Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia mengukir kisah perjuangan yang panjang dalam perjalanannya.
Kemerdekaan yang didapatkan sekarang ini bukanlah semudah membalikkan telapak
tangan. Bangsa Indonesia dijajah oleh negara lain selama berabad lamanya. Penjajahan
terlama dilakukan oleh Belanda. Belanda menjajah Indonesia selama lebih kurang 350
tahun.
Berbagai faktor yang melandasi penjajahan Belanda di Indonesia, salah satunya
adalah motif berdagang yang bergeser seiring dengan keinginan untuk berkuasa. Berbagai
konflik yang terjadi dengan penguasa sebelumnya, yaitu Inggris dan Portugis
menghadirkan persaingan. Persaingan yang direalisasikan dengan adanya kongsi dagang
yang merugikan Bangsa Indonesia. Di antara bangsa-bangsa Barat yang datang di
Indonesia, Belandalah yang paling bernafsu menguasai Indonesia. Untuk melaksanakan
tekadnya itu Belanda mendirikan VOC. VOC adalah kongsi dagang Belanda yang mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya di Indonesia. Oleh karena itu, mereka tidak
menghiraukan kemajuan Indonesia.
Sejak dahulu, bangsa-bangsa di dunia tertarik untuk mengusai Indonesia, terutama
bangsa-angsa Barat. Hal itu disebabkan oleh letak Indonesia yang sangat strategis dan
kekayaan alamnya berlimpah-limpah. Dikatakan strategis karena Indonesia berada di
persimpangan dua samudera dan dua benua. Selain itu Indonesia juga terletak di jalur
perdagangan dunia. Di samping tanahnya sangat subur, Indonesia juga mempunyai
kandungan alam yang banyak, seperti minyak. emas, dan tembaga.
Berbagai perlakuan yang tidak adil tersebut kemudian melatarbelakangi Bangsa
Indonesia untuk memberontak. Pemberontakan dilakukan dari berbagai daerah dan oleh
berbagai tokoh perjuangan. Perjuangan memperoleh hak-hak kembali atas kekayaan
Bangsa Indonesia terus dilakukan. Pergerakan-pergerakan oleh tokoh-tokoh nasionalis
Indonesia mengalami sejarah yang panjang dan dari berbagai generasi. Pentingnya
mengetahui dan mempelajari sejarah perjuangan bangsa adalah untuk menumbuhkan rasa
cinta kita yang mendalam kepada Indonesia. Pepatah yang mengatakan bahwa bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah perjuangan pahlawannya. Indonesia
merupakan bangsa yang besar, maka dari itu perlu adanya penanaman kecintaan yang
lebih untuk menumbuhkan semangat nasionalisme.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi bangsa Indonesia akibat penjajahan Belanda?
2. Bagaimana rangkaian perjuangan Bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan
Belanda?

C. Tujuan
1. Mengetahui kondisi bangsa Indonesia akibat penjajahan Belanda.
2. Mengetahui rangkaian perjuangan Bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan
Belanda.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dominasi Politik Dan Eksploitasi Ekonomi Belanda di Indonesia


Selama abad ke-18, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (disingkat VOC)
memantapkan dirinya sebagai kekuatan ekonomi dan politik di pulau Jawa setelah
runtuhnya Kesultanan Mataram. Perusahaan dagang Belanda ini telah menjadi kekuatan
utama di perdagangan Asia sejak awal 1600-an, tetapi pada abad ke-18 mulai
mengembangkan minat untuk campur tangan dalam politik pribumi di pulau Jawa demi
meningkatkan kekuasaan mereka pada ekonomi lokal.
Namun korupsi, manajemen yang buruk dan persaingan ketat dari Inggris (East
India Company) mengakibatkan runtuhnya VOC menjelang akhir abad ke-18. Pada
tahun 1796, VOC akhirnya bangkrut dan kemudian dinasionalisasi oleh pemerintah
Belanda. Akibatnya, harta dan milik VOC di Nusantara jatuh ke tangan mahkota Belanda
pada tahun 1800. Namun, ketika Perancis menduduki Belanda antara tahun 1806 dan
1815, harta tersebut dipindahkan ke tangan Inggris. Setelah kekalahan Napoleon di
Waterloo diputuskan bahwa sebagian besar wilayah Nusantara kembali ke tangan
Belanda.

Arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia


Dua nama menonjol sebagai arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia.
Pertama, Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal 1808-1811 ketika Belanda
dikuasai oleh Perancis dan, kedua, Letnan Inggris Stamford Raffles, Gubernur Jenderal
1811-1816 ketika Jawa dikuasai Inggris. Daendels mereorganisasi pemerintahan kolonial
pusat dan daerah dengan membagi pulau Jawa dalam distrik (yang juga dikenal
sebagai residensi) yang dipimpin oleh seorang pegawai negeri sipil Eropa - yang
disebutkan residen - yang secara langsung merupakan bawahan dari - dan harus melapor
kepada - Gubernur Jenderal di Batavia. Para residen ini bertanggung jawab atas berbagai
hal di residensi mereka, termasuk masalah hukum dan organisasi pertanian.
Raffles melanjutkan reorganisasi pendahulunya (Daendels) dengan mereformasi
pengadilan, polisi dan sistem administrasi di Jawa. Dia memperkenalkan pajak tanah di
Jawa yang berarti bahwa petani Jawa harus membayar pajak, kira-kira nilai dua-perlima
dari panen tahunan mereka, kepada pihak berwenang. Raffles juga sangat tertarik dengan
budaya dan bahasa Jawa. Pada tahun 1817 ia menerbitkan bukunya The History of Java,
salah satu karya akademis pertama yang topiknya pulau Jawa. Namun, reorganisasi
administrasinya yang diterapkan Raffles juga berarti meningkatnya intervensi pihak
asing di masyarakat dan ekonomi Jawa, yang tercermin dari meningkatnya jumlah
pejabat peringkat menengah Eropa yang bekerja di residensi-residensi di pulau Jawa.
Antara tahun 1825 dan tahun 1890 jumlah ini meningkat dari 73 menjadi 190 pejabat
Eropa.
Sistem pemerintahan kolonial Belanda di Jawa adalah sistem yang direk (langsung)
maupun dualistik. Bersamaan dengan hirarki Belanda, ada hirarki pribumi yang
berfungsi sebagai perantara antara petani Jawa dan layanan sipil Eropa. Bagian atas
struktur hirarki pribumi ini terdiri dari para aristokrasi Jawa, sebelumnya para pejabat
yang mengelola pemerintahan Mataram. Namun, karena dikuasai penjajah para priyayi
ini terpaksa melaksanakan kehendak Belanda.
Meningkatnya dominasi Belanda atas pulau Jawa tidak datang tanpa perlawanan.
Ketika Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan untuk membangun jalan di tanah yang
dimiliki Pangeran Diponegoro (yang ditunjuk sebagai wali tahta Yogyakarta setelah
kematian mendadak saudara tirinya), ia memberontak dengan didukung oleh mayoritas
penduduk di Jawa Tengah dan ia menjadikannya perang jihad. Perang ini berlangsung
tahun 1825-1830 dan mengakibatkan kematian sekitar 215,000 orang, sebagian besar
orang Jawa. Tapi setelah Perang Jawa selesai - dan pangeran Diponegoro ditangkap -
Belanda jauh lebih kuat di Jawa dibanding sebelumnya.

Tanam Paksa atau Sistem Kultivasi di Jawa


Persaingan dengan para pedagang Inggris, Perang Napoleon di Eropa dan Perang
Jawa mengakibatkan beban finansial yang besar bagi Kerajaan Belanda. Diputuskan
bahwa Jawa harus menjadi sebuah sumber utama pendapatan untuk Belanda dan karena
itu Gubernur Jenderal Van den Bosch mendorong dimulainya era Tanam Paksa (para
sejarawan di Indonesia mencatat periode ini sebagai era Tanam Paksa namun Pemerintah
Kolonial Belanda menyebutnya Cultuurstelsel yang berarti Sistem Kultivasi) di tahun
1830.
Dengan sistem ini, Belanda memonopoli perdagangan komoditi-komoditi ekspor di
Jawa. Terlebih lagi, pihak Belanda lah yang memutuskan jenis (dan jumlah) komoditi
yang harus diproduksi oleh para petani Jawa. Secara umum, ini berarti para petani Jawa
harus menyerahkan seperlima dari hasil panen mereka kepada Belanda. Sebagai
gantinya, para petani menerima kompensasi dalam bentuk uang dengan harga yang
ditentukan Belanda tanpa memperhitungkan harga komoditi di pasaran dunia. Para
pejabat Belanda dan Jawa menerima bonus bila residensi mereka mengirimkan lebih
banyak hasil panen dari waktu sebelumnya, maka mendorong intervensi top-down dan
penindasan. Selain pemaksaan penanaman dan kerja rodi, pajak tanah Raffles juga masih
berlaku. Sistem Tanam Paksa menghasilkan kesuksesan keuangan. Antara tahun 1832
dan 1852, sekitar 19% dari total pendapatan pemerintah Belanda berasal dari koloni
Jawa. Antara tahun 1860 dan 1866, angka ini bertambah menjadi 33%.
Pada awalnya, Sistem Tanam Paksa itu tidak didominasi hanya oleh pemerintah
Belanda saja. Para pemegang kekuasaan Jawa, pihak Eropa swasta dan juga para
pengusaha Tionghoa ikut berperan. Namun, setelah 1850 - waktu Sistem Tanam Paksa
direorganisasi - Pemerintah Kolonial Belanda menjadi pemain utama. Namun
reorganisasi ini juga membuka pintu bagi pihak-pihak swasta untuk mulai mendominasi
Jawa. Sebuah proses privatisasi terjadi karena Pemerintah Kolonial secara bertahap
mengalihkan produksi komoditi ekspor kepada para pengusaha swasta Eropa.

Zaman Liberal Hindia Belanda


Semakin banyak suara terdengar di Belanda yang menolak sistem Tanam Paksa
dan mendorong sebuah pendekatan yang lebih liberal bagi perusahaan-perusahaan asing.
Penolakan sistem Tanam Paksa ini terjadi karena alasan kemanusiaan dan ekonomi. Pada
1870 kelompok liberal di Belanda memenangkan kekuasaan di parlemen Belanda dan
dengan sukses menghilangkan beberapa ciri khas Sistem Tanam Paksa, seperti
persentase penanaman beserta keharusan menggunakan lahan dan tenaga kerja untuk
mengekspor hasil panen.
Kelompok liberal ini membuka jalan untuk dimulainya sebuah periode baru dalam
sejarah Indonesia yang dikenal sebagai Zaman Liberal (sekitar 1870-1900). Periode ini
ditandai dengan pengaruh besar dari kapitalisme swasta dalam kebijakan kolonial di
Hindia Belanda. Pemerintah Kolonial pada saat itu kurang lebih memainkan peran
sebagai pengawas dalam hubungan antara pengusaha-pengusaha Eropa dengan
masyarakat pedesaan Jawa. Namun, walau kaum liberal mengatakan bahwa keuntungan
pertumbuhan ekonomi juga akan mengucur kepada masyarakat lokal, keadaan para
petani Jawa yang menderita karena kelaparan, kurang pangan dan penyakit tidak lebih
baik dibandingkan masa Tanam Paksa.
Abad ke-19 juga dikenal sebagai abad ekspansi karena Belanda melaksanakan
ekspansi geografis yang substantial di Nusantara. Didorong oleh mentalisme
imperialisme baru, negara-negara Eropa bersaing untuk mencari koloni-koloni di luar
benua Eropa untuk motif ekonomi dan status. Salah satu motif penting bagi Belanda
untuk memperluas wilayahnya di Nusantara - selain keuntungan keuangan - adalah untuk
mencegah negara-negara Eropa lain mengambil bagian-bagian dari wilayah ini.
Pertempuran paling terkenal (dan pertempuran yang paling lama antara Belanda dan
rakyat pribumi) selama periode ekspansi Belanda abad ini adalah Perang Aceh yang
dimulai pada tahun 1873 dan berlangsung sampai 1913, berakibat pada kematian lebih
dari 100,000 orang. Namun, Belanda tidak pernah memegang kontrol penuh atas Aceh.
Toh, integrasi politik antara Jawa dan pulau-pulau lain di nusantara sebagai kesatuan
politis kolonial telah sebagian besar dicapai pada awal abad ke-20.

B. Kondisi Bangsa Indonesia Akibat Penjajahan


Ketika bangsa Belanda berkuasa di Indonesia, sejak berdirinya VOC tahun 1602,
kondisi bangsa Indonesia yang berkaitan dengan pendidikan, ilmu pengetahuan,
persatuan dan kesatuan, serta jiwa nasionalisme masih relatif rendah. Fenomena tersebut
ditandai dengan mudahnya bangsa Indonesia untuk dihasut dan diadu domba antar rakyat
Indonesia sendiri. Contoh: suatu pertikaian antarkerajaan akibat dihasut oleh kolonial
Belanda hingga timbul perselisihan, perang saudara, pecahnya persatuan, dan pada
akhirnya dapat dikuasai atau dijajah Belanda.
Kekuasaan kolonial Belanda atas bangsa Indonesia yang berlangsung sangat lama
telah membawa akibat buruk bagi rakyat Indonesia di berbagai segi kehidupan, seperti di
bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan.
a. Kehidupan Bangsa Indonesia di Bidang Politik
Sistem politk Adu Domba (Devide et Impera) yang digunakan pemerintah
kolonial Belanda mampu memperlemah, memperdaya bangsa Indonesia, dan bahkan
dapat menghapus kekuasaan pribumi. Beberapa kerajaan besar yang berkuasa di
berbagai daerah di Indonesia satu demi satu dapat dikuasai oleh Belanda.
Kedudukan para bupati dianggap sebagai pegawai negeri yang digaji oleh
pemerintah kolonial Belanda. Kewibawaan para bupati telah jatuh di mata rakyat
Indonesia, bahkan jabatan para bupati dimanfaatkan untuk menekan dan memeras
rakyat Indonesia. Perilaku para penguasa pribumi selalu diawasi secara ketat
sehingga mereka sulit untuk melakukan tindakan yang menyimpang dari aturan yang
telah ditetapkan. Dengan demikian, rakyat Indonesia saat itu tidak memiliki
pemimpin yang dapat diharapkan untuk menyalurkan aspirasi dan justru kehidupan
berpolitik menjadi buntu.
b. Kehidupan Bangsa Indonesia di Bidang Ekonomi
Penderitaan akibat politik pemerasan yang dilakukan kolonial Belanda terhadap
rakyat Indonesia telah mencapai puncaknya pada masa pelaksanaan sistem Tanam
Paksa (Cultuurstelsel) dan sistem Ekonomi Liberal (Politik Pintu Terbuka).
Keuntungan dari pelaksanaan sistem Tanam Paksa dan Politik Pintu Terbuka
tersebut tidak ada satu pun yang digunakan untuk kepentingan Indonesia, namun
digunakan Belanda untuk membangun negerinya di Eropa dan untuk membayar
utang luar negeri pemerintah kolonial Belanda. Dengan demikian, kehidupan
ekonomi rakyat Indonesia pada zaman penjajahan Belanda sungguh memprihatinkan
sehingga banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan dan mati kelaparan.

c. Kehidupan Bangsa Indonesia di Bidang Sosial


Kehidupan sosial yang dialami oleh rakyat Indonesia pada masa penjajahan
Belanda antara lain diskriminasi ras dan intimidasi yang diterapkan pemerintah
kolonial Belanda. Diksriminasi dan intimidasi itu didasarkan pada golongan dalam
kehidupan masyarakat dan suku bangsa. Penduduk berkulit putih dan kolonial
Belanda termasuk ke dalam golongan dengan status sosial yang lebih tinggi dan
memiliki hak-hak istimewa, sedangkan rakyat pribumi termasuk ke dalam golongan
rendah yang lebih banyak dibebani oleh kewajiban-kewajiban dan tidak diberikan
hak sebagai layaknya warga negara yang dilindungi oleh hukum.
Kemudian, tidak semua anak pribumi memiliki kesempatan untuk memperoleh
pendidikan seperti yang diperoleh anak-anak kolonial Belanda. Demikian pula,
dalam lingkungan pemerintahan, tidak semua jabatan tersedia untuk orang-orang
pribumi. Dengan demikian, adanya diskriminasi ras dan segala bentuk intimidasi,
baik secara langsung maupun tidak langsung telah menimbulkan kesenjangan antara
orang-orang Belanda dan rakyat pribumi.

d. Kehidupan Bangsa Indonesia di Bidang Kebudayaan


Kebudayaan barat (Eropa) yang dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa
Belanda mulai dikenal bangsa Indonesia sejak abad ke-15. Budaya-budaya barat
tersebut diterapkan ke dalam lingkungan kehidupan tradisional rakyat Indonesia,
seperti cara bergaul, gaya hidup, cara berpakaian, bahasa, dan sistem pendidikan.
Tidak semua budaya barat yang masuk ke Indonesia dapat diterima oleh rakyat
Indonesia, karena adanya tata cara yang berlawanan dengan nilai budaya bangsa
Indonesia yang telah diwariskan secara turun-temurun. Contoh budaya barat yang
berlawanan dengan nilai luhur antara lain mabuk-mabukan, pergaulan bebas,
pemerasan, dan penindasan.

C. Perlawanan Bangsa Indonesia di Berbagai Daerah


Perlawanan terhadap penjajahan pemerintah Hindia Belanda terjadi di berbagai
daerah di Indonesia. Abad 19 merupakan puncak perlawanan rakyat Indonesia di
berbagai daerah dalam usahanya menentang Pemerintah Hindia Belanda. Kegigihan
perlawanan rakyat Indonesia menyebabkan Belanda mengalami krisis keuangan untuk
biaya perang. Perlawanan di berbagai daerah tersebut belum berhasil membuahkan
kemerdekaan. Semua perlawanan dapat dipadamkan dan kerajaan-kerajaan di Indonesia
semakin mengalami keruntuhan.
Kita dapat menelusuri jejak-jejak perlawanan tersebut dari berbagai peninggalan
yang masih ada hingga sekarang. Bahkan di berbagai daerah didirikan berbagai museum
untuk menjadi media pembelajaran masyarakat di masa ini. Dengan mengunjungi
berbagai museum dan berbagai tempat peninggalan perlawanan rakyat Indonesia
melawan Belanda, akan menggugah semangat kebangsaan. kalian dapat menemukan
berbagai peninggalan atau museum perjuangan pada masa lalu di setiap daerah di
Indonesia.
Apabila kalian tinggal di Maluku, kalian dapat mencari jejak peninggalan
perjuangan Pattimura, apabila kalian tinggal di Sulawesi kalian dapat mengunjungi
Benteng Rotterdam. Demikian juga di daerah-daerah lain, pasti kalian dapat menemukan
berbagai peninggalan pada masa perjuangan melawan kolonialisme Belanda.
Peninggalan di Yogyakarta adalah Goa Selarong, di Sumatra Barat terdapat Benteng Fort
de Kock, di Kalimantan kalian menemukan peninggalan pada masa perang Banjar.
Peninggalan-peninggalan yang ada membuktikan keberanian rakyat Indonesia.
Apakah kalian pernah pergi mengunjungi berbagai peninggalan pada masa perlawanan
terhadap Pemerintah Hindia Belanda di atas? Bagaimana sikap kalian terhadap
peninggalan tersebut? Generasi sekarang harus merawat peninggalan tersebut agar dapat
belajar bagaimana perjuangan para pahlawan pada masa lalu. Dengan demikian kalian
akan semakin giat belajar dan membangun bangsa Indonesia agar terus berjaya.
Saat masa penjajahan Hindia Belanda, perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda
terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Lokasi Indonesia pada masa lalu sulit
dijangkau, sehingga menyebabkan perlawanan rakyat tidak dapat dilakukan secara
serentak. Inilah salah satu faktor penyebab Hindia Belanda dapat melumpuhkan
perlawanan Bangsa Indonesia.
Beberapa contoh perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda yang dilakukan
oleh rakyat Indonesia adalah sebagai berikut.
1) Perang Saparua di Ambon
Merupakan perlawanan rakyat Ambon yang dipimpin Thomas Matulesi
(Pattimura). Dalam perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda tersebut, seorang
pahlawan wanita bernama Christina Martha Tiahahu melakukan perlawanan dengan
gagah berani. Perlawanan Pattimura dapat dikalahkan setelah bantuan pasukan Hindia
Belanda dari Jakarta datang. Pattimura bersama tiga pengikutnya ditangkap dan
akhirnya dihukum gantung.
2) Perang Paderi di Sumatra Barat
Merupakan perlawanan yang sangat menyita tenaga dan biaya sangat besar bagi
rakyat Minang dan Pemerintah Hindia Belanda. Bersatunya Kaum Paderi (ulama) dan
kaum adat melawan Pemerintah Hindia Belanda menyebabkan Belanda kewalahan
memadamkannya. Bantuan dari Aceh juga datang untuk mendukung pejuang Paderi.
Pemerintah Hindia Belanda benar-benar menghadapi musuh yang tangguh. Belanda
menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel. Benteng Fort de Kock di Bukit tinggi
dan Benteng Fort van der Cappelen merupakan dua benteng pertahanannya. Dengan
siasat tersebut akhirnya Belanda menang ditandai dengan jatuhnya benteng
pertahanan terakhir Paderi di Bonjol tahun 1837. Tuanku Imam Bonjol kemudian
ditangkap, dan diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon, dan terakhir di Menado
hingga wafat tahun 1864.
3) Perang Diponegoro 1825-1830
Perang Diponegoro merupakan salah satu perang besar perlawanan terhadap
Pemerintah Hindia Belanda. Latar belakang perlawanan Pangeran Diponegoro diawali
dari campur tangan Belanda dalam urusan politik Kerajaan Yogyakarta. Beberapa
tindakan Belanda yang dianggap melecehkan harga diri dan nilai-nilai budaya
masyarakat Yogyakarta menjadi penyebab lain kebencian rakyat kepada Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda membangun jalan baru pada bulan Mei 1825.
Mereka memasang patok-patok pada tanah leluhur Pangeran Diponegoro. Terjadi
perselisihan saat pengikut Diponegoro Patih Danureja IV mencabuti patok- patok
tersebut. Belanda segera mengutus serdadu untuk menangkap Pangeran Diponegoro.
Perang tidak dapat dihindarkan lagi, pada tanggal 20 Juli Tegalrejo sebagai basis
pengikut Diponegoro direbut dan dibakar oleh Belanda.
Pada bulan Maret 1830 Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan
Belanda di Magelang, Jawa Tengah. Perundingan tersebut hanyalah tipu muslihat
Belanda karena ternyata Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian
ke Makasar hingga wafat tahun 1855. Setelah berakhirnya Perang Jawa (Diponegoro),
tidak lagi muncul perlawanan yang lebih berat di Jawa.

4) Perang Aceh
Semangat jihad (perang membela agama Islam) merupakan spirit perlawanan
rakyat Aceh terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Jendral Kohler terbunuh saat
pertempuran di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh. Kohler meninggal dekat
sebuah pohon yang sekarang diberi nama Pohon Kohler. Siasat konsentrasi stelsel
dengan sistem bertahan dalam benteng besar oleh Belanda tidak berhasil dalam
perang itu. Belanda semakin terdesak, korban semakin besar, dan keuangan terus
terkuras.
Pemerintah Hindia Belanda sama sekali kewalahan dan tidak mampu
menghadapi secara fisik perlawanan rakyat Aceh. Menyadari hal tersebut, Belanda
mengutus Dr. Snouck Hurgroje yang memakai nama samaran Abdul Gafar (seorang
ahli bahasa, sejarah ,dan sosial Islam) untuk mencari kelemahan rakyat Aceh. Setelah
lama belajar di Arab, Snouck Hugronje memberikan saran-saran kepada Belanda
mengenai cara mengalahkan orang Aceh. Menurut Hurgronje, Aceh tidak mungkin
dilawan dengan kekerasan, sebab karakter orang Aceh adalah pantang menyerah, jiwa
jihad orang Aceh sangat tinggi.
Taktik yang paling mujarab adalah dengan mengadu domba antara golongan
Uleebalang (bangsawan) dengan ulama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian
menjanjikan kedudukan pada Uleebalang yang bersedia damai. Taktik ini berhasil,
banyak Uleebalang yang tertarik pada tawaran Belanda. Belanda memberikan tawaran
kedudukan kepada para Uleebalang apabila kaum ulama dapat dikalahkan. Sejak
tahun 1898 kedudukan Aceh semakin terdesak. Belanda mengumumkan perang Aceh
selesai tahun 1904. Namun demikian perlawanan rakyat Aceh secara sporadis masih
berlangsung hingga tahun 1930-an.

5) Perlawanan Sisingamangaraja di Sumatra Utara


Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Utara dipimpin
oleh Sisingamangaraja XII, Perlawanan di Sumatra Utara berlangsung cukup lama,
yaitu selama 24 tahun. Pertempuran diawali dari Bahal Batu sebagai pusat pertahanan
Belanda tahun 1877.
Untuk menghadapi Perang Batak (sebutan perang di Sumatra Utara),
Pemerintah Hindia Belanda menarik pasukan dari Aceh. Pasukan Sisingamangaraja
dapat dikalahkan setelah Kapten Christoffel berhasil mengepung benteng terakhir
Sisingamangaraja di Pakpak. Kedua putra beliau Patuan Nagari dan Patuan Anggi ikut
gugur dalam pertempuran tersebut, sehingga seluruh Tapanuli dapat dikuasai Belanda.

6) Perang Banjar
Perang Banjar berawal ketika Pemerintah Hindia Belanda ikut campur tangan
dalam urusan pergantian raja di Kerajaan Banjarmasin. Belanda memberi dukungan
kepada Pangeran Tamjid Ullah yang tidak disukai oleh rakyat. Pangeran Antasari dengan
kekuatan 300 prajurit menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron pada
tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dilakukan oleh
Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Pangeran Antasari menyerang
pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong,
sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu dengan dibantu para panglima dan
prajuritnya yang setia.
Pemberontakan dilakukan oleh Prabu Anom dan Pangeran Hidayat. Pada tahun
1859, Pangeran Antasari memimpin perlawanan setelah Prabu Anom tertangkap
Belanda, dengan bantuan pasukan dari Belanda, pasukan Pangeran Antasari dapat
didesak. Tahun 1862 Pangeran Hidayat menyerah dan berakhirlah perlawanan rakyat
Banjar di pulau Kalilmantan. Perlawanan baru benar-benar dapat dipadamkan pada tahun
1866.
7) Perang Jagaraga di Bali
Perang Jagaraga berawal saat Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan di Bali
bersengketa tentang hak tawan karang. Hak tawan karang berisi peraturan bahwa
setiap kapal yang kandas di perairan Bali merupakan hak penguasa di daerah tersebut.
Pemerintah Belanda memprotes Raja Buleleng yang menyita dua kapal milik Belanda.
Raja Buleleng tidak mau menerima tuntutan Belanda untuk mengembalikan kedua
kapalnya, persengketaan ini menyebabkan Belanda melakukan serangan terhadap
kerajaan Buleleng tahun 1846. Belanda berhasil menguasai kerajaan Buleleng,
sementara Raja Buleleng menyingkir ke Jagaraga dengan dibantu oleh Kerajaan
Karangasem.
Setelah berhasil merebut Benteng Jagaraga, Pemerintah Hindia Belanda
melanjutkan ekspedisi militernya pada tahun 1849. Dua kerajaan Bali, Gianyar dan
Klungkung menjadi sasaran Belanda. Tahun 1906, seluruh kerajaan di Bali jatuh ke
pihak Pemerintah Hindia Belanda setelah rakyat melakukan perang habis-habisan
sampai mati, yang dikenal dengan Perang Puputan.

8) Perang Tondano di Sulawesi Utara


Perang Tondano terjadi pada masa penjajahan HIndia Belanda, baik pada masa
VOC maupun pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Bangsa Spanyol sudah sampai
di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara sebelum kedatangan bangsa Belanda.
Hubungan dagang orang Minahasa dengan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai
abad XVII hubungan dagang antara mereka mulai terganggu dengan kehadiran para
pedagang dari Belanda. Waktu itu VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di
Ternate.
VOC berusaha memaksakan kehendak mereka mereka agar orang-orang
Minahasa menjual hasil berasnya kepada VOC. Orang-orang Minahasa menentang
usaha monopoli dari VOC tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC, mereka memilih
upaya memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang-orang Minahasa,
VOC kemudian membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai tersebut
meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-
orang Minahasa kemudian pindah ke Danau Tondano dengan rumah-rumah apung.
Perang Tondano terjadi lagi pada abad ke-19. Perang ini dilatarbelakangi oleh
kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Pada kebijakan itu, Minahasa dijatah untuk
mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2000 orang yang akan dikirim ke Jawa.
Orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Belanda untuk
merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para
ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru mengadakan perlawanan terhadap
Belanda.
Gubernur Prediger mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang
Minahasa di Tondano-Minawanua. Belanda menerapkan strategi dengan
membendung Sungai Temberan lagi. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh.
Pasukan pertama dipersiapkan untuk menyerang dari Danau Tondano dan pasukan
yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran
mulai berlangsung dengan sengit. Pasukan Hindia Belanda yang berpusat di Danau
Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bamu berduri yang
membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan
orang-orang Minahasa di Minawanua. Karena waktu sudah malam maka para pejuang
dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke
rumah.
Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808
pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua.
Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi
kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari arah
perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya
sehingga korbanpun berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan Pemerintah Hindia
Belanda kewalahan dan terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan
yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari
jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu
tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan
semangat juang orang-orang Tondano-Minawanua. Bahkan terpetikik berita kapal
yang paling besar yang di danau tenggelam.
Perang Tondano II ini berlangsung cukup lama, sampai bulan Agustus 1809.
Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok dari pejuang
yang mulai memihak kepada Hindia Belanda. Namun dengan kekuatan dan semangat
yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan atas gempuran pasukan
Belanda yang terus menerus. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng
pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha
mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah. Mayat-mayat
mereka telah lenyap di dasar danau bersama lenyapnya kemerdekaan dan kedaulatan
tanah Minahasa.
BAB III
PENUTUP

Salah satu faktor yang melandasi penjajahan Belanda di Indonesia adalah motif
berdagang yang bergeser seiring dengan keinginan untuk berkuasa. Berbagai konflik yang
terjadi dengan penguasa sebelumnya, yaitu Inggris dan Portugis menghadirkan persaingan.
Persaingan yang direalisasikan dengan adanya kongsi dagang yang merugikan Bangsa
Indonesia.

Berbagai perlakuan yang tidak adil diterima oleh indonesia, sehingga dengan
ketidakadilan tersebut kemudian melatarbelakangi Bangsa Indonesia untuk memberontak.
Pemberontakan dilakukan dari berbagai daerah dan oleh berbagai tokoh perjuangan.
Perjuangan memperoleh hak-hak kembali atas kekayaan Bangsa Indonesia terus dilakukan.

Maluku pada tahun 1817 bangkit mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda.
Perlawanan rakyat Maluku berkobar di Pulau Saparua. Peperangan Pelembang dimulai pada
saat Raffles menulis surat kepada Sultan Mahmud Badaruddin agar menyingkirkan Belanda
dan untuk keperluan itu Inggris akan memberi bantuan militernya. Belanda diserang oleh
pasukan Sultan, dan orang-orang Belanda dibawa ke hilir untuk dibunuh pada tanggal 14
September 1811. Perang Padri dimulai dengan adanya perdamaian yang diadakan pada tahun
1825. Pada saat terjadi gencatan senjata tersebut, ternyata Belanda melakukan tekanan-
tekanan kepada penduduk setempat, sehingga akhirnya meletuslah perlawanan kembali dari
pihak kaum Padri diikuti oleh rakyat setempat. Perlawanan segera menjalar kembali ke
berbagai tempat. Tuanku Imam Bonjol mendapat dukungan Tuanku nan Gapuk,Tuanku nan
Cerdik, dan Tuanku Hitam, sehingga mulai tahun 1826 volume pertempuran semakin
meningkat. Belanda menyerbu ke Tegalrejo sehingga akhirnya pada tanggal 25 Juli 1825
berkobarlah perlawanan Diponegoro. Dalam pertempuran tersebut, Pangeran Diponegoro
bersama keluarganya berhasil melepaskan diri dari serbuan Belanda itu.
DAFTAR PUSTAKA

www.indonesia.investment.com/sejarah penjajahan indonesia

dunianzu.blogspot.com/2013/12/kondisi-bangsa-indonesia-akibat-penjajahan.html diakses
pada tanggal (13 februari)

fernandabrelin.blogspot.com/2015/10/perlawanan-rakyat-indonesia-melawan-penjajah.html
diakses pada tanggal (13 februari)

Anda mungkin juga menyukai