Anda di halaman 1dari 16

Kebudayaan Hibrid.....

(Lia Nuralia & Iim Imadudin) 17

KEBUDAYAAN HIBRID MASA KOLONIAL


DI PERKEBUNAN BATU LAWANG BANJAR
HYBRID CULTURE OF COLONIAL PERIOD
IN BATU LAWANG BANJAR PLANTATION

Lia Nuralia
Balai Arkeologi Jawa Barat
Jl. Raya Cinunuk Km 17, Cileunyi, Bandung 40623
e-mail: liabalar@yahoo.com
Iim Imadudin
Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat
Jln. Cinambo No.136 Ujungberung-Bandung 42094
e-mail: imadudin75@gmail.com

Naskah Diterima: 3 September 2018 Naskah Direvisi: 5 Desember 2018 Naskah Disetujui: 27 Maret 2019

DOI: 10.30959/patanjala.v11i1.427

Abstrak
Pertemuan antara dua budaya berbeda (Eropa dan Asia) memunculkan satu kebudayaan
campuran atau kebudayaan hibrid. Salah satunya lahir di dalam masyarakat Perkebunan Batu
Lawang Banjar, yang telah berdiri sejak zaman Belanda. Apa dan bagaimana kebudayaan hibrid
tersebut, akan menjadi satu permasalahan pokok, sehingga tulisan ini bertujuan mengungkap
kebudayaan hibrid di Perkebunan Batu Lawang Banjar. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode penelitian survey dengan teknik pengumpulan data melalui studi literatur,
wawancara sejarah lisan, dan arsip kolonial. Hasil yang diperoleh, dengan menggunakan konsep
komunikasi nonverbal, bahwa kebudayaan hibrid di perkebunan peninggalan zaman Belanda,
menunjukkan adanya klasifikasi sosial ekonomi yang hierarkis dan rasis. Masyarakat perkebunan
khususnya terbagi ke dalam golongan Eropa dan pribumi Indonesia, yang berimbas terhadap
status pekerjaan. Golongan Eropa menduduki posisi penting sebagai kelas atas (pejabat tinggi
perkebunan), sedangkan golongan pribumi menjadi buruh atau karyawan perkebunan sebagai
kelas bawah. Pencampuran antara kedua golongan atau kelas sosial tersebut, melahirkan
kebudayaan hibrid. Pada masa sekarang kebudayaan hibrid warisan kolonial di perkebunan,
dapat ditemukan bukti fisiknya berupa artefak perkebunan dan keberadaan golongan peranakan
Indo-Eropa sebagai anak dari hasil perkawinan campuran, serta informasi lisan dari pelaku.
Kata kunci: kebudayaan hibrid, perkebunan Batulawang Banjar, masa kolonial.

Abstrak
The meeting between two different cultures (Europe and Asia) raises a mixed culture or
hybrid culture. One of them was born in the community of Banjar Batu Lawang plantation, which
had been established since the Dutch era. What and how the hybrid culture, will become the main
problem, so this paper aims to reveal hybrid culture at the Banjar Batu Lawang Plantation. The
research method used is the survey research method with data collection techniques through
literature studies, oral history interviews, and colonial archives. The results obtained, using the
concept of nonverbal communication, that hybrid culture in plantations inherited from the Dutch
era, indicate a hierarchical and racist socio-economic classification. Plantation communities in
particular are divided into European and indigenous Indonesian groups, which impact on
employment status. The European group occupies an important position as the upper class (high-
ranking plantation officials), while the indigenous group becomes laborers or plantation workers
18 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2018: 17-32

as the lower class. Mixing between the two groups or social classes gave birth to a hybrid culture.
At present the colonial heritage of hybrid culture on plantations can be found in physical evidence
in the form of plantation artifacts and the existence of Indo-European breeders as children of
mixed marriages, as well as verbal information from the perpetrators.
Keywords: hybrid culture, Banjar Batulawang plantation, colonial period.
A. PENDAHULUAN Batulawang, Kecamatan Pataruman, Kota
Kebudayaan hibrid di perkebunan Banjar, Provinsi Jawa Barat.
pada masa kolonial Belanda dapat Afdeling Ciaren adalah bekas lokasi
ditelusuri melalui bukti-bukti sejarah, yang Perkebunan Batu Lawang lama di daerah
sekarang ini masih ditemukan dalam Banjar (Batoe Lawang Onderneming).
kehidupan masyarakat perkebunan warisan Selanjutnya untuk membedakan
zaman Belanda. Pada masa kolonial Perkebunan Batulawang sekarang yang
Belanda telah terjadi pertemuan dua terletak di 3 wilayah administratif
budaya, yang kemudian saling bercampur (Kabupaten Cimais, Kota Banjar,
dalam praktik kehidupan sehari-hari. Kabupaten Pangandaran), disebut
Pertemuan budaya Eropa (Barat, Perkebunan Batu Lawang Banjar atau
Belanda) dan pribumi Indonesia (Timur, Batulawang lama.
Sunda) melahirkan budaya yang satu sama Perkebunan Batu Lawang Banjar
lain masih menampakkan ciri-ciri aslinya, didirikan tahun 1896 oleh Dr. Stoll
dan atau melebur menjadi satu kebudayaan (seorang pengusaha perkebunan
baru. Kebudayaan baru tersebut dikenal berkebangsaan Belanda), yang dikelola
sebagai kebudayaan Indis. Masyarakatnya oleh perusahaan milik Belanda bernama
disebut masyarakat Indis. Gaya hidup NV Java Rubber Coutchouc Maatschappij
masyarakat Indis ditandai dengan (Lampiran Besluit 1915, dalam Mulyana,
dibangunnya rumah-rumah mewah 2005: 180). Dalam buku karangan Ismet
(landhuizen), kehidupan mewah dan boros (1970: 148), disebutkan Batu Lawang
sebagai wujud ekspresi diri, menunjukkan Onderneming, perusahaan perkebunan
kekuasaan terhadap kelompok masyarakat milik N.V. Java Caoutchouc Co te
lainnya. Kebudayaan Indis di Hindia Amsterdam, dengan komoditas karet dan
Belanda, hidup dan berkembang masa kopi. Pada saat ini telah menjadi bagian
kekuasaan VOC di abad ke-18. Kemudian kebun (kebun afdeling Ciaren), setelah di
surut eksistensinya di awal abad ke-20, tahun 1972 bergabung dengan Perkebunan
ketika Pemerintahan Hindia Belanda Batulawang.
mengambil alih kekuasaan. Kebudayaan Kawasan Perkebunan Batu Lawang
Indis akhirnya hilang seiring berakhirnya Banjar cukup luas dan diduga sebagai
kekuasaan Belanda di Indonesia dengan cagar budaya berupa kawasan situs
masuknya Jepang tahun 1942 (Soekiman, perkebunan peninggalan zaman Belanda.
2014: 99-100). Beberapa artefak ditemukan di lokasi ini
Kebudayaan Indis di perkebunan milik seorang peranakan Indo-Belanda di
dengan masyarakat Indis sebagai tahun 2016. Artefak perkebunan berupa
pendukungnya, dapat ditelusuri melalui barang milik pribadi yang sengaja
benda-benda budaya (material culture) dan disimpan di rumahnya.
informasi kesejarahan (immaterial Golongan peranakan atau anak-anak
culture), dari hasil wawancara dengan Indo-Eropa (Indo-Belanda) di Hindia
saksi atau pelaku sejarah. Dalam hal ini Belanda ketika itu di abad ke-19 dan awal
adalah seorang Indo-Belanda yang tinggal abad ke-20, mengelompok menjadi
di kawasan permukiman emplasemen komunitas Indis. Golongan peranakan
Afdeling Ciaren, Perkebunan Batulawang memiliki sebutan lain dengan arti yang
Ciamis. Secara administratif sekarang sama, yaitu kaum Mestizo, anak-anak
termasuk ke dalam wilayah Desa Eurasia, atau perempuan Kreol (bagi
Kebudayaan Hibrid..... (Lia Nuralia & Iim Imadudin) 19

seorang peranakan perempuan) (Baay, dianalisis menggunakan konsep


2010: 7-9). Anak-anak Eurasia ini lahir komunikasi nonverbal (non-verbal
dari perkawinan campuran, baik resmi communication concept). Komunikasi non-
tercatat dalam hukum kaum Kolonial verbal adalah bentuk komunikasi tidak
Belanda maupun yang tidak resmi atau langsung yang disampaikan melaui sinyal-
lahir dari perempuan pribumi yang tidak sinyal non-verbal. Sinyal non-verbal benda
dinikahi (anak peranakan di luar atau bangunan diperoleh dari bentuk atau
nikah/samenleven). Kedudukan anak-anak model yang tampak secara kasat mata.
Eurasia hasil pernikahan resmi otomatis Sinyal non-verbal memberi informasi
setaraf dengan orang-orang Eropa pada tentang keadaan masa lalu, sebagai makna
umumnya. Hasil pernikahan tidak resmi (di simbolis yang terkandung dari wujud
bawah tangan) mempunyai dua fisiknya. Selain itu, informasi hasil
kemungkinan status, diakui kedudukannya wawancara juga mengandung makna tidak
dan disamakan dengan status ayahnya tersirat, sebagai informasi penting yang
yang orang Belanda (Eropa), atau tidak terkandung dari kata-kata verbalnya.
diakui dan disamakan dengan status ibunya Kebudayaan hibrid masa kolonial
yang pribumi. Kemudian peranakan Indo adalah satu bentuk sejarah sosial pada
Belanda yang lahir dari kehidupan bersama masyarakat perkebunan, yang
(samenleven), tidak terikat dalam menggambarkan keseharian pekerja
pernikahan, biasanya masuk dalam anak- perkebunan atau pekerja sosial (social
anak hasil perkawinan “pergundikan”. worker). Istilah kebudayaan hibrid
Status anak-anak hasil pergundikan hampir awalnya digunakan dalam wacana
sama dengan status anak-anak hasil saintifik, kemudian dalam kajian gaya
perkawinan di bawah tangan. Keadaan ini arsitektur campuran (tradisional dan
dapat ditelusuri dan diungkap ke modern). Selanjutnya dipakai dalam
permukaan melalui jejak-jejak kebudayaan analisis sosial kemasyarakatan. Masyarakat
campuran di perkebunan. Kebudayaan perkebunan memiliki bukti-bukti tentang
campuran yang lahir di perkebunan kebudayaan hibrid di masa kolonial
kemudian disebut sebagai kebudayaan Belanda berupa material culture dan
hibrid masyarakat perkebunan. immaterial culture.
Jejak-jejak kebudayaan hibrid dapat Material culture salah satunya
ditelusuri melalui artefak perkebunan, berupa artefak perkebunan. Artefak adalah
sebagai salah satu bentuk komunikasi benda alam yang sengaja dibuat manusia
nonverbal. Selain itu, juga dilengkapi atau menampakkan (observable) adanya
dengan informasi lisan (verbal) dari hasil jejak-jejak buatan tangan manusia, melalui
wawancara dengan pelaku dan saksi teknologi pengurangan atau penambahan
sejarah. terhadap benda alam tersebut. Ciri penting
dari artefak adalah dapat bergerak atau
B. METODE PENELITIAN dapat dipindahkan (movable) dengan
Tulisan ini hasil penelitian dengan relatif mudah, tanpa merusak atau
menggunakan metode penelitian survey menghancurkan bentuk aslinya. Kemudian
permukaan dan pendekatan sejarah. immaterial culture adalah kebudayaan
Meteode survei dalam metode penelitian nonfisik atau bukan benda, seperti
arkeologi terdiri dari 3 tahap, yaitu informasi kesejarahan dan kebudayaan
pengumpulan data (observasi), pengolahan dalam bentuk kebudayaan hibrid, dengan
data (deskripsi), dan penafsiran data keberadaan golongan peranakan atau anak-
(interpretasi) (Deetz, 1967: 8). anak hasil perkawinan campuran antara
Pengumpulan data dilakukan melalui studi orang Belanda (Eropa lainnya) dan
literatur, wawancara (oral history pribumi Indonesia di masa lalu.
interviews), dan arsip kolonial. Data
20 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2018: 17-32

Artefak perkebunan dapat berperan tangga, dan dokumentasi foto lama.


seolah-olah benda hidup yang dapat Informasi melalui wawancara diperoleh
bercerita, sehingga dapat ditemukan dari seorang Indo-Belanda (Ibu Djaja atau
maknanya apabila diletakkan dalam Ibu Maritje van Disco) dan pensiunan
konteks tertentu. Simbol-simbol berupa mandor besar di perkebunan (Bapak Djaja,
tampilan fisik artefak mengkomunikasikan suami Ibu Djaja).
informasi masa lalu sebagai tinggalan Artefak perkebunan berupa alat-alat
budaya perkebunan. Budaya perkebunan di makan dan foto-foto lama milik Ibu
masa lalu bersifat akumulatif, historis, dan Maritje yang masih ada, di antaranya:
dapat dipahami melalui bahasa non-verbal cangkir bergagang dan berceruk (foto 1),
(culture is accumulative, historical, and piring oval besar, piring bulat sedang, vas
perceivable) (Samovar, Porter, Daniel, bunga bulat, pinggan oval bertutup, serta
2009: 38 dalam Wulan, 2015: 222). Bahasa pinggan oval bertutup dan beralas (foto 2
nonverbal berupa benda-benda budaya dan 3). Selain itu, ada lemari baju dari
merupakan media, alat komunikasi, dan kayu dua pintu dengan cermin besar dan
penyampai pesan, yang disampaikan meja marmer dengan kaki-kaki kayu (foto
masyarakat masa lalu kepada generasi 4). Alat-alat makan tersebut diperkirakan
sekarang dalam jiwa zaman yang berbeda diproduksi di pabrik yang sama. Di balik
(Nuralia, 2016: 210). dasarnya ada gambar “serangkai daun”
Dalam komunikasi nonverbal akan memayungi tulisan “RC” dengan tulisan
tergambar proses integrasi antara isyarat Made in Japan, dan gambar dua kipas.
atau tanda dengan perlambangan tertentu. Barang-barang keramik tersebut
Komunikasi harus memperhatikan tiga hal lahir di masa kolonial Belanda, memiliki
dasar, yaitu inklusi, kontrol, dan afeksi sebagian ciri-ciri khas keramik Eropa,
(Schutz dalam Littlejohn and Foss, 2008). walaupun made in Japan. Ciri khas
Pengertian inklusi adalah kebutuhan untuk keramik yang berasal dari Eropa bertekstur
merasa dibutuhkan, memiliki, dan halus, volume tipis, motif naga, warna
merupakan bagian dari kelompoknya. cerah, dan motif lainnya, seperti motif
Pengertian kontrol mengacu kepada hasrat phoenix. Mengenai identitas keramik milik
untuk membentuk hubungan interaksi di Ibu Maritje selanjutnya, diperlukan analisis
antara mereka. Selanjutnya pengertian tersendiri khusus pembahasan tentang
afeksi adalah kebutuhan untuk disukai dan keramik
membangun relasi sosial (Wulan, 2015:
223). Ketiga aspek dasar komunikasi
tersebut dalam penerapannya berupa pesan
atau sinyal nonverbal, disampaikan melalui
ekspresi artefak dan lingkungannya,
ekspresi kehidupan sosial tergambar dari
hasil wawancara, di antaranya tentang
kehidupan perkawinan campuran, nyai-
nyai, golongan Indo-Belanda (Nuralia, Gambar 1. Cangkir Bergagang dan
2016: 213-214). Berceruk Koleksi Pribadi Ibu Maritje
Sumber: Dok. Lia Nuralia, 2016.
C. HASIL DAN BAHASAN Istilah keramik di Indonesia secara
1. Artefak Kebudayaan Hibrid umum adalah barang-barang yang
Perkebunan digunakan sehari-hari terbuat dari bahan
Pada situs Perkebunan Batu Lawang porselin dan batuan. Keramik merupakan
Banjar, beberapa artefak yang benda pecah belah yang terbuat dari tanah
mencerminkan kebudayaan hibrid adalah liat (clay) bakar. Kata keramik berasal dari
alat-alat makan, perlengkapan rumah kata keromos (bahasa Yunani), yaitu nama
Kebudayaan Hibrid..... (Lia Nuralia & Iim Imadudin) 21

Dewa Pelindung pembuat keramik. (porcelain). Gerabah biasanya dibakar di


Berdasarkan bahan dan suhu kisaran suhu 350° – 1000° C, sedangkan
pembakarannya, keramik dapat dibedakan batuan dan porselin dibakar di kisarah suhu
dengan nama gerabah (earthenware), 1150°–1300° C (Maryone, 2009: 83).
batuan (stoneware), dan porselin

Gambar 2. Piring Oval Besar, Piring Bundar,


dan Vas Bunga Koleksi Pribadi Ibu Maritje
Sumber: Dok. Lia Nuralia, 2016.

Gambar 3. Pinggan Bertutup dan Pinggan


Bertutup-Beralas Koleksi Pribadi Ibu Maritje
Sumber: Dok. Lia Nuralia, 2016.

Tabel : Alat-Alat Makan, Lemari Pakaian, dan Meja Milik Ibu Maritje
No. Jenis Alat Makan Bahan Warna Motif Hias Keterangan
1. padang pasir, Hiasan di tepian,
Cangkir Bergagang Putih, biru. coklat,
porselin pohon kelapa, badan, dasar,
dan Berceruk hijau. kuning
Unta, Piramida gagang cangkir
2. putih, motif (coklat Geometris, Hiasan hanya berada
Piring Oval Besar porselin
tua, kuning mas) persegi kecil-kecil di tepian piring
3. putih, motif (coklat Geometris, Hiasan di tepian
Piring Bulat Sedang porselin
tua, kuning mas) persegi kecil-kecil piring
4. Putih, motif (biru, Hiasan ada di badan
Vas Bunga Bulat porselin Bunga dan daun
hitam) dan dasar bagian luar
5. Hiasan berada di
putih, motif (coklat Geometris,
Pinggan Oval Bertutup porselin tepian pinggan dan
tua, kuning mas) persegi kecil-kecil
tutupnya
6. Hiasan di tepian
Pinggan Oval Bertutup putih, motif (coklat Geometris,
porselin pinggan, tutup, dan
dan Beralas tua, kuning mas) persegi kecil-kecil
alasnya
7. Lemari Pakaian dua Motif hias di daun
Kayu dan kaca Coklat kayu Garis-garis miring
pintu, berlaci, berkaki pintu
8. Meja Marmer berlaci Marmer, dan
Putih dan coklat Tidak ada
dan berkaki Kayu kayu
22 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2018: 17-32

peralatan makan terbuat dari porselin.


Berdasarkan cap yang tertera dibawah
piring, alat-alat makan ini buatan Jepang,
tetapi tampilanya mirip dengan keramik
buatan Eropa.
Artefak keramik dan porselin adalah
alat-alat makan, di antaranya: cangkir
bermotif gurun pasir dengan hewan unta
berwarna dasar putih dan biru, piring, vas
bunga, dan lain-lain berbahan sama,
disimpan di dalam lemari hias di ruang
tengah rumahnya. Kemudian artefak
perkebunan lainnya berupa lemari pakaian
Gambar 4. Lemari Kayu dan Meja Marmer dan meja marmer, yang disimpan di kamar
Milik Ibu Maritje,
depan. Keduanya masih digunakan sehari-
Peninggalan Emak Sari Komarijah
Sumber: Dok. Lia Nuralia, 2016. hari. Kemudian beberapa foto lama juga
ditemukan tersimpan rapi di album.
Sementara itu, sebutan “keramik”
berasal dari bahasa Inggris ceramic. Kata 2. Seorang Indo-Belanda di
keramik di Indonesia lebih khusus Perkebunan
menunjuk barang pecah belah yang Lahirnya kebudayaan hibrid di
diglasir dari bahan porselin dan batuan, Perkebunan Batu Lawang Banjar, selain
sedangkan earthenware dan pottery beberapa artefak perkebunan, juga
disebut tembikar (Mackinnon, 1996: 1 keberadaan golongan peranakan atau Indo-
dalam Muhaemiah, 2012: 39). Belanda, yaitu Ibu Maritje van Disco (foto
Pada masa sebelum kedatangan 5). Ibu Maritje memiliki nama lengkap
orang Eropa dan setelah kedatangannya, Maryana Maritje Ch. Disco. Ia menikah
fungsi keramik mengalami pasang surut. dengan seorang laki-laki pribumi,
Pada masa sebelumnya, secara umum pensiunan pejabat rendahan perkebunan
keramik digunakan sebagai perlengkapan (mandor pribumi), yaitu Bapak Djaja bin
rumah tangga dan dalam ritus penguburan Muhammad Subhi (foto 6). Ibu Maritje
yang dilatarbelakangi oleh sistem memiliki ayah seorang Belanda bernama
kepercayaan, yaitu adanya kehidupan Chornelis Frederijk van Disco atau lebih
setelah mati (Maryone, 2009: 85). Setelah dikenal sebagai Tuan Disco (foto 7, kiri).
datang keramik dari Eropa yang dibawa Tuan Disco adalah pejabat tinggi
orang-orang Belanda khususnya, fungsi Perkebunan Batu Lawang Banjar, dari
keramik mengalami penurunan menjadi tahun 1941 sampai 1958, tepatnya kepala
lebih profan atau tidak sakral lagi, berupa tanaman atau sinder kepala atau employe
alat-alat makan dan perlengkapan rumah (le Geemployeerde der Rubber
tangga lainnya. Kemudian bervariasi onderneming “Batoelawang”, di R.O
bentuknya berfungsi sebagai benda hiasan Batoelawang Bandjar, West-Jawa
atau pajangan di rumah-rumah gedongan, Indonesia).
para petinggi atau pejabat pemerintahan Ibu Maritje dilahirkan di Kota
kolonial. Orang-orang Indonesia dari Banjar tahun 1941, ketika masa kekuasaan
kalangan pribumi kelas atas, banyak Belanda hampir berakhir. Pada saat Jepang
meniru orang-orang Eropa dalam menata mulai masuk di tahun 1942, Tuan Disco
rumahnya, dengan hiasan keramik berupa ditangkap dan dimasukkan ke kamp
vas bunga atau alat-alat lainnya. interniran Jepang. Tuan Disco berpindah-
Beberapa artefak perkebunan milik pindah tempat, mulai dari Panjalu, Garut,
Ibu Maritje sebagian besar berupa Sumedang, Cimahi, sampai akhirnya
Kebudayaan Hibrid..... (Lia Nuralia & Iim Imadudin) 23

Gambar 5. Ibu Maritje masa muda dan sekarang (2016)


Sumber: Koleksi Foto Pribadi Ibu Maritje

Gambar 6. Bapak Djaja dan Ibu Maritje


Sumber: Dok. Lia Nuralia, 2016.

Gambar 7. Tuan Disco dan Emak Sari Komarijah


Sumber: Koleksi Pribadi Ibu Maritje, 2016.

kembali ke Batulawang ketika Indonesia perlindungan yang akan diperoleh istri dan
memasuki zaman kemerdekaan. Selama anak-anaknya. Ketika Tuan Disco kembali
masa interniran Tuan Disco menyuruh ke Batulawang, ia pun menikah lagi
istrinya, Emak Sari Komarijah (foto 7, dengan perempuan pribumi lainnya. Anak-
kanan), menceraikannya dan menikah anak dari Sari Komarijah, tetap mendapat
dengan laki-laki lain, demi kehormatan dan perhatian dan perawatan darinya.
24 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2018: 17-32

Tuan Disco setelah pensiun dari anak Indo-Belanda, mereka mendapat


perkebunan, tetap tinggal dan menetap di fasilitas hidup layak dan dapat bersekolah
Indonesia, dari Batulawang pindah ke di sekolah untuk anak-anak Eropa yang
Jakarta, dan sesekali ia pergi ke Negeri ada di Kota Banjar ketika itu, sebagaimana
Belanda dengan membawa serta anak- anak-anak Belanda umumnya.
anaknya. Pada tahun 1957, Tuan Disco Tuan Disco semasa hidupnya di
meninggal di Jakarta. Kemudian zaman Belanda menghabiskan waktu
Pemerintah Belanda memberinya anugerah sebagai pejabat tinggi perkebunan, yaitu
gelar sebagai pejuang Pemerintah Belanda seorang empolye Perkebunan Batulawang
selama masa di kamp interniran Jepang. lama. Pada zaman Belanda, employe
Anugerah ini cukup membantu keuangan adalah posisi penting di dalam hierarki
keluarganya. Setelah ia meninggal, istri kekuasaan/struktur perkebunan. Selain
dan anak-anaknya memperoleh tunjangan memiliki keahlian di bidang tanaman, juga
uang yang dikirim setiap bulan. sebagai wiraswastawan utama dalam
praktik keseharian di kebun dan pabrik.
Sebagai orang nomor dua di perkebunan
setelah Administratur, ia bersama keluarga
mendapat fasilitas rumah layak, besar dan
luas, serta memenuhi syarat-syarat
kesehatan dan kenyamanan hidup. Rumah
dinas Tuan Disco dan keluarga (foto 8)
tampak besar dan megah dengan halaman
luas, sehingga memberi kenyamanan bagi
penghuninya.
Fasilitas rumah mewah dalam
ukuran zaman itu, juga ditunjang dengan
kegiatan-kegiatan keseharian nonkerja atau
pemanfaatan waktu luang yang memberi
kesenangan. Pada umumnya para pejabat
perkebunan mengisi waktu luang dengan
melakukan olah raga, terutama tenis lapang
yang tempatnya telah disediakan
perusahaan. Selain itu, mereka juga
memanfaatkan waktu luang dengan
sekedar ngobrol dan berkumpul bersama
keluarga dan teman-teman, diselingi
makan-makan atau sekedar minum teh atau
Gambar 8. Rumah Employe Perkebunan minum kopi. Kegitan keseharian tersebut
Batulawang Banjar 1940-an (Sumber: Koleksi tampak di beberapa foto yang masih
Pribadi Ibu Maritje, 2016). disimpan Ibu Maritje dan Bapak Djaja.
Foto memperlihatkan hubungan keseharian
Anak-anak Tuan Disco, baik dari antara orang pribumi dan Eropa. Mereka
istri pertama maupun dari istri kedua, tampak berbaur dan menikmati
mendapat status dan perlakuan yang sama. kebersamaan (foto 9 dan foto 10).
Mereka diakui secara resmi dan mendapat
hak-hak yang sama dalam keseharian dan
kesempatan mendapat pendidikan yang
baik. Hubungan di antara anak-anak yang
berbeda ibu tersebut tetap baik dan
berlanjut sampai sekarang. Sebagai anak-
Kebudayaan Hibrid..... (Lia Nuralia & Iim Imadudin) 25

Gambar 9. Tuan Disco Bersama Keluarga dan Teman-Teman


di Perkebunan Batu Lawang Banjar Tahun 1940-an
Sumber: Koleksi Foto Pribadi Ibu Maritje, 2016.

seperti dahulu, dengan beberapa perbaikan


dan penggantian elemen yang rusak (foto
11). Kegiatan olah raga tenis di
perkebunan yang terlihat di foto 9 dan 10,
menjadi kegiatan rutin para pengelola
perkebunan. Tampak bahwa yang bermain
tenis adalah orang-orang yang berkulit
putih, diperkirakan mereka para pejabat
perkebunan sebagai golongan atas.
Aktivitas di lapang tenis terlihat dalam foto
lama (foto 9 dan 10) dan foto baru (foto
11). Tampak ada sedikit perubahan di
lokasi lapangan, tetapi lokasinya masih
tetap sama seperti lokasi awal.

Gambar 10. Para Pejabat Perkebunan bermain


Tenis Lapang di Batu Lawang Banjar 1940-an
Sumber: Koleksi Pribadi Ibu Maritje, 2016.

Lapangan tenis perkebunan Batu


Lawang Banjar di Desa Batulawang
dahulu, kini berada di emplasemen
Gambar 11. Lapang Tenis di Afd. Ciaren
permukiman di Afdeling Ciaren Perkebunan Batulawang,
Perkebunan Batulawang, difungsikan Sumber: Dok. Balar Bandung, 2014.
seperti fungsi awal. Keadaannya masih
26 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2018: 17-32

Beberapa artefak perkebunan zaman ketika itu, menandakan ada


tersebut dapat memberi informasi lebih interaksi yang baik dengan beberapa
dengan menganalisisnya memakai konsep pejabat di lingkungan perkebunan, juga
komunikasi nonverbal (non-verbal dengan orang-orang di luar lingkungan
communication concept). perkebunan. Pada bagian dasar luar
Konsep komunikasi nonverbal, cangkir atau dibaliknya ada gambar
seperti pendapat Schutz (dalam Littlejohn “serangkai daun” memayungi tulisan “RC”
dan Foss, 2008) memiliki tiga hal dasar Made in Japan, dan gambar dua kipas.
yang harus diperhatikan, yaitu (1) inklusi, Alat-alat makan tersebut tidak dijual bebas,
(2) kontrol, dan (3) afeksi. Pertama, tetapi terbatas pemesanan atau hanya
kebutuhan inklusi sebagai kebutuhan untuk kalangan tertentu yang mampu
merasa dibutuhkan, memiliki, dan membelinya. Biasanya diimpor dari luar
merupakan bagian dari kelompoknya. negeri, dipasarkan melalui jaringan
Tuan Disco sebagai seorang employe dapat perdagangan khusus secara pribadi.
memenuhi kebutuhan dasar inkulusi Keadaan ini menjadi sangat eksklusif dan
tersebut. Juga kebutuhan inklusi ini tidak semua orang mampu memiliki dan
dirasakan juga oleh istri dan anak-anaknya. membelinya (Bapak Djaja dan Ibu Maritje,
Posisinya sebagai pejabat tinggi Batulawang, 5 Maret 2016).
perkebunan sangat dibutuhkan perusahaan, Ibu Maritje sebagai anak Indo-
sebagai posisi penting yang cukup Belanda, berperan sebagai makhluk
menentukan di dalam struktur dan individu sekaligus makhluk sosial. Dalam
manajemen perusahaan perkebunan. Oleh kenyataannya manusia tidak dapat hidup
karena itu, rasa memiliki perusahaan dan sendiri, tetapi memerlukan manusia lain
menjadi bagian penting dari kelompok untuk berinteraksi dan bersosialisasi.
pejabat tinggi perkebunan (orang-orang Dalam kehidupan sosial tersebut
Belanda) khususnya, dan bagian dari kebutuhan akan pengakuan tentang
komunitas masyarakat perkebunan secara keberadaannya harus bisa dipenuhi.
umum. Hal ini ditandai dengan beberapa Dengan demikian, ketiga aspek dasar
artefak dan dokumentasi foto-foto lama. komunikasi tersebut berkaitan erat dengan
Seperti alat-alat makan yang terbuat dari penampakan fisik dan nonfisik masyarakat
keramik dengan corak tertentu (foto 1, 2, perkebunan di masa lalu, sebagai ekspresi
3), dan foto rumah lama (foto 7) yang pribadi yang muncul ke permukaan
pernah mereka tempati, membuktikan (Nuralia, 2016: 213-214).
status sosial tinggi ketika itu. Tidak semua Ketiga aspek dasar komunikasi
orang dalam komunitas perkebunan zaman tersebut dalam penerapannya berupa pesan
Belanda dapat memiliki alat-alat makan atau sinyal nonverbal, disampaikan melalui
bagus dan menjadi penghuni rumah besar ekspresi fisik dan nonfisik tinggalan
dan mewah, apalagi bagi perempuan Perkebunan Batu Lawang Banjar. Ekspresi
pribumi. fisik berupa artefak dan lingkungannya,
Kebutuhan akan kontrol dan afeksi sedangkan ekspresi nonfisik berupa
sebagai hal dasar komunikasi yang kedua kehidupan sosial seperti tergambar dari
dan ketiga, mengacu kepada hasrat untuk hasil wawancara dan foto-foto lama
memenuhi hubungan atau interaksi di tersebut. Di antaranya tentang kehidupan
antara individu dalam komunitas perkawinan campuran, peran sosial
perkebunan. Juga kemampuan mendapat perempuan pribumi yang menjadi “nyai-
simpati orang-orang di sekitarnya dan nyai” atau istri simpanan secara hukum
membangun relasi sosial. Hubungan baik Belanda, serta golongan peranakan atau
di lingkungan perkebunan tampak juga Indo-Belanda umumnya ketika itu.
dari beberapa artefak dan foto lama. Golongan peranakan tersebut sebagian
Kepemilikan artefak mewah dalam ukuran besar menempati posisi bergengsi di mata
Kebudayaan Hibrid..... (Lia Nuralia & Iim Imadudin) 27

masyarakat pribumi kebanyakan, sebagai Indonesia. Adapun kelas menengah yang


istri seorang pejabat tinggi perkebunan lahir kemudian adalah kelas menengah
seperti halnya Emak Sari Komarijah atau Eropa dan kelas menengah pribumi yang
anak Indo-Belanda sebagaimana status Ibu menjadi jembatan antara ras Eropa sebagai
Maritje ketika masih kecil. kelas atas dan ras pribumi sebagai kelas
Peranakan Indo-Belanda adalah bawah (Nuralia, 2017: 9-11). Dengan
bukti fisik adanya perkawinan campuran demikian, perkawinan campuran atau
dari dua orang yang berbeda ras dan hibriditas di perkebunan telah melahirkan
budayanya. Ibu Maritje sebagai seorang kelas tersendiri dengan kebudayaan
peranakan Indo-Belanda, dari ibu seorang hibridnya yang khas. Anak-anak yang
perempuan pribumi dan ayah seorang terlahir sebagai golongan peranakan Indo-
Belanda totok. Ras pribumi Indonesia Belanda, bisa menempati posisi kelas atas
(Sunda, Timur) dan ras Eropa (Belanda, apabila telah diakui dan dipersamakan
Barat) dalam struktur penduduk Hindia kedudukannya secara hukum kolonial
Belanda berada dalam level yang tidak Belanda. Akan tetapi, menjadi termasuk
sama. Ras Barat menempati kelas sosial golongan pribumi sebagai kelas bawah
paling atas atau pertama, sedangkan ras apabila mengikuti status sosial ibunya
Timur (pribumi) berada pada klasifikasi yang sebagai kelas bawah dari golongan
sosial paling bawah. Seperti disebutkan pribumi, dan tidak diakui secara hukum
oleh Robert van Niel (1991: 30-38) kolonial adanya perkawinan di antara
penduduk Hindia Belanda ketika itu orang tuanya yang berbeda status sosial
terbagi ke dalam 3 kelas sosial, yaitu (1) dan status hukumnya.
Kelas Atas adalah golongan Eropa dan Berdasarkan struktur sosial khas
atau Indo-Eropa yang dipersamakan perkebunan tersebut, kedudukan Ibu
kedudukannya, (2) Timur Asing (Cina, Maritje telah dipersamakan dengan
Arab, dan lain-lain), dan (3) Pribumi golongan kelas atas penduduk Hindia
Indonesia (Sunda, Jawa dan lain-lain). Belanda ketika itu, karena mengikuti status
Klasifikasi sosial tersebut terjadi ayahnya yang Belanda dan pejabat tinggi
pada masa Hindia Belanda, yang perkebunan. Ibunya yang pribumi asli
berbanding lurus dengan status pekerjaan Indonesia (Sunda), yang bekerja sebagai
dan pendidikan/keahlian yang dimiliki. buruh kebun, telah pula dinikahi secara
Secara umum juga berlaku di dalam resmi, sehingga status sosialnya pun ikut
struktur masyarakat perkebunan. Akan naik ke kelas atas. Dengan status sosial
tetapi, struktur perkebunan lebih tinggi tersebut, Ibu Maritje kecil bisa
sederhana, awalnya terbagi ke dalam dua mengecap pendidikan dan kehidupan
kelas, yaitu kelas atas dan kelas bawah, keseharian yang lebih baik dibanding
sedangkan kelas menengah sebagai dengan anak-anak buruh kebun lainnya.
jembatan antara kedua kelas lahir di Berdasarkan keberadaan golongan
kemudian hari, setelah perusahaan peranakan masyarakat perkebunan,
perkebunan mengalami perkembangan dan dokumentasi foto lama, serta artefak
perluasan struktur secara vertikal dan perkebunan dan informasi lisan dari
horisontal. seorang Indo-Belanda, makna di balik
Klasifikasi sosial atau struktur sosial material culture dan immaterial culture
di perkebunan menjadi 3 tingkatan, yaitu tersebut bisa bercerita lebih banyak lagi.
(1) Atas, (2) Menengah, dan (3) Bawah. Makna simbolis di baliknya menunjukkan
Kelas sosial atas menempati pekerjaan nilai-nilai lama (nilai-nilai kolonial) yang
sebagai pejabat tinggi perkebunan dari menjadi gaya hidup masyarakat
golongan Eropa, sedangkan kelas perkebunan. Para pejabat perkebunan di
rendah/bawah bekerja sebagai buruh atau Ciamis khususnya dan di Priangan pada
pekerja kasar dari golongan pribumi asli umumnya sama halnya kehidupan para
28 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2018: 17-32

menak Sunda, seperti kehidupan bupati diembannya sebagai istri simpanan atau
dan jajarannya. Mereka memiliki gaya “selir” si Tuan Belanda, menampakkan
hidup tersendiri dan salah satunya dalam kehidupan yang lebih sejahtera. Walaupun
hal hubungan pribadi antara laki-laki dan terkadang ada perempuan “selir” Belanda
perempuan. Kaum menak (bangsawan yang mengalami kehidupan buruk, karena
Sunda) Priangan pada umumnya telah terjerat kehidupan seorang “Nyai”
melakukan poligami (berisitri lebih dari yang malang atau terjerumus dalam
satu) dan konkubinasi (berselir banyak). pergundikan yang tidak diinginkan.
Selain istri resmi ada juga istri-istri tidak Kasus perkawinan campuran di
resmi (tidak dinikahi). Istri resmi juga ada perkebunan Batu Lawang Banjar, sedikit
beberapa orang (sampai 4 orang istri), berbeda dengan kawin cerai yang terjadi
yang utama disebut garwa padmi, yang kalangan bangsa pribumi bangsawan atau
berikutnya disebut garwa leutik, “menak” Sunda. Kawin cerai yang terjadi
sedangkan istri tidak resmi disebut berakibat buruk terhadap si perempuan
parekan atau selir (Lubis, 1998: 221). “selir”, yang diambil ketika dibutuhkan
Dalam kehidupan masyarakat perkebunan, dan dibuang ketika sudah tidak diinginkan
parekan atau selir ini yang banyak terjadi. lagi. Keadaan lebih baik terjadi di
Keberadaan parekan atau selir atau perkebunan, seperti yang dialami oleh
popular dikenal sebagai “Nyai-nyai” orang tua Ibu Maritje. Laki-laki Eropa
pribumi, sebutan untuk istri simpanan atau (Belanda), Tuan Disco (ayah dari Ibu
istri dari perkawinan campuran tidak Maritje), seorang pejabat tinggi
resmi, antara laki-laki Eropa dan perkebunan Batu Lawang Banjar. Ia
perempuan pribumi Indonesia. Mengingat menikahi perempuan pribumi, Emak Sari
perkawinan campuran tersebut berada pada Komarijah, seorang buruh kebun di
situasi kolonial, hubungan tersebut Perkebunan Batu Lawang Banjar. Emak
merupakan percampuran dua budaya Sari Komarijah (ibu dari Ibu Maritje)
antara Barat dan Timur, sebagai penjajah adalah istri yang dinikahi pertama kali.
dan anak jajahan, sebagai orang kulit putih Kemudian diceraikan ketika Tuan Disco
dan orang dengan kulit berwarna (sawo harus meninggalkannya ke kamp interniran
matang/coklat). Jepang. Perceraian ini terjadi demi
Situasi kolonial menempatkan posisi menjaga martabat dan kehormatan istri dan
istri simpanan, di perkotaan atau di anak-anaknya. Tuan Disco kemudian
perkebunan berada pada status tidak jelas menikah lagi dengan perempuan pribumi
dan terkadang memalukan. Bagi laki-laki juga (pernikahan kedua), setelah bebas dari
Eropa dan perempuan pribumi, hubungan kamp interniran. Pada saat itu bekas
laki-laki-perempuan tersebut menjadi olok- istrinya telah menikah terlebih dahulu
olokan atau ejekan. Laki-laki Eropa dengan laki-laki pribumi. Keadaan tersebut
sebagai bujangan tidak laku atau tidak menunjukkan bahwa Tuan Disco tidak
mampu memiliki perempuan yang melakukan poligami, tidak memiliki selir,
sederajat dengan golongannya. Perempuan dan tidak memiliki istri orang Belanda.
pribumi dianggap telah memberi “aib” Ada perbedaan dengan kebiasaan menak
bagi keluarganya, karena dijadikan istri Sunda seperti yang telah dijelaskan.
simpanan yang tidak dinikahi secara resmi. Dengan demikian, perkawinan campuran
Ada juga yang beranggapan sebaliknya, dan poligami di perkebunan Batu Lawang
bahwa menjadi perempuan simpanan si Banjar, tidak identik poligami dan
Tuan Kulit Putih dapat mengangkat derajat konkubinasi gaya hidup para menak Sunda
kehidupannya. Sebagai nyonya di rumah si tersebut. Dari foto lama (foto 9, kanan
Tuan tersebut menjadikan perempuan atas) tampak Tuan Disco bersama seorang
pribumi terpandang di mata penduduk perempuan pribumi (istri) dan dua orang
setempat, karena status baru yang anak kecil. Dalam foto hanya ada 1
Kebudayaan Hibrid..... (Lia Nuralia & Iim Imadudin) 29

perempuan dewasa menemaninya, orang berperilaku dan berpikir adalah


menunjukkan hanya satu orang istri dalam mencari pola atau struktur dalam
perkawinannya. kehidupan sosial. Strukturasi proses yang
Perkawinan campuran dengan sedang berlangsung, sebagai tempat
berbagai masalah dan implikasinya inisiasi individu yang terjalin ke dalam
terhadap kehidupan pribadi dan pola interaksi manusia, kadang-kadang
lingkungannya, memiliki satu hal penting membatasi segala gerak, kadang-kadang
apabila melihatnya dari satu perspektif memiliki inisiatif sendiri dengan bergerak
tertentu. Perempuan pribumi sebagai istri bebas (Watson, 1995: 9, 10, 11). Dalam
tuan Belanda (Eropa) ketika itu, menjadi kasus kebudayaan hibrid masa kolonial di
sosok perempuan yang memiliki kelebihan perkebunan Batu Lawang Banjar
dalam peran, dibandingkan dengan menunjukkan ekspresi diri dua golongan
perempuan-perempuan pribumi lainnya, sosial atau kelompok manusia dengan
yang tidak menjalani perkawinan status sosial yang berbeda. Kebudayaan
campuran. Seperti peran penting yang hibrid yang lahir terwujud dalam bentuk
diemban seorang istri simpanan tuan perkawinan campuran. Perkawinan
Belanda atau Nyai, yaitu sebagai mediator campuran antara laki-laki Belanda dan
dua budaya, Eropa dan Asia atau budaya perempuan pribumi Sunda adalah hasil
Barat dan budaya Timur. Penetrasi budaya interaksi satu sama lain. Interaksi
Barat ke dalam budaya Timur atau memunculkan kehendak yang sama untuk
sebaliknya membentuk kebudayaan baru bersatu, sehingga terjadilah perkawinan
dalam masyarakat peranakan, seperti campuran tersebut.
kebiasaan makan, berbusana, berbahasa, Menurut cerita Ibu Maritje, ayahnya
dan gaya hidup. Budaya Eropa bagi (Tuan disco) mengenal ibunya (Sari
seorang “Nyai” sudah tidak asing lagi, Komarijah) karena hubungan kerja di
sehingga gaya hidup perempuan Eropa perkebunan. Sebagai seorang employe
yang dianggap lebih modern, sudah perkebunan Batu Lawang Banjar di zaman
menjadi kesehariannya. Gaya hidup Nyai- Belanda, ia mengenal Sari Komarijah yang
nyai tersebut juga melahirkan kebudayaan ketika itu bekerja sebagai buruh kebun.
baru yang kemudian dikenal sebagai Kebiasaan Tuan Disco yang selalu
budaya Indis (Adhy dan Terry Irenewaty, meninjau langsung ke lokasi kebun,
2014). Kebudayaan Indis di perkebunan membuat ia bertemu dengan para
Batu Lawang Banjar, tercermin dari pekerja/buruhnya hampir tiap hari.
artefak perkebunan dan foto lama, milik Perkawinan antara Tuan Disco dan
Ibu Maritje, seorang Indo-Belanda. Emak Sari Komarjah, bukan hanya
Dengan demikian, kebudayaan Indis di bercampurnya laki-laki Belanda dan
Perkebunan Batu Lawang Banjar menjadi perempuan pribumi, tetapi terjadi
identik dengan kebudayaan hibrid percampuran dalam status sosial, pejabat
masyarakat perkebunan masa kolonial. tinggi perkebunan dan buruh perkebunan.
Kebudayaan hibrid masyarakat Hibriditasi di perkebunan Batu Lawang
perkebunan secara umum merupakan Banjar dapat dikatakan sebagai
fenomena masa lalu, yang sampai sekarang percampuran antar ras dan golongan/kelas
masih bisa ditelusuri dan dijadikan bahan yang berbeda.
kajian kemasyarakatan. Kajian tentang Golongan orang-orang Eropa dalam
masyarakat berkaitan dengan berpikir struktur perkebunan besar zaman Belanda
secara sosiologis. Sosiologi berkaitan menempati posisi penting dan status sosial
dengan orang-orang yang berhubungan tinggi. Demikian juga dengan anak-anak
satu sama lain. Bagaimana manusia mereka, sebagai golongan peranakan Indo-
mengatur diri mereka sendiri dan Eropa dengan status yang disamakan
berinteraksi satu sama lain. Bagaimana dengan ayahnya, ketika ayahnya mengakui
30 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2018: 17-32

secara resmi anak-anak hasil perkawinan sehingga kelembaban udara dan curah
campuran tersebut. Anak-anak peranakan hujan yang tinggi bisa diantisispasi.
ini kemudian mewarisi gaya hidup orang Banyaknya bukaan dan keberadaan teras
tuanya, gaya hidup masyarakat Indis. Gaya memberi keleluasan keluar masuknya
hidup masyarakat perkebunan Batu udara luar dan sinar matahari, serta
Lawang Banjar menjadi khas, ada mencegah sinar matahari masuk langsung
kesamaan dengan elite pribumi, tetapi ke dalam rumah. Sementara itu, unsur
tidak identik dengan kebiasaan memiliki lokal yang paling menonjol terlihat bentuk
banyak selir dan melakukan poligami. atap limasan atau atap parahu kumereb
Kaum hibrid di perkebunan menjalankan dalam istilah Sunda (Nuralia, 2016: 138-
dua budaya, yaitu kebudayaan barat atau 139). Bentuk atap limasan menjulang
modern Eropa dan kebudayaan timur tinggi dengan kemiringan tertentu,
sebagai budaya asli Indonesia (Nuralia, membuat cucuran air hujan langsung jatuh
2016: 217-218). ke tanah. Keberadaan teras atau halaman di
Kehidupan kaum hibrid, khususnya sekeliling bangunan, sangat fungsional
para nyai dan tuan Belanda menjadi cerita untuk mencegah tampias air hujan
kehidupan penuh warna sepanjang sejarah. langsung masuk ke ruang dalam. Juga
Kehidupan mereka di waktu lalu melindungi dari teriknya sinar matahari.
menyisakan bukti fisik di masa sekarang
dengan adanya anak-anak Indo-Eropa, D. PENUTUP
secara fisik menunjukkan identitas ke- Kebudayaan Hibrid di Perkebunan
indoan-nya. Bentuk hidung dan warna bola Batu Lawang Banjar masa kolonial
mata, warna kulit dan rambut, serta bukti- ditunjukkan dengan adanya bukti fisik
bukti fisik lainnya merupakan warisan (material culture) dan nonfisik (immaterial
kolonial yang tidak dapat dihilangkan culture). Bukti fisik di antaranya artefak
(Nuralia, 2016: 217). perkebunan berupa alat-alat makan dan
Bukti fisik kebudayaan hibrid di perlengkapan rumah tangga, serta
perkebunan juga dapat dilihat dari dokumentasi foto-foto lama. Kemudian
bangunan rumah tinggal/rumah dinas keberadaan golongan peranakan Indo
employe perkebunan Batu Lawang Banjar Belanda. Bukti nonfisik dalam bentuk
(foto 8). Rumah dengan bentuk unik dan kebudayaan hibrid sebagai hasil pertemuan
berarsitektur Eropa dipadu unsur lokal, dari dua budaya yang berbeda (Barat dan
menunjukkan adanya percampuran dua Timur), akibat dari adanya perkawinan
budaya. Unsur-unsur Eropa yang telah campuran antara laki-laki Eropa (Belanda)
disesuaikan dengan iklim setempat, dan perempuan pribumi asli Indonesia
tampak pada dinding tembok tebal dan (Sunda). Selain itu, adalah lahirnya
jendela besar, juga pada tiang-tiang di teras struktur sosial khas perkebunan yang
sebagai penyangga atap, tiang-tiang semu pernah hidup di zaman Belanda, yang
(pilaster) di ujung masa bangunan, serta sebagian masih berlaku sampai sekarang.
banyaknya bukaan sebagai bentuk adaptasi Peran penting artefak perkebunan
dengan iklim tropis basah Indonesia yang menunjukkan telah lahirnya kebudayaan
memerlukan sirkulasi udara yang baik. hibrid, karena keberadaan artefak tersebut
Iklim tropis basah Indonesia dengan terkait dengan status sosial ekonomi
sinar matahari sepanjang tahun dan curah pemiliknya dahulu. Kemudian keberadaan
hujan yang tinggi, membutuhkan antisipasi golongan peranakan dan struktur sosial
keadaan rumah berupa teras di sekeliling khas perkebunan, sebagai bukti telah
bangunan dan banyaknya bukaan pada terjadi proses hibriditasi dalam masyarakat
beberapa bagian dindingnya. Juga halaman perkebunan di masa lalu. Bukan hanya
yang luas atau ruang terbuka, sirkulasi pencampuran antara dua ras yang berbeda,
udara lancar dan rumah menjadi terang, Barat dan Timur, juga antara dua status
Kebudayaan Hibrid..... (Lia Nuralia & Iim Imadudin) 31

sosial yang tidak sama, yaitu antara pejabat Pengetahuan Budaya, Universitas
tinggi perkebunan (employe atau wakil Indonesia.
administratur atau kepala tanaman) dan Wulan, Roro Retno. 2015.
pegawai rendahan atau buruh perkebunan ”Komuniskasi NonVerbal Bangunan
(buruh pabrik dan buruh kebun). Kolonial Di Perkebunan Teh Jawa
Barat” dalam Jurnal Sosioteknologi Vol.
DAFTAR SUMBER 14, No. 3, Desember 2015.
1. Arsip
Arschift. Rubberretate Bantardewa. Bandjar 3. Buku
W.L. Bantardewa den 27 April 1913. Baay, Reggie. 2010.
Lampiran. Besluit 15 September 1915 Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda.
No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie. Terjemahan Siti Hertini Adiwoso.
Jakarta: Arsip Nasional Republik Depok: Komunitas Bambu.
Indonesia. Cassela, Eleanor Conlin. 2005.
“Social Workers: New Diretions in
2. Jurnal, Skripsi, Tesis, dan Disertasi Industrial Archaeology”. Dalam Eleanor
Adhy, Winda Prastyaning dan Terry Irenewaty, Conlin Casella and James Symonds
2014. (Edited), Industrial Archaeology: Future
Peranan Nyai Dalam Transformasi Directions. USA: Springer Science and
Modernisasi di Jawa (1870-1942), Business Media Inc. p. 3-32.
Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan
Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Dark, K.R. 1995.
Universitas Negeri Yogyakarta. Theoretical Archaeology. Cornell
University Press.
Maryone, Rini. 2009.
“Fungsi Keramik Cina Pada Masyarakat Deetz, James. 1967.
Biak” dalam Jurnal Papua No. 1 Vol. 2, Invitation to Archaeology. Natural
November 2009. Halaman 83-91. History Press for The American
Museum of Natural History, Garden
Muhaemiah. 2012. City, NJ.
“Temuan Keramik Asing Hasil
Penelitian Arkeologi di Sulawesi Hellwig, Tineke. 2007b.
Selatan” dalam Berkala Arkeologi Vol. Citra Kaum Perempuan di Hindia
32. Edisi No. 1/Mei 2012. Halaman 39- Belanda. Jakarta: Yayasan Obor
50. Indonesia.

Mulyana, Agus. 2005. Ismet. 1970.


Melintasi Pegunungan, Pedataran, Daftar Tanah-Tanah Perkebunan² Di
Hingga Rawa-Rawa: Pembangunan Indonesia (The List Of Estates
Jalan Kereta Api di Priangan 1878- Throughout Indonesia). Bandung: Biro
1924. Disertasi. Depok: Program Studi Sinar C.V.
Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Surjo. 1991.
Universitas Indonesia. Sejarah Perkebunan di Indonesia:
Nuralia, Lia. 2017. Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta:
“Struktur Sosial Pada Rumah Pejabat Aditya Media.
Tinggi Perkebunan Zaman Hindia Lubis, Nina Herlina. 1998.
Belanda di Jawa Bagian Barat” dalam Kehidupan Kaum Menak Priangan
Kapata Arkeologi Vol. 13, No. 1, Juli 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi
2017, Halaman 1-20. Kebudayaan Sunda.
________. 2016. Littlejohn, Stephen and Foss. 2008.
Situs Perkebunan Karet Cisaga di Theories of Human Communication, 9th
Kabupaten Ciamis 1908-1972: Kajian Edition.: Thomson Wadsworth,
Arkeologi Industri Tentang Kode Belmont.
Budaya Kolonial. Tesis. Depok:
Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu
32 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2018: 17-32

Niel, Robert van. 2009.


Munculnya Elite Modern Indonesia.
Cetakan Kedua. Jakarta: Pustaka Jaya.
Soekiman, Djoko. 2014.
Kebudayaan Indis, Dari Zaman
Kompeni Sampai Revolusi. Depok:
Komunitas Bambu.
Watson, Tony J. 1995.
Sociology, Work, And Industry. Third
Edition. London & New York: Rotledge.

4. Sumber Lisan/Informan
R. Djaja bin Muhammad Soebhi (78 tahun).
2016.
Mandor Besar Batu Lawang Banjar,
Wawancara, Desa Batulawang,
Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, 5-
3- 2016.
Maritje Maryana C.H. Disco (75 tahun). 2016.
Indo-Belanda/putri C.H. Disco,
Wawancara, Desa Batulawang,
Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, 5-
3- 2016.

Anda mungkin juga menyukai