Anda di halaman 1dari 7

Merajut Kembali Negara Maritim Indonesia melalui Aktivasi

Tiga Elemen 1
(Negara, Civil Society, dan Wawasan Maritim)
RINGKASAN:
Tulisan ini merupakan reflesi potensi dan meredupnya kemaritiman di Indonesia. Gagasan
ini dilatarbelakangi oleh meredupnya kejayaan Indonesia sebagai negara maritim. Penulis melihat
permasalahan ini muncul karena bergesernya orientasi maritim-agro menuju orientasi agro saja.
Pergeseran inilah yang melemahkan perlindungan, pembangunan, dan pengembangan maritim.
Atas dasar itulah urgensi reorientasi negara maritim Indonesia menjadi tawaran yang mendesak.
Pada bagian gagasan dijelaskan bahwa desain reoriantasi yang ditawarkan adalah aktivasi
tiga elemen yang membingkai pembangunan maritim Indonesia, yaitu negara, civil society, dan
Wawasan Maritim. Aktivasi ketiga elemen ini akan mengasilkan sinergitas tata kelola pembangunan
maritim dan dasar reorientasi. Elemen pembentukan wawasan maritim menjadi dasar elemen
reorientasi. Dua unsur yang tak kalah penting adalah unsur yang berperan langsung dalam
penyelenggaraan pembangunan maritim, yaitu: negara (unsur vertikal) dan civil society (unsur
horinsontal). Kedua unsur ini merupakan nadi dan tulang punggung pelaksanaan pembangunan
menuju negara maritim. Kedua unsur ini memiliki peran dan fungsi yang penting dalam strategi
operasional pembangunan dalam payung besar wawasan maritim.
Pada bagian akhir disimpulkan bahwa ide aktivasi tiga elemen (Negara, Civil Society, dan
Wawasan Maritim) akan menjadi desain reorientasi, merajut kembali negara maritim Indonesia).
Reorientasi ini menjadi langkah tepat dan kontekstual bagi Negara Indonesia.
Gagasan Merajut Kembali Negara Maritim Indonesia melalui Aktivasi Tiga Elemen
(Negara, Civil Society, dan Wawasan Maritim) ini diharapkan mampu menjadi sinergitas tubuh
pembangunan maritim Indonesia menuju kedaulatan maritim.

Tulisan ini masuk ke dalam 10 tulisan terbaik dalam National Maritime Essay Competition
2014, ITS, Surabaya

Merajut Kembali Negara Maritim Indonesia melalui Aktivasi Tiga Elemen


(Negara, Civil Society, dan Wawasan Maritim)
Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali
Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga.
Bangsa pelaut armada militer
Bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi
Irama gelombang lautan itu sendiri
(Ir. Soekarno, 1953)
Sejarah Maritim yang Terlupakan
Indonesia adalah bangsa dan negara yang wilahnya berupa kepualauan, terdiri lebih dari 17
ribu pulau besar dan kecil, yang membentang di jalur khatulistiwa dari Sabang sampai Merauke.
Luas wilayah itu kurang lebih 9 juta km, terbagi 3 juta km daratan pulau-pulau, 3 juta km laut
kedaulatan (sorvereignty) diantara dan sekeliling pulau itu, serta 3 juta km perairan laut yang
mengelilingi laut kedaulatan itu sebagai sabuk selebar 200 mil laut dengan hak berdaulat
(sorvereign rights) atas sumber daya alamnya baik di atasnya maupun di bawah permukaan laut
(Wahyono, 2009, h. 1). Hal ini menggambarkan 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan perairan,
memajukan potensi maritim Indonesia.
Menilik sejarah di Pulau Muna, Seram dan Arguni yang diperkirakan merupakan hasil
budaya manusia sekitar tahun 10.000 sebelum masehi. Bukti sejarah tersebut berupa gua yang
dipenuhi lukisan perahu layar. Kerajaan Marina yang didirikan perantau dari nusantara yang
ditemukan di wilayah Madagaskar. Bangsa Indonesia waktu itu memiliki membangun kapal dan
armada yang kuat, bahkan mampu berlayar sampai lebih dari 4.000 mil (Sondakh, 2010 h.2).
Sejarah lain menghantarkan kita pada Kejayaan Sriwijaya yang disegani dan bermartabat
seantero Asia Tenggara karena kekuatan armada lautnya. Sriwijaya bertumpu pada kekuatan
maritim untuk melindungi jalur perdagangan Malaka. Jalur perdagangan Malaka merupakan jalur
utama perdagangan dunia dan Sriwijaya mampu mempertahankan wilayahnya. Majapahit memiliki
andil besar dalam menyatukan Nusantara, hal ini bermula dari wawasan maritim Mahapatih Gadjah
Mada. Maha Patih Gadjah Mada menyatukan kerajaan-kerajaan kecil Nusantara dibawah koordinasi
Kerajaan Majapahit, dan menyadari bahwa kerajaan-keraan kecil Nusantara itu satu bangsa.
Wawasan maritim ini tentu saja memiliki implikasi pada srategi dan kebijakan kerajaan dalam
mengelola dan memanfaatkan laut, terutama masalah transportasi dan pertahanan. Kepercayaan
lain, bahwa negara tidak menjadi kuat apabila raja tidak memperistri Nyi Roro Kidul merupakan

simbol bahwa negara menjadi kuat ketika menguasai lautan. Sejarah Kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit memberikan suatu pelajaran bahwa wawasan maritim menjadikan kerajaan-kerajaan
Nusantara menjadi kerajaan yang kuat dan disegani dunia.
Nenek moyang bangsa Indonesia telah memahami dan menghayati arti kegunaan laut
sebagai sarana untuk menjamin berbagai kepentingan antarbangsa, seperti perdagangan dan
komunikasi. Akan tetapi, oleh penjajah kolonial, Bangsa Indonesia didesak ke darat, yang
mengakibatkan menurunnya jiwa maritim. Kemunduran ini tejadi semakin pesat, terutama setelah
masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda ke Indonesia. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755
antara Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus
menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda (Sondakh, 2010 h.3). Sejak itu, terjadi
penurunan semangat dan jiwa maritim Bangsa Indonesia, dan pergeseran nilai budaya, dari budaya
maritim ke budaya daratan. Orientasi masyarakat lebih condong ke hasil-hasil daratan, ekpansi
penanaman beras dan palawija dilakukan.
Kenyataan hari ini semakin menyadarkan kita, bahwa Indonesia kehilangan kebanggaannya.
Nenekku seorang pelaut bak nyayian sumbang. Berbagai permasalahan maritim kian lama kian
menumpuk. Menjadi fakta yang menyedihkan ketika ambalat terlupas dari Indonesia, Ambalat yang
memiliki potensi migas 30.000-40.000 barel perhari. Sama seperti sebuah kapal yang tak
bernahkoda, jika kesadaran maritim tidak segera diciptakan. Berbagai elemen kebijakan akan terus
lempar melempar satu sama lain. Jika hal ini senantiasa terus terjadi maka hilanglah 32 miliar dolar
AS pertahun dari potensi perikanan Indonesia. Lenyapnya 700 sampai 800 titik harta karun yang
potensial diangkat. Apakah Indonesia Negara Maritim sudah benar-benar lenyap??
Membangkitkan Kesadaran Negara Maritim
Sir Walter Raleigh adalah penulis, penyair, orang istana (courtier), dan penjelajah
berkebangsaan Inggris. Ia berperan merintis jalan bagi kolonisasi Britania Raya di Amerika Utara
pada akhir abad ke-16. Sir Walter Raleigh menyatakan, Supermasi atas lautan adalah dasar
kekuasaan. Di tengah menghadapi persaingan Laut Spanyol, Portugal dan Belanda, ia menyatakan
Barang siapa menguasai lautan akan menguasai perdagangan, kekayaan dunia, dan akhirnya
akan menguasai dunia itu sendiri (Anshoriy & Arbaningsih, 2008 h.295). Pernyataan Sir Walter
Raleigh ini, memberikan pandangan akan pentingnya kekuasaan maritim bagi Inggris.
Alferd Thayer Mahan (1860-1940), seorang Laksamana Laut AS dan guru besar sejarah
maritim dan strategi di Naval War College, New Port, AS, menyatakan ada enam pokok dalam
pembentukan kekuatan di laut (Anshoriy & Arbaningsih, 2008 h.295-296): pertama, letak geografis
negara yang bersangkutan, potensial berorientasi pada lautan. Kedua, bentuk muka bumi. Sifat

tanah yang menjadi tempat tinggal mendorong manusia ke laut, misalnya: Jepang yang memiliki
pantai, laut merupakan perbatasan dan kekuasaan nasionalnya ditentukan oleh kemampuannya
dalam memperluas batasan tersebut. Ketiga, luas wilayah. Keempat, penduduknya. Penduduk suatu
negara yang suka berdagang menjadikan bangsa yang memerlukan daerah jajahan. Kelima,
lembaga-lembaga pemerintahan yang mendorong bangsanya menuju kearah kekuasaan di laut.
Keenam, wawasan maritim.
Laut menjadi benang merah yang menyatukan bangsa Indonesia, dengan demikian
kelangsungan hidup bangsa Indonesia dipengaruhi, tergantung, dan ditentukan oleh kesadaran serta
kebijakan pemanfaatan kelautan dalam rangka integrasi tanah, air, dan angkasa. Dalam tataran
strategik operasional, budaya bahari bangsa Indonesia masih memprihatinkan. Apalagi bila kita
sependapat bahwa budaya adalah semua hasil olah pikir, sikap dan perilaku masyarakat yang
diyakini dan dikembangkan bersama untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi,
mengembangkan kehidupan yang lebih layak, dan beradaptasi terhadap situasi lingkungan hidup.
Budaya maritim bangsa Indonesia belum tumbuh kembali, baik ditataran masyarakat (civil society),
maupun juga pada tataran pembuat kebijaksanaan. Hal ini menjadi alasan mengapa Indonesia belum
mampu memanfaatkan kelautan sebagai sumber kesejahteraannnya. Urgensi laut bagi Indonesia dan
permasalahan maritim di Indonesia menjadi dua hal yang chaos.
Mengembalikan jiwa maritim yang kuat bagi setiap warga Indonesia menjadi sangat
mendesak saat ini, untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Doktrin maritim ini
dapat dilakukan melaui pendidikan maritim disetiap jenjang sekolah formal dan informal, serta
pembangunan kesadaran maritim bagi masyarakat, NGO, dan akdemisi. Kita perlu mengembangkan
kesadaran maritim Bangsa Indonesia. Kesadaran maritim itu tercipta dengan adanya wawasan
maritim Indonesia. Pengertian Wawasan Maritim

Indonesia ini bersumber dari Pacasila dan

berdasarkan UUD 1945, adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai wilayah laut
nasional dan lingkungannya dalam memanfaatkan, mengelola, melestarikan, dan melindungi, serta
mengamankannya, mencakup: perwujudan wilayah laut nasional sebagai wilayah NKRI yang
berdaulat; perwujudan wilayah laut nasional yang aman; perwujudan wilayah laut nasional yang
dapat dimanfaatkan dan dikelola secara efektif, efisien, dan berkelanjutan untuk meningkatkan
kesejahteraan bangsa Indonesia dari generasi ke generasi, perwujudan wilayah laut nasional yang
didukung dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan.
Mengalir dari uraian di atas, tampak jelas bahwa Indonesia membutuhkan segera adanya
kebijakan pembangunan maritim nasional yang dimulai dengan perumusan persepsi bangsa
Indonesia dalam melihat pengaruh laut terhadap kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, serta
sistem pertahanan dan keamanan nasional (wawasan maritim).

Aktivasi Romantisme Civil Society and Negara


Unsur yang berperan langsung dalam

penyelenggaraan pembangunan maritim

adalah

negara (unsur vertikal) dan civil society (unsur horinsontal). Kedua unsur ini merupakan nadi dan
tulang punggung pelaksanaan pembangunan menuju negara maritim. Kedua unsur ini memiliki
peran dan fungsi yang penting dalam strategi operasional pembangunan dalam payung besar
wawasan maritim.
Kajian-kajian tetang pembangunan dan pengembangan industri maritim menjadi tumpukan
sampah dokumen saja, jika wawasan maritim Indonesia tidak menjadi visi-misi jangka panjang.
Wawasan maritim bak semangat (siprit) pembangunan negara maritim. Untuk itu bidang pendidikan
spirit kemaritiman perlu disiapakan dan menjadi pilar utama bagi kebijakan pendidikan nasional
Indonesia.
Selain wawasan maritim, perlu adanya mata rantai operasional wawasan tersebut. Jika
wawasan maritim Indonesia sebagai semangat (spirit) pembangunan negara maritim, maka
kebijakan menjadi kerangka tubuh dan urat nadi dalam pembangunan maritim. Kebijakan mengatur
strategi operasional wawasan maritim Indonesia. Negara (state) sebagai produsen memiliki peran
penting untuk mengeluarkan kebijakan pengelolaan kelautan dan sanksi kelautan. Kebijakan juga
menjadi obat yang menghilangkan egoisme sektoral.
Civil society menjadi tulang punggung pembangunan maritim. Inovasi dan orientasi civil
society dalam pembangunan sangatlah penting untuk mewujudkan pembanguanan dan pengelolaan
maritim Indonesia. Civil Society dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang
terorganisasi dan bercirikan lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan
keswadayaan (self supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan
dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya (Hikam, 1996, h.1). Civil
society adalah masyarakat yang senantiasa melakukan inovasi dan kerjasama satu sama lain untuk
mewujudkan keswasembadaan dan keswadayaan melalui kesadaran wawasan maritim. Langkah
civil society tak akan berjalan mulus tanpa stimulus negara melalui kebijakannynya dalam
pembangunan,perlindungan dan pengembangan maritim Indonesia. Civil society mencakup
kalangan akademisi, nelayan, dan seluruh komponen masyarakat Indonesia. Sebagai penduduk
terbesar keempat di dunia (mencapai 238 juta jiwa), Indonesia memiliki potensi besar menciptakan
civil society yang kuat.
Ketika kita berbicara tentang civil society, maka kita harus berbicara tentang negara. Artinya
pembicaraan tentang civil society tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang negara. Keduanya
bagaikan bagian-bagian tubuh yang berbeda letak namun tetap bersinergi. Meskipun antara civil

society dan negara memiliki batas-batas sendiri. Namun diantara keduanya tidak perlu dijadikan
lawan persaingan di dalam memperebutkan kepentingan/tujuannya masing-masing. Keduanya baik
civil society maupun negara seharusnya saling bersinergi untuk membangun negara, Indonesia.
Akankah Indonesia jadi Negara Maritim? Ditinjau dari enam pokok dalam pembentukan
kekuatan laut menurut pandangan Alferd Thayer Mahan (1860-1940) Indonesia memiliki letak
geografis yang potensial diantara Benua Asia dan Austarlia serta Samudra Pasifik dan Samudra
Hidia; bentuk bumi kepulauan yang mendorong manusia berorientasi ke laut, luas wilayah laut
hingga lebih dari 6 juta km; dan penduduk sebesar 238 juta jiwa. Melihat potensi ini Indonesia
memiliki kans besar untuk menjadi negara maritim yang besar di kancah ASEAN Community 2015.
Luas lautan dan SDM Indonesia duduk diperingkat pertama di kawasan ASEAN. Potensi ini ada,
namun bak harta yang terpendam,jika harta ini tak digali. Maka potensi ini perlu digali dengan
penanaman spirit wawasan Maritim. Lembaga-lembaga pemerintahan memiliki peran penting
dalam mendorong bangsanya menuju ke arah kekuasaan di laut. Sinergitas antara civil society dan
negara, untuk mewujudkan Indonesia negara maritim.
Kesimpulan
Melihat potensi dan realita kemaritiman Indonesia, memaksa kita segera berbenah untuk
mengukir kembali jejak sejarah yang terhapus. Wawasan maritim, civil society, dan negara menjadi
elemen penting pembangunan negara maritim. Ketiga elemen ini memiliki peran yang berbeda dan
saling berkaitan bak analogi sistem tubuh. Elemen pertama dalam pembangunan maritim adalah
negara. Suatu tubuh membutuhkan kerangka dan urat tubuh dan urat nadi untuk berdiri tegak, yang
terejawantahkan dalam kebijakan maritim. Elemen kedua, Civil Society menjadi tulang punggung
pembangunan maritim. Elemen ketiga ini sebagai pengikat (titik temu) negara dan civil society,
yaitu wawasan maritim.Wawasan maritim (doktrin maritim) bak semangat (spirit) pembangunan
negara maritim. Tanpa adanya wawasan maritim negara dan civil society tidak akan membentuk
Indonesia sebagai negara maritim. Aktivasi wawasan maritim, civil society, dan negara menjadi tiga
elemen penting dalam perwujudan negara maritim.
Referensi
Anshoriy, N.

& Arbaningsih,

D,

2008.

Negara

Maritim

Nusantara

Jejak

yang

Terhapus,Yogyakarta: Tiara Wacana.


Hikam, M. A., 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.
Sondakh, B. K., 2010. Sejarah Maritim Indonesia: Meretas Sejarah Menegakkan Martabat
Indonesia,

Institute

for

Maritim

Studies.

diakses

pada

20

Maret

2013<http://indomaritiminstitute.org/wp-content/uploads/2010/10/Sejarah-Maritim-Indonesia.pdf>

Wahyono, 2009. Indonesia Negara Maritim. Jakarta Selatan: Teraju Anggota IKAPI.
LEMBAR BIODATA
1. Judul

: Merajut Kembali Negara Maritim Indonesia melalui

Aktivasi Tiga Elemen (Negara, Civil Society, dan Wawasan Maritim)


2. Nama

: Mutiara Ilma Islami

3. Tempat dan Tanggal Lahir

: Blitar, 9 Oktober 1992

4. Nama Perguruan Tinggi

: Universitas Gadjah Mada/ Fakultas Ilmu Sosial

Politik/ Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


5. Alamat Universitas

: Jl. Sosio-yudistia, Bulaksumur, Sleman Yogyakarta

6. Domisili

: Karangwaru Lor 126 TR II, Kota Yogyakarta

7. E-mail

: mutiara.ilma92@gmail.com

8. No. Hp

: 085755458034

Anda mungkin juga menyukai