Anda di halaman 1dari 5

Mandul di Masa Subur: Sebuah Refleksi

Banyak aspirasi yang terkristal menjadi satu ketika ide pembentukan Provinsi
Gorontalo disuarakan. Salah satu aspirasi yang cukup nyaring terdengar adalah sebagai upaya
untuk menolak nasib menjadi wilayah pinggiran dalam kawasan, minimal di bagian Utara
Indonesia. Upaya ini dicatat dengan baik oleh Ehito Kimura (2007). Upaya ini nampak dalam
pergerakan yang menolak ketika Gorontalo selalu di-nomor dua-kan. Kelas menengah adalah
motor pergerakan ini (Amin,..). Kerja-kerja politik kelas menengah di era pasca reformasi
saat itu diharapkan dapat menjadi awal untuk menambah bobot signifikansi Gorontalo dalam
skala nasional maupun regional. Mulai dari mahasiswa, akademisi, politisi, birokrat, tumpah
ruah dalam pengorganisasian ide dan strategi untuk menjadi “diri sendiri” yang dapat
dianggap penting oleh kawasan dan Indonesia pada umumnya.
Namun dari semua jerih lelah itu, sudahkah Gorontalo menuai hasilnya? Sudahkah
Gorontalo diperhitungkan dalam skala regional maupun nasional? Dalam skala regional kita
dihimpit oleh dua “pusat” yang saling menunjukkan ramainya lalu lintas manusia serta pasar
dan bandar yang sibuk. Kota Manado di sebelah Utara misalnya dari tahun 2016 hingga 2019
mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang signfikan dan melebihi angka pertumbuhan
ekonomi nasional (TribunManado, 2019). Pada tahun 2020 gubernur Sulawesi Utara, Olly
Dondokambey, bahkan mewacanakan Sulawesi Utara secara keseluruhan menjadi pintu
gerbang Indonesia ke Asia Pasifik. Manado tentu menjadi penting dalam wacana ini karena
letak geografisnya yang langsung bercumbu dengan Samudera Pasifik. Di Selatan, Makassar
tetap bertahan sebagai kota dagang sentral dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Presiden Jokowi bahkan ikut memuji pertumbuhan ekonomi kota ini di tahun 2017 yang
mencapai angka 7,6 persen di tengah ketidakpastian ekonomi global (Liputan6.com, 2017).
Melihat capaian dua “pusat” yang memiliki bobot penting di kawasan dan nasional,
sesungguhnya Gorontalo dapat sedikit berefleksi. Terlepas dari capain dan kemajuan yang
diraih Gorontalo sejak menjadi provinsi otonom, ditambah dengan bertaburnya orang
Gorontalo di jajaran eksekutif dan legislatif, kita harus jujur mengakui bahwa Gorontalo
belum mampu memainkan peran apa-apa yang signifikan, minimal di tingkat regional. Hal ini
dapat dilihat misalnya, belum ada wacana dari Gorontalo pasca reformasi untuk memainkan
peran penting dalam jaringan ekonomi kawasan. Patut diingat, wacana mampu membentuk
realita. Belum juga terdengar keberanian anak muda untuk melihat kesempatan-kesempatan
baru di “luar tempurung” yang dapat berkontribusi untuk menaikkan bargaining position
Gorontalo. Yang ada hanyalah kemandulan imajinasi. Garis akhir dianggap telah dicapai
dengan menjadi politisi di kampung masing-masing. Semuanya ini menyumbang pada
kegagalan Gorontalo hingga sekarang untuk berbicara banyak di pentas kawasan, nasional,
maupun global. Jika ingin menaikkan posisi tawar Gorontalo dalam berbagai kancah, saya
menawarkan kita belajar dua tokoh sebagai berikut.
Belajar dari Oom Sam
Sam kecil lahir di distrik Kasendukan pada tahun 1890. Tempat lahirnya cukup jauh
dari afdeling Manado yang telah berdiri pada akhir dekade pertama abad ke 18. Sejak muda,
cakrawala gagasan ia bentangkan seluas-luasnya. Melalang buana dari STOVIA ke Sekolah
Teknik Wilhelmina di Batavia, Oom Sam akhirnya menjadi doktor ilmu pasti dan alam di
Swiss. Sekembalinya dari Swiss, ia aktif di dewan rakyat Minahasa (Minahasaraad) dan
selanjutnya Volksraad bersama anggota lainnya seperti Husni Thamrin. Dhakidae (2000)
menulis bahwa walaupun suaranya dianggap pemerintah kolonial sebagai nabi kecil setengah
matang di padang gurun, namun prediksinya akan kemerdekaan bangsa Hindia menjadi
keniscayaan sejarah. Walaupun ia lahir di sebuah distrik kecil dekat kaki gunung Lokon
yang sejuk, pemikirannya menembus hamparan laut Pasifik yang hangat. Salah satu
pemikiran monumental Sam Ratulangi dituangkan dalam Indonesia in den Pacific (1937).
Melalui karyanya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (1982), kita dapat melihat
bagaimana Ratulangi melihat berpindahnya pusat kekuasaan global dari kawasan Atlantik
yang didominasi Eropa ke arah kawasan Pasifik dengan poros New York-Tokyo. Secara jeli,
ia menunjukkan posisi Indonesia dalam dunia yang sedang berubah. Ratulangi juga sempat
menjabat posisi Gubernur Sulawesi di masa RIS yang penuh gejolak.
Dari Ratulangi kita dapat belajar tentang kemampuan berfikir sekaligus
“berimajinasi” untuk menambah bobot signifikansi Gorontalo. Dari seluruh catatan hidup
Sam Ratulangi, pikirannya tidak hanya dibatasi seputar Kasendukan, dataran tinggi
Minahasa, dan Manado. Cara menghitung daya tawar Indonesia di dekade pertengahan abad
ke 20 justru dimulai dengan melihat perubahan global yang membawa pengaruh seperti
perang dunia I. Model berfikir yang demikian tidak akan mungkin tercapai jika Ratulangi
mengungkung dirinya hanya sebatas Kasendukan, tempat lahirnya. Walaupun aktif
mengurusi partai lokal Minahasa dan terlibat dalam Minahasaraad, namun wacana yang
ditawarkan Ratulangi tidak hanya membayangkan Minahasa, Hindia, dan dunia sebagai
bagian yang terpisah-pisah. Ratulangi telah berani melihat dunia. Karena itu, sekalipun tidak
mencapai puncak “Gunung Klabat”, Oom Sam telah memberi banyak contoh bagi kita untuk
sampai di “Airmadidi”.
Karaeng yang Kosmpolit
Pada abad ke 17 Masehi saat Majaphit telah berada di senjakalanya, muncul sebuah
bandar baru nan kosmopolit di bagian Timur Nusantara. Makassar namanya. Wilayah yang
dialiri sungai Jeneberang ini merupakan pusat kerajaan Gowa-Tallo. Sejarawan Anthony
Reid (2011) bahkan mencatat Makassar sebagai salah satu kerajaan maritim penting yang
masih eksis dalam jaringan perdagangan global setelah keruntuhan Majapahit. Semua ini
tidak terjadi hanya karena posisi geografis Makassar yang menghadap ke arah laut.
Signifikansi Makassar saat itu justru terjadi karena kemampuan sang mangkubumi Gowa-
Tallo, Karaeng Pattingaloang yang mencintai ilmu pengetahuan, terbuka akan perubahan, dan
berfikir melampaui batas-batas kerajannya dalam mengelola bandar besar yang
menghubungkan Timur-Barat, Utara-Selatan, Atas angin-Bawah angin. Karaeng
Pattingaloang yang merupakan Raja Tallo ke-6 bahkan dikenal sebagai Renaissance Man,
manusia pembaharuan (Reid, 2015). Denys Lombard cukup banyak meriwayatkan betapa
kosmpolitnya Karaeng Pattingaloang. Lombard pernah mengutip penjelasan dari seorang
pastur bernama Alexandre de Rhodes bahwa Karaeng Pattingaloang mampu berbicara bahasa
Portugis layaknya orang Portugis (Lombard, 1996). Kemampuan ini didapatkan
keterbukaannya untuk bergaul dalam jaringan perniagaan rempah dengan Maluku maupun
Portugis. Selain itu, Karaeng Pattingaloang juga mampu berbahasa latin. Bahasa latin
digunakannya untuk mengakses ilmu pengetahuan Eropa yang dikunyah dalam bentuk buku,
atlas, bahkan bola dunia seperti pengakuan pastur de Rhodes.
Tentu kita dapat membayangkan betapa sulitnya mengatur bandar yang ramai dengan
ragam manusia jika Karaeng Pattingaloang sebagai mangkubumi memiliki sikap tertutup.
Walaupun tentu saja menyadari bias ilmu pengetahuan yang berkiblat pada kebudayaan Barat
saat itu, sang Karaeng tidak sedikitpun gentar untuk bergaul sebagai bagian dari “warga
dunia” yang saling terhubung satu sama lain. Tentu, keterbukaannya yang demikian membuat
posisi strategis Makassar pada zamannya tidak pernah dihimpit dalam wacana primordial
“Makassar untuk Makassar”. Tampak dengan jelas bahwa keberanian—menolak menjadi
inferior—dan keterbukaan Karaeng Pattingaloang telah membawa Makassar untuk
mengambil peran dalam jaringan perniagaan global. Pada akhirnya, kemampuan Karaeng
Pattingaloang dan Sultan Muhammad Said (1639-1653) untuk melihat kekuatan relasional
antara pengetahuan dan kekuasaan telah menghantarkan Gowa-Tallo pada puncak
keemasannya (Lombard, 1996).
Mengubah Cara Pandang
Jika seorang tokoh diukur dari kemampuan intelektualitas dan daya dobraknya dalam
menghadapi sebuah masalah seperti Ratulangi dan Karaeng Pattingaloang, Gorontalo tidak
pernah kekurangan tokoh. Sebut saja sastrawan yang namanya dikenang hingga hari ini
seperti H.B. Jassin dan ahli bahasa J.S. Badudu. Nama-nama ini belum lagi ditambah dengan
pakar geologi yang menemukan tiga lempeng tektonik di dasar laut Palu. Dialah Bapak
Geologi Indonesia, John Ario Katili. Nama-nama legendaris itu bahkan jauh telah
menujukkan perannya di kancah nasional sebagai “putra” dari Gorontalo sebelum Gorontalo
menjadi wilayah otonom yang memungkinnya lebih leluasa untuk menentukan nasib-nasib
perbaikannya sendiri. Karena itu, berbagai kesempatan perubahan baru justru dapat kita
dimanfaatkan hari ini. Namun kini, setelah jadi wilayah otonom kita justru belum mampu
memainkan peranan penting, minimal di tingkat kawasan. Gorontalo bagaikan mandul di
masa suburnya.
Untuk menjadi lebih baik, Gorontalo sebaiknya tidak perlu beralasan kekurangan
sumber daya alam yang melimpah dan perhitungan anggaran yang selalu mengarah pada satu
alibi klasik, yakni keterbatasan. Cara pandang terhadap persoalan-persoalan di Gorontalo
yang demikian sesungguhnya perlu berubah. Melalui kisah singkat tentang Ratulangi dan
Karaeng Pattingaloang, kita dapat melihat bahwa jusru kemampuan berfikir analitik dan
imajinatif yang dibutuhkan Gorontalo hari ini. Kemampuan ini akan mengantarkan kita pada
kemampuan untuk memproduksi wacana dan pada akhirnya ikut membentuk realitas.
Contohnya, analisis Ratulangi tentang menguatnya geopolitik kawasan Pasifik dan
dampaknya terhadap Indonesia telah menjadi rujukan serta wacana awal yang mampu
menguatkan—sekaligus menciptakan—posisi geografis Sulawesi bagian Utara sebagai pintu
gerbang dalam relasi antar kawasan lebih kompleks dan multi-dimensional. Di saat yang
sama, kesempatan untuk mengambil peran dalam pertukaran barang, jasa, dan budaya
menjadi makin besar. Semua ini harus dibersamai keterbukaan dan kecintaan akan ilmu
pengetahuan layaknya Karaeng Pattingaloang. Mental dasar ini akan melatih kita untuk
melihat dunia yang saling terhubung. Karaeng Pattingaloang tidak memimpin Gowa-Tallo
dengan ketakutan untuk melihat bagaimana ekspedisi pelaut dan pedagang Eropa dalam
mencari rempah-rempah. Dengan keberanian untuk melihat dan memanfaatkan itu, posisi
Makassar menjadi lebih mudah untuk diposisikan secara strategis sebagai kota bandar.
Saatnya Menembus Batas
Gorontalo hari ini perlu untuk diwarnai dengan proses produksi wacana yang segar
dan dapat diperdebatkan di ruang-ruang publik. Inilah tugas mutakhir yang sangat penting
untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan baru pasca reformasi. Kelas menengah
terutama anak muda sangat penting untuk memainkan proses produksi wacana. Mengapa
anak muda? Alasannya sederhana. Anak muda tidak lagi dapat dibebani oleh berbagai luka
sejarah yang diwarnai banyak pertikaian antara torang dan dorang apapun motifnya untuk
mampu berpikir bebas-merdeka. Wacana dominan untuk “membangun daerah” perlu
disegarkan agar tidak menjadi jargon usang yang memelihara kerangkeng imajinasi anak
muda dalam belenggu-belenggu patronase. Batas-batas usang sesegera mungkin
dinegosiasikan. Gorontalo tidak dapat lagi dipandang sebagai wilayah otonom baru yang
terisolasi dari perubahan-perubahan global. Karena itu, sudah barang tentu jika solusi dari
semua permasalahan di Gorontalo terletak pada kemampuan untuk memanfaatkan
kesempatan baru dari dunia yang terhubung. Semua ditentukan oleh padunya daya analitik
dan imajinatif anak muda dalam menembus “batas” hari ini. Jika gagal dalam kedua
kemampuan pokok itu, maka arus balik yang membawa pada ketidakberdayaan adalah
pilihan akhir—bahkan tujuan—kita di hari depan nan suram.

Anda mungkin juga menyukai