NIM : 22010644020
Kelas : PGSD 2022B
ANALISIS CERPEN
Judul Cerita Pendek : Mencuri Perahu
Penulis : Ilham Q. Moehiddin
Link : https://www.goethe.de/ins/id/id/m/kul/lit/voi/20740114.html
“Ikan Duyung kan bawa sial pada nelayan. Ikan itu harus diusir jika mendekati perahu.”
“Siapa yang mengatai kau macam itu!” Meradang Ama Bandi mendengar pertanyaan Ripah,
anak perempuan 15 tahun itu. Buku-buku jemarinya mengeras. Sepertinya, hendak lekas saja dia
meninju seseorang.
“Orang-orang di pasar membiarkan anak mereka mengejekku,” jelas Ripah. Mukanya pucat
melihat amanya dipenuhi amarah. Bandi melompat dari kursi, sigap melepas sarung dan
menurunkan sebilah taa dari gantungannya.
“Tak usahlah Ama layani mereka. Aku tak apa-apa,” sergah Ripah melihat tingkah ayahnya.
Suara datar Ripah membuat Bandi menghentikan gerakannya. Mukanya heran, amarahnya tiba-
tiba surut. “Mengapa Ripah?” Bandi berjongkok, meletakkan bilah taa di lantai, lalu menatap
anak perempuannya, “Ama akan membelamu jika ada orang yang mengejekmu serupa itu.”
“Tak perlu. Tindakan Ama hanya akan membuat mereka kian menjadi-jadi. Makin malu aku
dibuatnya nanti,” ujar Ripah sambil mengusap air matanya.
“Ripah… kau tak perlu mendengar bualan orang. Mana ada anak ikan itu. Manusia tentu beranak
manusia.”
Ripah langsung berdiri. Mendelik pada ayahnya, lalu berjalan masuk dapur. Bandi bangkit dari
jongkoknya, menggantung kembali taa pada sangkutannya dan berjalan ke bibir jendela.
Matanya menyapu pinggiran pantai Talaga Besar yang sedang dihadang angin barat.
Sudah sepekan dia tak melaut. Pun sama dengan kebanyakan nelayan lainnya. Banyak di antara
mereka tak ada yang berani turun melaut jika musim angin barat. Meski, untuk alasan tertentu,
sesekali ada juga yang memberanikan diri menyabung nyawa di lautan. Tapi Bandi tak mau
ambil risiko seperti itu. Anaknya hanya Ripah dan belum menikah pula. Istrinya sudah lama
wafat ketika melahirkan Ripah.
Ketika Ripah masih bayi, imannya nyaris habis jika mendengar gunjing orang banyak perihal
istrinya. Entah setan apa yang merasuki hati dan pikiran Salamah, istrinya itu, hingga dia berbuat
nekat begitu.
Setelah persalinan, bahkan ari-ari bayi belum sempat diputuskan, Salamah tiba-tiba bangkit dari
pembaringan dan melompat keluar rumah, berlari menuju pantai. Gerak cepat Salamah tak
disangka Bandi. Tak dapat dikejar istrinya itu sehingga terlambat baginya menghalau Salamah
menceburkan diri ke laut. Tubuh Salamah langsung hilang ditelan ombak besar. Kejadiannya
juga persis saat musim angin barat.
Bandi menduga, istrinya itu jadi gila memikirkan ekonomi keluarga mereka. Musim angin barat
yang panjang membuat kedua orang suami-istri itu resah. Bandi harus punya uang untuk
persalinan Salamah, tapi istrinya justru mencegahnya melaut.
Maju tak mungkin, apalagi mundur. Mereka berdua benar-benar terjepit keadaan. Tersebab itulah
barangkali hingga Salamah berpikiran pendek. Bunuh diri dengan cara gila macam itu.
Semalaman semua lelaki di kampung nelayan itu mencari tubuh Salamah, termasuk Bandi. Si
bayi dititipkan pada bidan desa yang membantu Salamah melahirkan. Hingga pagi menjelang,
mereka tak menemukan tubuh Salamah. Bukan jasad perempuan itu yang mereka dapati di
sekitar pantai, justru seekor ikan duyung yang bertingkah aneh.
Ikan duyung itu berenang ke sana-ke mari mengitari pantai. Sesekali menyembulkan separuh
tubuhnya ke permukaan air, lalu berbunyi. Orang-orang yang sedang sibuk mencari jasad
Salamah mencoba mengusirnya, tapi ikan duyung itu tak juga mau pergi. Entah dari mana
datangnya ikan itu.
Bandi tidak mempersoalkan kehadiran ikan itu. Bukan hal itu yang membuat dia risau,
melainkan gunjingan orang setelah tiga hari kemudian. Semua penduduk lelaki memang tak
berhenti mencari selama sepekan, tapi mulut perempuan-perempuan kampung juga tak hentinya
bergunjing.
Mereka mulai menanggapi kehadiran ikan duyung itu sebagai jelmaan Salamah. Lama kelamaan
pergunjingan itu bertambah liar dan nama Bandi mulai pula disangkut-pautkan. “Pantas saja
hidupnya susah. Si Bandi itu mengawini ikan duyung rupanya.” Demikian gunjing seorang
perempuan.
“Ikan Duyung kan bawa sial pada nelayan. Ikan itu harus diusir jika mendekati perahu. Eh, si
Bandi itu malah mengawininya, ya?” sambar perempuan lainnya. Lalu, ramailah di antara
mereka membincangkan satu masalah itu saja.
Mereka bahkan mulai menyebut-nyebut bayi Salamah yang bahkan belum diberi nama itu.
Mereka mulai melarang siapa saja datang menjenguk bayi Salamah. Takut kena sial, kata
mereka. Jika bertemu Bandi sedang menggendong bayinya di depan rumah, mereka buru-buru
berlalu tanpa menyapa. Bahkan tak menoleh.
Keadaan inilah yang selalu dikhawatirkan Bandi. Sejak dahulu, dia sudah menduga akan datang
saat-saat seperti ini. Ripah akhirnya harus menghadapi situasi dan sikap kolot masyarakat di
sekitar mereka. Dahulu, Bandi pun masih suka percaya takhayul macam itu, tapi semenjak dia
bisa membaca lewat program Paket-B, perlahan-lahan banyak takhayul yang tak masuk akal
harus dia buang.
Tetapi, Ripah. Apalah daya gadis remaja seusia dia menghadapi cemooh dan gunjingan orang
sekampung. Kejadian di pasar barusan itu membuat Bandi makin khawatir.
Tak ada sahutan dari kamar putrinya itu. Waktu Magrib baru saja berlalu. Bandi menuju dapur.
Perutnya minta diisi. Aroma harum sayur berkuah santan dari arah dapur begitu menggugah
seleranya. Tetapi Ripah tak ada di dapur. Ah, barangkali anak itu sedang mengambil air, mengisi
bak di belakang rumah. Bandi memutuskan makan lebih dulu. Jika dibiarkan dingin, sayur
berkuah santan itu tak akan lezat lagi.
Baru saja separuh piringnya tandas, Bandi terkejut bukan main. Darahnya mengalir cepat. Dia
melompat dari kursi, meninggalkan makanannya begitu saja. Tak menjejak anak tangga lagi,
Bandi melompat seraya berteriak pada adiknya yang kebetulan berumah persis di sebelah
rumahnya.
Bakri tampak menjulurkan kepalanya dari jendela. “Ada apa?! Mengapa berteriak malam-malam
begini?”
“Turun kau! Bantu aku cari kemenakanmu. Cari Ripah! Dayungku hilang. Perahuku dicuri!”
balas Bandi berteriak.
Wajah Bakri pun pucat. Tanpa menghiraukan istrinya, Bakri ikut melompat turun dari rumahnya
dan mengejar Bandi yang sudah lebih dulu berlari ke arah pantai. Entah kesulitan apa yang
sekarang dihadapi kemenakannya itu.
Orang-orang yang mendengar teriakan Bandi pun ikut keluar rumah. Mereka menghadang Bakri
dan bertanya, “Ada apa dengan kalian?”
“Dayung Bandi hilang!” teriak Bakri pendek, sambil berlari mengejar kakaknya.
Orang-orang lelaki itu pun ikut pucat. Mereka tak membuang waktu, ikut berlari menyusul Bakri
dan Bandi. Hanya kaum lelaki di kampung itu yang menaruh simpati pada keluarga Bandi.
Mereka mengabaikan permintaan istri mereka untuk tidak bergaul dengan Bandi.
Setibanya di pantai, Bandi langsung menuju tempat tambatan perahu. Bakri bersama dua lelaki
lainnya mengumpulkan pelapah kelapa kering, memilinnya hingga erat, melipat ujungnya
menjadi dua. Mereka membuat obor. Dibaginya semua obor itu pada setiap orang lelaki yang
datang membantu. Setelah dinyalakan, mulailah mereka menyusuri pantai sambil meneriakkan
nama Ripah berulang-ulang. Suara mereka beradu dengan kerasnya hempasan ombak.
Bandi mendapati Bakri. “Perahuku tak ada di tambatannya,” katanya gugup. Wajahnya
berkeringat dan matanya menjadi liar. “Ini bagaimana?” tanyanya panik.
“Lepaskan beberapa perahu dan siapkan petromaks. Kita harus temukan Ripah malam ini juga!”
perintah Bakri. Bandi bergegas melaksanakan permintaan adiknya itu. Dia sukar berpikir saat ini.
Untung saja adiknya bisa lebih tenang darinya.
Saat sedang makan tadi, jantung Bandi hampir berhenti saat melihat dayungnya tak ada di
gantungan. Jika nelayan tak melaut, dayung digantungkan di tempatnya. Apalagi sekarang ini
musim angin barat. Pada musim macam ini, perahu ditambatkan agak jauh dari bibir pantai.
Sebab jika air naik, kadangkala perahu yang tak diikat pada tambatan akan diseret air ke tengah
laut. Jika diikat pun dan air mencapainya, ombak masih akan membenturkan satu perahu dengan
lainnya.
Saat Bandi menyadari dayungnya sudah tak ada di tempatnya, tak ada sangkaan lain jika
Ripahlah yang telah mengambilnya. Dayung harus satu dengan perahunya. Jika dayung di
sangkutan hilang, itulah pertanda bahwa perahu telah hilang dicuri.
Ripah seorang diri mendorong perahu menuju laut di saat ombak sedang tinggi-tingginya saat
ini. Gadis remaja itu tak tahu bahaya apa yang sedang dihalaunya.
Ombak sesekali menghempas keras pinggiran pantai. Membuat mereka sedikit kewalahan
melarungkan perahu. Mati-matian mereka menahan perahu agar tetap mengapung dan tak
kemasukan air laut yang datang menghantam silih berganti.
Mereka diberangkatkan dalam kelompok-kelompok kecil, setiap tiga perahu. Setiap perahu berisi
dua orang. Bandi sudah mendahului mereka dan kini sudah agak ke tengah. Lalu, satu kelompok
lagi dilarungkan. Bakri masuk di kelompok ketiga. Kemudian menyusul kelompok keempat dan
kelima. Satu perahu dari kelompok keempat nyaris tak bisa menyusul setelah terbalik dihantam
ombak dari arah samping.
Lima belas lampu kini berkelap-kelip di tengah laut. Suara-suara panggilan mereka bersaing
mengalahkan hebatnya debur ombak. Setibanya mereka di titik pertemuan, masing-masing
perahu kemudian menyebar dalam radius yang perlahan-lahan makin luas. Lampu-lampu mereka
kini bagai kunang-kunang yang menyebar di atas air.
Bakri telah memberi tahu, jika bertemu perahu Ripah, segeralah memberi isyarat lampu pada
lainnya. Bukan saja besarnya ombak yang mereka khawatirkan, melainkan lusinan karang di
bagian utara pulau, dan tentunya Ripah yang tidak berpengalaman sama sekali.
Hampir dua jam lebih semua perahu itu menyebar saat sebuah isyarat terlihat dari kejauhan.
Tampaknya sebuah perahu baru saja menemukan sesuatu. Semoga bukan jasad Ripah atau
pecahan perahunya.
Begitu melihat isyarat itu, semua perahu bergerak perlahan saling mendekat. Bandi yang berada
dijarak terdekat dari posisi perahu pemberi isyarat itu, sudah merapat lebih dulu. Hampir pecah
tangis lelaki itu tatkala melihat anak gadisnya dalam keadaan selamat. Perahu Ripah nyaris
dipenuhi air dan dayungnya tidak ada. Nelayan yang pertama menemukan Ripah telah
mengikatkan perahu anak itu ke perahu miliknya dan airnya sedang ia kuras.
“Ripah…! Ada apa denganmu, Nak? Mengapa berbuat seperti ini?!” teriak Bandi berusaha
melawan debur ombak saat menanyai anak gadisnya. Ripah hanya sekilas melihat ayahnya, lalu
kembali matanya menyusuri permukaan air. Sepertinya gadis itu tak hirau lagi dengan
sekelilingnya.
“Aku hendak mencari Ina. Inaku tadi muncul di sini, di dekat perahu, lalu dayung Ama
disambarnya, dibawanya pergi.”
“Apa yang kau bicarakan ini?” Bandi jadi hilang kesabaran. Tubuh Ripah dia guncangkan agar
sadar.
Tapi Ripah diam lagi. Matanya terus berputar awas berusaha menembus kegelapan malam di
lautan itu. Sekarang, semua perahu sudah saling merapat. Bakri melompat ke perahu di mana
Bandi dan Ripah berada. Tangannya lalu meraih kemenakannya itu.
Bakri tertunduk. Bandi justru jatuh terduduk sambil memegangi kepalanya. Lelaki itu menangis
untuk pertama kalinya. Hal yang bahkan tak dia lakukan saat istrinya hilang 15 tahun silam.
“Mengapa kau dengarkan kata-kata orang. Paman sudah berulang kali bilang, dengarkan amamu
saja. Amamu lebih paham tentang ini semua daripada orang-orang itu.” Bakri sedang mencoba
membujuk Ripah.
Ripah menggeleng kuat-kuat. “Tidak. Orang-orang itulah yang benar. Tadi Ina menghampiriku,
berenang di sisi perahuku. Ina mendorong perahuku ke tempat ini, tapi menyambar dayung dan
membawanya pergi.”
“Tidak, Ripah. Inamu bukan ikan. Tak ada ikan beranak manusia.”
Ripah tiba-tiba menolak tubuh pamannya. Mimiknya tak suka pada ucapan pamannya barusan.
Ripah lalu bergerak ke bibir perahu. Sambil memegangi bibir perahu, matanya kini nyalang
mengawasi permukaan air.
Bakri menghela napas berat. Dia bangkit dan memutar tangannya di udara. Itu isyarat bagi semua
nelayan untuk kembali ke pantai. Malam ini sudah cukup berat bagi semuanya. Masalah Ripah
nanti mereka selesaikan di darat saja.
Rombongan perahu itu pun pelan-pelan memisah dan satu per satu menuju pantai. Ripah kini
bersama ayahnya di perahu milik mereka. Ayahnya mendapat pinjaman dayung dan perahunya
diikat di belakang perahu Bakri.
Sekitar 200 meter dari pantai, entah dari mana datangnya, seekor ikan duyung tiba-tiba muncul
berenang di sisi kanan perahu Bandi. Sesekali ikan itu menyelam lalu muncul lagi di sisi satunya.
Ripah yang menyadari itu lebih dulu, tanpa tercegah, membuang dirinya ke laut. Seolah hendak
dia susul ikan duyung itu.
Bandi yang sedikit lengah ikut melompat ke air. Namun, gelombang yang datang dari belakang
perahu menabrak tubuhnya, menggulingkannya, hingga dia harus segera meraih cadik perahu
agar bisa mengapung. Tapi tubuh Ripah tak dilihatnya. Bandi berteriak pada Bakri, “Ripah terjun
ke laut!” serunya.
Bandi menyelam lagi. Bakri menyusulnya melompat dari perahu. Kedua kakak-beradik itu
berulang-ulang menyelam mencari tubuh Ripah. Dua orang di perahu Bakri ikut pula melompat
berusaha membantu Bandi dan Bakri. Beberapa menit mereka mencari Ripah sambil berjuang
melawan hantaman ombak, akhirnya Bakri menyerah.
Bakri menarik tubuh Bandi, berusaha mengapung di atas ombak yang mendorong keduanya, dan
dua orang lainnya menuju pantai. Bandi pasrah. Dia biarkan tubuhnya diseret Bakri menuju
pantai. Di atas pasir, lelaki itu menangis.
Selama empat hari selanjutnya, orang-orang masih melakukan pencarian atas Ripah. Tapi, sama
seperti ibunya dahulu, Ripah tak pernah ditemukan lagi.
Semenjak hari itu, Bandi kerap menghabiskan sorenya di tepi pantai, duduk di atas perahunya
yang ditambat. Matanya terus-menerus menyapu permukaan air. Seperti berusaha mencari jejak
kedua buah hatinya itu. Jika adiknya atau orang-orang mengajaknya pulang, Bandi hanya
menyahuti mereka tanpa ekspresi.
“Aku sedang menjaga perahu agar tidak dicuri para ikan,” ujarnya pendek.
Istilah:
ama = bapak (bhs. Moronene)
taa = parang pendek khas orang Moronene
ina = ibu (bhs. Moronene)
A. Analisis Unsur Instrinsik
1. Tema
Konflik antara takhayul dan realitas, di mana kehidupan Bandi dan Ripah terpengaruh
oleh pandangan masyarakat sekitar terhadap mitos ikan duyung yang dianggap membawa
sial.
2. Alur
Alur cerita dalam cerpen ini maju dan mundur. Alur maju menggambarkan kejadian
sekarang, yaitu hilangnya Ripah, anak perempuan Bandi. Sementara alur mundur
membuka kisah tentang kehilangan istri Bandi, Salamah, yang meninggal ketika
melahirkan Ripah.
4. Latar
a. Waktu
Tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi terdapat indikasi bahwa cerita ini berlangsung
di masa lampau.
b. Tempat
Terutama di desa nelayan di sekitar pantai Talaga Besar.
c. Suasana
Suasana cerita berubah dari ketegangan konflik awal hingga suasana tragis dan penuh
duka pasca-kematian Ripah.
5. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan terlihat sederhana namun cukup menggambarkan suasana
dan perasaan karakter. Ada penggunaan dialog yang kuat untuk mengekspresikan emosi
dan konflik.
6. Sudut Pandang
Cerpen ini disampaikan dari sudut pandang pihak ketiga sehingga pembaca dapat melihat
dan memahami pemikiran beberapa karakter.
7. Amanat
Cerita ini mengandung amanat tentang bahaya prasangka masyarakat dan dampaknya
terhadap individu. Kehilangan yang dialami Bandi dan konflik yang dihadapi Ripah
menunjukkan betapa berbahayanya prasangka dan kepercayaan takhayul dalam
masyarakat. Amanat ini mengajak pembaca untuk lebih rasional dan tidak terjebak dalam
prasangka tanpa dasar.
3. Nilai-Nilai
a) Nilai Agama
Cerpen ini tidak secara eksplisit membahas nilai-nilai agama. Namun, dapat dilihat
bahwa tokoh Bandi mungkin mencari ketenangan dan penghiburan spiritual melalui
kegiatan nelayan dan kehidupan sehari-harinya di tepi pantai. Dalam kehidupan
masyarakat nelayan, seringkali terdapat hubungan erat dengan kepercayaan spiritual
dan keyakinan agama.
b) Nilai Moral
Nilai moral yang muncul melibatkan konsep-konsep seperti kejujuran, ketahanan,
dan pengorbanan. Bandi sebagai tokoh utama menunjukkan moralitas dalam
usahanya melindungi Ripah dan dalam menghadapi cemoohan masyarakat.
Kesetiaan terhadap nilai-nilai moral ini membentuk dasar dari karakter tokoh.
c) Nilai Sosial
Cerpen ini menyoroti nilai-nilai sosial dalam masyarakat nelayan. Ada penekanan
pada pentingnya solidaritas dan bantuan antaranggota masyarakat dalam menghadapi
cobaan. Para nelayan bergotong-royong dalam pencarian Ripah, mencerminkan
nilai-nilai sosial dalam membentuk komunitas yang peduli dan saling mendukung.
d) Nilai Budaya
Cerpen ini mengeksplorasi nilai-nilai budaya terkait kepercayaan dan takhayul
masyarakat nelayan. Konflik timbul karena persepsi negatif terhadap kehadiran ikan
duyung dan penolakan terhadap Ripah. Nilai-nilai budaya ini memainkan peran
dalam membentuk persepsi dan perilaku masyarakat terhadap situasi yang tidak
biasa.
Dengan latar belakang kehidupan nelayan yang realistis dan perjalanan emosional karakter
utama, cerpen ini mampu menciptakan daya tarik yang kuat. Penggambaran yang kaya akan
nuansa dan perasaan membuat cerita ini relevan dan dapat dirasakan oleh pembaca dari
berbagai latar belakang. Melalui tema-tema universal seperti kehilangan, keluarga, dan
pandangan masyarakat, cerpen ini berhasil menyampaikan pesan moral yang membuatnya
layak dibaca dan meninggalkan kesan yang tahan lama.
2. Kelebihan
a. Cerpen ini mampu menyajikan nuansa emosional yang mendalam, terutama melalui
penggambaran kehilangan, kesedihan, dan perjuangan karakter utama. Ini memberikan
kekuatan dan kedalaman pada cerita, membuat pembaca terhubung dengan perasaan
karakter.
b. Penggambaran kehidupan seorang nelayan dengan segala tantangan dan dilema
ekonomi, ditambah dengan konflik internal dan eksternal yang dihadapi, menjadikan
cerpen ini realistis dan relevan. Hal ini membuat cerita lebih meresap dan dapat diresapi
oleh pembaca dari berbagai latar belakang.
c. Cerpen ini menyampaikan pesan moral yang kuat tentang keberanian, pengorbanan, dan
cara mengatasi pandangan negatif masyarakat. Hal ini memberikan dimensi lebih pada
cerita dan meninggalkan kesan yang bernilai.