ikih sebagai hukum positif negara. Formalisasi fikih Islam ke dalam produk perun
dang-undangan, demikian Gus Dur, bukan solusi bagi masyarakat Indonesia yang plu
ral. Telah lama Gus Dur membunyikan lonceng peringatan sekiranya umat Islam mema
ksa agar fikih Islam yang partikular dan beragam itu diformalisasikan. Memformal
isasikan satu jenis fikih berarti membuang puluhan jenis fikih yang lain. Itu se
babnya, Gus Dur lebih suka merelakan fikih berada di tangan pemangku agama dan b
ukan di haribaan penguasa negara. Biarkan fikih menjadi medan eksplorasi intelek
tual para ulama dan bukan bahan hegemoni para zuama.
Lebih dari itu, menurut Gus Dur, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara
seluruh warga negara tak terkecuali umat Islam harus terus didorong untuk meruj
uk pada Pancasila dan konstitusi bukan pada teks kitab suci. Kitab suci boleh me
njadi inspirasi, tapi tak boleh menjadi aspirasi. Tuntutan formalisasi syariat I
slam, demikian Gus Dur, berwajah sektarian dan berlawanan dengan asas kesetaraan
bagi warga negara. Di negara Indonesia, kedudukan utama seseorang adalah warga
negara bukan warga agama. Semua kita pada mulanya adalah penghuni negara Indones
ia baru kemudian penghuni agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghu
cu, Sikh, Baha i, dan lain-lain).
Menurut saya, gagasan-gagasan Gus Dur yang bersifat timeless ini harus diusahaka
n untuk terus digemakan dan disirkulasikan. Bukan karena kita fanatik terhadap G
us Dur, tapi karena gagasan-gagasan universal Gus Dur itu berguna bagi bangsa In
donesia yang majemuk ini. Tak bisa dibayangkan, Indonesia akan terus eksis sekir
anya gagasan-gagasan HAM, demokrasi, dan pluralisme yang di-endorse Gus Dur dica
but dari panggung Indonesia. []