Anda di halaman 1dari 4

KEBUDAYAAN INDIS

Uraian Buku “Rijsttafel: Budaya Kuliner Masa Kolonial” Karya Fadly Rahman
Oleh: Tri Santoso
http//:bungts.com/
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Indonesia merupakan salah satu negara yang pernah dijajah oleh lebih
dari satu bangsa. Katakanlah Belanda yang konon pernah menjajah Indonesia
selama berabad-abad. Selain Belanda, menurut beberapa studi literature
Indonesia juga pernah dijajah oleh Inggris, Portugal, Spanyol hingga Jepang.
Hal ini dapat dilihat dari peninggalan-peninggal artefak, bangunan, nama-
nama tempat hingga macam kuliner beserta sajiannya.

Fokus dalam tulisan ini pada masalah kolonialisme. Sejak awal abad ke-
16 bangsa Eropa sudah berada di tanah Jawa (terkhusus orang-orang
Belanda). Mereka pergi ke Jawa karena wilayah ini menjadi sorotan dan
perhatian, bahwa tanah Jawa sebagai pusat politik, kekuasaan serta niaga di
Nusantara dan Mancanegara. Orang Belanda mulanya datang ke tanah Jawa
hanya untuk berdagang atau dengan tujuan berniaga. Mulai abad ke-17 lah
VOC turut mencampuri urusan politik kerajaan. Hingga akhirnya muncul
kompeni dalam aspek politik dan perdagangan kala itu.

Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) akhirnya kandas sekitaran


tahun 1799. Berakhirnya dengus ini menjadi era yang sangat penting. Era
sosial budaya berubah kala itu. Muncullah era politik kolonial kekuasaan Hindia
Belanda, yang mencerminkan kuatnya hierarki kekuasaan yang
menggambarkan dua belahan antara para penguasa (yang diwakili raja-raja
dan priyayi) dan rakyat atau petani. Praktik feodalistik dapat dilihat dari gaya
hidup dan aktivitas di keraton serta gaya hidup keningratan.
Hierarki kehidupan sosial didasarkan pada aspek keturunan (genealogis),
misalnya keturunan bangsawan (priyayi) atau orang kebanyakan (petani).
Secara sosial terdapat jurang pemisah antara rakyat biasa dengan kaum
bangsawan, inilah salah satu akibat dari kolonialisme.

Abad ke-19 orang-orang Belanda lebih banyak berinteraksi langsung


dengan penduduk pribumi. Hingga mereka turut memengaruhi penerapan
prinsip susila. Orang-orang Belanda yang telah menetap lama di Hindia
Belanda latar belakang mereka sebenarnya bukan dari golongan kelas tinggi
di negara mereka. Akan tetapi meraka selalu menganggap dirinya berstatus
sosial lebih tinggi dari masyarakat pribumi. Dengan alih-alih perbedaan warna
kulit, penguasaan bahasa, dan bentuk fisik.

Mereka menggolongkan diri ke kelas yang lebih tinggi di Hindia Belanda.


Dalam sebuah literatur disebutkan bahwa meraka saking gengsinya tak mau
mengikuti budaya pribumi, mereka berpakaian ala “Eropa”, makan ala “Eropa”,
dan tidak sudi makan makanan pribumi atau Tionghoa. Dalam bergaulpun
mereka mengugunakan nama samara Eropa-bukan Belanda.

Pasca tahun 1800 setelah Inggris menguasai Jawa tahun 1811-1816 sikap
acuh tak acuh Bealanda terhadap kaum pribumi mulai berubah. Mereka
berharap hubungan dengan masyarakat pribumi terjalin dengan baik. Sayang,
hubungan secara langsung dengan rakyat kala itu tidak berhasil, akibat
banyaknya penyelewengan priyayi yang mereka pekerjakan untuk mengurus
administrasi hingga timbulnya banyak penderitaan masyarakat kecil kala itu.

Dimulainya era tanam paksa (cultuurstelsel) pada 1830 hendaknya


membuat perubahan. Perubahan yang dimaksud hanya dikalangan priyayi.
Mereka ditempatnya di pos-pos pemerintahan dan mendapatkan prioritas. Era
ini banyak anak-anak dari golongan priyayi dimasukan ke sekolah-sekolah
yang direncanakan mereka akan dijadikan pamong praja dan juru tulis dimasa
kelak. Hubungan baik ini memengaruhi kehidupan dan pola kebiasaan hidup
priyayi yang mengakibatkan kehidupan mereka terpengaruh dengan
kebudayaan barat.

Kebudayaan Indis

Perkembangan kolonialisme Belanda memengaruhi interaksi sosial


budaya di tanah Jawa. Pengaruh yang dimaksud ialah persentuhan budaya
Timur (pribumi) dengan Barat (Belanda). Inilah yang disebut dengan budaya
Indis. Budaya Indis menyebar ke segala bidang dan merubah kondisi
masyarakat Hinda Belanda.

Di bawah pemerintahan Gubernur Jendral Stamford Raffles (1811-1816)


menunjukan rasa tidak sukanya terhadap kebudayaan Indis. Inggris ingin
muncul sebagai pembaharu. Hingga akhirnya Raffles menerbitkan surat kabar
mingguan di Batavia, Java Gouvernement Gazette (1812-1816). Hal ini
dilakukan untuk memengaruhi dan menanamkan ideology kebudayaan Inggris.
Dan membuat berbagai organisasi serta pelarangan terhadap cara berpakaian
dan bergaul ala kebudayaan Indis.

Setelah hengkangnya kekuasaan Inggris kebudayaan Indis makan


Berjaya dan pesat. Hal ini ditandai dengan perubahan gaya hidup, yang
tercermin dari bahasa, cara berpakaian, cara makan, perabotan rumah tangga,
pekerjaan, kesenian, religi, hingga mengahragai waktu. Kebudayaan diantara
keduanya saling memengaruhi dan membutuhkan.

Digambarkan juga bahwa kaum Belanda tak malu menyaksikan


pertunjukan gamelan, percaya hal yang gaib “dukun”, gemar berpijat,
mengenakan celana panjang bermotif batik, berbaju dengan potongan model
Tiongkok. Sedangkan kaum perempuan bersarung kebaya “jarik”.
Berkembangnya budaya Indis juga dipengaruhi oleh kaum laki-laki Eropa
yang menjadikan perempuan Jawa sebagai nyai. Sejak inilah mulai
berkembang keturunan-keturan Indo hasil perkawinan Jawa dan Eropa.
Pengaruh nyai sangat besar terhadap karakter budaya campuran dalam
kebudayan anak-anak keturunan (Indo). Bagimanapun keadaannya,
fenomena perkawinan campuran telah menjadi sarana yang tepat umtuk
melahirkan percampuran budaya pribumi dan Belanda. Orang Belanda
membawa ide-ide dan pranata-pranata Barat ke Hindia, dan ketika itu pula
beradaptasi dengan kebudayaan pribumi. Sementara kebudayaan Indis
terserap oleh masyarakat pribumi. Dan yang menjadi penentu ialah kaum elite
pribumi.

Anda mungkin juga menyukai