Oleh:
Derry Sulisti Adi Putra
A. Pendahuluan
Penjajahan bangsa-bangsa Eropa atas dua per tiga dunia telah memberikan dampak
yang serius pada kondisi kehidupan manusia. Pengaruh tersebut disebabkan oleh pengua
saan Eropa yang tidak hanya menyangkut penaklukan militeristik, namun juga urusan so
sio-kultural (Fanon, 1967). Salah satu pengaruh kolonialisme Eropa adalah terciptanya s
ebuah peta geografi imajiner, yaitu “Barat” dan “Timur” (Said, 1978).
Polarisasi Barat dan Timur bukanlah semata-mata untuk menunjukkan polarisasi ge
ografi, melainkan juga polarisasi budaya. Sebagai sebuah oposisi biner, polarisasi terseb
ut mendudukkan Barat sebagai subjek dan Timur sebagai objek; Barat sebagai pusat dan
Timur sebagai pinggiran; Barat yang superior dan Timur yang inferior. Edward Said me
nyebut cara pandang polaris ini sebagai “Orientalisme” (Said, 1978).
Orientalisme digunakan oleh pemerintah kolonial untuk mengukuhkan dan memper
tahankan kekuasaannya sampai pada level psikis masyarakat jajahan. Sebagai sebuah w
acana, orientalisme berpengaruh terhadap cara subjek pascakolonial memahami diri, lin
gkungan (hidup, sosial, dan budaya), serta hubungan antara keduanya. Maka dari itu, da
lam masyarakat pascakolonial (bekas jajahan), jejak-jejak orientalisme berupa polarisasi
Barat-Timur masih ada, sekalipun penjajahan secara fisik telah selesai.
Salah satu ruang yang mungkin menunjukkan jejak-jejak wacana kolonial adalah ka
rya sastra pascakolonial (Faruk, 2007). Hal tersebut dikarenakan karya sastra dapat men
jadi ruang kontestasi ideologi atau wacana (Faruk, 2010).
Karya sastra pascakolonial memiliki dua kemungkinan pengertian. Pertama, karya s
astra yang secara umum ditulis oleh penulis pascakolonial. Sekalipun karya tersebut tida
k membicarakan pascakolonialitas secara langsung, karya tersebut sangat mungkin men
gandung jejak-jejak wacana kolonial. Kedua, karya yang secara khusus membicarakan p
ascakolonialitas serta berisi narasi-narasi kritis sebagai bentuk resistensi terhadap wacan
a kolonial (Bandel, 2013).
Berkenaan dengan paparan di atas, tulisan ini bertujuan untuk melakukan pembacaa
n pascakolonial terhadap cerpen “Teh dan Pengkhianat” karya Iksaka Banu serta posisin
ya terhadap wacana kolonial (afirmasi atau oposisi).
Secara singkat, cerpen “Teh dan Pengkhianat” bercerita tentang sebuah pemberonta
kan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Tionghoa terhadap otoritas perkebunan H
india Belanda. Hal yang menarik dari cerpen “Teh dan Pengkhianat” adalah penggamba
ran dua tokoh, yaitu Simon Vastgebonden dan Alibasah Sentot Prawirodirjo. Simon Vas
tgebonden, sebagai seorang Kapten dalam kesatuan tempur Belanda, tidak digambarkan
sebagai subjek penjajah yang secara mutlak memiliki hasrat menaklukkan masyarakat te
rjajah. Selain Simon Vastgebonden, tokoh bernama Alibasah Sentot Prawirodirjo, sebag
ai seorang bumiputera, juga tidak digambarkan sebagai subjek yang tertindas dan oposit
if terhadap kolonialisme Belanda.
Karya sastra pascakolonial yang menggambarkan masyarakat dengan struktur polar
Barat-Timur dapat membuat subjek pascakolonial percaya terhadap superioritas Barat at
as Timur. Sebaliknya, suatu karya yang menggambarkan masyarakat pascakolonial den
gan struktur non-polar dapat dipahami sebagai sebuah resistensi dan, dengan demikian,
dapat melepaskan subjek pascakolonial dari konstruksi kolonial.
Pernyataan Karel Wijnand perihal “orang-orang Cina” yang “tak tahu diuntung” ber
arti bahwa pemerintah kolonial telah memberikan kemudahan-kemudahan pada para pe
mberontak; pemerintah kolonial berjasa pada “orang-orang Cina”.
Pandangan Karel Wijnand tersebut sejalan dengan wacana kolonial. Dalam wacana
kolonial, Barat selalu lebih baik dan mulia daripada Timur (Said, 1978). Maka dari itu, s
egala kebijakan yang dibuat oleh pihak Barat, termasuk penjajahan, pada dasarnya adala
h wujud dari niat baik Barat atas Timur (Faruk, 2007).
Atas pemberontakan tersebut, Karel Wijnand menyatakan bahwa “orang-orang Cin
a” adalah orang yang “licik” dan “biadab”. Pernyataan tersebut terdapat dalam dua kutip
an berikut:
“Aku lari ke istal. Seorang dari mereka mengayunkan parang. Kutangkis de
ngan tangan.” Karel Wijnand menunjuk lengannya yang dibebat. “Syukur a
ku bisa memacu kudaku lari dari neraka itu. Tuan Sheper Leau tidak berunt
ung. Dari mandor bumiputra kudapat kabar Tuan Leau terjatuh, lalu dipen
ggal kepalanya. Mayatnya dibuang ke tengah hutan. Biadab!” (Banu, 2019)
“Karena, kalau Tuan bertemu mereka setiap hari, Tuan akan melihat bahw
a mereka tak lebih dari––sekali lagi––pengkhianat licik yang tak bisa diper
caya. Beri sedikit peluang, mereka akan berulah! Jangan lupa, mereka baru
saja membantai Tuan Sheper Leau seperti seekor anjing!” (Banu, 2019)
Apa yang dinyatakan oleh Karel Wijnand tentu saja tidak lepas dari stereotipe subje
k Timur dalam wacana kolonial. Dalam wacana kolonial, subjek Timur senantiasa diga
mbarkan sebagai subjek yang belum beradab (Said, 1978). Pernyataan Karel Wijnand at
as “orang-orang Cina” tersebut didasarkan pada pengalaman pribadinya dalam menghad
api mereka, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam peristiwa pemberontakan.
Tentu saja, pernyataan Karel Wijnand tersebut dikeluarkan tanpa memperhitungkan peni
ndasan yang dilakukan pihak Belanda terhadap “orang-orang Cina” dalam urusan perkeb
unan.
Suatu hal yang menarik adalah perbedaan antara Karel Wijnand dan Simon Vastgeb
onden dalam menyikapi pemberontakan tersebut. Karel Wijnand, sebagai seorang pejaba
t perkebunan serta orang yang mengalami peristiwa pemberontakan, menyatakan bahwa
pemberontakan yang dilakukan “orang-orang Cina” disebabkan oleh kelicikan dan kebia
daban mereka semata. Akan tetapi, Simon Vastgebonden, seorang Kapten dalam kesatua
n Tentara Belanda, berasumsi bahwa pemberontakan “orang-orang Cina” tersebut merup
akan wujud tuntutan mereka atas ketidakadilan dari pihak otoritas perkebunan:
“Di luar akal sehat? Mereka sering terlambat menerima upah, Letnan,” kat
aku. “Bahkan konon tidak dibayar sesuai kesepakatan kontrak kerja. Demik
ian yang kudengar. Mengapa hal memalukan semacam itu terjadi? Mungki
nkah ada yang bermain di belakang dana perkebunan teh ini, Tuan Wijnan
d?”(Banu, 2019)
“Dan menurut Tuan, orang Belanda tak ada yang licik?”(Banu, 2019)
“Kemarin sudah kami petakan persoalannya. Aku yakin sedikitnya Tuan jug
a sudah tahu. Mari kita lihat sekali lagi.” Kuteguk kopi pagiku yang mulai
mendingin. “Ada dua kelompok Cina yang memberontak. Pertama, Cina as
al Makau yang membuka lahan perkebunan teh milik pemerintah di Wanay
asa. Mereka merasa kecewa oleh dua hal pokok: gaji yang jauh dari kesepa
katan, dan kekejaman pemilik perkebunan yang kerap menghukum berlebih
an, sehingga…”(Banu, 2019)
“Mengapa?”
Kutipan tersebut memberikan dua informasi, yaitu posisi tokoh bernama Alibasah S
entot Prawirodirjo dalam pemberontakan “orang-orang Cina”, serta keraguan Simon Vas
tgebonden terhadap keberpihakan Alibasah Sentot Prawirodirjo, seorang Jenderal Peran
g Bumiputera, pada pihak Belanda.
Pada dasarnya, keraguan Simon Vastgebonden tersebut memiliki dasar yang lebih
masuk akal daripada sekadar stereotipe. Simon Vastgebonden mencurigai Alibasah Sent
ot Prawirodirjo karena ia memihak Belanda karena “uang”. Akan tetapi, keraguan terseb
ut tidak lepas dari stereotipe:
“...Masalahnya, percayakah engkau kepada pengkhianat yang meninggalka
n junjungannya demi uang? Bagaimana bila pasukan Cina Makau yang kua
t ini memberi ilham kepadanya untuk berbalik lagi melawan kita? Pengkhia
nat tetaplah pengkhianat.”(Banu, 2019)
“Dari jarak sedekat ini aku semakin paham mengapa dulu pasukan kami se
gan berurusan dengannya. Tetapi aku tidak boleh kalah wibawa.” (Banu, 2
019)
Melalui kutipan di atas, Simon Vastgebonden digambarkan sebagai tokoh yang cuk
up rasional dalam menyikapi persoalan. Akan tetapi wacana kolonial tetap memiliki pen
garuh atasnya. Simon Vastgebonden tidak ingin “kalah wibawa” dengan Alibasah Sentot
Prawirodirjo. Sikap itu dipengaruhi oleh konstruksi bahwa Timur seharusnya bersifat fe
minin dan Barat seharusnya bersifat maskulin (Said, 1978).
Sikap Simon Vastgebonden yang waspada dan takut “kalah wibawa” menunjukkan
bahwa Alibasah Sentot Prawirodirjo, sebagai seorang Bumiputera, bukan subjek yang te
rtindas oleh Belanda, melainkan subjek yang merdeka dan bisa membuat perjanjian deng
an pihak Belanda. Hal itu tidak sejalan dengan wacana perihal superioritas Barat (Said, 1
978).
Ambivalensi Simon Vastgebonden mengakibatkan penggambaran Timur, sekaligus
penggambaran dirinya, menjadi tidak lagi sesuai dengan wacana kolonial. Dalam
wacana kolonial, Barat adalah pihak yang maju, maskulin, dan superior dan Timur
adalah satu kesatuan yang secara seragam memiliki sifat terbelakang, feminin, dan
inferior (Said, 1978). Dengan ambivalesinya, Simon Vastgebonden menjadi berbeda
dengan Karel Wijnand, sekalipun mereka sama-sama berasal dari pihak Belanda.
Kemudian, akibat ambivalensi itu juga, Alibasah Sentot Prawirodirjo dan kelompok
orang Tionghoa tidak dipandang seragam. Kedua pihak tersebut dipandang sebagai
manusia yang merdeka; orang-orang Tionghoa sebagai subjek yang memiliki hak
mendapat gaji dan hak tidak ditindas, serta Alibasah Sentot Prawirodirjo sebagai subjek
yang dapat menjadi ancaman. Melalui ambivalensi Simon Vastgebonden, stereotipe
Barat dan Timur telah tereduksi.
DAFTAR PUSTAKA
Fanon, F. (1967). Black Skin White Masks. New York: Grove Press.
Faruk. (2010). Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-
Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.