Anda di halaman 1dari 4

Bahasa Ibu

Daniel Andara Kalangie


Dalam pemahaman resmi di Indonesia, bahasa ibu merupakan bahasa pertama yang
dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya,
seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya. Setidaknya begitulah KBBI mendefinisikan
bahasa ibu. Mengacu pada pemahaman resmi tersebut, maka bahasa ibu adalah bahasa yang
dikenali seseorang melalui penggunaan bahasa orang-orang di sekitarnya. Dalam banyak
kesempatan, pemaknaan bahasa ibu di Indonesia berhimpit dengan bahasa daerah. Lihat saja,
peringatan Hari Bahasa Ibu internasional di Indonesia pada tahun 2020 yang diselenggarakan
oleh Badan Bahasa Kemendikbud dan Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU)
mengambil tema, “Melestarikan Bahasa Daerah untuk Pemajuan Bangsa”. Badan Bahasa
bahkan mencatat terdapat 718 bahasa daerah di Indonesia (Kompas.com, 2020). Karena itu,
bahasa ibu dipandang sebagai bahasa yang tumbuh di tingkat lokal dan dituturkan oleh
komunitas lokal yang kerap kali dikategorikan sebagai suku maupun etnis. Jadi, bahasa
daerah secara eksklusif menjadi identik dengan satu identitas primordial tertentu. Contohnya,
jika seseorang lahir dalam lingkungan berbahasa Gorontalo, maka bahasa pertama yang
dikenali adalah bahasa daerah Gorontalo, dan kemampuan menggunakan bahasa tersebut
merupakan penanda seseorang telah menjadi bagian dari “etnis” Gorontalo.
Pemahaman ini bukannya salah, hanya saja cukup bermasalah jika kita lebih jeli
memerhatikan konteks “lokal” atau pemaknaan “daerah” secara historis. Terutama jika kita
menyoroti bias nativistik dalam pemahaman resmi yang demikian. Artinya, bahasa ibu
dimaknai sebagai bagian dari kebudayaan etnis “asli” di sebuah daerah. Persoalannya,
bagaimana jika daerah yang menjadi ruang tumbuhnya “bahasa daerah” merupakan titik temu
perjumpaan budaya antar bangsa-bangsa dari waktu ke waktu? Sejarawan telah banyak
mencatat bagaimana wilayah-wilayah tertentu sejak kepulauan Indonesia dikenali dengan
nama Nusantara merupakan gerbang bertemunya berbagai budaya yang sama sekali asing
satu dan lainnya melalui kegiatan perdagangan serta perniagaan. Bandar Makassar sebelum
abad ke-17 menjadi contoh titik sentral kegiatan yang mampu mengakomodasi lalu lintas
manusia antar pulau, kelomopok, dan kepentingan ekonomi.
Sejak kejatuhan Malaka pada 1511, Makassar menjadi simpul dari perdagangan
rempah. Implikasinya, Makassar menjadi kota pelabuhan utama dengan penduduk yang
beragam secara latar belakang sosial. Namun dampak lebih lanjut dari perdagangan tersebut
adalah terbentuknya orientasi budaya yang kosmopolit pada zaman itu. Karaeng
Pattingaloang merupakan contoh tokoh besar dari Kerajaan Gowa-Tallo sebagai penguasa
Makassar yang terbuka akan perubahan dan pemikiran dunia. Denys Lombard (1996) cukup
banyak meriwayatkan betapa kosmpolitnya Karaeng Pattingaloang. Lombard mengutip
penjelasan dari seorang pastur bernama Alexandre de Rhodes bahwa Karaeng Pattingaloang
mampu berbicara bahasa Portugis layaknya orang Portugis (Lombard, 1996). Kemampuan ini
didapatkan keterbukaannya untuk bergaul dalam jaringan perniagaan rempah dengan Maluku
maupun Portugis. Karaeng Pattingaloang yang merupakan Raja Tallo ke-6 bahkan dikenal
sebagai Renaissance Man, manusia pembaharuan (Reid, 2015).
Pengalaman hidup bersama yang heterogen seperti pengalaman Makassar juga
dialami oleh Gorontalo pada abad ke-19. Jika kita mengacu pada laporan G.W.W.C. Baron
van Hoevell di tahun 1889, jumlah penduduk Gorontalo pendatang dan pegadang di Distrik
Kota sebesar 678 jiwa terdiri dari orang-orang Eropa berjumlah 71 jiwa, komunitas Cina
berjumlah 246 jiwa, kelompok Arab berjumlah 32 jiwa, Bugis berjumlah 63 jiwa, kelompok
Minahasa yang banyak bertugas di bagian pemerintahan asisten residen berjumlah 266 jiwa
(Amin & Hasanuddin, 2012). Walaupun dilaporkan dengan cara pencatatan khas kolonial
Belanda dengan menggolongkan penduduk berdasarkan kontsruksi etnis, namun angka-angka
tersebut menunjukkan bahwa Gorontalo merupakan ruang bersama yang tidak hanya dihuni
oleh satu komunitas tunggal, dengan praktik kebudayaan yang tunggal juga. Berbagai
kelompok ini hidup bergaul secara dinamis dan keluar dari kotak-kotak rasial yang dibentuk
oleh pemerintah kolonial. Salah satu contoh paling jelas dari pergaulan ini adalah hadirnya
generasi peranakan baik peranakan Arab, peranakan Tionghoa, dan komunitas Indo-Eropa
(Borgo) di Gorontalo dan daerah-daerah lain di sepanjang jalur perniagaan. Lebih dari itu,
kebudayaan—termasuk bahasa—masyarakat Gorontalo justru terbentuk dari praktik “saling
meminjam” budaya milik kelompok masyarakat lain. Kata “boki” dan “jogugu” yang banyak
dicatat dalam sejarah Gorontalo dapat ditemukan juga dalam masyarakat Ternate. Artinya,
kebudayaan di Gorontalo merupakan kebudayaan yang telah bercampur-baur (hibrid) dan
dapat ditemukan jejaknya dalam perjalanan masyarakat kita sehari-hari.
Secuil contoh dari Makassar dan Gorontalo yang komsmopolit ini pada akhirnya
menunjukkan betapa problematisnya pemahaman resmi kita tentang bahasa ibu bersama bias
nativistik di dalamnya. Pemahaman bahasa ibu menurut KBBI tersebut hanya menyempitkan
pemahaman kita akan imajinasi keindonesiaan yang luas, dinamis, dan saling membentuk.
Bahasa ibu yang diartikan berhimpit dengan bahasa daerah turut menyempitkan memori
kolektif tentang bagaimana ragam bahasa dan dialek di Indonesia dibentuk melalui sebuah
jalur perlintasan antar manusia, komoditas, kebudayaan yang saling memeluk intim satu sama
lain. Di sisi lain, pemahaman resmi tentang bahasa ibu mengisolasi sebuah mental
berkebudayaan yang hanya cenderung melihat ke dalam (inward) tanpa penuh kesungguhan
untuk menatap ke luar (outward). Sejarah telah mencatat bagaimana akibat fatal dari bangsa
yang mengisolasi dirinya dalam tiap babak peradaban umat manusia. Roman sejarah Arus
Balik (1995) karya Pramoedya Ananta Toer berhasil menggambarkan keruntuhan Majapahit
sebagai imperium terbesar di Nusantara yang ditandai dengan makin mengecilnya pengaruh
Tuban—kota pelabuhan utama di era Majapahit—dan pilihan sang adipati untuk
meninggalkan keterhubungan dengan dunia luar. Gejalanya tampak jelas. Ukuran kapal untuk
mengarungi samudera semakin kecil, pasar tak lagi ramai, dan mewabahnya perangai yang
memunggungi lautan. Anthony Reid (2015) bahkan mencatat gerak serempak meninggalkan
laut ini terjadi di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-17. Kerajaan Mataram era
Amangkurat I (1646-1677) menjadi salah satu contohnya. Hasilnya jelas. Gaya hidup
masyarakat makin terisolasi, perniagaan ditinggalkan, kemiskinan datang menjumpa.
Bahasa mencerminkan corak kebudayaan yang kita pilih dan praktikkan dalam
kehidupan sehari-hari. Menggunakan “bahasa daerah” dalam pergaulan sehari-hari tentu tidak
ada salahnya. Namun, kita juga perlu menyadari bahwa masyarakat berkembang secara
dinamis untuk menentukan arah kebudayaan, termasuk dalam hal mendefinisikan bahasa ibu.
Kita tak perlu terburu-buru menganggap adanya ancaman terhadap kebudayaan Gorontalo
jika ekspresi berbahasa masyarakat Gorontalo hari ini lebih sering menggunakan “Ana”—
yang diserap dari bahasa Arab—ketimbang “Waatia” untuk merujuk pada “saya”. Fenomena
tersebut justru merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat yang patut dirayakan bersama.
Hal ini menandakan bahwa masyarakat kita sejatinya tidak menenteng inferioritas dalam
pergaulan sehari-hari baik dengan lingkungannya sendiri maupun dengan dunia luar. Serap
menyerap bahasa melalui pembentukan jejaring sosial lintas budaya dan kawasan kemudian
menjadi rahim subur yang melahirkan bahasa ibu.
Kita patut menyadari bahwa masyarakat terus berubah dan ekspresi kebudayaan
terseret olehnya. Karena itu, perubahan makna bahasa ibu menjadi niscaya seiring
bergeraknya energi perubahan sosial dalam suatu masa. Alih-alih hanya dianggap sebagai hak
milik kelompok primordial tertentu secara eksklusif, bahasa ibu hari ini sudah sepatutnya
dimaknai sebagai energi pembentuk kebudayaan yang bergerak menari di panggung
samudera, laut, teluk, selat, pesisir, pasar, ladang, dan pegunungan Nusantara sejak dahulu
hingga kini. Ia menjadi gambaran bagaimana interaksi manusia memungkinkan terjadinya
proses berbahasa yang kreatif dan saling memaknai. Oleh karena itu, bahasa ibu justru dapat
menjadi pengingat bahwa kebudayaan hari ini merupakan inspirasi dari hidup bersama antar
generasi yang kosmopolit. Berdasar pada rangkaian pengalaman itu, maka tugas penting hari
ini dan generasi selanjutnya bukan terletak pada urusan “konservasi” bahasa yang diikuti
dengan mental inferior, tertutup, dan mengisolasi diri sendiri maupun kelompok di tiap ritus
peringatan bahasa ibu. Sebaliknya, hari Bahasa Ibu esok hari sesungguhnya dapat dimaknai
sebagai pembuktian betapa dinamisnya praktik-praktik kebudayaan kita tanpa harus
membonceng kekerdilan mental yang enggan bergaul dengan dunia luar dan ragu dalam
menembus “tabu”. Di titik itu, sepertinya kita sebagai penentu dari tiap praktik kebudayaan
tak perlu disibukkan dengan perasaan terancam akan kehilangan setiap kali merayakan
warisan yang hidup bernama “Bahasa Ibu”.

Anda mungkin juga menyukai