Anda di halaman 1dari 10

TUGAS INDIVIDU

STATUS ‘ANAK INDO’ HASIL PERGUNDIKAN DI MASA KOLONIALISME

Dosen Pengampu:
Dr. Achmad Sunjayadi, S.S., M.Hum.

Disusun Oleh:
Rusmasiela Mewipiana Presilla
2106743232

PROGRAM STUDI SASTRA BELANDA


FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemunculan ‘Kaum Indo’ salah satunya disebabkan karena keberadaan
budaya pergundikan yang ada sejak zaman kolonial. ‘Kaum Indo’ sendiri adalah
orang-orang hasil perkawinan campuran antara bangsa pribumi dan bangsa berkulit
putih yang biasanya berasal dari bangsa Eropa. Dalam Nyai dan Pergundikan di
Hindia Belanda, Reggie Baay menuliskan mengenai tingkat pengangguran,
kemiskinan dan kejahatan di kalangan Indo-Eropa yang sangat tinggi. Hal tersebut
merupakan gambaran mengenai bagaimana nasib anak hasil perkawinan antara
kaum pribumi khususnya golongan gundik atau biasa disebut ‘Nyai’ dengan para
kaum dari bangsa Eropa.

Di masa kemerdekaan, terjadi kekacauan sosial yang berdampak buruk


bagi keberadaan para nyai dan keturunannya. Perempuan pribumi yang menikah
dengan laki-laki Eropa mengalami konflik kesetiaan untuk memilih suami Eropa
dan anak-anaknya atau bangsanya sendiri. Terdapat selisih usia yang cukup jauh
antara nyai dan suami kulit putihnya. Banyak nyai yang telah menjadi janda di
masa dekolonisasi karena suami mereka telah meninggal akibat perang atau usia
lanjut. Akhirnya, mereka cenderung memilih tinggal di Republik Indonesia, negara
yang baru. Mereka harus kehilangan kontak dengan anak-anak mereka yang tinggal
di Belanda sebagai orang Eropa. Meskipun tak jarang dari para perempuan itu yang
ikut pergi ke Belanda dan menetap di sana terutama pasca penyerahan kedaulatan
tahun 1949 (Reggie Baay, 2010:224).

Status anak Indo sebagai kaum peranakan masih belum banyak dibahas
karena kedudukan mereka yang dianggap lebih tinggi oleh pribumi tetapi di sisi
lain dianggap sebelah mata oleh kaum totok. Mereka juga dianggap lebih rendah
karena berasal dari keturunan Nyai yang merupakan gundik dari kolonialis. Melalui
penelitian ini, penulis akan menjelaskan secara detail mengenai nasib dari kaum
Indo pada masa Hindia Belanda.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana status anak hasil perkawinan antara perempuan Bumiputera
dengan pria Eropa pada masa Hindia-Belanda?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Untuk mengetahui bagaimana status kedudukan ‘Anak Indo’ pada
masa Hindia-Belanda.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Anak Indo


Orang Indo atau kaum Indo merupakan singkatan nama dalam bahasa
Belanda, yakni Indo-European atau Eropa-Hinda. Mereka merupakan gugusan etnik
Mestizo yang pernah menduduki wilayah Hindia-Belanda/Indonesia dan sekarang
gugusan etnik ini menjadi etnik minoritas terbesar di Belanda. Kesamaan asal-usul
berdasarkan ras, status, legal, dan kultural yang mencirikan etnik ini. Kaum indo
adalah keturunan campuran etnik Eropa (terutama Belanda) dengan etnik non Eropa
tertentu di Hindia-Belanda/Indonesia.

Bagi kaum Indo yang berstatus warga negara Eropa di Hindia-Belanda,


mereka harus tetap menjunjung nilai-nilai hukum budaya eropa, khususnya hukum
budaya Belanda. Walaupun kenyataannya, hal tersebut sudah banyak terpengaruh
oleh kebudayaan lokal Indonesia pada kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian,
mereka tetap dimasukkan ke dalam golongan Eropa apabila mereka telah datang,
menetap cukup lama, atau bahkan lahir di Indonesia. Namun untuk saat ini
pengertian “Orang Indo” sendiri sudah mengalami pergeseran makna menjadi
ambigu, karena di masa kini istilah “Orang Indo” merupakan “Orang Indonesia”
atau bisa juga diartikan sebagai orang yang memiliki darah campuran, apapun latar
belakangnya, baik Eropa maupun bukan Eropa. Selain istilah “Orang Indo”,
terdapat istilah bag gugusan berdarah campuran lain, yakni Mesties (Belanda) dan
Mestizos (Portugis). Sedangkan mereka yang “berdarah murni” Eropa dikenal
dengan sebutan totok (Melayu), blijvers (Belanda) atau kreol.

2.2 Status Anak Indo hasil pergundikan pada masa Hindia-Belanda


Voorkinderen adalah sebutan untuk mereka para Anak Indo hasil dari
hubungan pergundikan. Seperti yang dikatakan Reggie Baay: menurut kebiasaan
yang berlaku, sang gundik dapat disuruh pergi kapanpun sang laki-laki
menginginkannya ("Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda," Komunitas Bambu;
2010). Dia juga pernah menyebutkan bahwa sebelumnya anak-anak Indo hasil
pergundikan disebut sebagai Inlandsche kinderen yang berarti anak-anak pribumi,
namun seiring berjalannya waktu mereka lebih sering disebut sebagai orang Indo
Reggie Baay (2010:169). Terlahir dari seorang wanita berstatus seorang gundik dan
memiliki ayah berbangsa Eropa mungkin akan memberi stigma bahwa itu akan
menjadi sebuah batu loncatan untuk bisa lebih diakui oleh para petinggi negara
pada saat itu jika dilihat dari sudut pandang orang awam. Namun, kenyataan justru
berkata sebaliknya. Terlahir sebagai anak dari ras campuran justru menimbulkan
masalah baru karena dianggap tidak memiliki status yang jelas, meskipun beberapa
dari mereka ada yang diakui oleh Ayahnya sehingga bisa menyandang nama Eropa.
Bahkan, dapat dikatakan mereka justru menjadi komunitas terbuang, karena
mendapatkan penolakan dari sisi pribumi apalagi sisi Eropa. Apalagi tidak jarang
dari mereka yang tidak diakui oleh ayahnya karena alasan gengsi.

Sejak 1828, para laki-laki Eropa diperbolehkan untuk mengakui anak


mereka dari hubungan hasil pergundikan. Bagi mereka yang tidak mau mengakui
anak mereka, mereka harus tetap mendaftarkan anak mereka ke dalam daftar
kelahiran yang mewajibkan mereka untuk merawat, mendidik, atau dengan kata
lain mengadopsi anak tersebut, walau sebenarnya mereka ada hubungan biologis.
Sejak itu seorang anak yang lahir di luar nikah diberi nama keluarga sang ayah
namun dieja terbalik, misalnya Riemsdijk menjadi Kijdsmeir, Vermehr menjadi
Rhemrev, Grovestins menjadi Snitsevorg, Pieterse menjadi Esreteip, Jansen
menjadi Nesnaj, dan sebagainya. (Tineke Hellwig, 2007:39; Reggie Baay, 2010:68)

2.3 Hukum yang mengatur tentang status ‘Anak Indo’ hasil pergundikan
Tidak direstuinya pergundikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda membuat
banyaknya peraturan yang justru merugikan kaum Indo. Meskipun peraturan
sempat mengalami perubahan yang pada awalnya pernikahan campur dilarang,
sejak tahun 1848 pernikahan campur mulai disahkan oleh pemerintah, namun tetap
banyak yang memilih jalur pergundikan karena pernikahan yang sah ini
menghabiskan banyak waktu dan biaya. (Tineke Hellwig 2007:39).

Pada tahun 1715 VOC membuat peraturan yang yang melarang adanya
pengangkatan keturunan campuran pribumi atau ‘Kaum Indo’ sebagai pegawai
VOC apabila masih tersedia ‘Kaum Totok’ yang berpotensi. Bahkan pada tahun
1727, ketika VOC mengalami kekurangan pegawai, mereka tetap enggan merekrut
‘Kaum Indo’ dan lebih memilih pedagang kecil eropa yang belum tergabung VOC
untuk mendaftar. Mereka menekankan bahwa ‘Kaum Totok’ harus diterima bekerja
apapun.

Pada tahun 1649, Gubernur jendral C van der Lijn pernah mengeluarkan
aturan mengenai pelarangan bagi semua perempuan yang lahir di negeri jajahan
untuk pergi ke Belanda tanpa izin khusus.

Pada tahun 1839, tercatat dalam hukum kolonial bahwa setiap anak yang
lahir dari hasil perkawinan campuran, mereka akan kehilangan hak-hak istimewa,
salah satunya ialah terkait hak untuk bersekolah di Belanda.

2.4 Diskriminasi yang didapatkan ‘Anak Indo’ berdasarkan status sosial yang
mereka miliki.
Kemunculan ‘Kaum Indo’ sudah menjadi kekhawatiran pemerintah kolonial
pada saat itu, karena dianggap mengancam kedudukan masyarakat kulit putih yang
dianggap luhur. Sejak saat itu lah hubungan masyarakat kolonial antar ras tidak
diakui. Rendahnya status ras campur yang sangat rendah juga tercantum dalam
jurnal Jean Gelman Taylor yang berjudul Kehidupan Sosial di Batavia. Jurnal
tersebut menjelaskan bahwa mereka hanya bisa menjadi tenaga militer atau juru
tulis. Kesempatan mereka untuk mendapat jabatan dan jenjang yang lebih tinggi
telah tertutup karena posisi tinggi hanya diisi oleh kaum berkulit putih.

Diskriminasi tidak hanya terjadi kepada mereka yang berstatus ‘Kaum indo’
atau ‘Anak Indo’. Orang tua mereka pun juga ikut merasakan diskriminasi. Kaum
wanita pada masa itu lah yang paling banyak mengalami diskriminasi. Hal ini dapat
dilihat dari nama panggilan mereka. Bagi para wanita yang berasal dari kaum totok,
mereka mendapat julukan ‘nyonya’ yang berarti majikan atau tuan perempuan.
Sedangkan mereka kaum wanita yang berasal dari kaum pribumi mendapat julukan
‘nyai/gundik’ yang berarti pelayan laki-laki. Adanya unsur ideologis terkait dengan
penggunaan nama nyai dan nyonya ini sesuai dengan pendapat Purbani (2013:370)
karya sastra tidak sekadar memuat fakta/informasi namun memuat
ideologi-ideologi yang melekat pada how the is represented.
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis dijelaskan mengenai
diskriminasi hukum yang didapat mengenai perkawinan campuran antara bangsa
Belanda dan bumiputra. Di dalam novel tersebut dijelaskan bahwa apabila wanita
belanda yang menikahi lelaki pribumi, wanita tersebut sama saja menghinakan
bangsa barat dan dirinya sendiri. Sedangkan bagi para lelaki Belanda yang
menikahi wanita pribumi tidak dianggap tidak terlalu hina. Oleh karena itu, tidak
jarang dari mereka yang dikeluarkan dari golongan dan kehilangan hak-hak mereka
di mata hukum.

Tidak hanya saat proses antara kaum pribumi dan kaum totok mengalami
pendekatan, bahkan juga disaat setelah mereka mengalami perceraian. Seperti yang
dituliskan dalam novel karya Abdoel Moeis yang menjelaskan bahwa bahkan
setelah adanya perceraian, pihak wanita yang berasal dari bangsa Belanda asli
justru tetap dikucilkan oleh masyarakat, baik oleh bangsa pribumi maupun oleh
bangsanya sendiri.

Salah satu faktor lain yang menjadi alasan tak bisanya masyarakat ‘Kaum
Indo’ untuk mendapatkan posisi tinggi yakni karena pernah ada peraturan bahwa
‘Kaum Indo’ akan kehilangan hak istimewanya untuk menempuh pendidikan di
Eropa, khususnya di Royal Academy Delft, padahal pemerintah Belanda hanya
mengangkat lulusan Royal Academy untuk menjadi pegawai tinggi pemerintah
kolonial pada saat itu.

Selain itu departemen dalam negeri Hindia-Belanda yang berlokasi di Jawa


dan Madura pun menolak ‘Kaum Indo’ karena mereka tidak ingin anak-anak hasil
hubungan yang ilegal berhadapan dengan para penduduk negeri jajahan. Karena
mereka menganggap kehadiran ‘Kaum Indo’ hanya mencoreng citra Belanda yang
dipandang sebagai negara yang beradab pada saat itu.

Terlalu banyaknya diskriminasi yang didapatkan oleh ‘Kaum Indo’


membuat beberapa kaum Indo-Eropa melakukan perlawanan dalam bentuk protes
demi mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak seperti kaum totok, karena
protes ini banyak dilakukan oleh orang-orang terkemuka yang tinggal di
Hindia-Belanda. Oleh karena itu pemerintah Hindia-Belanda pun memberikan
kelonggaran bagi kaum Indo, namun tetap saja mereka yang mendapatkan
kesempatan hanyalah mereka yang lahir dari ayah yang mampu dan berpangkat
tinggi, sedangkan kaum Indo hasil dari pergundikan mayoritas lahir dari ayah yang
berpangkat rendah.
BAB III
KESIMPULAN

Status yang dimiliki anak Indo pada masa kolonial berada di antara pertengahan ras
yang merupakan posisi yang sulit karena tidak dianggap oleh golongan manapun, baik
golongan masyarakat Belanda maupun bumiputera. Status yang membingungkan tersebut
tentunya sangat menimbulkan banyak kerugian di masa kolonial, salah satunya diskriminasi.
Terlebih lagi bagi para anak Indo hasil pergundikan di masa itu. Diskriminasi yang mereka
alami mengakibatkan tertutupnya mobilitas baik dari segi perpindahan posisi secara
geografis, maupun secara ekonomi. Banyaknya kerugian yang dialami kaum Indo ini
menimbulkan respon berupa perlawanan yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh ternama
Belanda. Pada akhirnya perlawanan tersebut berhasil memberikan sedikit ruang kebebasan
untuk para kaum Indo, meskipun hanya kepada orang Indo yang lahir dari keluarga
berpangkat tinggi. Setidaknya, status kaum Indo lebih dihargai dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Hafid, A. (2017). DISKRIMINASI BANGSA BELANDA DALAM NOVEL SALAH


ASUHAN KARYA ABDUL MOEIS (KAJIAN POSTKOLONIAL). 123-134.

HISTORIA VITAE. (2014). Dalam M. Dr. Anton Haryono. Yogyakarta: Fakultas


Sastra Universitas Sanata Dharma.

Janti, N. (2018, Oktober 30). Historia. Diambil kembali dari Nasib Buruk Anak Nyai:
https://historia.id/kultur/articles/nasib-buruk-anak-nyai-D8JB9/page/2%20/

Orang Indo. (t.thn.). Diambil kembali dari STT Bandung:


http://kk.sttbandung.ac.id/id3/2-3042-2940/Indo_31052_kk-sttbandung.html

Anda mungkin juga menyukai