Anda di halaman 1dari 2

Menggemakan Pemikiran Gus Dur

oleh Abdul Moqsith Ghazali


Dengan basis tradisi keilmuan Islam yang cukup, Gus Dur melakukan dinamisasi pem
ikiran Islam. Ia pun melakukan kritik sangat tajam terhadap kemandegan pemikiran
Islam. Ushul fikih yang dalam sejarahnya merupakan proses kreatif untuk mendina
misasi fikih Islam, dalam perkembangannya, menurut Gus Dur, telah menjadi alat s
eleksi yang sangat normatif dan memandulkan kreativitas. Akibatnya, umat Islam b
erwawasan sempit dan sangat ekslusif. Umat Islam menjadi beban bagi kebangunan p
eradaban Islam. Aktivitas istinbath tak bisa dilangsungkan, karena para ulamanya
telah terperangkap dalam gubahan fikih lama. Berbagai upaya untuk mengaransemen
fikih Islam selalu ditolak.
Dua minggu lalu, para pengikut Gus Dur yang menyebut dirinya sebagai Gus-Durian
berkumpul di Jakarta. Tak kurang dari lima puluhan orang datang, dari berbagai d
aerah dan dari lintas generasi. Mereka menyelenggarakan simposium selama tiga ha
ri (16-18 Nopember 2011) untuk mengkristalisasikan pemikiran-pemikiran Gus Dur d
alam konteks keindonesiaan, keislaman, dan ke-NU-an. Beberapa sahabat dan kolega
Gus Dur diminta bicara dalam forum itu. Saya yang lebih tepat disebut sebagai s
antri atau murid Gus Dur pun diminta bicara.
Pengetahuan saya tentang Gus Dur mungkin tak sempurna. Terlampau banyak orang ya
ng lebih tahu tentang Gus Dur karena meriset secara khusus pemikiran-pemikiran G
us Dur. Puluhan atau bahkan ratusan buku yang mengulas rinci noktah-noktah pemik
iran Gus Dur telah diterbitkan, baik tatkala Gus Dur masih hidup maupun ketika s
udah meninggal dunia. Gus Dur telah diteliti dalam berbagai perspektif dan dari
berbagai disiplin keilmuan. Dalam forum itu, laksana menggarami lautan, saya han
ya menyatakan kembali poin penting pemikiran Gus Dur, yaitu penolakannya yang ko
nsisten terhadap ortodoksi dan purifikasi Islam.
Di lingkungan umat Islam terlebih kaum Nahdhiyyin, Gus Dur berfungsi sebagai pen
dobrak kebekuan berfikir. Ia tak menutup pintu bagi filsafat dalam Islam. Itu se
babnya, ia mengintroduksi diskursus filsafat ke dalam publik Islam Indonesia. Ia
tak hanya membaca al-Ghazali yang menampik filsafat, tapi juga melahap Ibn Rush
d yang menerima filsafat. Bahkan, Gus Dur antusias untuk bertamu ke kedai orangorang seperti al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Bajah dan Ibn Thufail, hingga para filosof
Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Ia pun berkelana cukup jauh membacai kary
a-karya Karl Marx dan Fredrich Engels, juga Immanuel Kant dan Bonaventura.
Dengan basis tradisi keilmuan Islam yang cukup, Gus Dur melakukan dinamisasi pem
ikiran Islam. Ia pun melakukan kritik sangat tajam terhadap kemandegan pemikiran
Islam. Ushul fikih yang dalam sejarahnya merupakan proses kreatif untuk mendina
misasi fikih Islam, dalam perkembangannya, menurut Gus Dur, telah menjadi alat s
eleksi yang sangat normatif dan memandulkan kreativitas. Akibatnya, umat Islam b
erwawasan sempit dan sangat ekslusif. Umat Islam menjadi beban bagi kebangunan p
eradaban Islam. Aktivitas istinbath tak bisa dilangsungkan, karena para ulamanya
telah terperangkap dalam gubahan fikih lama. Berbagai upaya untuk mengaransemen
fikih Islam selalu ditolak.
Walau tak dikenal sebagai pakar fikih, Gus Dur turun tangan membenahi fikih Isla
m yang mogok di tengah jalan itu. Ia meminta agar teks keagamaan yang diduga kuat
akan membentur HAM, pluralisme dan nilai-nilai demokrasi untuk ditafsir ulang, m
ulai dari soal terminologi murtad hingga soal kafir. Gus Dur berdebat sengit den
gan sekelompok umat Islam yang menggolongkan orang-orang non-Muslim Indonesia se
bagai kafir dzimmi yang rendah bahkan harbi yang boleh diperangi. Gus Dur pun me
nafsir ulang pengertian al-maqashid al-syar iyah atau al-dlaruriyat al-khms (lima
prinsip dasar Islam). Di antaranya, hifdz al-din diartikan Gus Dur dengan kebeba
san beragama, hifdz al-aql dengan kebebasan berfikir.
Sebab mengerti relativisme dan subyektivisme fikih, Gus Dur menolak menjadikan f

ikih sebagai hukum positif negara. Formalisasi fikih Islam ke dalam produk perun
dang-undangan, demikian Gus Dur, bukan solusi bagi masyarakat Indonesia yang plu
ral. Telah lama Gus Dur membunyikan lonceng peringatan sekiranya umat Islam mema
ksa agar fikih Islam yang partikular dan beragam itu diformalisasikan. Memformal
isasikan satu jenis fikih berarti membuang puluhan jenis fikih yang lain. Itu se
babnya, Gus Dur lebih suka merelakan fikih berada di tangan pemangku agama dan b
ukan di haribaan penguasa negara. Biarkan fikih menjadi medan eksplorasi intelek
tual para ulama dan bukan bahan hegemoni para zuama.
Lebih dari itu, menurut Gus Dur, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara
seluruh warga negara tak terkecuali umat Islam harus terus didorong untuk meruj
uk pada Pancasila dan konstitusi bukan pada teks kitab suci. Kitab suci boleh me
njadi inspirasi, tapi tak boleh menjadi aspirasi. Tuntutan formalisasi syariat I
slam, demikian Gus Dur, berwajah sektarian dan berlawanan dengan asas kesetaraan
bagi warga negara. Di negara Indonesia, kedudukan utama seseorang adalah warga
negara bukan warga agama. Semua kita pada mulanya adalah penghuni negara Indones
ia baru kemudian penghuni agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghu
cu, Sikh, Baha i, dan lain-lain).
Menurut saya, gagasan-gagasan Gus Dur yang bersifat timeless ini harus diusahaka
n untuk terus digemakan dan disirkulasikan. Bukan karena kita fanatik terhadap G
us Dur, tapi karena gagasan-gagasan universal Gus Dur itu berguna bagi bangsa In
donesia yang majemuk ini. Tak bisa dibayangkan, Indonesia akan terus eksis sekir
anya gagasan-gagasan HAM, demokrasi, dan pluralisme yang di-endorse Gus Dur dica
but dari panggung Indonesia. []

Anda mungkin juga menyukai