Anda di halaman 1dari 18

Sang kansil dab buaya

Pada suatu hari, si Kancil, binatang yang katanya cerdik itu, tengah berjalan-
jalan di pinggir hutan. Berhubung di dalam hutan itu terlalu gelap karena
pohon-pohonnya juga sangat lebat, maka dirinya hanya ingin mencari udara
segar sambil melihat matahari yang cerah bersinar. Si Kancil ingin berjemur
sebentar di bawah terik matahari. Tepatnya setelah sampai di pinggir sungai
besar, dirinya merasa perutnya lapar sekali.

“Krucuk…krucuk…” begitu kira-kira bunyi perut si Kancil yang tengah merasa


lapar. Lantas, si Kancil membayangkan betapa enaknya kalau dirinya makan
makanan kesukaannya yaitu timun. Namun sayangnya, kebun timun yang
berbuah ranum itu ada di seberang sungai besar itu. Si Kancil diam dan berpikir
akan bagaimana cara menyeberangi sungai besar ini ya…
Si Kancil terus berpikir mencari akal mengenai bagaimana cara dirinya dapat
menyeberangi sungai besar ini tanpa harus menyentuh airnya yang dingin dan
deras itu. Tiba-tiba, si Kancil memandang beberapa buaya yang asyik berjemur
di tebing sungai. Memang sudah kebiasaan mereka untuk berjemur terutama
ketika matahari tengah terik seperti ini. Tanpa menunggu waktu yang lama lagi,
Si Kancil langsung menghampiri salah satu buaya yang tengah berjemur itu.

“Hai buaya, apa kabarmu hari ini?”


Buaya yang kala itu masih asyik menikmati cahaya matahari lantas membuka
matanya dan mendapati ada Si Kancil yang tengah menyapa. “Kabar baik. Ada
apa kamu kemari?”, tanya Buaya kepada Si Kancil.
“Aku kemari untuk membawakan kabar gembira untukmu dan para
kawananmu”, jawab Si Kancil dengan wajah bahagia. Mendengar perkataan
tersebut, tentu saja Buaya tidak sabar mendengar kabar gembira yang
dimaksudkan oleh Si Kancil. “Segera ceritakan apa kabar gembira tersebut!”
Si Kancil kemudian berkata, “Aku kemari karena diperintahkan oleh Raja
Hutan kita supaya menghitung jumlah buaya yang ada di sungai ini, sebab
Sang Raja Hutan hendak memberikan hadiah kepada kamu dan para
kawananmu semua…”
Mendengar nama Raja Hutan tentu saja langsung membuat Buaya percaya
dengan pembicaraan tersebut. “Baiklah, Kancil. Kamu tunggu di sini dahulu,
aku akan turun ke dasar sungai untuk memanggil semua kawananku”, kata
Buaya langsung merangkak secara cepat menuju dasar sungai. Sementara
menunggu Buaya dan kawanan lainnya datang, Si Kancil tengah berangan-
angan untuk segera menikmati timun favoritnya.
Tak lama kemudian, semua buaya yang awalnya berada di dasar sungai telah
berkumpul di tebing sungai. Si Kancil lantas memulai pembicaraan
kembali, “Hai buaya sekalian. Aku kemari karena telah diperintahkan oleh
Sang Raja Hutan untuk menghitung kalian semua. Sebab, Sang Raja Hutan
hendak memberikan kalian semua hadiah istimewa pada hari ini. Maka dari
itu, berbarislah kalian semua dari tebing sebelah sini sampai ke tebing sebelah
sana ya…”
Mendengar perintah yang berhubungan dengan Sang Raja Hutan, tentu saja
langsung membuat para buaya melaksanakannya tanpa membantah. Mereka
langsung berbaris dengan rapi sesuai dengan perintah Si Kancil. “Nah Kancil,
sekarang hitung kami semua”, kata salah satu buaya yang paling besar.
Si Kancil kemudian mengambil sepotong kayu yang berada di sekitarnya lalu
melompat ke atas tubuh buaya pertama di tepi sungai. Dirinya mulai
menghitung dengan menyebut, “Satu dua tiga lekuk, jantan betina aku ketuk”,
sambil mengetuk kepala buaya hingga dirinya berhasil menyeberangi sungai
besar tersebut. Setelah sampai di tebing seberang sungai, si Kancil langsung
melompat gembira dan berkata, “Hai para buaya, apakah kamu tahu bahwa
aku sebenarnya tidak membawa berita baik dari Sang Raja Hutan? Sebenarnya
aku telah menipu kalian semua supaya dapat menyeberangi sungai besar ini.
Ha…ha…ha…”
Melihat si Kancil yang tertawa-tawa sambil berkata demikian, para buaya
merasa marah sekaligus malu karena telah diperdaya oleh Si Kancil. “Dasar
kamu Kancil nakal nan licik. Awas kamu ya… Kalau bertemu lagi, akan
kumakan kamu!” kata salah satu buaya.
Si Kancil sama sekali tidak takut dengan ancaman tersebut dan langsung berlari
kegirangan meninggalkan para buaya untuk segera menuju kebun timun yang
ranum. Dirinya segera menghilangkan rasa lapar di dalam kebun timun tersebut.

Sang semut dan sang merpati

Pada suatu hari, ada seekor semut yang sedang mencari makan. Ia
terpisah dari rombongannya hingga ke tengah hutan.
Saat sampai di dalam hutan, ia pun kehausan dan menepi ke pinggir sungai
untuk minum air sungai. Saking hausnya, ia mencondongkan tubuh ke arah
sungai terlalu dalam hingga akhirnya ia tergelincir dan tercebur ke dalam
sungai.

Semut terus berteriak untuk meminta pertolongan. Ia berharap ada hewan di


dalam hutan yang mendengar teriakannya. Sayangnya, teriakannya tersebut
sama sekali tidak terdengar oleh hewan-hewan lainnya.

Berhubung arus sungai pada saat itu sangat deras, maka tak heran kalau semut
terbawa arus hingga ke tengah sungai yang agak dalam. Saat sudah tidak
memiliki tenaga dan menyerah, ia masih tetap meminta tolong dengan suaranya
yang semakin surut.

Pada saat itu, terlihatlah seekor burung merpati yang sedang terbang di atas
sungai dan melihat seekor semut yang sudah hampir tenggelam. Karena kasihan
melihat semut yang sudah akan tenggelam, burung merpati itu pun menolong
semut tersebut dengan cara menarik sehelai daun yang ada di pohon dekatnya,
lalu menjatuhkannya ke samping semut.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, sang semut pun berusaha naik ke atas daun.
Saat semut sudah naik ke atas daun, burung merpati mendekati dan menggigit
daun tersebut, lalu menyeretnya hingga ke tepi sungai. Alhasil, semut pun
berhasil diselamatkan oleh burung merpati.

Ia sangat berterima kasih dengan burung merpati karena telah menyelamatkan


nyawanya dan berjanji kalau ia akan membalas kebaikannya di kemudian hari.

Balas Budi Semut pada Burung Merpati


Tak berapa lama berselang sejak nyawa semut berhasil diselamatkan oleh
burung merpati, di suatu hari semut yang sedang berjalan santai mencari makan
melihat burung merpati.

Burung merpati ternyata sedang asik bertengger di atas pohon, sehingga ia tidak
melihat kalau ternyata ada seorang pemburu yang sudah mengincarnya dengan
senapan. Semut yang berada di dekat lokasi tersebut melihat si pemburu yang
sedang membidik burung merpati.

Ia kemudian berlari sekencang mungkin dan sekuat tenaga menghampiri si


pemburu. Ketika akan melepaskan tembakan ke arah burung merpati, semut
dengan sigap langsung menggigit tangan pemburu. Karena merasa terkejut dan
sakit, si pemburu melepaskan tembakan ke sembarang arah.
Suara tembakan yang kencang terdengar oleh burung merpati dan membuatnya
terbang menjauh dari pemburu. Semut pun juga ikut berlari menjauh dari
pemburu. Keduanya pun berhasil melarikan diri dari ancaman si pemburu.

Putri pukes
Hiduplah sepasang suami istri dengan anak perempuannya yang cantik jelita di
Negeri Aceh. Selain cantik, ia juga rajin dan sangat menyayangi keluarganya.

Seorang pemuda tampan ingin meminang gadis itu. Ia berasal dari keluarga
terhormat dan kaya raya di negeri seberang. Si gadis menerima pinangan si
pemuda setelah keluarganya memberi restu. Pesta pernikahan pun
dilangsungkan dengan amat meriah.

Setelah beberapa hari, pemuda itu hendak pulang ke kampung halaman. Ia


mengajak istrinya. Hati sang istri amat berat meninggalkan keluarga dan
desanya. Namun, ia harus mengikuti ajakan suami sebagai tanda bakti dan
kesetiaan kepada suaminya.

"Anakku, tinggallah di negeri suamimu," pesan sang ayah. "Ingatlah, selama


dalam perjalanan, jangan menoleh ke belakang. Jika melakukannya, kau akan
menjadi batu!"

Si gadis dan suaminya pun meninggalkan desa. Mereka memulai perjalanan


jauh menuju negeri di seberang lautan. Hingga tibalah mereka di Danau Laut
Tawar. Mereka menaiki sebuah sampan dan menyeberangi danau itu.

Saat sampan mengarungi danau, si gadis mendengar suara ibunya. Suara itu
terus memanggil-manggil namanya. Kejadian itu berlangsung lama. Akhirnya,
si gadis lebih memilih menoleh. Petaka pun seketika terjadi. Sesaat setelah si
gadis menolehkan wajahnya ke belakang, tubuhnya berubah menjadi batu.
Betapa sedih hati sang suami. Karena terlalu cinta, sang suami ingin selalu
bersama istrinya. Ia lantas memohon kepada Tuhan agar dirinya berubah
menjadi batu. Selesai memohon, tubuh si pemuda berubah menjadi batu.
Sepasang batu itu berada di tepi Danau Laut Tawar.

Putri tujuh
Putri Tujuh adalah dongeng atau cerita rakyat mengenai asal mula Kota Dumai
di provinsi Riau.
Pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan bernama Seri
Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Cik
Sima. Ratu ini memiliki tujuh orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal
dengan Putri Tujuh. Dari ketujuh putri tersebut,putri bungsulah yang paling
cantik, nama nya Mayang Sari. Putri Mayang Sari memiliki keindahan tubuh
yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri
bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alisnya bagai semut
beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Karena itu,
sang Putri juga dikenal dengan sebutan Mayang Mengurai . Pada suatu hari,
ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam
dan bersendau gurau, ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang
matayang sedang mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang
Kuala dan para pengawalnya yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka
mengamati ketujuh putri tersebut dari balik semak-semak. Secara diam-diam,
sang Pangeran terpesona melihat kecantikan salah satu putri yang tak lain
adalah Putri Mayang Sari.
Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih,
“Gadis cantik di lubuk Umai....cantik di Umai. Ya,
ya.....d‘umai...d‘umai....”Kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran
Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang Putri.
Karena itu, sang Pangeran berniat untuk meminangnya.
Beberapa hari kemudian, sang Pangeran mengirim utusan untuk meminang
putri itu yang diketahuinya bernama Mayang Mengurai. Utusan tersebut
mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran raja kepada
Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut oleh
Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga
Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima
pun menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada
combol paling besar di antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak
itu. Enam buah combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong.
Adat ini melambangkan bahwa putri tertualah yang berhak menerima
pinangan terlebih dahulu. Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan
tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran.
“Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan.
Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima
pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai.”
Mendengar laporan itu,sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang
amat sangat. Sang Pangerantak lagi peduli dengan adat yang berlaku di
negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa
dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para
panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga
Tanjung.
Pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak
dapat dielakkan lagi. Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu
Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan
menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah
dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali
ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang
Ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap
pasukan Pangeran Empang Kuala.
Sudah 3 bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak
kunjung usai. Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima
semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung
dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat negerinya hancur
dan tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang sedang
bertapa di bukit Hulu Sungai Umai. Pada suatu senja, pasukan Pangeran
Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka berlindung di
bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa
yang sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu
buah bakau yang jatuh dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran
Empang Kuala. Tak sampai separuh malam, pasukan Pangeran Empang
Kaula dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan Kerajaan Empang Kuala
tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran
Empang Kuala. Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang
masih terduduk lemas menahan sakit langsung bertanya,
“Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?”.
Sang Utusan menjawab,
“Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar
Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah
merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga
Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk, malapetaka akan
menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke negeri Seri
Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya”.
kata utusan Ratu Cik Sima menjelaskan.
Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima itu, sadarlah
Pangeran Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai
peperangan tersebut. Pangeran langsung memerintahkan
pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala.
Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas mendatangi tempat
persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan. Alangkah
terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam
keadaan tak bernyawa. Mereka mati karena haus dan
lapar.Ternyata Ratu Cik Sima lupa, kalau bekal yang disediakan
hanya cukup untuk tiga bulan, Sedangkan perang antara Ratu Cik
Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat
bulan. Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas
kematian ketujuh putrinya, maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit
dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sampai kini,
pengorbanan Putri Tujuh itu tetap dikenang dalam sebuah lirik
yang diberi judul Tujuh putri yang berbunyi:

Putri salju
Di suatu pertengahan musim dingin, ketika salju berjatuhan dari langit seperti
bulu, seorang ratu duduk menjahit di dekat jendela. Rangka kayu yang
digunakan untuk membordir terbuat dari kayu ebony yang hitam pekat. Sambil
membordir, sang Ratu menatap salju yang turun dan tanpa sengaja jarinya
tertusuk oleh jarum sehingga tiga tetes darahnya jatuh membasahi salju. Saat ia
melihat betapa terang warna merahnya, ia berkata kepada dirinya sendiri, "Saya
berharap mempunyai anak yang putih seperti salju, merah seperti darah, dan
hitam seperti kayu ebony!".
Tidak lama setelah itu, sang Ratu melahirkan seorang putri yang kulitnya putih
seputih salju, bibirnya merah semerah darah, dan rambutnya hitam sehitam kayu
ebony , dan diberinya nama Putri Salju. Saat sang Putri lahir, sang Ratu pun
meninggal dunia.
Setelah setahun berlalu, sang Raja menikah kembali dengan seorang wanita
yang sangat cantik, tetapi angkuh dan tidak senang apabila ada yang melebihi
kecantikannya. Sang Ratu yang baru memiliki sebuah cermin ajaib, di mana
sang Ratu sering berdiri memandang ke dalam cermin dan berkata:
"Cermin di dinding, Siapa yang tercantik diantara semua?"
Dan sang Cermin selalu menjawab, "Anda adalah yang tercantik dari
semuanya".
Dan sang Ratu pun merasa puas, karena tahu bahwa Cermin ajaibnya tidak
pernah berkata bohong.
Putri Salju sekarang tumbuh makin lama makin cantik, dan saat ia dewasa,
kecantikannya jauh melebihi kecantikan sang Ratu sendiri. Sehingga suatu hari
ketika sang Ratu bertanya kepada cerminnya:
"Cermin di dinding, Siapa yang tercantik diantara semua?"
Sang Cermin menjawab, "Ratu, anda cantik, tetapi Putri Salju lebih cantik dari
anda."
Putri Salju berlari di hutan melalui batu tajam dan semak berduriSang Ratu
menjadi terkejut dan warna mukanya menjadi kuning lalu hijau oleh rasa
cemburu, dan semenjak saat itu, ia berbalik membenci Putri Salju. Semakin
lama, rasa cemburunya bertambah besar, hingga dia tidak memiliki kedamaian
lagi. Ia lalu memerintahkan seorang pemburu untuk membinasakan Putri Salju.
"Bawalah Putri Salju ke suatu hutan, sehingga saya tidak akan pernah
melihatnya lagi. Kamu harus membinasakannya dan membawa hatinya sebagai
bukti kepadaku.
Sang pemburu setuju, membawa Putri Salju ke suatu hutan; akan tetapi saat ia
menarik pedangnya, Putri Salju menangis, dan berkata:
"Wahai, pemburu, janganlah membunuhku, saya akan pergi dan masuk ke
dalam hutan liar, dan tidak akan kembali lagi."
Pemburu yang menaruh rasa kasihan, berkata:
"Pergilah kalau begitu, putri yang malang;" karena sang Pemburu berpikir
bahwa binatang liar di hutan akan memangsa Putri Salju, dan saat ia
melepaskan Putri Salju, hatinya menjadi lebih ringan seolah-olah terbebas dari
gencetan batu yang berat. Saat itu juga dilihatnya seekor babi hutan berlalu, dan
sang Pemburu menangkap babi hutan tersebut lalu mengeluarkan hatinya untuk
dibawa ke sang Ratu sebagai bukti.
Putri Salju yang sekarang berada dalam hutan liar, merasa ketakutan yang luar
biasa dan tidak tahu harus mengambil tindakan apa saat ketakutan melanda.
Kemudian dia mulai berlari, berlari di atas batu-batuan yang tajam dan berlari
menembus semak-semak yang berduri, dan binatang liar pun mengerjarnya,
tetapi tidak untuk menyakiti Putri Salju. Ia berlari selama kakinya mampu
membawa ia pergi, dan saat malam hampir tiba, ia tiba di sebuah rumah kecil.
Putri Salju pun masuk ke dalam untuk beristirahat. Segala sesuatu yang berada
di dalam rumah, berukuran sangat kecil, tetapi indah dan bersih. Di rumah
tersebut terdapat bangku dan meja yang di alas dengan taplak putih, dan di
atasnya terdapat tujuh buah piring, pisau makan, garpu dan cangkir minum. Di
dekat dinding, terlihat tujuh ranjang tidur kecil, saling bersebelahan, dan dilapisi
dengan seprei putih juga. Putri Salju menjadi sangat lapar dan haus, makan dari
tiap-tiap piring sedikit bubur dan roti, dan minum sedikit dari tiap-tiap cangkir,
agar ia tidak menghabiskan satu piring saja. Akhirnya Putri Salju merasa lelah
dan membaringkan dirinya di satu ranjang, tetapi ranjang tersebut ada yang
terlalu pendek, ada yang terlalu panjang, untungnya, ranjang yang ke-tujuh
sangat sesuai dengan tinggi badannya; dan ia pun tertidur di tempat tidur
tersebut.
Saat malam tiba, pemilik rumah pulang ke rumah dan mereka adalah tujuh
orang kurcaci yang pekerjaannya menggali terowongan bawah tanah di
pegunungan. Saat mereka menyalakan tujuh lilin yang menerangi seluruh
rumah, mereka sadar bahwa ada orang yang telah masuk ke dalam rumah
tersebut karena beberapa hal telah berpindah tempat, tidak seperti saat mereka
meninggalkan rumah.
Yang pertama berkata, "Siapa yang telah duduk di kursi kecilku?"
Yang kedua berkata, "Siapa yang telah makan dari piring kecilku?"
Yang ketiga berkata, "Siapa yang mengambil roti kecilku?"
Yang keempat berkata, "Siapa yang telah memakan buburku?"
Yang kelima berkata, "Siapa yang telah menggunakan garpuku?"
Yang keenam berkata, "Siapa yang telah memotong dengan pisauku?"
Yang ketujuh berkata, "Siapa yang telah minum dari cangkirku?"
Kemudian yang pertama, melihat ke sekeliling rumah dan melihat tanda-tanda
bahwa kasurnya telah ditiduri, berteriak, "Siapa yang telah tidur di ranjangku?"
Dan saat yang lainnya juga datang, mereka berkata, "Seseorang juga telah tidur
di tempat tidurku!"
Ketujuh kurcaci kagum akan kecantikan Putri SaljuKetika kurcaci yang ketujuh
melihat ranjangnya, dia melihat Putri Salju yang tertidur di sana, kemudian dia
menyampaikan ke kurcaci lain, yang datang tergesa-gesa untuk melihat Putri
Salju, dan dalam keterkejutan mereka, mereka masing-masing mengangkat
lilinnya untuk melihat Putri Salju dengan lebih jelas.
"Ya Tuhan! kata mereka, "siapakah putri yang cantik ini?" dan karena mereka
gembira melihat Putri Salju, mereka tidak tega untuk membangunkannya.
Kurcaci yang ketujuh terpaksa tidur bergantian dengan teman-temannya, setiap
satu jam, di tiap-tiap ranjang temannya sampai malam berlalu.
Menjelang pagi, ketika Putri Salju terbangun dan melihat ketujuh kurcaci, Putri
Salju menjadi ketakutan, tetapi mereka terlihat bersahabat dan bahkan
menanyakan namanya dan bagaimana dia bisa tiba di rumah mereka. Putri Salju
pun bercerita bagaimana ibunya berharap agar dia meninggal, bagaimana sang
Pemburu membiarkannya hidup, bagaimana ia lari sepanjang hari, hingga tiba
ke rumah mereka.
Para kurcaci kemudian berkata, "Jika kamu mau membersihkan rumah,
memasak, mencuci, merapihkan tempat tidur, menjahit, dan mengatur semuanya
agar tetap rapih dan bersih, kamu bisa tinggal di sini, dan kamu tidak akan
kekurangan apapun."
"Saya sangat setuju," katan Putri Salu, dan ia pun tinggal di rumah tersebut
sambil mengatur rumah. Pada pagi hari para kurcaci ke gunung untuk menggali
emas, pada malam hari saat mereka pulang, mereka telah disiapkan makan
malam. Setiap Putri Salju ditinggal sendiri, para kurcaci sering memberi
nasehat:
"Berhati-hatilah pada ibu tiri mu, dia akan tahu bahwa kamu ada di sini. Jangan
biarkan seorangpun masuk ke dalam rumah."
Ratu yang telah melihat bukti kematian Putri Salju yang berupa hati, yang
dibawa oleh pemburu, menjadi tenang, berdiri di depan cermin dan berkata:
"Cermin di dinding, Siapa yang tercantik diantara semua?"
Dan sang Cermin menjawab, "Ratu, walaupun kecantikanmu hampir tidak ada
bandingannya, Putri Salju yang hidup di sebuah rumah kecil beserta tujuh orang
kurcaci, seribu kali lebih cantik."
Ratu yang menyamar, menjual pita kepada Putri SaljuRatu menjadi terkejut saat
mendengarkannya, dan ia akhirnya tahu bahwa sang Pemburu telah menipunya,
dan Putri Salju masih hidup. Ia pun berpikir keras untuk menghabisi Putri Salu,
karena selama ia bukanlah wanita tercantik diantara semua, rasa cemburunya
tidak akan bisa membuat ia bisa beristirahat dengan tenang. Akhirnya ia pun
mendapatkan rencana, ia menyamarkan wajahnya dan memakai pakaian yang
biasa dipakai oleh wanita tua agar tidak ada yang bisa mengenalinya. Dalam
penyamarannya, ia melalui tujuh gunung hingga akhirnya tiba di rumah milik
tujuh kurcaci. Ia pun mengetuk pintu dan berkata:
"Barang bagus untuk dijual! barang bagus untuk dijual!"
Putri Salju mengintip dari jendela dan menjawab:
"Selamat siang, apa yang anda jual?"
"Barang bagus," katanya, "Pita berbagai macam warna" dan dia kemudian
menyerahkan sebuah pita yang terbuat dari sutera.
"Saya tidak perlu takut untuk membiarkan wanita tua ini masuk," pikir Putri
Salju, lalu ia pun membuka pintu dan membeli pita yang indah.
"Betapa cantiknya kamu, anakku!" kata wanita tua, "kemarilah dan biarkan saya
membantu kamu untuk memakaikan pita ini."
Putri Salju yang tidak curiga, berdiri di depannya dan membiarkan wanita tua
itu memasangkan pita untuknya, tetapi wanita tua itu dengan cepat mencekik
Putri Salju dengan pita hingga Putri Salju jatuh dan seolah-olah meninggal
dunia.
"Sekarang saatnya kamu berhenti sebagai wanita tercantik," kata wanita tua
sambil berlalu pergi.
Tidak lama setelah itu, menjelang malam, para kurcaci pulang ke rumah, dan
mereka semua terkejut melihat Putri Salu terbaring di tanah, tidak bergerak;
mereka mengangkatnya dan saat mereka melihat pita yang melilit leher Putri
Salju, mereka memotongnya dan saat itu Putri Salju bernapas kembali. Saat
kurcaci mendengar cerita dari Putri Salju, mereka berkata,
"Wanita tua yang menjadi penjual keliling, pastilah tidak lain dari ratu yang
jahat, kamu harus berhati-hati saat kami tidak berada di sini!"
Ketika ratu yang jahat tiba di rumah dan bertanya kepada sang Cermin:
"Cermin di dinding, Siapa yang tercantik diantara semua?"
Jawabannya sama dengan sebelumnya, "Ratu, walaupun kecantikanmu hampir
tidak ada bandingannya, Putri Salju yang hidup di sebuah rumah kecil beserta
tujuh orang kurcaci, seribu kali lebih cantik."
Saat mendengar jawaban tersebut, ia menjadi terkejut karena tahu bahwa Putri
Salju masih hidup.
"Sekarang, saya harus memikirkan cara lain untuk membinasakan Putri Salju."
Dan dengan sihirnya, ia membuat sisir yang mengandung racun. Kemudian dia
menyamar menjadi seorang perempuan tua yang lain. Lalu pergi menyeberangi
tujuh gunung dan datang ke rumah tujuh kurcaci. Ia mengetuk pintu dan
berkata,
"Barang bagus untuk dijual! barang bagus untuk dijual!"
Putri Salju melihat keluar dan berkata,
"Pergilah, Saya tidak akan membiarkan siapapun masuk."
"Tapi kamu tidak dilarang untuk melihat-lihat," kata si wanita tua sambil
mengeluarkan sisir beracun dan memegangnya. Sisir tersebut sangat menggoda
Putri Salju sehingga ia akhirnya membuka pintu dan membeli sisir itu, dan
kemudian wanita tua itu berkata:
"Sekarang, rambutmu harus disisir dengan benar."
Putri Salju yang malang tidak berpikir akan adanya mara-bahaya, membiarkan
wanita itu menyisir rambutnya, dan tidak lama kemudian, sisir pada racun mulai
bekerja dan Putri Salju pun terjatuh tanpa daya.
"Ini adalah akhir bagimu," kata si wanita tua sambil berlalu. Untungnya hari
sudah hampir malam dan para kurcaci pulang tidak lama setelah kejadian itu.
Saat mereka melihat Putri Salju terbaring di tanah seperti telah meninggal,
mereka langsung berpikir bahwa ini adalah perbuatan ibu tiri yang jahat.
Secepatnya mereka menarik sisir yang masih melekat di rambut Putri Salju dan
saat itupun Putri Salju terbangun, lalu menceritakan semua kejadian yang
dialaminya. Para kurcaci memperingatkan ia untuk lebih berhati-hati lagi dan
jangan pernah membiarkan orang masuk.
Saat ratu tiba di rumah, ia berdiri di depan cermin dan berkata,
"Cermin di dinding, Siapa yang tercantik diantara semua?"
Jawabannya sama dengan sebelumnya, "Ratu, walaupun kecantikanmu hampir
tidak ada bandingannya, Putri Salju yang hidup di sebuah rumah kecil beserta
tujuh orang kurcaci, seribu kali lebih cantik."
Putri Salju terjatuh setelah memakan apel beracunKetika ratu mendengar ini, ia
menjadi gemetar karena marah, "Putri Salju harus mati, walaupun saya juga
harus mati!" Lalu ia masuk ke kamar rahasianya dan di sana ia membuat sebuah
apel racun. Apel yang cantik dan menggiurkan, berwarna putih dan merah.
Siapapun yang melihatnya pasti tergiur dan siapapun yang memakannya
walaupun sedikit, akan mati keracunan. Saat apel itu telah siap, ia pun
menyamar kembali dan berpakaian seperti wanita petani, lalu ia menyeberangi
tujuh gunung di mana tujuh kurcaci tinggal. Dan ketika ia mengetuk pintu, Putri
Salju melongokkan kepala melalui jendela dan berkata,
"Saya tidak berani membiarkan siapapun masuk, tujuh kurcaci sudah melarang
saya."
"Baiklah," kata si wanita, "Saya hanya ingin memberikan sebuah apel ini
kepadamu."
"Tidak," kata Putri Salju, "Saya tidak berani mengambil apapun."
"Apakah kamu takut akan racun?" tanya si wanita, "lihatlah, saya akan
membelah apel ini menjadi dua bagian, kamu akan mendapatkan bagian yang
berwarna merah, dan saya bagian yang putih."
Apel tersebut dibuat dengan cerdiknya, sehingga bagian yang beracun adalah
bagian yang berwarna merah. Putri Salju menjadi tergiur akan kecantikan apel
itu, dan ketika ia melihat si wanita petani memakan apel bagiannya, Putri Salju
menjadi tidak tahan lagi, ia mengulurkan tangannya keluar dan mengambil
bagian apel yang beracun. Tidak lama setelah ia memakan apel tersebut, ia pun
terjatuh dan sepertinya meninggal. Sang Ratu jahat, tertawa keras dan berkata,
"Putih seperti salju, merah seperti darah, hitam seperti ebony! kali ini, kurcaci
takkan dapat menghidupkan kamu kembali."
Lalu ia pun pulang dan bertanya kepada cerminnya,
"Cermin di dinding, Siapa yang tercantik diantara semua?"
Cermin menjawab, "Anda adalah yang tercantik dari semuanya".
Hati ratu yang tadinya penuh dengan kecemburuan, akhirnya menjadi tenang
dan bahagia.
Para kurcaci, saat pulang di malam hari, menemukan Putri Salju terbaring di
tanah, dan tak ada nafas lagi yang keluar dari hidungnya. Mereka
mengangkatnya, mencari-cari racun yang membunuh Putri Salju, memotong
pitanya, menyisir rambutnya, mencucinya dengan air dan anggur, tetapi semua
sia-sia, putri malang itu telah meninggal. Mereka akhirnya menaruh Putri Salju
dalam sebuah peti, dan mereka semua duduk mengelilinginya, menangisi
kematiannya selama tiga hari penuh. Walaupun meninggal, Putri salju terlihat
seolah-olah masih hidup dengan pipinya yang merona. Para kurcaci kemudian
berkata,
"Kita tidak akan menguburnya di tanah yang gelap." Lalu merekapun membuat
peti yang terbuat dari gelas yang bening sehingga mereka dapat melihat Putri
Salju dari segala sisi. Putri Salju dibaringkan di peti tersebut, dan di peti itu
ditulislah nama Putri Salju dengan tulisan emas, beserta kisah bahwa ia adalah
putri seorang raja. Kemudian mereka meletakkan peti itu di atas gunung, dan
salah satu dari mereka selalu tinggal untuk mengawasinya. Burung-burung pun
datang berkunjung dan turut berduka, yang datang pertama adalah burung
hantu, lalu burung gagak, lalu seekor burung merpati.
Untuk beberapa lama, Putri Salju terbaring di peti gelas itu dan tidak pernah
berubah, terlihat seolah-olah tidur. Ia masih tetap seputih salju, semerah darah
dan rambutnya sehitam ebony. Suatu ketika seorang pangeran lewat di hutan
yang menuju ke rumah kurcaci. Saat ia melihat peti di puncak gunung beserta
Putri Salju yang cantik di dalamnya, ia menjadi jatuh cinta, dan setelah ia
membaca tulisan yang ada pada peti itu. Ia berkata kepada para kurcaci,
"Biarkan saya memiliki peti beserta Putri Salju ini, saya akan memberikan
apapun yang kalian minta."
Tetapi kurcaci menolak dan mengatakan bahwa mereka tidak mau berpisah
dengan Putri Salju walaupun dibayar dengan emas yang ada di seluruh dunia.
Tetapi sang Pangeran berkata,
"Saya memintanya dengan amat sangat, karena saya tidak akan bisa hidup tanpa
melihat Putri Salju; Jika kalian setuju, saya akan serta merta membawa kalian
semua dan menganggap kalian seperti saudaraku sendiri."
Putri Salju terbangun setelah apel beracun keluar dari mulutnyaSaat sang
Pangeran berbicara dengan sungguh hati, para kurcaci menjadi iba dan
memberikan sang Pangeran peti yang berisikan Putri Salju, dan sang Pangeran
pun memanggil pelayan-pelayannya untuk mengangkat peti tersebut ke istana.
Di perjalanan, seorang pelayan terantuk pada semak-semak sehingga peti yang
diangkatnya menjadi terguncang dan sedikit miring. Saat itulah apel beracun
yang ada pada kerongkongan Putri Salju, keluar dari mulutnya. Putri Salju
membuka matanya dan membuka penutup peti, turun dan berdiri dalam keadaan
sehat-walafiat.
"Oh, dimanakah saya berada?" tanyanya. Sang Pangeran secepatnya menjawab
dengan hati riang, "Kamu aman di dekatku," dan menceritakan semua yang
terjadi. Sang Pangeran lalu berkata lagi,
"Saya lebih memilih kamu dibandingkan dengan apapun yang ditawarkan oleh
dunia; ikutlah bersama saya menuju istana ayahku dan jadilah pengantinku."
Putri Salju yang baik hati, ikut bersama pangeran dan direncanakanlah pesta
perkawinan yang meriah untuk mereka berdua.
Ibu tiri Putri Salju juga ikut diundang menghadiri pesta dan saat berhias di
cermin, ia pun bertanya pada cermin ajaibnya:
"Cermin di dinding, Siapa yang tercantik diantara semua?"
Cermin menjawab, "Ratu, walaupun kecantikanmu hampir tidak ada
bandingannya, Pengantin yang baru ini seribu kali lebih cantik."
Sang Ratu menjadi marah dan mengutuk karena kecewa, ia hampir saja
membatalkan kehadirannya di pesta pernikahan Putri Salju, tetapi rasa
penasarannya membuat ia tetap pergi. Saat ia melihat pengantin wanita, ia
menjadi terkejut karena pengantin wanita tersebut tidak lain adalah Putri Salju.
Kemarahan serta ketakutan bercampur aduk menjadi satu dan saat itu juga, sang
Ratu yang jahat tersedak karena marahnya, terjatuh dan meninggal, sedangkan
Putri Salju dan pangeran, hidup bahagia selama-lamanya.

Anda mungkin juga menyukai