Dosen Pengampu:
Dr. Achmad Sunjayadi, S.S., M.Hum.
Disusun Oleh:
Rusmasiela Mewipiana Presilla
2106743232
Status anak Indo sebagai kaum peranakan masih belum banyak dibahas
karena kedudukan mereka yang dianggap lebih tinggi oleh pribumi tetapi di sisi
lain dianggap sebelah mata oleh kaum totok. Mereka juga dianggap lebih rendah
karena berasal dari keturunan Nyai yang merupakan gundik dari kolonialis. Melalui
penelitian ini, penulis akan menjelaskan secara detail mengenai nasib dari kaum
Indo pada masa Hindia Belanda.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana status anak hasil perkawinan antara perempuan Bumiputera
dengan pria Eropa pada masa Hindia-Belanda?
2.3 Hukum yang mengatur tentang status ‘Anak Indo’ hasil pergundikan
Tidak direstuinya pergundikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda membuat
banyaknya peraturan yang justru merugikan kaum Indo. Meskipun peraturan
sempat mengalami perubahan yang pada awalnya pernikahan campur dilarang,
sejak tahun 1848 pernikahan campur mulai disahkan oleh pemerintah, namun tetap
banyak yang memilih jalur pergundikan karena pernikahan yang sah ini
menghabiskan banyak waktu dan biaya. (Tineke Hellwig 2007:39).
Pada tahun 1715 VOC membuat peraturan yang yang melarang adanya
pengangkatan keturunan campuran pribumi atau ‘Kaum Indo’ sebagai pegawai
VOC apabila masih tersedia ‘Kaum Totok’ yang berpotensi. Bahkan pada tahun
1727, ketika VOC mengalami kekurangan pegawai, mereka tetap enggan merekrut
‘Kaum Indo’ dan lebih memilih pedagang kecil eropa yang belum tergabung VOC
untuk mendaftar. Mereka menekankan bahwa ‘Kaum Totok’ harus diterima bekerja
apapun.
Pada tahun 1649, Gubernur jendral C van der Lijn pernah mengeluarkan
aturan mengenai pelarangan bagi semua perempuan yang lahir di negeri jajahan
untuk pergi ke Belanda tanpa izin khusus.
Pada tahun 1839, tercatat dalam hukum kolonial bahwa setiap anak yang
lahir dari hasil perkawinan campuran, mereka akan kehilangan hak-hak istimewa,
salah satunya ialah terkait hak untuk bersekolah di Belanda.
2.4 Diskriminasi yang didapatkan ‘Anak Indo’ berdasarkan status sosial yang
mereka miliki.
Kemunculan ‘Kaum Indo’ sudah menjadi kekhawatiran pemerintah kolonial
pada saat itu, karena dianggap mengancam kedudukan masyarakat kulit putih yang
dianggap luhur. Sejak saat itu lah hubungan masyarakat kolonial antar ras tidak
diakui. Rendahnya status ras campur yang sangat rendah juga tercantum dalam
jurnal Jean Gelman Taylor yang berjudul Kehidupan Sosial di Batavia. Jurnal
tersebut menjelaskan bahwa mereka hanya bisa menjadi tenaga militer atau juru
tulis. Kesempatan mereka untuk mendapat jabatan dan jenjang yang lebih tinggi
telah tertutup karena posisi tinggi hanya diisi oleh kaum berkulit putih.
Diskriminasi tidak hanya terjadi kepada mereka yang berstatus ‘Kaum indo’
atau ‘Anak Indo’. Orang tua mereka pun juga ikut merasakan diskriminasi. Kaum
wanita pada masa itu lah yang paling banyak mengalami diskriminasi. Hal ini dapat
dilihat dari nama panggilan mereka. Bagi para wanita yang berasal dari kaum totok,
mereka mendapat julukan ‘nyonya’ yang berarti majikan atau tuan perempuan.
Sedangkan mereka kaum wanita yang berasal dari kaum pribumi mendapat julukan
‘nyai/gundik’ yang berarti pelayan laki-laki. Adanya unsur ideologis terkait dengan
penggunaan nama nyai dan nyonya ini sesuai dengan pendapat Purbani (2013:370)
karya sastra tidak sekadar memuat fakta/informasi namun memuat
ideologi-ideologi yang melekat pada how the is represented.
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis dijelaskan mengenai
diskriminasi hukum yang didapat mengenai perkawinan campuran antara bangsa
Belanda dan bumiputra. Di dalam novel tersebut dijelaskan bahwa apabila wanita
belanda yang menikahi lelaki pribumi, wanita tersebut sama saja menghinakan
bangsa barat dan dirinya sendiri. Sedangkan bagi para lelaki Belanda yang
menikahi wanita pribumi tidak dianggap tidak terlalu hina. Oleh karena itu, tidak
jarang dari mereka yang dikeluarkan dari golongan dan kehilangan hak-hak mereka
di mata hukum.
Tidak hanya saat proses antara kaum pribumi dan kaum totok mengalami
pendekatan, bahkan juga disaat setelah mereka mengalami perceraian. Seperti yang
dituliskan dalam novel karya Abdoel Moeis yang menjelaskan bahwa bahkan
setelah adanya perceraian, pihak wanita yang berasal dari bangsa Belanda asli
justru tetap dikucilkan oleh masyarakat, baik oleh bangsa pribumi maupun oleh
bangsanya sendiri.
Salah satu faktor lain yang menjadi alasan tak bisanya masyarakat ‘Kaum
Indo’ untuk mendapatkan posisi tinggi yakni karena pernah ada peraturan bahwa
‘Kaum Indo’ akan kehilangan hak istimewanya untuk menempuh pendidikan di
Eropa, khususnya di Royal Academy Delft, padahal pemerintah Belanda hanya
mengangkat lulusan Royal Academy untuk menjadi pegawai tinggi pemerintah
kolonial pada saat itu.
Status yang dimiliki anak Indo pada masa kolonial berada di antara pertengahan ras
yang merupakan posisi yang sulit karena tidak dianggap oleh golongan manapun, baik
golongan masyarakat Belanda maupun bumiputera. Status yang membingungkan tersebut
tentunya sangat menimbulkan banyak kerugian di masa kolonial, salah satunya diskriminasi.
Terlebih lagi bagi para anak Indo hasil pergundikan di masa itu. Diskriminasi yang mereka
alami mengakibatkan tertutupnya mobilitas baik dari segi perpindahan posisi secara
geografis, maupun secara ekonomi. Banyaknya kerugian yang dialami kaum Indo ini
menimbulkan respon berupa perlawanan yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh ternama
Belanda. Pada akhirnya perlawanan tersebut berhasil memberikan sedikit ruang kebebasan
untuk para kaum Indo, meskipun hanya kepada orang Indo yang lahir dari keluarga
berpangkat tinggi. Setidaknya, status kaum Indo lebih dihargai dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Janti, N. (2018, Oktober 30). Historia. Diambil kembali dari Nasib Buruk Anak Nyai:
https://historia.id/kultur/articles/nasib-buruk-anak-nyai-D8JB9/page/2%20/