Anda di halaman 1dari 12

HEGEMONI DALAM CERPEN “BUKAN SAYID” KARYA

ALFIAN DIPPAHATANG : KAJIAN HEGEMONI GRAMSCI

Derry Sulisti Adi Putra


NIM : 19/439505/SA/19649

Dosen Pengampu :
Dr. Aprinus Salam, M.Hum

ABSTRAK

Cerpen tidak hanya berfungsi sebagai pemberi pengalaman estetis kepada


pembaca, namun juga dapat menjadi sarana penyampaian misi dan pesan
pengarang. Misi dan pesan pengarang direpresentasikan melalui narasi-narasi
dalam karyanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk hegemoni
ideologi dalam cerpen “Bukan Sayid” karya Alfian Dippahatang. Pendekatan
yang digunkan dalam penelitian ini adalah teori hegemoni oleh Antonio Gramsci.
Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Setelah dilakukan analisis
terhadap narasi-narasi dalam cerpen tersebut, ditemukan hasil bahwa
etnosentrisme adalah ideologi dominan yang menjadi penghalang bagi kisah cinta
tokoh sentral Habri dan Syarifah Atkah Bilang.

LATAR BELAKANG
Cerpen adalah salah satu genre dalam karya sastra. Sebagaimana karya sastra
pada umumnya, cerpen memiliki dua fungsi, yaitu dulce (indah) dan utile
(berguna). Dua fungsi sastra tersebut adalah tesis dan kontratesis Horace tentang
konsep estetika (Wellek dan Warren,2016:23). Jadi, pada dasarnya karya sastra
yang baik adalah karya yang dapat memenuhi dua kriteria tersebut.
Pada akhir abad ke-19, doktrin “seni untuk seni” mendominasi dunia
kesenian. Doktrin “seni untuk seni” telah menanam suatu pemahaman bahwa inti
dari karya sastra adalah estetika. Pemahaman tersebut telah mengabaikan potensi
karya sastra untuk menjadi pemantik terhadap perombakan struktur sosial dan
establishment yang berkuasa. (Teeuw, 2015:117).
Dalam kritik sastra marxis, karya sastra diyakini memiliki kaitan dengan
masyarakat. Dalam aliran ini, karya sastra dikaitkan dengan situasi tertentu atau
dengan sistem politik, ekonomi, dan budaya tertentu (Wellek dan Warren,2016).
Menurut Gramsci, di tengah masyarakat, karya sastra merupakan salah satu sarana
yang dapat digunakan oleh kaum intelektual (sastrawan) untuk menyebarkan suatu
konsep nilai atau ideologi (Faruk, 2019).
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk hegemoni ideologi dalam
cerpen “Bukan Sayid” karya Alfian Dippahatang. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori hegemoni yang diajukan oleh Antonio Gramsci
dengan mengunakan metode deskriptif kualitatif.
Cerpen “Bukan Sayid” terhimpun dalam buku kumpulan cerpen “Bertarung
Dalam Sarung” karya Alfian Dippahatang. Buku kumpulan cerpen tersebut
diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada Maret 2019. Buku tersebut
masuk dalam daftar panjang penerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa
2019 untuk kategori prosa. Pada 2017, cerpen “Bukan Sayid” dinobatkan sebagai
juara 2 dalam Lomba Menulis Cerpen Nasional Gebyar Bahasa dan Sastra
Indonesia Hima Sastrasia Universitas Pendidikan Indonesia.
Cerpen “Bukan Sayid” bercerita tentang hubungan cinta antara seorang gadis
bernama Syarifah Atkah Bilang (Bilang) yang merupakan keturunan Sayid
(keturunan Nabi Muhammad) dengan seorang pemuda bernama Habri. Habri
adalah putra seorang imam masjid di suatu dusun. Hubungan mereka terhalang
oleh suatu tradisi dalam golongan Sayid, yaitu, bahwa seorang perempuan
keturunan Sayid hanya boleh menikah dengan seorang laki-laki dari golongan
Sayid. Tradisi tersebut menjadi alasan bagi keluarga Bilang untuk menolak
lamaran Habri. Pada akhir cerpen, dikisahkan Habri mengikhlaskan Bilang untuk
dijodohkan dengan seorang pemuda keturunan Sayid pilihan Keluarga Bilang.
Dalam cerpen “Bukan Sayid”, Bilang berasal dari keluarga yang menempati
status tertinggi dalam golongan Sayid. Ayah Bilang memiliki gelar “Sayid Opu”
dan berperan penting dalam kehidupan masyarakat tempat tinggal mereka
(Cikoang). Golongan Sayid, terutama keluarga Bilang, sangat taat kepada tradisi
yang telah dibangun oleh nenek moyang mereka. Suatu hal yang menarik untuk
diteliti dari cerpen ini adalah konsep nilai yang dianut oleh keluarga Bilang serta
mempengaruhi kehidupan masyarakat yang berpengaruh terhadap hubungan
antara Bilang dan Habri.
Hipotesis yang penulis ajukan adalah adanya hegemoni yang melingkupi
kehidupan masyarakat pada cerpen “Bukan Sayid”. Hegemoni adalah suatu
konsep nilai (ideologi) yang— tanpa paksaan, mendominasi suatu masyarakat
tertentu. Dalam suatu masyarakat, suatu ideologi yang dianut oleh golongan atas
(penguasa) tidak hanya meliputi aktivitas ekonomi dan politik, namun juga
merambah wilayah moral dan intelektual (Faruk, 2019:143). Menurut Gramsci,
suatu ideologi atau gagasan tidak akan menjadi hegemoni di tengah masyarakat
tanpa adanya upaya penyebaran dan penanaman ideologi pada kehidupan
masyarakat. Terdapat tiga cara penyebaran ideologi atau gagasan, yaitu melalui
bahasa, common sense, dan folklor (Faruk, 2019:144). Dalam upaya penyebaran
ideologi atau gagasan, kaum intelektual memiliki peran yang penting. Dalam studi
sosiologi sastra, sastrawan menempati posisi sebagai kaum intelektual karena
karya sastra memiliki potensi untuk memuat suatu gagasan atau ideologi tertentu.
Melalui potensi tersebut, karya sastra dapat melancarkan dan mempertahankan
kekuasaan suatu kelompok fundamental atas kelompok-kelompok subordinat.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan pengumpulan data melalui
studi literatur. Objek material penelitian ini adalah cerpen “Bukan Sayid” karya
Alfian Dippahatang. Objek formal penelitian ini adalah hegemoni ideologi yang
terdapat dalam cerpen tersebut. Pendekatan yang digunakan adalah teori
hegemoni yang diajukan oleh Antonio Gramsci. Metode yang digunakan dalam
pengkajian cerpen tersebut adalah deskriptif kualitatif. Langkah kerja penelitian
ini adalah pengumpulan data, analisis, dan penyajian hasil analisis. Pengumpulan
data dilakukan dengan membaca secara cermat cerpen “Bukan Sayid”, kemudian
menganalisis narasi-narasi yang berkaitan dengan masalah hegemoni ideologi
dalam cerpen tersebut.

ANALISIS
Penulis memulai analisis dengan menguraikan terlebih dahulu peran tokoh-
tokoh dalam cerpen “Bukan Sayid” dalam membangun narasi-narasi hegemonik.
Pertama, Syarifah Atkah Bilang (Bilang). Bilang adalah tokoh sentral dalam
cerpen tersebut. Dalam cerpen tersebut, Bilang dinarasikan sebagai seorang gadis
yang cerdas, memiliki pemikiran terbuka, dan pluralis. Sifat-sifat tersebut terdapat
dalam narasi dan dialog sebagai berikut :

“Apakah memang, lelaki yang mendampingiku harus


berdarah Sayid, jika aku ingin dianggap menghargai
nilai-nilai tradisi kafa’ah di Cikoang?”

“Sudah kukatakan padamu, meski orang tuaku, terutama


Ayahku yang bergelar Sayid Opu punya peran penting
dalam masyarakat termasuk di acara ini, jangan sekali-
kali kau merasa canggung padaku. Aku sudah berpesan,
tapi entah mengapa kau mengabaikan ucapanku, kau
tetap menaruh hormat kepadaku. Malah, aku yang
merasa tak enak, sebab di mata Tuhan, kita tetap sama.”
“Apakah kebaikan seseorang harus ditolak hanya karena
dia bukan keturunan Sayid?”

Namun, Bilang tetap tidak mampu sepenuhnya merdeka dari penguruh


keluarganya. Pengaruh tersebut meliputi stereotip serta gagasan tentang
perjodohan. Hal tersebut terdapat dalam narasi sebagai berikut :

“Aku terpaksa terpaksa menurut pinta orang tua, takut


membantah kehendak Ibu yang menginginkan segera
menikah.”

“Air mataku bercucuran, mengingat selama ini Habri


setia berjuang walau jalan buntu selalu dihadapinya.”

“Dadaku bergetar, ada perasaan takut nanti dilihat ibuku


dan ia curiga melihat gerak-gerik kita.”

“Ungkapan merendahkan selalu dikatakan Patiasih.


Berketurunan Sayid, bukannya menampakkan sikap baik,
dia malah mencaci orang lain..”

Kedua, tokoh laki-laki bernama Habri. Habri adalah teman laki-laki Bilang
semasa SMA. Habri dan Bilang memiliki perasaan saling mencintai satu sama lain.
Dalam cerpen tersebut, Habri digambarkan sebagai seorang pemuda yang saleh,
ramah, dan sabar. Habri juga digambarkan sebagai pemuda yang penuh keyakinan,
meskipun pada akhir cerita dia mengikhlaskan Bilang untuk dinikahkan dengan
laki-laki lain. Hal tersebut dapat ditemui dalam narasi-narasi sebagai berikut :

“ ‘Aku akan berjuang menjadi jodohmu kelak.’ Kau tidak


setengah-setengah mengucapkannnya. Sejak itulah
rintangan demi rintangan datang menghadangmu. Aku
menitip pesan padamu agar menghadapi semua dengan
tenang, jangan gegabah, jangan tergesa-gesa. Dan tentu
menguatkan kesabaran. Kau pun menerima pesanku
dengan sikap tenang dan percaya diri.”

“Aku tidak ingin ada jalan belakang menyelesaikan


masalah ini. Aku ke sini, karena ingin pamit baik-baik
dalam hidupmu. Aku ingin mengikhlaskanmu.”

Tokoh selanjutnya adalah Ibu. Meskipun dalam naskah tokoh Ibu tidak
memiliki satupun dialog, tokoh ini memiliki peran yang penting dalam
mempertahankan hegemoni dalam keluarga Bilang. Hal tersebut terdapat dalam
beberapa narasi sebagai berikut :

“Aku terpaksa menurut pinta orang tua, takut membantah


kehendak Ibu yang menginginkan segera menikah.”

“Niat baiknya melamar terhenti di lidah Ibu, karena dia


bukan Sayid.”

“Dadaku bergetar, ada perasaan takut nanti dilihat Ibuku


dan ia curiga melihat gerak-gerik kita.”

Tokoh terakhir adalah tokoh bernama Patiasih. Patiasih adalah seorang gadis
keturunan Sayid. Keluarganya bergelar Sayid Karaeng (kedudukannya lebih
rendah dibanding keluarga Bilang yang bergelar Sayid Opu). Patiasih digambarkan
sebagai seorang gadis yang memiliki pola pikir partikular, konservatif, dan
etnosentris. Hal tersebut terdapat dalam beberapa dialog dan narasi sebagai berikut
:

“Kau itu sudah kafir ya? Berani menjalin hubungan


dengan orang biasa. Kau mau menjadi pelanjut bagi
mereka yang sudah mencemarkan nama baik keturunan
Sayid?”

“Aku berbicara karena nyata adanya. Sayid itu


kedudukannya tinggi. Kau malah menjatuhkan martabat
keturunan.”

“Berketurunan Sayid, bukannya menampakkan sikap


baik, dia malah mencaci orang lain—menganggap dunia
ini tempat kekal untuk kedudukan Sayid.”

“Patiasih terlalu buta memandang sesama manusia.”

Dalam cerpen tersebut, tokoh Ibu dan Patiasih berperan sebagai pihak yang
bertujuan mempertahankan hegemoni. Sedangkan, tokoh Bilang dan Habri adalah
pihak yang berusaha melawan hegemoni

Etnosentrisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Etnosentrisme” didefinisikan sebagai
sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri,
biasanya disertai dengan sikap dan pandangan meremehkan masyarakat dan
kebudayaan lain. Etnosentrime, dalam cerpen “Bukan Sayid” karya Alfian
Dippahatang, menjadi ideologi dominan atau hegemoni. Menurut Gramsci,
hegemoni tidak hanya mempengaruhi ranah ekonomi dan politik, namun juga pada
ranah moral dan pemikiran (Faruk, 2019:143).
Dalam cerpen tersebut, etnosentrisme yang telah ditampilkan oleh golongan
keturunan Sayid mempengaruhi kehidupan masyarakat terhadap mereka. Pengaruh
tersebut meliputi struktur sosial serta urusan marital. Hal tersebut terdapat dalam
narasi-narasi dan dialog-dialog berikut :
“Apakah memang, lelaki yang mendampingiku harus
berdarah Sayid, jika aku ingin dianggap menghargai
nila-nilai tradisi kafa’ah di Cikoang?”

“Dia terpaksa menanggung kecewa. Hanya


persoalan keturunan, permintannya ditolak oleh
orangtuaku. Nait baiknya datang melamar terhenti di
lidah Ibu, karena dia bukan Sayid.”

“Ketika kau mendengar Syarifah lekat pada namaku,


kuyakin saat itu kau tahu, bahwa jodoh bagi anak
perempuan keturunan Sayid harus dari darah yang
sama.”

“Dadaku bergetar, ada perasaan takut nanti dilihat


ibuku dan ia curiga melihat gerak-gerik kita.”

“Sudah kukatakan padamu, meski orang tuaku,


terutama Ayahku yang bergelar Sayid Opu punya
peran penting dalam masyarakat termasuk di acara
ini, jangan sekali-kali kau merasa canggung padaku.
Aku sudah berpesan, tapi entah mengapa kau
mengabaikan ucapanku, kau tetap menaruh hormat
kepadaku.”

“Apakah kebaikan seseorang harus ditolak hanya karena


dia bukan keturunan Sayid?”

“Kau itu sudah kafir ya? Berani menjalin hubungan


dengan orang biasa. Kau mau menjadi pelanjut bagi
mereka yang sudah mencemarkan nama baik keturunan
Sayid?”

“Aku berbicara karena nyata adanya. Sayid itu


kedudukannya tinggi. Kau malah menjatuhkan martabat
keturunan.”

“Dia tak bercermin di Cikoang, kedudukan


keluargaku lebih tinggi sebagai Sayid Opu
dibandingkan keluarganya yang hanya Sayid
Karaeng.”

“Aku tak pernah menyerah, Bilang. Aku cinta


padamu. Aku hanya berusaha sadar bahwa
kehidupan keluargaku beda dengan keluargamu.”

Selain mempengaruhi struktur sosial dan urusan marital, etnosentrisme dalam


cerpen tersebut membangun suatu stereotip tentang sifat dan tingkah laku individu.
Hal itu terdapat dalam narasi dan dialog sebagai berikut :

“Apakah kebaikan seseorang harus ditolak hanya


karena dia bukan keturunan Sayid?”

“Berketurunan Sayid, bukannya menampakkan sikap


baik, dia malah mencaci orang lain—menganggap dunia
ini tempat kekal untuk kedudukan Sayid.”

“Patiasih terlalu buta memandang sesama manusia.”

Resistensi yang Gagal Terhadap Hegemoni


Dalam cerpen tersebut, etnosentrisme telah menjadi ideologi, yang tanpa
paksaan, mengonstruksi tidak hanya perihal ekonomi dan politik, melainkan juga
hal-hal yang berkaitan dengan moral dan intelektual.
Tokoh Bilang dan Habri adalah dua tokoh yang saling jatuh cinta. Bilang
berasal dari golongan keturunan Sayid. Sebagaimana tradisi dalam keluarganya,
dia harus menikah dengan seorang laki-laki yang berasal dari golongan Sayid juga.
Namun, dalam cerpen tersebut, Bilang mencintai Habri dan ingin menikah dengan
Habri. Padahal, Habri tidak memiliki garis keturunan Sayid. Maka dari itu, dalam
cerpen “Bukan Sayid”, hubungan yang terjalin antara Bilang dan Habri adalah
bentuk resistensi terhadap ideologi dominan.
Meskipun Bilang dan Habri memiliki hubungan saling mencintai, hegemoni
telah begitu kuat mempengaruhi pikiran masyarakat, termasuk diri mereka berdua.
Dalam cerpen tersebut, mereka berhubungan secara sembunyi-sembunyi. Hal
tersebut terdapat dalam narasi berikut :

“Hari Jumat, saat maudu lompoa mulai digelar di


sungai Cikoang, tindakanmu cukup berani, kau
menghampiriku di tengah keramaian. Dadaku
bergetar, ada perasaann takut nanti dilihat ibuku dan
ia curiga melihat gerak-gerik kita. Namun,
kutenangkan diriku...”

Dalam kutipan narasi di atas, latar tempat terjadinya cerita adalah di Sungai
Cikoang. Suasana di tempat tersebut begitu ramai. Tindakan Habri menghampiri
Bilang dinarasikan sebagai tindakan yang cukup berani dan menyebabkan
kekhawatiran dalam diri Bilang apabila gerak-gerik mereka dilihat oleh Ibu
Bilang. Kekhawatiran yang dirasakab Bilang adalah wujud konstruksi hegemoni
terhadap kondisi psikologis individu. Hal itu juga menjadi bukti bahwa Bilang
tidak sepenuhnya berani melawan tradisi keluarganya.
Ketidak-berdayaan melawan hegemoni juga ditampilkan tokoh Habri melalui
kutipan dialog berikut :
“Aku tidak ingin ada jalan belakang menyelesaikan
masalah ini. Aku ke sini, karena ingin pamit baik-
baik dalam hidupmu. Aku ingin mengikhlaskanmu.”

“Aku tak pernah menyerah, Bilang. Aku cinta


padamu. Aku hanya berusaha sadar bahwa
kehidupan keluargaku beda dengan keluargamu.”

Juga dalam sikap Habri kepada Bilang dalam kutipan narasi berikut :

“Sudah kukatakan padamu, meski orang tuaku,


terutama Ayahku yang bergelar Sayid Opu punya
peran penting dalam masyarakat termasuk di acara
ini, jangan sekali-kali kau merasa canggung padaku.
Aku sudah berpesan, tapi entah mengapa kau
mengabaikan ucapanku, kau tetap menaruh hormat
kepadaku.”

Pada akhir cerita, Habri mengikhlaskan Bilang untuk dinikahkan dengan laki-
laki lain. Hal tersebut membuktikan bahwa hegemoni begitu kuat. Etnosentrisme,
yang telah menjadi ideologi dominan, mengonstruksi kehidupan masyarakat dalam
cerpen “Bukan Sayid”.

KESIMPULAN
Cerpen “Bukan Sayid” karya Alfian Dippahatang tidak hanya menonjolkan
sifat dulce (indah), namun juga memenuhi konsep utile (berguna). Alfian
Dippahatang, melalui cerpennya tersebut, telah memanfaatkan potensi yang
dimiliki karya sastra, yaitu untuk memuat suatu pesan atau misi tertentu.
Cerpen tersebut berkisah tentang bagaimana etnosentrisme telah mengakar
kuat dalam kehidupan masyarakat. Etnosentrisme yang menjadi ideologi dominan,
tanpa tindak pemaksaan, telah mengonstruksi tidak hanya perihal ekonomi dan
politik, melainkan juga perihal moral dan intelektual masyarakat.
Dalam cerpen tersebut, paham etnosentris, partikular, dan konservatif—yang
dianut oleh keluarga Bilang, telah mengonstruksi struktur sosial. Hal tersebut
berpengaruh terhadap cara anggota golongan keturunan Sayid dalam memandang
orang yang bukan golongan mereka. Selain itu, masyarakat yang terhegemoni juga
terkonstruksi cara pandangnya terhadap golongan keturunan Sayid.
Konstruksi struktur sosial tersebut berpengaruh kepada hubungan yang terjalin
antara Bilang dan Habri. Konstruksi tersebut telah memasukkan status sosial yang
diraih berdasarkan keturunan (ascribed status) kedalam pertimbangan pernikahan.
Dikarenakan Habri bukan merupakan keturunan Sayid, maka—dari sudut pandang
golongan Sayid, hubungannya dengan Bilang terlarang.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai