyaan penutup, bagaimana pandangan Anda mengenai masa depan


sastra Indonesia?

Hahaha… saya bukan peramal.

5/5

Anda mungkin juga menyukai