Anda di halaman 1dari 4

Sejarah Kemunculan Nyai dan Gundik di Hindia Belanda

Istilah Nyai di Indonesia merupakan istilah yang populer. Nyai sendiri memiliki
beragam sebutan baik dalam legenda, mitos, dan tokoh rekaan. Seperti dalam novel Bumi
Manusia dikisahkan bahwa Nyai Ontosoroh merupakan seorang gundik atau disebut juga istri
simpanan dari seorang bangsawan Belanda. Dalam tulisan ini aspek yang dibahas ialah Nyai
sebagai wanita pendamping pria Eropa, maupun bangsa asing lainnya, yang dikenal luas
sebagai gundik. Adapun gundik atau mistress diartikan sebagai: (1) Istri tidak resmi; selir; (2)
Perempuan piaraan (bini gelap). Namun, kata ini mempunyai konotasi yang lain pada zaman
kolonial di Hindia Belanda. Pada masa itu, Nyai berarti ‘gundik, selir, atau wanita piaraan
para pejabat dan serdadu Belanda’[ CITATION FXD14 \l 1057 ]. Pergundikan berarti suatu
praktik dalam masyarakat yang berupa ikatan hubungan di luar perkawinan antara seorang
perempuan dan laki-laki dengan alasan tertentu. Memasuki masa kolonialisme, pergundikan
muncul sebagai strategi dari bangsa pendatang agar dapat diterima oleh penduduk asli dengan
cara menikahi perempuan pribumi.

Kedatangan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) di Nusantara sekitar tahun


1600-an menjadi titik awal dimulainya pergundikan dan munculnya para nyai pada masa
penjajahan. Bermula dari dipekerjakannya para perempuan pribumi untuk mengurus rumah
tangga para pegawai kulit putih yang lama kelamaan tidak hanya berkutat pada urusan dapur
melainkan juga menemani majikannya tidur. Relasi kuasa antara majikan dengan budak
perempuannya ini menjadikan pergundikan sebagai sebuah sistem yang sulit diberantas.
Pergundikan terus berlanjut hingga bertahun-tahun selama masa kolonial karena sistem ini
juga kemudian diteruskan oleh keturunannya atau orang-orang Indo [ CITATION Reg10 \l 1057 ].

Memelihara nyai dianggap lebih mudah dan menguntungkan dibanding menikah


secara resmi dengan perempuan Eropa. Dengan memelihara seorang nyai, pria Eropa lebih
mudah untuk meninggalkan dan memperlakukannya sesuka hati. Nyai juga dapat
dimanfaatkan dalam menjaga kesehatan tuan Eropanya dibandingkan jika harus berhubungan
dengan pelacur yang tidak terjamin kebersihannya. Kehadiran nyai juga dimanfaatkan untuk
memperoleh pengetahuanmengenai kebudayaan Melayu, baik dalam bidang bahasa,
kebiasaan, maupun adat istiadatnya[ CITATION Rif19 \l 1057 ].

Sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke-17,
pergundikan sudah menjadi persoalan negara. Hal ini tampak dalam surat yang dikirim oleh
J.P Coen, Gubernur Jenderal kedua VOC kepada bos VOC, Heeren XVII. Dalam suratnya
ini, ia mengusulkan agar didatangkan perempuan baik-baik untuk dijadikan istri para pegawai
VOC, menurut Coen pergundikan mengarah pada berbagai perilaku yang janggal, tidak
terkendali, dan membahayakan kepentingan kolonial, namun usul ini ditolak oleh Heeren
XVII[ CITATION Leo04 \l 1057 ]. Terdapat beberapa alasan penolakan ini, antara lain: pasangan
keluarga yang datang ke Hindia dikhawatirkan hanya akan bertujuan memperkaya diri dan
khawatir akan terancamnya sumber-sumber perekonomian; pengiriman wanita lajang ke
Hindia membutuhkan biaya besar yang mana biaya ini tidak sebanding dengan keuntungan
yang diperoleh; kekhawatiran pasangan Eropa yang sudah menikah tidak lagi mengabdi pada
perusahaan; dan perkawinan suami-istri Belanda di Hindia ternyata sering mandul, keguguran
dan kematian anak-anak lazim terjadi.

Berdasarkan alsan-alasan tersebut, Hereen XVII lalu lebih menganjurkan praktik


pergundikan, dengan harapan akan mempermudah proses akulturasi. Melalui hal ini
kebutuhan biologis dapat dipenuhi dan keuntungan ekonomi dapat ditingkatkan. Selain itu
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan Eropa-Asia ini mempunyai kekuatan fisik yang
lebih kuat, dimana merekalah yang melanjutkan bisnis perusahaan. Dengan demikian, maka
praktik pergundikan menjadi lumrah. Namun “legalitas” praktik ini hanya bertahan selama
dua abad dikarenakan pada abad ke-19 orang-orang mulai menentangnya.

Pada tahun 1856, W.L Ritter menuliskan kesaksian yang menegaskan perubahan cara
bagaimana orang Eropa memandang praktik pergundikan, yang mana perubahan ini
mengarah kepada penolakan tegas pergundikan [ CITATION WLR56 \l 1057 ]. Pergundikan
dianggap akan melahirkan individu-individu berkualitas buruk. Kenyataan bahwa mereka
sering dianggap sebagai makhluk berbadan Eripa namun bermoral pribumi menjadi bentuk
ancaman terhadap superioritas ras Eropa. Dari segi ekonomi, hidup bersama dengan gundik
dianggap pemborosan sebab para lelaki Eropa harus menghidupi mereka yang seringkali gaya
hidupnya boros. Terdapat juga tulisan yang ditulis oleh Van Kol (1903) dalam
pengamatannya ketika sedang dalam perjalanan dari Salatiga ke Magelang, ia menemukan
suatu kelompok sosial yang lahir dari percampuran darah antara orang Eropa dan Pribumi.
Dalam tulisan tersebut ia menilai keberadaan orang-orang yang lahir dari percampuran dua
ras sebagai ancaman moral terhadap masyarakat[ CITATION Jae19 \l 1057 ].

Pandangan-pandangan moralis menjadi lebih banyak jumlahnya pada awal abad ke-
20. Pada tahun 1900, Bas Veth, seorang pedagang dan telah tinggal selama bertahun-tahun di
Hindia Belanda, mengatakan bahwa “Hindia adalah rumah sakit bagi degenerasi
moral”[ CITATION Jae19 \l 1057 ]. Meskipun kritik terhadap pergundikan sudah mulai muncil
sejak pertengahan abad ke-19, praktik pergundikan masih tetap berlangsung dan pemerintah
masih memandang hubungan seksual sebagai sesuatu yang penting untuk dipenuhi.
Kemudian sejak akhir abad ke-19 dan terutama awal abad ke-20 pergundikan mendapat status
baru. Pergundikan lebih sering dilihat dari perspejtif moral, yaitu hubungan seksual yang
dilakukan dua ras di luar institusi pernikahan. Sebagaimana pengamatan Van Kol tadi,
penilaian moral lebih banyak mendominasi di awal abad ke-20.

Pada awal tahun 1900-an, upaya untuk meningkatkan kedudukan perempuan pribumi
mengalami kemajuan. Beberapa tokoh emansipasi wanita muncul, yang salah satunya paling
menonjol adalah Raden Ajeng Kartini. Dalam perjuangannya ia menarik simpati kaum
feminis melalui tulisan-tulisannya.

Kongres Perempuan Indonesia berhasil dilaksanakan di Yogyakarta pada 22-26


Desember 1928 yang keputusan pentingnya ialah mendirikan Perikatan Perempuan Indonesia
(PPI). Selanjutnya pada 13 Oktober 1929 dalam pertemuan umum perkumpulan perempuan
di Bandung mulai mengangkat berbagai persoalan perempuan termasuk mengenai praktik
poligami, pergundikan, dan pelacuran[ CITATION Cor08 \l 1057 ]. Munculnya berbagai
perkumpulan wanita membawa pengaruh dengan berkurangnya praktik-praktik marginalisasi
terhadap kaum perempuan.

Pecahnya Perang Dunia II dan masuknya Jepang ke Indonesia membuat keluarga-


keluarga yang terbentuk dari praktik pergundikan tercerai berai. Para lelaki Eropa ditahan
namun para nyai pribumi dibiarkan bebas, sementara anak-anak mereka diharapkan dapat
memiliki keterikatan dengan penduduk pribumi. Maka dari itu maka keberadaan seorang ibu
dengan darah pribumi menjadi sangat penting bagi anak-anak itu. Berkat para ibu pribumi ini
mereka akan mendapatkan surat asal-oesoel sebagai bukti keturunan Asia dari pemerintah
pendudukan Jepang [ CITATION Reg10 \l 1057 ].

Selanjutnya pada masa kemerdekaan, perempuan pribumi yang menikah dengan laki-
laki Eropa mengalami konflik kesetiaan untuk memilih antara suami Eropa dan anak-anaknya
atau bangsanya sendiri. Banyak nyai yang menjadi janda akibat suami mereka telah
meninggal akibat perang atau usia lanjut. Akhirnya mereka cenderung memilih tinggal di
Indonesia. Mereka harus kehilangan kontak dengan anak-anak mereka yang tinggal di
Belanda sebagai orang Eropa. Walaupun tak jarang dari para perempuan itu yang ikut ke
Belanda dan menetap disana terutama pasca penyerahan kedaulatan tahun 1949 [ CITATION
Reg10 \l 1057 ].

Baay, Reggie. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.

Blussé, Leonard. Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC.
Yogyakarta: LKIS, 2004.

Fathoni, Rifai Shodiq. Wawasan Sejarah. 15 Agustus 2019.


https://wawasansejarah.com/pergundikan-hindia-belanda/ (diakses Juni 21, 2021).

Hera, FX. Domini BB., dan Daya Negri Wijaya. “Terasing dalam Budaya Barat dan Timur: Potret "Nyai"
Hindia Belanda, Abad XVII-XX.” Jurnal Antropologi 16, no. 1 (2014): 49-55.

Jaelani, Gani A. “Dilema Negara Kolonial: Seksualitas dan Moralutas di Hindia Belanda Awal Abad
XX.” Patanjala 11, no. 1 (Maret 2019): 1-16.

Ritter, W.L. De Europeaan in Nederlandsch Indië. Leyden: Sythoff, 1856.

Stuers, Cora Vreede-De. Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas
Bambu, 2008.

Anda mungkin juga menyukai