Dalam pemahaman resmi di Indonesia, bahasa ibu merupakan bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya. Setidaknya begitulah KBBI mendefinisikan bahasa ibu. Mengacu pada pemahaman resmi tersebut, maka bahasa ibu adalah bahasa yang dikenali seseorang melalui penggunaan bahasa orang-orang di sekitarnya. Dalam banyak kesempatan, pemaknaan bahasa ibu di Indonesia berhimpit dengan bahasa daerah. Lihat saja, peringatan Hari Bahasa Ibu internasional di Indonesia pada tahun 2020 yang diselenggarakan oleh Badan Bahasa Kemendikbud dan Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) mengambil tema, “Melestarikan Bahasa Daerah untuk Pemajuan Bangsa”. Badan Bahasa bahkan mencatat terdapat 718 bahasa daerah di Indonesia (Kompas.com, 2020). Karena itu, bahasa ibu dipandang sebagai bahasa yang tumbuh di tingkat lokal dan dituturkan oleh komunitas lokal yang kerap kali dikategorikan sebagai suku maupun etnis. Jadi, bahasa daerah secara eksklusif menjadi identik dengan satu identitas primordial tertentu. Contohnya, jika seseorang lahir dalam lingkungan berbahasa Gorontalo, maka bahasa pertama yang dikenali adalah bahasa daerah Gorontalo, dan kemampuan menggunakan bahasa tersebut merupakan penanda seseorang telah menjadi bagian dari “etnis” Gorontalo. Pemahaman ini bukannya salah, hanya saja cukup bermasalah jika kita lebih jeli memerhatikan konteks “lokal” atau pemaknaan “daerah” secara historis. Terutama jika kita menyoroti bias nativistik dalam pemahaman resmi yang demikian. Artinya, bahasa ibu dimaknai sebagai bagian dari kebudayaan etnis “asli” di sebuah daerah. Persoalannya, bagaimana jika daerah yang menjadi ruang tumbuhnya “bahasa daerah” merupakan titik temu perjumpaan budaya antar bangsa-bangsa dari waktu ke waktu? Sejarawan telah banyak mencatat bagaimana wilayah-wilayah tertentu sejak kepulauan Indonesia dikenali dengan nama Nusantara merupakan gerbang bertemunya berbagai budaya yang sama sekali asing satu dan lainnya melalui kegiatan perdagangan serta perniagaan. Bandar Makassar sebelum abad ke-17 menjadi contoh titik sentral kegiatan yang mampu mengakomodasi lalu lintas manusia antar pulau, kelomopok, dan kepentingan ekonomi. Sejak kejatuhan Malaka pada 1511, Makassar menjadi simpul dari perdagangan rempah. Implikasinya, Makassar menjadi kota pelabuhan utama dengan penduduk yang beragam secara latar belakang sosial. Namun dampak lebih lanjut dari perdagangan tersebut adalah terbentuknya orientasi budaya yang kosmopolit pada zaman itu. Karaeng Pattingaloang merupakan contoh tokoh besar dari Kerajaan Gowa-Tallo sebagai penguasa Makassar yang terbuka akan perubahan dan pemikiran dunia. Denys Lombard (1996) cukup banyak meriwayatkan betapa kosmpolitnya Karaeng Pattingaloang. Lombard mengutip penjelasan dari seorang pastur bernama Alexandre de Rhodes bahwa Karaeng Pattingaloang mampu berbicara bahasa Portugis layaknya orang Portugis (Lombard, 1996). Kemampuan ini didapatkan keterbukaannya untuk bergaul dalam jaringan perniagaan rempah dengan Maluku maupun Portugis. Karaeng Pattingaloang yang merupakan Raja Tallo ke-6 bahkan dikenal sebagai Renaissance Man, manusia pembaharuan (Reid, 2015). Pengalaman hidup bersama yang heterogen seperti pengalaman Makassar juga dialami oleh Gorontalo pada abad ke-19. Jika kita mengacu pada laporan G.W.W.C. Baron van Hoevell di tahun 1889, jumlah penduduk Gorontalo pendatang dan pegadang di Distrik Kota sebesar 678 jiwa terdiri dari orang-orang Eropa berjumlah 71 jiwa, komunitas Cina berjumlah 246 jiwa, kelompok Arab berjumlah 32 jiwa, Bugis berjumlah 63 jiwa, kelompok Minahasa yang banyak bertugas di bagian pemerintahan asisten residen berjumlah 266 jiwa (Amin & Hasanuddin, 2012). Walaupun dilaporkan dengan cara pencatatan khas kolonial Belanda dengan menggolongkan penduduk berdasarkan kontsruksi etnis, namun angka-angka tersebut menunjukkan bahwa Gorontalo merupakan ruang bersama yang tidak hanya dihuni oleh satu komunitas tunggal, dengan praktik kebudayaan yang tunggal juga. Berbagai kelompok ini hidup bergaul secara dinamis dan keluar dari kotak-kotak rasial yang dibentuk oleh pemerintah kolonial. Salah satu contoh paling jelas dari pergaulan ini adalah hadirnya generasi peranakan baik peranakan Arab, peranakan Tionghoa, dan komunitas Indo-Eropa (Borgo) di Gorontalo dan daerah-daerah lain di sepanjang jalur perniagaan. Lebih dari itu, kebudayaan—termasuk bahasa—masyarakat Gorontalo justru terbentuk dari praktik “saling meminjam” budaya milik kelompok masyarakat lain. Kata “boki” dan “jogugu” yang banyak dicatat dalam sejarah Gorontalo dapat ditemukan juga dalam masyarakat Ternate. Artinya, kebudayaan di Gorontalo merupakan kebudayaan yang telah bercampur-baur (hibrid) dan dapat ditemukan jejaknya dalam perjalanan masyarakat kita sehari-hari. Secuil contoh dari Makassar dan Gorontalo yang komsmopolit ini pada akhirnya menunjukkan betapa problematisnya pemahaman resmi kita tentang bahasa ibu bersama bias nativistik di dalamnya. Pemahaman bahasa ibu menurut KBBI tersebut hanya menyempitkan pemahaman kita akan imajinasi keindonesiaan yang luas, dinamis, dan saling membentuk. Bahasa ibu yang diartikan berhimpit dengan bahasa daerah turut menyempitkan memori kolektif tentang bagaimana ragam bahasa dan dialek di Indonesia dibentuk melalui sebuah jalur perlintasan antar manusia, komoditas, kebudayaan yang saling memeluk intim satu sama lain. Di sisi lain, pemahaman resmi tentang bahasa ibu mengisolasi sebuah mental berkebudayaan yang hanya cenderung melihat ke dalam (inward) tanpa penuh kesungguhan untuk menatap ke luar (outward). Sejarah telah mencatat bagaimana akibat fatal dari bangsa yang mengisolasi dirinya dalam tiap babak peradaban umat manusia. Roman sejarah Arus Balik (1995) karya Pramoedya Ananta Toer berhasil menggambarkan keruntuhan Majapahit sebagai imperium terbesar di Nusantara yang ditandai dengan makin mengecilnya pengaruh Tuban—kota pelabuhan utama di era Majapahit—dan pilihan sang adipati untuk meninggalkan keterhubungan dengan dunia luar. Gejalanya tampak jelas. Ukuran kapal untuk mengarungi samudera semakin kecil, pasar tak lagi ramai, dan mewabahnya perangai yang memunggungi lautan. Anthony Reid (2015) bahkan mencatat gerak serempak meninggalkan laut ini terjadi di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-17. Kerajaan Mataram era Amangkurat I (1646-1677) menjadi salah satu contohnya. Hasilnya jelas. Gaya hidup masyarakat makin terisolasi, perniagaan ditinggalkan, kemiskinan datang menjumpa. Bahasa mencerminkan corak kebudayaan yang kita pilih dan praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Menggunakan “bahasa daerah” dalam pergaulan sehari-hari tentu tidak ada salahnya. Namun, kita juga perlu menyadari bahwa masyarakat berkembang secara dinamis untuk menentukan arah kebudayaan, termasuk dalam hal mendefinisikan bahasa ibu. Kita tak perlu terburu-buru menganggap adanya ancaman terhadap kebudayaan Gorontalo jika ekspresi berbahasa masyarakat Gorontalo hari ini lebih sering menggunakan “Ana”— yang diserap dari bahasa Arab—ketimbang “Waatia” untuk merujuk pada “saya”. Fenomena tersebut justru merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat yang patut dirayakan bersama. Hal ini menandakan bahwa masyarakat kita sejatinya tidak menenteng inferioritas dalam pergaulan sehari-hari baik dengan lingkungannya sendiri maupun dengan dunia luar. Serap menyerap bahasa melalui pembentukan jejaring sosial lintas budaya dan kawasan kemudian menjadi rahim subur yang melahirkan bahasa ibu. Kita patut menyadari bahwa masyarakat terus berubah dan ekspresi kebudayaan terseret olehnya. Karena itu, perubahan makna bahasa ibu menjadi niscaya seiring bergeraknya energi perubahan sosial dalam suatu masa. Alih-alih hanya dianggap sebagai hak milik kelompok primordial tertentu secara eksklusif, bahasa ibu hari ini sudah sepatutnya dimaknai sebagai energi pembentuk kebudayaan yang bergerak menari di panggung samudera, laut, teluk, selat, pesisir, pasar, ladang, dan pegunungan Nusantara sejak dahulu hingga kini. Ia menjadi gambaran bagaimana interaksi manusia memungkinkan terjadinya proses berbahasa yang kreatif dan saling memaknai. Oleh karena itu, bahasa ibu justru dapat menjadi pengingat bahwa kebudayaan hari ini merupakan inspirasi dari hidup bersama antar generasi yang kosmopolit. Berdasar pada rangkaian pengalaman itu, maka tugas penting hari ini dan generasi selanjutnya bukan terletak pada urusan “konservasi” bahasa yang diikuti dengan mental inferior, tertutup, dan mengisolasi diri sendiri maupun kelompok di tiap ritus peringatan bahasa ibu. Sebaliknya, hari Bahasa Ibu esok hari sesungguhnya dapat dimaknai sebagai pembuktian betapa dinamisnya praktik-praktik kebudayaan kita tanpa harus membonceng kekerdilan mental yang enggan bergaul dengan dunia luar dan ragu dalam menembus “tabu”. Di titik itu, sepertinya kita sebagai penentu dari tiap praktik kebudayaan tak perlu disibukkan dengan perasaan terancam akan kehilangan setiap kali merayakan warisan yang hidup bernama “Bahasa Ibu”.