Anda di halaman 1dari 2

Nama : Rima Indriani

NIM : 1914016033
Prodi/Kelas : Sastra Indonesia/B
Esai Sejarah Kesusastraan Indonesia Modern
Eksistensi Sastra Indonesia di Masa Depan? Takkan Tumbang Bagaikan Pohon!
Pendahuluan
Latar Belakang
Sastra sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia baik disadari maupun tidak.
Representasi kehidupan tercatat pada sastra yang diyakini sebagian orang adalah sebagai
karya rekaan yang bercerminkan dari fakta dan realita kehidupan. Kesusastraan Indonesia
sendiri lahir pada sekitar tahun 1920-an dan lebih tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928 di
mana pada tanggal tersebut tercatat dalam sejarah sebagai peringatan Sumpah Pemuda yang
merupakan tonggak awal kelahiran bahasa Indonesia, bahasa resmi sebagai alat komunikasi
masyarakat Indonesia.
Sastra Indonesia pada tahun 1920-an hingga beberapa dekade memiliki
perkembangan yang sangat pesat, tidak hanya sekedar dari penggunaan bahasa Melayu yang
beranjak pada bahasa Indonesia, namun beberapa genre sastra juga banyak bermunculan
seperti feminisme yang membicarakan soal emansipasi wanita, fantasi, fiksi, dan lain
sebagainya juga turut serta berkembang sesuai dengan periodisasi kesusastraan itu sendiri.
Namun seiringnya waktu, Sastra Indonesia juga semakin dipertanyakan nasib ke depannya
akan menjadi seperti apa? Apakah akan mengalami kemajuan atau justru malah mengalami
kemunduran?

Pembahasan
Pendapat/Argumentasi
Apa itu sastra? Pertanyaan ini sudah menjadi hal yang lumrah pada masyarakat
Indonesia sekarang, tak banyak orang yang tahu mengenai eksistensi sastra Indonesia itu
sendiri. Seperti yang saya tulis pada bagian Pendahuluan, sastra itu sudah menjadi bagian
kehidupan manusia baik disadari ataupun tidak, padahal nyatanya sastra itu diciptakan oleh
masyarakat Indonesia sendiri, buktinya? Pantun. Pantun adalah salah satu prosa lama yang
masuk dalam ranah sastra namun lucunya masih banyak orang yang tidak tahu dan bahkan
tidak mengenal sastra. Dari poin ini saya bisa mengambil sedikit kesimpulan bahwa sastra
masih bersifat sangat tertutup sehingga masih banyak masyarakat yang buta akan sastra.
Faktor yang membuat sastra itu tertutup adalah kurangnya edukasi di berbagai wadah
pengetahuan dalam menggencarkan sastra seperti pada sekolah-sekolah yang ada di
Indonesia. Kurangnya minat dalam membaca buku juga menjadi faktor lain mengapa sastra
jadi tidak terlalu dikenal, padahal dengan membaca buku kita bisa tahu mengenai sejarah dan
asal-usul buku itu dibuat, buku tidak hanya sebagai jendela dunia, ia juga merupakan
kebenaran dan replika kehidupan itu sendiri—dengan buku kita juga bisa mengenali diri kita
sendiri, mengubah persepsi, dan bahkan bisa memberikan pengaruh negatif atau positif,
namun sayangnya masyarakat masih kurang peka akan hal ini lantaran keberadaan buku
sudah digantikan dengan teknologi.
Memang tak semua orang suka membaca buku karena dengan teknologi mereka juga
bisa membaca karya sastra yang sifatnya digital namun saya rasa tidak selamanya teknologi
bisa memberikan yang terbaik beda halnya dengan membaca langsung di buku, dengan
membaca melalui buku kita lebih menghargai pengarang yang mencoba menuliskan idenya di
atas kertas kosong hingga menyusunnya dalam draf hingga sampai ke tangan penerbit untuk
dikoreksi, diseleksi, dan lain sebagainya karena kebanyakan tulisan digital hanya mengambil
keuntungan dan melanggar hak penulis dengan tidak meminta izin untuk membagikan
karyanya dengan bentuk digital seperti ebook.
Melihat di sebuah artikel di mana penulis (Sapardi Djoko Damono) menuliskan
sebuah argumen seperti ini bunyinya, “Sastra ternyata tetap ditulis dan dibaca meskipun
tampaknya dunia kita ini semakin terbawa arus barang mewah dan teknologi modern,
meskipun berbagai ilmu, seperti sejarah dan sosiologi, yang pernah dikhawatirkan akan
menggusur cerita rekaan, berkembang dengan pesat.” (pusatbahasa.depdiknas.go.id). Saya
setuju dengan beliau, karena bagaimanapun juga sastra akan terus berjalan, akan terus ada,
akan terus ditulis. Sastra menurut saya seperti pohon, begitu besar, kuat, dan kokoh maka dari
itu tidak akan tumbang meskipun digilas oleh waktu. Justru yang membuat pohon itu
tumbang apabila ada orang yang menebangnya, sama seperti sastra—selagi masih ada
pengarang yang menulis atau siapapun maka sastra akan selalu ada.

Sekian.

Anda mungkin juga menyukai