Anda di halaman 1dari 4

Nama : Sella Hardianty Ratmana

Kelas : PGSD 2022B


NIM : 22010644020
ANALISIS CERPEN
Robohnya Surau Kami
Karya : A.A. Navis
https://kutukata.id/2020/04/15/nukilan/robohnya-surau-kami/
1. Unsur Instrinsik
A. Tema
Tema utama yang diangkat dalam cerpen "Robohnya Surau Kami" karya A.A. Navis adalah
keadaan iman seorang Kakek yang tidak seimbang akibat mendengar cerita dari Ajo Sidi.
Kakek merasa tersindir karena cerita Ajo Sidi tentang Haji Saleh yang dikirim Tuhan ke
neraka akibat keegoisannya saat hidup hanya untuk Tuhan dan tidak mempedulikan kehidupan
sekitarnya. Kakek berpikir bahwa tak apa hidupnya miskin asal tidak miskin ibadahnya
kepada Tuhan. Akibatnya, Kakek mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
B. Alur
Alur cerpen "Robohnya Surau Kami" karya A.A. Navis adalah alur maju dan mundur. Cerita
dimulai dengan Kakek yang merasa tersindir oleh cerita Ajo Sidi tentang Haji Saleh yang
dikirim Tuhan ke neraka akibat keegoisannya saat hidup hanya untuk Tuhan dan tidak
mempedulikan kehidupan sekitarnya. Kakek berpikir bahwa tak apa hidupnya miskin asal
tidak miskin ibadahnya kepada Tuhan. Akibatnya, Kakek mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri. Kemudian, cerita mundur ke masa lalu saat Kakek masih hidup dan menjaga surau.
Cerita kembali maju ke saat Kakek meninggal dan surau menjadi sepi.
C. Tokoh
 Kakek: tokoh utama cerpen ini, seorang penjaga surau yang taat beribadah dan tidak
memikirkan kekayaan dan kenikmatan dunia.
 Ajo Sidi: tokoh sampingan, seorang pembual ulung yang sering membuat cerita-cerita
khayal.
 Haji Saleh: tokoh yang dikhayalkan Ajo Sidi dalam salah satu cerita bualannya, memiliki
sifat mementingkan dirinya sendiri.
 Aku: tokoh sampingan, hanya sebagai saksi atau pelaku sampingan dalam cerita.
D. Watak Tokoh
 Kakek: taat beribadah, tidak memikirkan kekayaan dan kenikmatan dunia, mudah
dipengaruhi, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu lemah imannya.
 Ajo Sidi: pembual ulung, suka membual, dan cinta kerja.
 Haji Saleh: mementingkan diri sendiri (egois).
 Aku: tidak diketahui wataknya karena hanya sebagai saksi atau pelaku sampingan dalam
cerita.
E. Latar
Latar dalam cerita ini tidak dijelaskan secara spesifik. Namun, dapat diketahui bahwa cerita
ini berlatar di sebuah desa yang memiliki sebuah surau yang dijaga oleh seorang kakek
bernama Garin. Selain itu, cerita juga mengambil latar waktu yang berbeda-beda, yaitu saat
Kakek masih hidup dan menjaga surau, serta saat surau menjadi sepi setelah Kakek
meninggal.
F. Sudut Pandang
Sudut pandang dari cerpen "Robohnya Surau Kami" karya A.A. Navis adalah orang pertama
pelaku atau tokoh tambahan. Hal ini dapat dilihat dari tokoh "Aku" hadir sebagai saksi atau
pelaku sampingan dalam cerita. Selain itu, pengarang juga memposisikan dirinya sebagai
tokoh utama dalam cerpen ini, sehingga sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang
orang pertama
G. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen "Robohnya Surau Kami" karya A.A. Navis adalah
gaya bahasa formal dan santai. Beberapa gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen ini antara
lain:
- Majas simile: "Seluruh hidupnya bagai..."
- Majas litotes: "Kata surau tua..."
- Majas pertautan: "Orang-orang muda lebih mudah digembalakan"
H. Amanat
 Kita harus berhati-hati dalam menerima cerita atau informasi dari orang lain, terutama
jika cerita tersebut dapat mempengaruhi keyakinan dan iman kita.
 Kita harus menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, serta
tidak terlalu lemah atau terlalu kuat dalam iman kita.
 Kita harus memperhatikan dan menghargai keadaan sekitar kita, serta tidak
mementingkan diri sendiri dalam hidup.
 Kita harus berhati-hati dalam mengambil keputusan, terutama jika keputusan tersebut
dapat berdampak buruk pada diri sendiri maupun orang lain.

2. Unsur Ekstrinsik
A. Latar Belakang
Nama lengkap A.A. Navis adalah Ali Akbar Navis, tetapi sepanjang kariernya ia lebih
dikenal dengan namanya yang lebih simpel A.A. Navis. Ia lahir di Padangpanjang,
Sumatera Barat, tanggal 17 November 1924. Ia merupakan anak sulung dari lima belas
bersaudara. Navis memulai pendidikan formalnya dengan memasuki sekolah Indonesisch
Nederiandsch School (INS) di daerah Kayutaman selama sebelas tahun. Kebetulan jarak
antara rumah dan sekolah Navis cukup jauh. Perjalanan panjang yang ditempuhnya setiap
hari itu dimanfaatkannya untuk membaca buku sastra yang dibelinya. Selama sekolah di
INS, selain mendapat pelajaran utama, Navis juga mendapat pelajaran kesenian dan
berbagai keterampilan. Pendidikan Navis, secara formal, hanya sampai di INS.
Selanjutnya, ia belajar secara otodidak. Akan tetapi, kegemarannya membaca buku (bukan
hanya buku sastra, juga berbagai ilmu pengetahuan lain) memungkinkan intelektualnya
berkembang. Bahkan, ia terlihat menonjol dari teman seusianya. Dari berbagai bacaan
yang diperolehnya, Navis kemudian mulai menulis kritik dan esai. Ia berusaha menyoroti
kelemahan cerpen Indonesia dan mencari kekuatan cerpen asing. Ketika menulis cerpennya
sendiri, kelemahan cerpen Indonesia itu dicoba diperbaikinya dengan memadukannya
dengan kekuatan cerpen asing. Navis memulai kariernya sebagai penulis ketika usianya
sekitar tiga puluhan. Sebenamya ia sudah mulai aktif menulis sejak tahun 1950. Akan
tetapi, kepenulisannya baru diakui sekitar tahun 1955 sejak cerpennya banyak muncul di
beberapa majalah, seperti Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, dan Roman. Selain cerpen,
Navis juga menulis naskah sandiwara untuk beberapa stasiun RRI, seperti Stasiun RRI
Bukittinggi, Padang, Palembang, dan Makassar. Selanjutnya, ia juga mulai menulis novel.
Tema yang muncul dalam karya A.A. Navis biasanya bernapaskan kedaerahan dan
keagamaan sekitar masyarakat Minangkabau. Tentang kehadirannya dalam sastra
Indonesia, A. Teeuw berkomentar bahwa Navis sebenarnya bukan seorang pengarang
besar, melainkan seorang pengarang yang menyuarakan suara Sumatera di tengah konsep
Jawa (pengarang Jawa) sehingga ia layak disebut sebagai pengarang “Angkatan Terbaru”.
Komentar lain, Abrar Yusra, mengatakan bahwa cerpen Navis “Robohnya Surau Kami”
yang mendapat hadiah kedua dari majalah Kisah sebenarnya lebih terkenal daripada cerpen
“Kejantanan di Sumbing” karya Subagio Sastrowardoyo. Di luar bidang
kepengarangannya itu, Navis bekerja sebagai pemimpin redaksi
di harian Semangat (harian angkatan bersenjata edisi Padang), Dewan Pengurus Badan
Wakaf INS, dan pengurus Kelompok Cendekiawan Sumatera Barat (Padang Club). Di
samping itu, Navis juga sering menghadiri berbagai seminar masalah sosial dan budaya
sebagai pemakalah atau peserta. Setelah Navis menikah, istrinya juga ikut membantu
pekerjaannnya sebagai sastrawan. Apabila ia sedang menulis sebuah cerita, istrinya selalu
mendampinginya dan membaca setiap lembar karangannya. Ia memperhatikan reaksi
istrinya ketika membaca dan itu yang dibuatnya sebagai ukuran bahwa tulisannya sesuai
atau tidak dengan keinginannya. Di hari tuanya, Navis menyimpan beberapa gagasan untuk
menulis cerpen dan memulai menggarap novel. Beberapa dari keinginannya itu sudah
selesai, tetapi banyak juga yang terbengkalai. Kendalanya adalah usianya yang bertambah
tua yang menyebabkan daya tahan tubuh dan pikirannya semakin menurun. A.A. Navis
meninggal karena sakit di Rumah Sakit Pelni, Jakarta, tahun 2004.
B. Nilai moral yang terkandung :
 Nilai sosial: saling membantu satu sama lain jika seseorang berada dalam masalah,
saling menghormati antar manusia, dan tidak boleh saling menghina satu sama lain.
 Nilai moral: hormat dan suka menolong, serta tidak mementingkan diri sendiri dalam
hidup.
 Nilai agama: menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat,
serta tidak terlalu lemah atau terlalu kuat dalam iman kita.
 Nilai pendidikan: kerja keras, memaafkan, sabar, dan tanggung jawab.
 Nilai budaya: menjaga apa yang sudah dijaga dan tidak membiarkan kerobohan dan
kebodohan manusia merusaknya.
3. Alasan cerita sangat berkesan :
Karena cerita ini memberikan banyak nilai-nilai dalam kehidupan. Dimana dalam Cerpen
"Robohnya Surau Kami" karya A.A. Navis ini menceritakan tentang seorang kakek yang
menjaga sebuah surau di sebuah desa. Kakek tersebut merasa tersindir oleh cerita Ajo
Sidi tentang Haji Saleh yang dikirim Tuhan ke neraka akibat keegoisannya saat hidup
hanya untuk Tuhan dan tidak mempedulikan kehidupan sekitarnya. Kakek berpikir bahwa
tak apa hidupnya miskin asal tidak miskin ibadahnya kepada Tuhan. Akibatnya, Kakek
mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Dengan cerita tersebut, memberikan nilai-
nilai berupa nilai sosial, moral, agama, pendidikan dan budaya.Jadi dapat diambil
pelajaran bahwa kita harus berhati-hati dalam menerima cerita atau informasi dari orang
lain, terutama jika cerita tersebut dapat mempengaruhi keyakinan dan iman kita. kita juga
harus menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, serta tidak
terlalu lemah atau terlalu kuat dalam iman kita.

Anda mungkin juga menyukai