Anda di halaman 1dari 9

PEREMPUAN-PEREMPUAN PRIBUMI :

NYAI HINGGA JUGU IANFU

8 Maret merupakan peringatan Hari Perempuan sedunia. Peringatan hari


perempuan sedunia merupakan hari perayaan keberhasilan wanita dalam bidang
ekonomi, politik dan lain sebagainya. Hari Perempuan Internasional pertama kali
dirayakan pada tanggal 28 Februari 1909 di New York dan diselenggarakan oleh Partai
Sosialis Amerika Serikat. Demonstrasi pada tanggal 8 Maret 1917 yang dilakukan oleh
para perempuan di Petrograd memicu terjadinya Revolusi Rusia. Hari Perempuan
Internasional secara resmi dijadikan sebagai hari libur nasional di Soviet Rusia pada
tahun 1917, dan dirayakan secara luas di negara sosialis maupun komunis. Pada tahun
1977, Hari Perempuan Internasional diresmikan sebagai perayaan tahunan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memperjuangkan hak perempuan dan mewujudkan
perdamaian dunia.
Perempuan atau wanita dalam budaya Indonesia dianggap sebagai mahkluk
kedua atau derajatnya lebih tinggi ketimbang kaum laki-laki. Perempuan hanya memiliki
porposi di tiga aspek Macak, Masak dan Manak. Perempuan dilarang untuk setara dengan
kaum laki-laki. Namun, stigma negatif tersebut dilawan dan dihancurkan oleh seorang
tokoh perempuan Indonesia yakni Raden Ajeng Kartini. Kartini dengan bukunya “ Habis
Gelap Terbitlah Terang ” mencoba mendobrak budaya yang membelenggunya.
Namun dalam prakteknya dalam masa Kolonial Belanda tidak semua perempuan
sepakat dengan Kartini dalam hal emansipasi perempuan. Prakteknya di lapangan para
perempuan pribumi ini dengan sukarela menjadi seorang gundik para orang-orang
Belanda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gundik berarti istri tidak resmi atau
perempuan peliaharaan. Memang sebuah kata yang sangat tidak enak didengar. Selain
gundik ada istilah yang lain sinonim dengan gundik yakni Nyai. Dalam tradisi Jawa
Barat Nyai berarti wanita dewasa. Pada zaman kolonial, nasib nyai jauh lebih beruntung
dari budak. Di masa awal kolonisasi Hindia Belanda, para pejabat Belanda datang tanpa
disertai istri, keberadaan nyai sepenuhnya karena kepentingan seksual dan status sosial
pejabat kolonial di tanah Hindia. Dari sisi ekonomi, seorang Nyai berada diatas rata-rata.
Tengok saja aneka baju berenda indah yang mereka kenakan, tusuk konde emas dan
lainnya. Tapi dari sisi moral, mereka dianggap rendah. Jika sang Nyai pandai, ia bisa
mengangkat keluarganya dari kemiskinan. Dari mempekerjakan saudaranya hingga
mendapat kepercayaan penuh seputar uang.
keberadaan seorang Nyai dalam struktur sosial masyarakat Hindia Belanda sbb:
“Ketika para pegawai VOC tiba di Nusantara sekitar 1600, dimulailah kemunculan para
nyai. Perempuan pribumi yang tidak hanya mengurus rumah tangga orang kolonial
tetapi juga tidur dengannya dan pada banyak kasus, menjadi ibu dari anak-anaknya. Hal
itu bukanlah hal baru pada abad ke-17. Namun kedatangan VOC membuatnya
berangsur-angsur menjadi ciri dan sifat sebuah sistem yang cukup kekal dalam
kehidupan masyarakat Eropa di Hindia Belanda”. Pergundikan ala Hindia Belanda ini
bukan tidak mendapatkan reaksi keras dari petinggi VOC, salah satunya Gubernur
Jenderal Hindia Belanda ke-4 Jan Pieterszoon Coen yang mengecam pergundikan ini
sebagai “mengarah kepada berbagai perilaku janggal, tidak terkendali dan
membahayakan kepentingan kolonial” ,sehingga Coen mengusulkan kepada Heren van
De Compagnie (Tuan Tujuh Belas) agar mengirimkan perempuan Eropa ke Hindia
Belanda. Sayangnya para perempuan Eropa ini setiba di Hindia Belanda justru banyak
menjalani kehidupan menyimpang dan bermabuk-mabukkan dan disebut Coen
“kumpulan orang tak bertuhan”.
Saat Coen digantikan oleh Gubernur Jenderal Carel Reyniersz dan Joan
Maetsuyker antara 1650-1653, kebijakkan yang diterapkan Coen dihapuskan dan mereka
mendukung pergundikan di Hindia Belanda karena melihat keuntungan ekonomis
dibalik pergundikan karena biaya pelayaran perempuan Eropa tentu harus ditanggung
oleh laki-laki sendiri. Keterikatan dengan tanah kelahiran membuat para perempuan
Pribumi ingin tetap tinggal di Timur sehingga mereka pasti akan membujuk suami
mereka untuk melakukan hal serupa. Bahkan ketika EIC (East Indian Company) atau
Serikat Dagang Hindia Timur mengambil alih Hindia Belanda paska kebangkrutan VOC
dan pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels sebagai representasi
kekuasaan Prancis di Belanda dan Hindia Belanda, kondisi pergundikan di Hindia
Belanda tidak dapat ditiadakan dengan mudah. Sekalipun, Orang Inggris pun dibuat
heran oleh banyaknya hubungan pergundikan serta kenyataan bahwa kalangan elite pun
menikah dengan perempuan asli di Asia, namun sikap orang Inggris yang tidak
membenarkan pergundikan di Hindia Belanda serta merta menjamin lenyapnya
pergundikan di bawah pemerintahan mereka. Warga Inggris pun terkadang hidup
secara terang-terangan dengan gundik Asia. Ketika itu bahkan terdapat kisah
pergundikan yang sangat terkenal dan menarik perhatian. Kisah tersebut menjadi abadi
karena munculnya berbagai jenis roman dan sandiwara yang diagung-agungkan di
kemudian hari, yaitu kisah antara Edward William dan Nyai Dasima. Pada akhirnya,
sekeras apapun usaha orang-orang Inggris untuk menghentikannya dari kehidupan
masyarakat Indies, pergundikan telah menjadi tradisi sepenuhnya di Hindia Belanda
pada awal abad ke-19.
Sejak paruh kedua abad ke-19, jumlah hubungan pergundikan di Hindia Belanda
meningkat tajam. Sampai sekitar tahun 1860, hubungan tersebut masih disembunyikan karena
biasanya terjadi antara majikan dengan budak rumah tangga. Pada 1860-an dan 1870-an telah
terjadi sejumlah perubahan penting yang tidak hanya membuat pergundikan antar-ras semakin
jelas terlihat, tetapi juga lebih luas dan memperoleh karakter baru. Tahun 1860 merujuk pada
keputusan penghapusan perbudakkan di Hindia Belanda yang berdampak pada laki-laki Eropa
yang ingin hidup dalam pergundikkan terpaksa mencari gundik di antara orang-orang bebas di
Nusantara. Hubungan pergundikkan pun hanya dapat dilakukan berdasarkan kesukarelaan
perempuan Pribumi. Para laki-laki Eropa kemudian menemukkan solusinya dalam
kepengurusan rumah tangga mereka. Para perempuan Pribumi memang mendapat bayaran
untuk pekerjaan rumahtangga yang dilakukan, namun pada praktiknya mereka juga hidup
bersama sang majikan. Sementara tahun 1870 merujuk pada penetapan Undang-Undang Agraria
De Waal tanggal 9 April 1870 yang dikeluarkan menteri penjajahan yang bernama Engelbertus
de Waal yang menyebabkan peningkatan migrasi orang-orang Eropa ke Hindia Belanda karena
tanah di Jawa dan Madura selanjutnya dapat diberikan dalam bentuk erfpacht kepada penduduk
Belanda atau Hindia Belanda serta badan-badan usaha dan perdagangan yang berkedudukan di
pulau-pulau tersebut. Dan periode 1870-an merupakan periode kejayaan pergundikan karena,
disetiap lapisan sosial dapat ditemukan pegawai rendah, juru tulis, pegawai perkebunan, pemilik
toko, residen, bahkan hakim dan anggota Raad van Indie yang hidup dengan nyai. Selebihnya
pergundikkan tidak hanya dijumpai dalam masyarakat sipil Hindia Belanda, tetapi juga (bahkan
pada skala besar) di tangsi-tangsi tentara kolonial dan pekebunan di koloni. Pesatnya arus orang
Eropa ke Hindia Belanda dan migrasi orang-orang desa ke perkotaan di Hindia Belanda setelah
tahun 1870, menyebabkan pergundikkan tersebar luas lewat kepengurusan rumah tangga yang
dilakukan perempuan pribumi. Saluran kontak antara laki-laki Eropa dan perempuan Pribumi
yang kelak disebut Nyai dan gundik mereka dilakukan lewat perdagangan seperti di warung,
toko kecil atau tenda jualan dimana sang laki-laki bertindak sebagai pelanggan dan perempuan
sebagai pelayan. Meskipun demikian, kebanyakan kontak terjadi dalam kepengurusan rumah
tangga.
Tidak banyak yang diketahui mengenai latar belakang gadis atau perempuan Pribumi
yang menjadi gundik laki-laki Eropa. Hal yang umum diketahui adalah bahwa sebagian besar
dari mereka berasal dari keluarga Pribumi miskin di Jawa. Dari latar belakang para Nyai yang
berasal dari keluarga miskin, dapat kita duga bahwa motif mereka untuk menjadi seorang Nyai
tentu saja adalah kebutuhan ekonomi. Hanya ada sedikit nyai yang hidup dalam pergundikkan
dengan orang Eropa atas dasar cinta. Tidak jarang cinta juga ikut memainkan peran penting
dalam hubungan ini. Bagi kebanyakan nyai bisa dikatakan bahwa hidup dalam pergundikkan
adalah cara bertahan hidup, sebuah permasalahan yang pragmatis. Yang lebih memprihatinkan
adalah perlakuan yang diterima para Nyai banyak menyisakan keprihatinan dan kepedihan.
Para Nyai kerap mendapatkan berbagai julukan yang merendahkan keberadaan mereka. Para
gundik sering disebut dengan meubel (perabot) atau inventarisstuk (barang inventaris. Sebutan
itu dapat diartikan secara harfiah karena pada pelelangan yang dilakukan oleh orang Eropa yang
akan pindah atau kembali ke negeri asalnya, para nyai pun ikut dilelang sebagai bagian dari
inventaris mereka. Para nyai juga kerap disamakan dengan boek (buku) atau woordenboek
(kamus). Hal ini berkaitan dengan fungsi mereka sebagai penerjemah atau pengajar bahasa
Pribumi kepada majikan atau suami mereka. Bukan hanya diperlakukan sebagai barang, para
Nyai pun kerap menerima perlakuan kekerasan di dalam harian-harian Indies bahkan muncul
cerita-cerita pendek dengan penganiayaan terhadap para gundik Pribumi sebagai tema
utamanya.
Para gundik ini menyebabkan masalah baru terkait anak-anak yang dihasilkan dari
hubungan dengan orang-orang Belanda. Anak yang dihasilkan dari pergundikan laki-laki Eropa
Belanda dengan para Nyai Pribumi di Hindia Belanda dianggap sebagai hal yang
membahayakan pemerintah kolonial. Realita anak-anak hasil pernyaian dan pergundikkan
terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah “anak-anak emas” (gouden kind).
Mereka adalah anak hasil pergundikkan dimana ayah mereka merupakkan pengusaha sukses,
pejabat tinggi atau orang yang memiliki pekerjaan penting dan mereka ini menerima sejumlah
keistimewaan yaitu, setelah menyelesaikan pendidikkan, kebanyakkan dari anak-anak ini
kembali ke tanah kelahiran untuk meniti karier. Yang lainnya tetap tinggal di Belanda karena
menikah dengan pasangan Belanda atau karena ayah mereka, tanpa istri Asianya, kembali
menetap di Belanda. Kelompok kedua adalah anak-anak yang dikategorikan “laskar para Indo-
Paupers” (het leger van Indo-paupers). Mereka adalah anak-anak yang kahir dari hubungan
campur hidup dalam lapisan paling rendah masyarakat Hindia Belanda. Mereka inilah yang
kerap mengalami berbagai prasangka negatif, perlakuan diskriminatif. Kondisi mereka akan
diperparah dengan adanya peraturan yang disebut Delftse prerogatief (hak prerogatif Delft)
pada 1842 dimana seseorang tidak bisa mendapatkan jabatan tinggi tanpa melewati ujian
kepegawaian di Akademi Delft dan anak-anak Indo Eropa hasil pergundikkan sangat sulit
masuk dalam akademi tersebut.
Akibat pengabaian, diskriminasi, ketiadaan akses pendidikan justru telah menciptakan
berbagai kelompok Indo-paupers yang dipenuhi rasa dendam dan kebencian. Tingkat
pengangguran dan kemiskinan serta kejahatan diantara mereka tinggi bahkan ada gadis-gadis
Indo Eropa miskin terkadang dijual ibunya kepada orang Tionghoa kaya dan banyak orang Indo-
Eropa yang merasa seperti hidup di negeri kolonial tak bertuan dengan kesempatan hidup
sebagai kaum marjinal. Merekapun mencoba menemukan jalan keluar lewat praktik
penyelundupan opium, pencurian dan menenggelamkan diri di rumah judi dan pelacuran.
Mereka sampai pada sebuah proses dimana mereka ‘terperosok di pinggiran kampung’ yang
berarti merosot hingga ke level Pribumi dari fisik hingga ruang hidup.
keberadaan Nyai dan pergundikan Hindia Belanda dengan datangnya Jepang ke
Indonesia dan mengalahkan Belanda, telah menciptakan perbedaan yang tajam antara orang-
orang Belanda berdarah murni, Pribumi dan berdarah campuran. Para Nyai dan keturunanya
mengalami apa yang disebut konflik kesetiaan yang fundamental karena mereka harus
memutuskan menjadi seorang Pribumi atau menjadi warga negara Eropa. Pada akhirnya, para
Nyai ada yang mengambil pilihan menjadi bagian dari orang Eropa dan ada yang mengambil
pilihan untuk tetap menjadi Pribumi.
Selain kasus pergundikan yang secara sengaja di ciptakan dan dengan sukarela dilakukan
oleh para pelakunya. Kasus yang sama terkait perempuan di Hindia Belanda adalah kasus Jugu
Ianfu. Wanita penghibur atau yang dalam isilah Jepang disebut Jugun Ianfu, merupakan bentuk
penjajahan yang secara nyata dialami oleh kaum perempuan di Indonesia. Sebelumnya praktek
Jugun Ianfu ada di Indonesia, ternyata praktek tersebut juga berlaku diberbagai Negara terutama
Negara-negara yang menjadi koloni Jepang.
Di Indonesia sendiri, para perempuan direkrut secara paksa, bahkan ada pula yang
diiming-imingi dengan janji-janji hidup yang enak, pendidikan yang layak, dijadikan pemain
sandiwara dan sebagainya. Bahkan para tentara itu tak segan-segan menculik dan memperkosa
gadis-gadis tersebut di depan keluarganya. Sungguh ironis apa yang terjadi di Indonesia
terutama bagi kaum wanita.

Praktek Jugun Ianfu yang terjadi di Indonesia ternyata adalah suatu kesengajaan atau
bagian dalam rencana menjaga keefektifan dan kinerja para tentara Jepang dalam bertugas.
Dimana kepuasan seks tentara Akan mempengaruhi kinerja para tentara Jepang dan apabila hal
tersebut tidak dituruti maka para tentara Jepang akan mengalami kemunduran. Pengerahan
Jugun Ianfu yang diartikan sebagai “budak seks” dilakukan secara gelap, di bawah tangan.
System rekrutmen yang tertutup ini tidak menggunakan pengumuman resmi. Pemerintah militer
Jepang menggunakan bantuan pejabat daerah seperti lurah, camat dan melalui tonarigumi.
Mereka menawarkan, bahkan memaksa agar perempuan-perempuan belia ini bersedia ikut
dalam program pengerahan tenaga kerja, di samping dengan ancaman juga dengan mendekati
keluarga yang diincar. Seperti kesaksian mantan Jugun Ianfu asal Jogjakarta, yang orang tuanya
dipanggil pak lurah. Dikatakannya anaknya bernama Suharti akan dididik, disekolahkan di
Balikpapan dan setelah lulus aka dipekerjakan di kantor. Namun, anak yang berumur 15 tahun
ini dijadikan Jugun Ianfu selama enam bulan di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Kaum perempuan yang menjadi Jugun Ianfu umumnya berpendidikan rendah, bahkan
ada yang tidak berpendidikan sama sekali, dan buta huruf. Selain kebodohan yang dimilikinya,
mereka juga berada kedalam jeratan ekonomi yang membelit. Kebodohan dan kemiskinan
membuat mereka percaya begitu saja pada tawaran kerja yang cukup menjanjikan yang tidak
membutuhkan kehalian khusus seperti pambantu rumah tangga, pelayan restoran atau
pekerjaan apa saja yang hanya membutuhkan tenaga.
Rekrutmen Jugun Ianfu dapat juga dilakuakan melalui jalur hiburan dimana para
seniman terlibat di dalamnya, seperti yang dialami oleh mantan Jugun Ianfu dari Jogjakarta,
Mardiyem. Seorang pemain sandiwara keliling dari grup “pantja soerja” telah menjanjikannya
menjadi penyanyi di Kalimantan, sesuai dengan cita-citanya yang ingin membebaskan diri dari
lingkungannya sebagai abdi dalem (mengabdi pada keluarga bangsawan Jawa) di daerah
Suryotarunan. Selain itu, dokter dan para pejabat baik rendah maupn tinggi, baik yang
berpartisipasi langsung atau tidak, dalam usaha pengumpulan dan pencarian tenaga kerja
perempuan yang akan dijadikan Jugun Ianfu. Mereka dianggap memiliki akses tersendiri pada
kaum perempuan, baik di desa maupun di kota.

Kebanyakan kaum Jugun Ianfu dapat digolongkan sebagai perempuan yang berasal dari
keluarga baik-baik. Di antara mereka ada yang masih gadis, bahkan ada yang di bawah umur
dan ada yang sudah bersuami dan mempunyai anak. Akan tetapi, ancaman pihak militer Jepang
yang kejam yang memiliki kekuatan senjata, membuat mereka takut menolak atau melarikan diri
pada saat mereka sampai pada suatu tempat yang penuh dengan penderitaan fisik dan batin.
Penguasa militer Jepang mendirikan tempat-tempat yang dihuni Jugun Ianfu di setiap wilayah
komando militer dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pemerkosaan oleh tentara Jepang
terhadap penduduk lokal, menjaga moral tentara Jepang serta mencegah penyakit kelamin yang
akan melemahkan kekuatan militernya.
Para perempuan yang dijadikan Jugun Ianfu dimasukkan ke dalam rumah bordil a’la
Jepang yang disebut Ian-jo, antara lain terdapat dibekas asrama peninggalan Belanda, markas
militer Jepang dan rumah-rumah penduduk yang sengaja dikosongkan. Tempat-tempat itu
biasanya dijaga ketat oleh tentara Jepang. Setiap perempuan di Ian-jo biasanya mendapatkan
kamar dengan nomor kamar, bahkan namanya diganti dengan nama Jepang seperti yang
dituliskan di pintu kamar. Ian-jo pertama di dunia dibangun di Shanghai, Cina tahun 1932.
Pembangunan Ian-jo di Cina dijadikan model untuk pembangunan Ianjo-Ianjo di seluruh
kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia sejak pendudukan Jepang tahun 1942-1945 telah
dibangun Ian-jo diberbagai wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa
Tenggara, Sumatra, Papua.
Sebelum menjalani tugas sebagai budak seks ( Jugun Ianfu), perempuan-perempuan di
Ian-jo menjalani pemeriksaan kesehatan yang merendahklan martabat. Siksaan berupa
tamparan, pukulan, dan tendangan dilakukan oleh tentara Jepang, apalagi mereka dalam
keadaan mabuk. Jika kurang puas dengan pelayanan Jugun Ianfu, mereka melakukan cara-cara
tidak manusiawi yang biasa dilakukan oleh binatang dan tentunya tidak dapat diikuti oleh Jugun
Ianfu baik karena faktor tenaga maupun etik.
Para Jugun Ianfu hanya pasrah dalam menjalani penderitaan hidup karena mereka tidak
punya pilihan lain. Kesempatan melarikan diri tidaklah mungkin karena jarak perjalanan pulang
jauh, apalagi mereka buta tentang pengetahuan peta, dan mereka pun tidak mempunyai uang
untuk bepergian meski di Ian-jo berlaku sistem pembayaran.

Setiap tamu baik kalangan militer maupun sipil datang ke Ian-jo harus antre untuk
mendapatkan karcis dan kondom. Adapun besarnya pembayaran untuk tiap waktu berbeda. Jika
kalangan militer berkunjung ke Ian-jo pada siang hari dikenakan sejumlah biaya, sedangkan
untuk kalangan sipil dengan jumlah yang lebih tinggi, dimulai pada sore hari pukul 17.00-24.00,
dan tamu menggunakan jasa Jugun Ianfu sampai pagi membayar 12,5 rupiah. Meskipun berlaku
sistem pembayaran, Jugun Ianfu tidak pernah menerima uang kecuali karcis dari tamu yang
datang. Pengelola Ian-jo, Cikada, mengatakan agar karcis dikumpulkan, kelak dapat ditukar
dengan uang jika mereka berhenti bekerja sebagai Jugun Ianfu.
Sebagian besar perempuan-perempuan yang berasal dari pulau Jawa yang dijadikan
Jugun Ianfu seperti Mardiyem, Sumirah, Emah Kastimah, Sri Sukanti, hanyalah sebagian kecil
Jugun Ianfu Indonesia yang bisa diidentifikasi. Masih banyak Jugun Ianfu Indonesia yang hidup
maupun sudah meninggal dunia yang belum terlacak keberadaannya.Mereka diperkosa dan
disiksa secara kejam. Dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang sebanyak 10 hingga 20
orang siang dan malam serta dibiarkan kelaparan. Kemudian diaborsi secara paksa apabila
hamil. Banyak perempuan mati dalam Ian-jo karena sakit, bunuh diri atau disiksa sampai mati.

Setelah perang Asia Pasifik usai Jugun Ianfu yang masih hidup didera perasaan malu
untuk pulang ke kampung halaman. Mereka memilih hidup ditempat lain dan mengunci masa
lalu yang kelam dengan berdiam dan mengucilkan diri. Hidup dalam kemiskinan ekonomi dan
disingkirkan masyarakat. Mengalami penderitaan fisik, menanggung rasa malu dan perasaan tak
berharga hingga akhir hidupnya.

Anda mungkin juga menyukai