Anda di halaman 1dari 2

QUO VADIS SASTRA SIBER?

Derry Sulisti Adi Putra

Fenomena sastra siber adalah fenomena yang pertama merebak di dunia sastra
Indonesia pada tahun 2000-an. Fenomena tersebut adalah dampak dari masuknya
internet ke Indonesia. Salah satu tulisan yang menonjol yang membicarakan sastra
siber adalah “Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah” karya Ahmadun Yosi Herfanda.
Buku tersebut terbit pada 2004. Dilihat dari judulnya saja, tulisan tersebut jelas
mempertanyakan eksistensi sastra (puisi) dalam sastra Indonesia.
Memang, pada masa awal kemunculan sastra siber, publik sastra Indonesia masih
beranggapan bahwa satu-satunya tempat “unjuk gigi” adalah media cetak, baik
majalah ataupun koran sastra. Karena, sebelum dimuat dalam sebuah terbitan, sebuah
karya sastra dikurasi terlebih dahulu oleh seorang redaktur. Sedangkan, dalam sastra
siber, seseorang dapat dengan bebas mencantumkan karyanya di berbagai media
sosial daring. Maka dari itu, karya-karya sastra di media daring dianggap tidak
melewati seleksi tertentu, hingga dianggap “sampah”.
Dalam tradisi sastra cetak, kemunculan suatu karya ke permukaan sangat
bergantung pada keputusan redaktur setelah melakukan seleksi. Sayangnya, tim
redaksi tidak pernah secara eksplisit mengumumkan kriteria karya yang mereka
terima. Biasanya, tim redaksi hanya mengumumkan cara pengiriman naskah, bukan
kriteria macam apa yang mereka terima. Ketidakjelasan tersebut ditambah dengan
pertanyaan seputar kompetensi redaktur dalam menilai karya sastra. Dari titik ini,
publik seharusnya menyadari bahwa sastra Indonesia hidup dari ketidakjelasan.
Menurut Yulhasni dan Edy Suprayetno, kemunculan sastra siber adalah angin
segar bagi dunia sastra Indonesia. Pernyataan tersebut didasarkan pada kebebasan
yang ditawarkan sastra siber. Kebebasan tersebut adalah bentuk perlawanan praktik
kanonisasi. Kanon adalah kumpulan karya yang dianggap adiluhung. Praktik
semacam itu telah terjadi sejak masa penguasaan konvensi oleh Balai Pustaka. Pada
masa Balai Pustaka, karya-karya yang ditolak dan tidak diterbitkan oleh Balai Pustaka
disebut sebagai “Bacaan Liar”. Penolakan Balai Pustaka didasarkan pada kriteria yang
mereka ciptakan yaitu penggunaan bahasa Melayu versi pemerintah Hindia Belanda
serta berisi hal-hal yang tidak subversif terhadap kolonialisme dan imperialisme
Belanda. Penetapan kriteria tersebut tentu berdasar dari dan untuk kepentingan politik.
Dengan praktik yang dilakukan oleh para redaktur media cetak serta praktik
kanonisasi yang politik, kemungkinan terabainya karya dari publik sastra Indonesia.
Menurut Saut Situmorang, dalam esainya “Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia”,
kondisi tersebut diperparah dengan absennya tradisi kritik sastra yang sehat. Kritik
sastra yang sehat adalah kritik yang memiliki dasar tertentu dalam melakukan telaah
dan penilaian.

***

Kebebasan untuk muncul ke permukaan yang ditawarkan oleh sastra siber tentu
membawa sebuah pertanyaan: Apakah saat ini kebebasan berkarya telah sejalan
dengan kualitas karya?
Sebenarnya, kebebasan berkarya dalam sastra siber tidak selalu sejalan dengan
kualitas karya yang ditampilkan. Hal tersebut memang disebabkan oleh sedikitnya
laman yang melakukan kurasi terhadap naskah yang masuk. Puisi-puisi yang dimuat
di blog-blog pribadi atau akun media sosial pribadi tidak melalui kurasi oleh pihak
lain sehingga penilainnya subjektif dari pihak penulisnya. Akan tetapi, tidak semua
karya dalam sastra siber dapat dikatakan memiliki kualitas yang rendah. Sesat pikir
semacam itu tidak akan membawa sastra Indonesia kemana-mana. Penilaian terhadap
suatu karya tanpa adanya elaborasi mengapa karya tersebut dihakimi demikian adalah
penilaian yang tidak bertanggungjawab dan berdampak buruk bagi sastra Indonesia.
Maka dari itu, tradisi kritik sastra yang sehat perlu dihidupkan kembali.
Penghidupan kembali tradisi kritik sastra bukan hanya tanggung jawab dari
institusi-institusi pendidikan sastra, melainkan juga tanggung jawab masyarakat sastra
Indonesia. Mengapa demikian? Karena tradisi kritik yang dilakukan tanpa dasar yang
jelas serta praktik-praktik pengangkatan yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak
bertanggung jawab dalam sastra Indonesia memberikan luka yang sulit mengering.
Suatu keadaan dimana seorang penulis menolak atau bahkan marah ketika karyanya
dicap buruk, pernyataan semacam “Puisi itu seni. Seni itu soal rasa, bukan logika”
serta “tidak ada kriteria pasti dalam sastra” adalah bukti bahwa intelektualitas masih
belum menjadi hal normal dalam sastra Indonesia. Maka dari itu, pencerdasan
masyarakat sastra Indonesia perlu dilakukan.

Siapkah kita? Quo vadis sastra siber?

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai