Lia Nuralia
Balai Arkeologi Jawa Barat
Jl. Raya Cinunuk Km 17, Cileunyi, Bandung 40623
e-mail: liabalar@yahoo.com
Iim Imadudin
Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat
Jln. Cinambo No.136 Ujungberung-Bandung 42094
e-mail: imadudin75@gmail.com
Naskah Diterima: 3 September 2018 Naskah Direvisi: 5 Desember 2018 Naskah Disetujui: 27 Maret 2019
DOI: 10.30959/patanjala.v11i1.427
Abstrak
Pertemuan antara dua budaya berbeda (Eropa dan Asia) memunculkan satu kebudayaan
campuran atau kebudayaan hibrid. Salah satunya lahir di dalam masyarakat Perkebunan Batu
Lawang Banjar, yang telah berdiri sejak zaman Belanda. Apa dan bagaimana kebudayaan hibrid
tersebut, akan menjadi satu permasalahan pokok, sehingga tulisan ini bertujuan mengungkap
kebudayaan hibrid di Perkebunan Batu Lawang Banjar. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode penelitian survey dengan teknik pengumpulan data melalui studi literatur,
wawancara sejarah lisan, dan arsip kolonial. Hasil yang diperoleh, dengan menggunakan konsep
komunikasi nonverbal, bahwa kebudayaan hibrid di perkebunan peninggalan zaman Belanda,
menunjukkan adanya klasifikasi sosial ekonomi yang hierarkis dan rasis. Masyarakat perkebunan
khususnya terbagi ke dalam golongan Eropa dan pribumi Indonesia, yang berimbas terhadap
status pekerjaan. Golongan Eropa menduduki posisi penting sebagai kelas atas (pejabat tinggi
perkebunan), sedangkan golongan pribumi menjadi buruh atau karyawan perkebunan sebagai
kelas bawah. Pencampuran antara kedua golongan atau kelas sosial tersebut, melahirkan
kebudayaan hibrid. Pada masa sekarang kebudayaan hibrid warisan kolonial di perkebunan,
dapat ditemukan bukti fisiknya berupa artefak perkebunan dan keberadaan golongan peranakan
Indo-Eropa sebagai anak dari hasil perkawinan campuran, serta informasi lisan dari pelaku.
Kata kunci: kebudayaan hibrid, perkebunan Batulawang Banjar, masa kolonial.
Abstrak
The meeting between two different cultures (Europe and Asia) raises a mixed culture or
hybrid culture. One of them was born in the community of Banjar Batu Lawang plantation, which
had been established since the Dutch era. What and how the hybrid culture, will become the main
problem, so this paper aims to reveal hybrid culture at the Banjar Batu Lawang Plantation. The
research method used is the survey research method with data collection techniques through
literature studies, oral history interviews, and colonial archives. The results obtained, using the
concept of nonverbal communication, that hybrid culture in plantations inherited from the Dutch
era, indicate a hierarchical and racist socio-economic classification. Plantation communities in
particular are divided into European and indigenous Indonesian groups, which impact on
employment status. The European group occupies an important position as the upper class (high-
ranking plantation officials), while the indigenous group becomes laborers or plantation workers
18 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2018: 17-32
as the lower class. Mixing between the two groups or social classes gave birth to a hybrid culture.
At present the colonial heritage of hybrid culture on plantations can be found in physical evidence
in the form of plantation artifacts and the existence of Indo-European breeders as children of
mixed marriages, as well as verbal information from the perpetrators.
Keywords: hybrid culture, Banjar Batulawang plantation, colonial period.
A. PENDAHULUAN Batulawang, Kecamatan Pataruman, Kota
Kebudayaan hibrid di perkebunan Banjar, Provinsi Jawa Barat.
pada masa kolonial Belanda dapat Afdeling Ciaren adalah bekas lokasi
ditelusuri melalui bukti-bukti sejarah, yang Perkebunan Batu Lawang lama di daerah
sekarang ini masih ditemukan dalam Banjar (Batoe Lawang Onderneming).
kehidupan masyarakat perkebunan warisan Selanjutnya untuk membedakan
zaman Belanda. Pada masa kolonial Perkebunan Batulawang sekarang yang
Belanda telah terjadi pertemuan dua terletak di 3 wilayah administratif
budaya, yang kemudian saling bercampur (Kabupaten Cimais, Kota Banjar,
dalam praktik kehidupan sehari-hari. Kabupaten Pangandaran), disebut
Pertemuan budaya Eropa (Barat, Perkebunan Batu Lawang Banjar atau
Belanda) dan pribumi Indonesia (Timur, Batulawang lama.
Sunda) melahirkan budaya yang satu sama Perkebunan Batu Lawang Banjar
lain masih menampakkan ciri-ciri aslinya, didirikan tahun 1896 oleh Dr. Stoll
dan atau melebur menjadi satu kebudayaan (seorang pengusaha perkebunan
baru. Kebudayaan baru tersebut dikenal berkebangsaan Belanda), yang dikelola
sebagai kebudayaan Indis. Masyarakatnya oleh perusahaan milik Belanda bernama
disebut masyarakat Indis. Gaya hidup NV Java Rubber Coutchouc Maatschappij
masyarakat Indis ditandai dengan (Lampiran Besluit 1915, dalam Mulyana,
dibangunnya rumah-rumah mewah 2005: 180). Dalam buku karangan Ismet
(landhuizen), kehidupan mewah dan boros (1970: 148), disebutkan Batu Lawang
sebagai wujud ekspresi diri, menunjukkan Onderneming, perusahaan perkebunan
kekuasaan terhadap kelompok masyarakat milik N.V. Java Caoutchouc Co te
lainnya. Kebudayaan Indis di Hindia Amsterdam, dengan komoditas karet dan
Belanda, hidup dan berkembang masa kopi. Pada saat ini telah menjadi bagian
kekuasaan VOC di abad ke-18. Kemudian kebun (kebun afdeling Ciaren), setelah di
surut eksistensinya di awal abad ke-20, tahun 1972 bergabung dengan Perkebunan
ketika Pemerintahan Hindia Belanda Batulawang.
mengambil alih kekuasaan. Kebudayaan Kawasan Perkebunan Batu Lawang
Indis akhirnya hilang seiring berakhirnya Banjar cukup luas dan diduga sebagai
kekuasaan Belanda di Indonesia dengan cagar budaya berupa kawasan situs
masuknya Jepang tahun 1942 (Soekiman, perkebunan peninggalan zaman Belanda.
2014: 99-100). Beberapa artefak ditemukan di lokasi ini
Kebudayaan Indis di perkebunan milik seorang peranakan Indo-Belanda di
dengan masyarakat Indis sebagai tahun 2016. Artefak perkebunan berupa
pendukungnya, dapat ditelusuri melalui barang milik pribadi yang sengaja
benda-benda budaya (material culture) dan disimpan di rumahnya.
informasi kesejarahan (immaterial Golongan peranakan atau anak-anak
culture), dari hasil wawancara dengan Indo-Eropa (Indo-Belanda) di Hindia
saksi atau pelaku sejarah. Dalam hal ini Belanda ketika itu di abad ke-19 dan awal
adalah seorang Indo-Belanda yang tinggal abad ke-20, mengelompok menjadi
di kawasan permukiman emplasemen komunitas Indis. Golongan peranakan
Afdeling Ciaren, Perkebunan Batulawang memiliki sebutan lain dengan arti yang
Ciamis. Secara administratif sekarang sama, yaitu kaum Mestizo, anak-anak
termasuk ke dalam wilayah Desa Eurasia, atau perempuan Kreol (bagi
Kebudayaan Hibrid..... (Lia Nuralia & Iim Imadudin) 19
Tabel : Alat-Alat Makan, Lemari Pakaian, dan Meja Milik Ibu Maritje
No. Jenis Alat Makan Bahan Warna Motif Hias Keterangan
1. padang pasir, Hiasan di tepian,
Cangkir Bergagang Putih, biru. coklat,
porselin pohon kelapa, badan, dasar,
dan Berceruk hijau. kuning
Unta, Piramida gagang cangkir
2. putih, motif (coklat Geometris, Hiasan hanya berada
Piring Oval Besar porselin
tua, kuning mas) persegi kecil-kecil di tepian piring
3. putih, motif (coklat Geometris, Hiasan di tepian
Piring Bulat Sedang porselin
tua, kuning mas) persegi kecil-kecil piring
4. Putih, motif (biru, Hiasan ada di badan
Vas Bunga Bulat porselin Bunga dan daun
hitam) dan dasar bagian luar
5. Hiasan berada di
putih, motif (coklat Geometris,
Pinggan Oval Bertutup porselin tepian pinggan dan
tua, kuning mas) persegi kecil-kecil
tutupnya
6. Hiasan di tepian
Pinggan Oval Bertutup putih, motif (coklat Geometris,
porselin pinggan, tutup, dan
dan Beralas tua, kuning mas) persegi kecil-kecil
alasnya
7. Lemari Pakaian dua Motif hias di daun
Kayu dan kaca Coklat kayu Garis-garis miring
pintu, berlaci, berkaki pintu
8. Meja Marmer berlaci Marmer, dan
Putih dan coklat Tidak ada
dan berkaki Kayu kayu
22 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2018: 17-32
kembali ke Batulawang ketika Indonesia perlindungan yang akan diperoleh istri dan
memasuki zaman kemerdekaan. Selama anak-anaknya. Ketika Tuan Disco kembali
masa interniran Tuan Disco menyuruh ke Batulawang, ia pun menikah lagi
istrinya, Emak Sari Komarijah (foto 7, dengan perempuan pribumi lainnya. Anak-
kanan), menceraikannya dan menikah anak dari Sari Komarijah, tetap mendapat
dengan laki-laki lain, demi kehormatan dan perhatian dan perawatan darinya.
24 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2018: 17-32
menak Sunda, seperti kehidupan bupati diembannya sebagai istri simpanan atau
dan jajarannya. Mereka memiliki gaya “selir” si Tuan Belanda, menampakkan
hidup tersendiri dan salah satunya dalam kehidupan yang lebih sejahtera. Walaupun
hal hubungan pribadi antara laki-laki dan terkadang ada perempuan “selir” Belanda
perempuan. Kaum menak (bangsawan yang mengalami kehidupan buruk, karena
Sunda) Priangan pada umumnya telah terjerat kehidupan seorang “Nyai”
melakukan poligami (berisitri lebih dari yang malang atau terjerumus dalam
satu) dan konkubinasi (berselir banyak). pergundikan yang tidak diinginkan.
Selain istri resmi ada juga istri-istri tidak Kasus perkawinan campuran di
resmi (tidak dinikahi). Istri resmi juga ada perkebunan Batu Lawang Banjar, sedikit
beberapa orang (sampai 4 orang istri), berbeda dengan kawin cerai yang terjadi
yang utama disebut garwa padmi, yang kalangan bangsa pribumi bangsawan atau
berikutnya disebut garwa leutik, “menak” Sunda. Kawin cerai yang terjadi
sedangkan istri tidak resmi disebut berakibat buruk terhadap si perempuan
parekan atau selir (Lubis, 1998: 221). “selir”, yang diambil ketika dibutuhkan
Dalam kehidupan masyarakat perkebunan, dan dibuang ketika sudah tidak diinginkan
parekan atau selir ini yang banyak terjadi. lagi. Keadaan lebih baik terjadi di
Keberadaan parekan atau selir atau perkebunan, seperti yang dialami oleh
popular dikenal sebagai “Nyai-nyai” orang tua Ibu Maritje. Laki-laki Eropa
pribumi, sebutan untuk istri simpanan atau (Belanda), Tuan Disco (ayah dari Ibu
istri dari perkawinan campuran tidak Maritje), seorang pejabat tinggi
resmi, antara laki-laki Eropa dan perkebunan Batu Lawang Banjar. Ia
perempuan pribumi Indonesia. Mengingat menikahi perempuan pribumi, Emak Sari
perkawinan campuran tersebut berada pada Komarijah, seorang buruh kebun di
situasi kolonial, hubungan tersebut Perkebunan Batu Lawang Banjar. Emak
merupakan percampuran dua budaya Sari Komarijah (ibu dari Ibu Maritje)
antara Barat dan Timur, sebagai penjajah adalah istri yang dinikahi pertama kali.
dan anak jajahan, sebagai orang kulit putih Kemudian diceraikan ketika Tuan Disco
dan orang dengan kulit berwarna (sawo harus meninggalkannya ke kamp interniran
matang/coklat). Jepang. Perceraian ini terjadi demi
Situasi kolonial menempatkan posisi menjaga martabat dan kehormatan istri dan
istri simpanan, di perkotaan atau di anak-anaknya. Tuan Disco kemudian
perkebunan berada pada status tidak jelas menikah lagi dengan perempuan pribumi
dan terkadang memalukan. Bagi laki-laki juga (pernikahan kedua), setelah bebas dari
Eropa dan perempuan pribumi, hubungan kamp interniran. Pada saat itu bekas
laki-laki-perempuan tersebut menjadi olok- istrinya telah menikah terlebih dahulu
olokan atau ejekan. Laki-laki Eropa dengan laki-laki pribumi. Keadaan tersebut
sebagai bujangan tidak laku atau tidak menunjukkan bahwa Tuan Disco tidak
mampu memiliki perempuan yang melakukan poligami, tidak memiliki selir,
sederajat dengan golongannya. Perempuan dan tidak memiliki istri orang Belanda.
pribumi dianggap telah memberi “aib” Ada perbedaan dengan kebiasaan menak
bagi keluarganya, karena dijadikan istri Sunda seperti yang telah dijelaskan.
simpanan yang tidak dinikahi secara resmi. Dengan demikian, perkawinan campuran
Ada juga yang beranggapan sebaliknya, dan poligami di perkebunan Batu Lawang
bahwa menjadi perempuan simpanan si Banjar, tidak identik poligami dan
Tuan Kulit Putih dapat mengangkat derajat konkubinasi gaya hidup para menak Sunda
kehidupannya. Sebagai nyonya di rumah si tersebut. Dari foto lama (foto 9, kanan
Tuan tersebut menjadikan perempuan atas) tampak Tuan Disco bersama seorang
pribumi terpandang di mata penduduk perempuan pribumi (istri) dan dua orang
setempat, karena status baru yang anak kecil. Dalam foto hanya ada 1
Kebudayaan Hibrid..... (Lia Nuralia & Iim Imadudin) 29
secara resmi anak-anak hasil perkawinan sehingga kelembaban udara dan curah
campuran tersebut. Anak-anak peranakan hujan yang tinggi bisa diantisispasi.
ini kemudian mewarisi gaya hidup orang Banyaknya bukaan dan keberadaan teras
tuanya, gaya hidup masyarakat Indis. Gaya memberi keleluasan keluar masuknya
hidup masyarakat perkebunan Batu udara luar dan sinar matahari, serta
Lawang Banjar menjadi khas, ada mencegah sinar matahari masuk langsung
kesamaan dengan elite pribumi, tetapi ke dalam rumah. Sementara itu, unsur
tidak identik dengan kebiasaan memiliki lokal yang paling menonjol terlihat bentuk
banyak selir dan melakukan poligami. atap limasan atau atap parahu kumereb
Kaum hibrid di perkebunan menjalankan dalam istilah Sunda (Nuralia, 2016: 138-
dua budaya, yaitu kebudayaan barat atau 139). Bentuk atap limasan menjulang
modern Eropa dan kebudayaan timur tinggi dengan kemiringan tertentu,
sebagai budaya asli Indonesia (Nuralia, membuat cucuran air hujan langsung jatuh
2016: 217-218). ke tanah. Keberadaan teras atau halaman di
Kehidupan kaum hibrid, khususnya sekeliling bangunan, sangat fungsional
para nyai dan tuan Belanda menjadi cerita untuk mencegah tampias air hujan
kehidupan penuh warna sepanjang sejarah. langsung masuk ke ruang dalam. Juga
Kehidupan mereka di waktu lalu melindungi dari teriknya sinar matahari.
menyisakan bukti fisik di masa sekarang
dengan adanya anak-anak Indo-Eropa, D. PENUTUP
secara fisik menunjukkan identitas ke- Kebudayaan Hibrid di Perkebunan
indoan-nya. Bentuk hidung dan warna bola Batu Lawang Banjar masa kolonial
mata, warna kulit dan rambut, serta bukti- ditunjukkan dengan adanya bukti fisik
bukti fisik lainnya merupakan warisan (material culture) dan nonfisik (immaterial
kolonial yang tidak dapat dihilangkan culture). Bukti fisik di antaranya artefak
(Nuralia, 2016: 217). perkebunan berupa alat-alat makan dan
Bukti fisik kebudayaan hibrid di perlengkapan rumah tangga, serta
perkebunan juga dapat dilihat dari dokumentasi foto-foto lama. Kemudian
bangunan rumah tinggal/rumah dinas keberadaan golongan peranakan Indo
employe perkebunan Batu Lawang Banjar Belanda. Bukti nonfisik dalam bentuk
(foto 8). Rumah dengan bentuk unik dan kebudayaan hibrid sebagai hasil pertemuan
berarsitektur Eropa dipadu unsur lokal, dari dua budaya yang berbeda (Barat dan
menunjukkan adanya percampuran dua Timur), akibat dari adanya perkawinan
budaya. Unsur-unsur Eropa yang telah campuran antara laki-laki Eropa (Belanda)
disesuaikan dengan iklim setempat, dan perempuan pribumi asli Indonesia
tampak pada dinding tembok tebal dan (Sunda). Selain itu, adalah lahirnya
jendela besar, juga pada tiang-tiang di teras struktur sosial khas perkebunan yang
sebagai penyangga atap, tiang-tiang semu pernah hidup di zaman Belanda, yang
(pilaster) di ujung masa bangunan, serta sebagian masih berlaku sampai sekarang.
banyaknya bukaan sebagai bentuk adaptasi Peran penting artefak perkebunan
dengan iklim tropis basah Indonesia yang menunjukkan telah lahirnya kebudayaan
memerlukan sirkulasi udara yang baik. hibrid, karena keberadaan artefak tersebut
Iklim tropis basah Indonesia dengan terkait dengan status sosial ekonomi
sinar matahari sepanjang tahun dan curah pemiliknya dahulu. Kemudian keberadaan
hujan yang tinggi, membutuhkan antisipasi golongan peranakan dan struktur sosial
keadaan rumah berupa teras di sekeliling khas perkebunan, sebagai bukti telah
bangunan dan banyaknya bukaan pada terjadi proses hibriditasi dalam masyarakat
beberapa bagian dindingnya. Juga halaman perkebunan di masa lalu. Bukan hanya
yang luas atau ruang terbuka, sirkulasi pencampuran antara dua ras yang berbeda,
udara lancar dan rumah menjadi terang, Barat dan Timur, juga antara dua status
Kebudayaan Hibrid..... (Lia Nuralia & Iim Imadudin) 31
sosial yang tidak sama, yaitu antara pejabat Pengetahuan Budaya, Universitas
tinggi perkebunan (employe atau wakil Indonesia.
administratur atau kepala tanaman) dan Wulan, Roro Retno. 2015.
pegawai rendahan atau buruh perkebunan ”Komuniskasi NonVerbal Bangunan
(buruh pabrik dan buruh kebun). Kolonial Di Perkebunan Teh Jawa
Barat” dalam Jurnal Sosioteknologi Vol.
DAFTAR SUMBER 14, No. 3, Desember 2015.
1. Arsip
Arschift. Rubberretate Bantardewa. Bandjar 3. Buku
W.L. Bantardewa den 27 April 1913. Baay, Reggie. 2010.
Lampiran. Besluit 15 September 1915 Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda.
No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie. Terjemahan Siti Hertini Adiwoso.
Jakarta: Arsip Nasional Republik Depok: Komunitas Bambu.
Indonesia. Cassela, Eleanor Conlin. 2005.
“Social Workers: New Diretions in
2. Jurnal, Skripsi, Tesis, dan Disertasi Industrial Archaeology”. Dalam Eleanor
Adhy, Winda Prastyaning dan Terry Irenewaty, Conlin Casella and James Symonds
2014. (Edited), Industrial Archaeology: Future
Peranan Nyai Dalam Transformasi Directions. USA: Springer Science and
Modernisasi di Jawa (1870-1942), Business Media Inc. p. 3-32.
Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan
Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Dark, K.R. 1995.
Universitas Negeri Yogyakarta. Theoretical Archaeology. Cornell
University Press.
Maryone, Rini. 2009.
“Fungsi Keramik Cina Pada Masyarakat Deetz, James. 1967.
Biak” dalam Jurnal Papua No. 1 Vol. 2, Invitation to Archaeology. Natural
November 2009. Halaman 83-91. History Press for The American
Museum of Natural History, Garden
Muhaemiah. 2012. City, NJ.
“Temuan Keramik Asing Hasil
Penelitian Arkeologi di Sulawesi Hellwig, Tineke. 2007b.
Selatan” dalam Berkala Arkeologi Vol. Citra Kaum Perempuan di Hindia
32. Edisi No. 1/Mei 2012. Halaman 39- Belanda. Jakarta: Yayasan Obor
50. Indonesia.
4. Sumber Lisan/Informan
R. Djaja bin Muhammad Soebhi (78 tahun).
2016.
Mandor Besar Batu Lawang Banjar,
Wawancara, Desa Batulawang,
Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, 5-
3- 2016.
Maritje Maryana C.H. Disco (75 tahun). 2016.
Indo-Belanda/putri C.H. Disco,
Wawancara, Desa Batulawang,
Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, 5-
3- 2016.