Anda di halaman 1dari 8

TUGAS PENGANTAR ILMU SASTRA

Resume Sejarah dan Sastra

KELOMPOK 10
Disusun oleh :

Muhammad Azis Habibulloh 13020220120004


Rizky Miftha Angdani 13020220120015
Firdaus Wibowo 13020220130048
Putra Nodi Reyhan Ferrasta 13020220130055
Haydar Faiq Eryanto 13020220130060
Tiara Nur Ardiyani 13020220130075
Laura Radliatussalimah Thalib 13020220140030
Ridho Ocrifa 13020220140054
Achmad Fajar Ori Kharisma 13020220140104
Eka Mei Handayani 13020220140118

PROGRAM STUDI BAHASA DAN KEBUDAYAAN JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2021
Sejarah dan Satra

A. Sejarah sebagai Setting


Ketika berbicara mengenai sejarah, acapkali yang terbayang adalah masa lampau
dan tidak sedikit mengartikannya sebagai sesuatu yang tak perlu diingat secara totalitas.
Stigma ini mungkin ada benarnya, tetapi perlu diperhatikan sejarah seperti apa yang
termasuk pada stigma itu, karena tentu saja sejarah bukan saja berisi rentetan kejadian
biasa, tetapi juga kejadian luar biasa (peristiwa) yang masih meninggalkan jejak yang
bisa direkonstruksi untuk kemudian dimaknakan secara jernih pada masa kini.

Bagi kalangan tertentu, sejarah selalu terdengar membosankan. Namun, dengan


dikolaborasikan dengan sastra, sejarah bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan atau
bahkan bisa dinikmati oleh beberapa kalangan. Sejarah sering dijadikan bagian dari
sastra. Sampai saat, ini sejarah masih dekat dengan karya sastra, terutama dalam
menggunakan sumber naskah tertulis. Sejarah kini sudah masuk dikenal masyarakat ke
dalam berbagai bentuk. Sejarah pada umumnya ditulis dalam bentuk buku ilmiah yang
sulit dipahami. Seiring dengan perkembangan sastra, sejarah juga diungkap dalam bentuk
buku menjadi bentuk bacaan lain seperti karya sastra sejarah, baik berupa puisi, cerpen,
dan novel.

Sastra telah menyadarkan para intelektual bangsa sebagai bangsa yang harus bebas
dari penjajahan. Saat kesadaran kemerdekaan ini muncul, para intelektual pribumi ini
butuh wadah untuk mengatur agenda politik sehingga terbentuklah indische partij.
Menulis sendiri ialah hal yang dekat dengan kaum intelektual. Menulis merupakan
mencipta, dan mencipta selalu mensyaratkan membaca. Semakin banyak mencipta,
semakin banyak membaca; semakin kaya bacaan, semakin kaya hasil penciptaan (Latif,
2009:13).

Menuliskan gagasan kemerdekaan dalam bentuk imajinasi sama dengan


menuliskan mimpi untuk mermerdekakan bangsa Indonesia. Mimpi inilah yang terus
memotivasi perjuangan bangsa Indonesia lepas dari penjajahan. Menulis dan membaca
karya sastra pada masa itu menandai kebangkitan sastra pada masa itu. Lintasan fase
perjuangan kebangkitan nasional itu secara jelas menunjukkan pentingnya perjuangan
kata/bahasa/aksara/sastra.

B. Sejarah sebagain Esensi


Esensi sejarah pada sastra tidak terpisahkan karena sastra adalah satu hasil karya
dari sejarah itu sendiri. Secara rinci dan sistematis, Notosusanto (1979) menjelaskan
bahwa sejarah dapat membawa dan mengajarkan kebijaksanaan dengan menautkan
keadaan yang tengah terjadi dan keadaan yang telah terjadi. Kemudian hal tersebut dapat
memberikan inspirasi dengan melihat sikap tokoh terkait terhadap kejadian yang telah
berlalu dan menirunya terhadap kejadian yang akan datang, atau bahkan mengantisipasi
kejadian yang akan datang.
Sejarah dapat menjadi suatu penuntun dalam mempelajari sesuatu, dan
memberikan rasa kesenangan dan keindahan ketika mempelajarinya. Hal ini dapat
dituangkan pada sastra, karena karya sastra diciptakan dengan mengambil partikel dari
sejarah, kemudian dimodifikasi sesuai keinginan pengarang untuk menciptakan karyanya
yang tidak semata-mata penuh imaji, namun juga taat aturan.
Sejarah adalah memori yang dapat diawetkan dan terjaga kelestariannya dengan
dituangkan di dalam sastra, sehingga sejarah tidak selamanya menjadi membosankan
dikarenakan dipadukan dengan sesuatu yang menarik seperti sastra. Sejarah sebagai
esensi menjadi data yang tidak terbantahkan jika dipadukan ke dalam sastra, namun perlu
diingat apabila sejarah juga tidak bisa diubah sesuka hati karena telah terjadi di masa lalu
dan menjadi sebuah fakta.
Menurut Cicero (106-43 sM) mengatakan bahwa sejarah adalah cahaya kebenaran,
saksi waktu, dan guru kehidupan. Ia juga mengatakan bahwa hukum pertama dalam
sejarah ialah takut mengatakan kebohongan, hukum berikutnya tidak takut mengatakan
kebenaran. Namun kita perlu memahami bahwa sejarah juga fleksibel, menyesuaikan
dengan kepentingan para pemiliknya, apalagi jika membicarakan perihal sastra. Ini
berarti, tak ada satu versi tunggal terhadap sejarah. Yang mengapung hadir ke permukaan
pembaca dan pendengar adalah versi pemilik peristiwa tersebut.

C. Sastra dalam Sejarah (Kebudayaan)


Sastra dan kebudayaan, baik secara definisi etimologis maupun secara praktis
pragmatis, berhubungan erat. Kedua istilah berada dalam kelompok kata yang
memberikan perhatian pada aspek rohaniah, sebagai pencerahan akal budi manusia.
Apabila dalam perkembangan berikut sastra perlu diberi definisi yang lebih sempit, yaitu
aktivitas manusia dalam bentuk yang indah, lebih khusus lagi bentuk dengan
memanfaatkan bahasa, baik lisan maupun tulisan, tidak demikian halnya terhadap
kebudayaan. Artinya, kebudayaan tetap memiliki ruang lingkup yang lebih luas, bahkan
cenderung diberikan peluang untuk bertambah luas sebab aktivitas manusia bertambah
luas dan beragam.
Sejarah sastra erat kaitannya dengan sejarah kebudayaan. Dalam sejarah
kebudayaan terdapat catatan tentang sastra. Misalnya sastra lama, yang catatan sejarah
perkembangannya banyak terdapat dalam sejarah kebudayaan. Adapun hasil sastra yang
erat kaitannya dengan tokoh-tokoh tertentu seperti raja, ulama, pahlawan, pejabat, tokoh
masyarakat, atau dengan situasi politik dan kebudayaan yang berkembang pada kurun
waktu tertentu.
Karya sastra muncul masyarakat yang telah memiliki tradisi, adat-istiadat,
keyakinan, pandangan hidup, dan estetika yang dapat dikategorikan sebagai wujud dari
kebudayaan. Karena karya sastra merupakan rekaan dari pengarang yang tumbuh dalam
pribadi yang memiliki kepekaan terhadap realitas lingkungannya. Jadi dapat dikatakan
bahwa karya sastra adalah karya seni bersifat kreatif sebagai hasil rekaan manusia yang
menggunakan media bahasa dan dapat dipahami berdasarkan kode norma yang melekat
pada sistem sastra, bahasa, dan sosial-budaya tertentu.
Mengingat luasnya bidang kebudayaan untuk menjelaskan hubungan antara sastra
dan kebudayaan perlu dibedakan antara kebudayaan, peradaban dan ilmu pengetahuan.
Secara garis besar Koentjaraningrat (1974: 83) membedakan tiga wujud kebudayaan,
yaitu :
(a) Kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan,
(b) Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia dalam
masyarakat
(c) Kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Sastra dan kebudayaan, baik secara terpisah yaitu ‘sastra’ dan ‘kebudayaan’,
maupun sebagai kesatuan selalu dikaitkan dengan nilai-nilai positif. Artinya, sastra dan
kebudayaan, yang dengan sendirinya dihasilkan melalui aktivitas manusia itu sendiri,
berfungsi untuk meningkatkan kehidupan. Karya sastra sebagai katharsis (Aristoteles)
(Mukarovsky), lango (Zoetmulder) aktivitas manusia sebagai pencerahan (Abad
Pertengahan) dan berbagai definisi sastra pada dasarnya menunjuk pada fungsi
kemanusiaan seperti di atas.
Sastra dan kebudayaan, termasuk seluruh aspek kehidupan yang mengandung
unsur-unsur keindahan, memperoleh perhatian justru pada saat manusia didominasi oleh
teknologi dunia sekuler, krisis ekonomi, politik, dan hukum. Ada hubungan langsung
antara kemajuan teknologi dan krisis sosial dengan meningkatnya kualitas sekularisme.
Teknologi dan sekularisme hanya mementingkan manfaat, yang pada gilirannya akan
menciptakan ilmu pengetahuan demi ilmu pengetahuan, perlombaan senjata,
sebagaimana terjadi di negara-negara maju. Demikian juga krisis sosial di negara-negara
berkembang jelas akan membawa manusia pada persaingan yang tidak sehat, korupsi,
perang saudara, dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. Akibat Iangsung yang
ditimbulkannya adalah hiIangnya nilai manusia sebagai subjek sebab nilai sudah
terdegradasikan ke dalam manfaat itu sendiri.

D. Sejarah dalam Sastra (Roman)


Roman adalah sebuah karya sastra berbentuk prosa yang menceritakan tentang
kehidupan seorang tokoh atau beberapa tokoh dari sang tokoh kecil hingga dewasa atau
mati. Roman biasanya menceritakan tentang kehidupan lahir dan batin tokoh, kondisi
sosial tokoh, dan pengalaman hidup tokoh beserta wataknya. Cerita roman terkenal pada
akhir abad ke- 17 dan mencapai puncaknya pada abad ke-18 Adapun ciri-ciri roman
yaitu:

 Bercerita tentang tokoh fiktif


 Disusun secara runtut dan kompleks
 Menceritakan secara detail watak dari tokoh
 Bercerita dari awal kehidupan hingga akhir kehidupan tokoh

Roman sendiri memiliki banyak jenis. Salah satunya adalah roman sejarah yang
merupakan karya yang sastra yang berhubungan dengan sejarah. Menurut Sembodo
(2010), roman sejarah merupakan salah satu dari jenis-jenis roman yang ceritanya
diambil berdasarkan fakta sejarah. Meskipun karya roman sejarah mengambil langsung
peristiwa dan tokoh dalam sejarah, tetap saja kebenaran di dalamnya tidak dapat
dibuktikan. Untuk menulis karya sastra roman sejarah penulis biasanya melakukan riset
sejarah terlebih dahulu sebelum menulis romannya. Namun hal tersebut bersifat subjektif
dan dialog yang ada dalam karya sastra roman sejarah sebagian besar adalah fiktif.

Roman sejarah merupakan salah satu sarana yang baik dalam mempelajari suatu
sejarah meskipun kebenaran faktualnya harus dibuktikan lebih lanjut. Beberapa penulis
roman sejarah yang karyanya terkenal di Indonesia adalah Pramudya Ananta Toer
dengan tetralogi Bumi Manusia, Y.B. Mangunwijaya dengan trilogi Roro Mendut, Remi
Sylado dengan karyanya yaitu Paris van Java, Nur Sutan Iskandar dengan Hulubalang
Raja, dan Marius Ramis Dayoh dengan Pahlawan Minahasa.

Berikut merupakan salaha satu contoh dari roman sejarah yakni novel Hulubalang
Raja karya Nur Sutan Iskandar. Novel tersebut pertama kali diterbitkan oleh Balai
Pustaka pada tahun 1934. Hulubalang Raja merupakan roman sejarah yang terjadi di
pesisie Minangkabau sekitar tahun 1662-1668. Fakta sejarah yang terjadi pada saat itu
adalah adanya konflik antara Minangkabau dengan Aceh yang melibatkan para kompeni
Belanda. Konflik tersebutlah yang menjadi latar cerita dalam novel ini.

E. Sastra dan Perubahan Sosial


Salah satu karya sastra yang dapat berpengaruh dalam perubahan sosial adalah
novel. Sastra dan perubahan sosial dalam karya ini dapat dikaji dengan beberapa teori,
diantaranya yaitu:

1. Teori wacana, yaitu teori yang menganalisis tekstual yang berkaitan dengan konteks
dan relasi-relasi kekuasaan.
2. Teori sosiologi sastra, yaitu suatu cara menjelaskan relasi karya sastra dengan realitas
sosial, dalam hal ini teori negara dan perubahan sosial mampu menjelaskan relasi negara
dan perubahan sosial.
3. Teori semiotik, teks, dan resepsi merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan
teks (novel) sebagai satu sistem penandaan, substansi keberadaan teks, dan teori yang
mampu menjelaskan hubungan teks dan penafsir (peneliti).

Dalam beberapa karya sastra terdapat bagian yang secara tegas mempersoalkan
perubahan sosial dalam karya sastra (prosa) Indonesia. Dari pendapat tersebut dapat
diambil pengertian bahwa novel walaupun dalam temanya tidak mempermasalahkan
perubahan sosial, namun masalah psikologis dari tokok-tokoh yang berada dalam cerita
mampu merefleksikan perubahan sosial. Suatu prosa mampu menampilkan bagaimana
terjadinya perubahan sosial, hal ini menjadikan bagaimana masalah perubahan sosial
ditempatkan dan dilihat.

Dari pandangan tersebut dapat dimaknai bahwa sastra mampu menghasilkan karya,
karya tersebut tidak dapat dihindari dari fenomena atau kejadian sosial budaya yang
lainnya. Lahirnya karya sastra sangat kuat keterikatan dengan keberlangsungan
kehidupan masyarakat, berarti bahwa karya sastra akan terus mengalami perubahan dan
berkembang sebagaimana perubahan dan perkembangan yang senantiasa mengiringi
dinamika kehidupan masyarakat.

Sastra mampu menjadi media komunikasi guna memaparkan bagaimana perubahan


sosial dapat terjadi. Bahkan sastra juga mampu menjadi alasan perubahan sosial tersebut
timbul di kehidupan masyarakat, ini dikatakan karena dalam sastra mengandung
bermacam unsur yang dapat dimaknai selaras dengan konsep kehidupan. Dengan
mempelajari dan mengamati dengan seksama menggunakan teori-teori yang sesuai, maka
akan didapatkan pemahaman yang kontekstual sesuai isi dari karya sastra yang disajikan.
DAFTAR PUSTAKA

Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. 2011. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah
Heraty, Toeti. 1994. Aku Dalam Budaya. Pustaka Jaya: Jakarta.
Iskandar, Nur Sutan. 1934. Hulubalang Raja. Jakarta: Balai Pustaka.
Khakim, Moch. Nurfahrul Lukmanul. 2016. Telaah Penulisan Karya Sastra Sejarah
Sebagai Refleksi Sumber Pembelajaran Sejarah. Malang : SMK An-Nur Bululawang
Malang.
Kurniawan, Ramilury. 2017. Antara Sejarah dan Sastra: Novel Sejarah Sebagai
Bahan Ajar Pembelajaran Sejarah. Malang: Universitas Negeri Malang.
Noor, Redyanto. 2019. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: FASindo.
Pak Dosen. Roman. https://pakdosen.co.id/roman-adalah/ (diakses pada 3 Maret
2021).
Ramadhanti, Dina. 2018. Buku Ajar Apresiasi Prosa Indonesia. Yogyakarta:
Deepublish. hlm. 10
Salam, Aprinus. 2015. Sastra Negara dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Pusat
Studi Kebudayaan UGM.
Sumarjo, Yakob. 2002. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Susanto, Dwi. 2014. Pengantar Ilmu Sejarah. Surabaya : UIN Sunan Ampel
Surabaya.
Zenius. Prolog Materi – Roman. https://www.zenius.net/prologmateri/bahasa-
indonesia/a/566/Roman (diakses pada 3 Maret 2021).

Anda mungkin juga menyukai