Anda di halaman 1dari 10

BUDAYA BAHARI INDONESIA/ NUSANTARA

Apa yang dimaksud dengan Budaya Bahari Nusantara pada dasarnya selalu
diciptakan dalam konteks yang disebut oleh Jenifer L. Gaynor sebagai imajanasi politik pada
periode waktu tertentu, yaitu bagaimana rezim tertentu memandang Nusantara sebagai
kepulauan, ataukah sebagai bagian dari kesatuan teritorial Indonesia? Konsepsi tentang laut
sebagi ruang dengan fungsi tertentu sangat terikat erat dengan imajinasi tersebut. Ketika laut
merupakan laut bebas berarti ia adalah common property atau milik bersama yang
membebaskan setiap orang untuk memanfaatkannya sebagai keterampilan individu dapat
berkembang, dan dengan demikian budaya bahari pun bisa mencapai puncaknya.
Indonesia disebut sebagai Negara Kepulauan Bahari mengapa demikian, karena letaknya
yang sangat unik dan strategis dalam konfigurasi peta bahari dunia, berupa untaian pulau-pulau
yang sambung menyambung dan merentang diantara Benua Asia dan Australia serta melintang
diantara samudera Hindia dan Pasifik.
Potensi kekayaan bahari yang strategis tersebut telah memberikan keuntungan dan
kemungkinan bagi Indonesia untuk memanfaatkan aturan kovensi kebaharian internasional, yang
sebagimana diatur dalam United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 82).
Indonesia meratifikasi UNCLOS 82 dan kemudian mengukuhkannya dalam UU No. 17/1985.
Karena telah diratifikasi dalam suatu hokum yang positif, maka selanjutnya telah memiliki hak
dan wewenang penuh yang diakui oleh dunia internasional, dalam mengatur, mengelola, dan
memanfaatkan kekayaan bahari Nusantara untuk memenuhi segenap kepentingannya.
Secara geografis Indonesia sebagai Negara bahari mempunyai luas wilayah yang
membentang mulai dari 95-141 BT dan diantara 60 LU dan 110 LS. Sedangkan luas wilayah
perairan laut Indonesia tercatat kurang lebih 7,9 juta km/segi termasuk ZEE. Kalau dihitung
panjang pantai yang mengelilingi seluruh kepulauan Nusantara tercatat kurang lebih 81.000 km,
serta jumlah penduduk yang tinggak dikawasan pesisir terdapat lebih dari 40 juta orang. Namun
berdasarkan UNCLOS 82, luas wilayah perairan Indonesia meliputi kawasan laut seluas 2,8 juta
km/segi dan Wilayah Laut seluas 0,3 juta km/segi. Secara geografis kepulauan Indonesia sangat
strategis, yaitu berada pada titik persilangan antara jalur lalu lintas dan perdagangan dunia
(Samudra Pasifik dan Hindia). Sehingga secara social budaya merupakan salah satu asset dan
peluang yang sangat besar bagi pertumbuhan dan perkembangan Negara dan bangsa Indonesia.

Indonesia

mempunyai

hak

berdaulat

atas

kekayaan

alam

serta

berbagai kepentingan yang berada dalam ZEE, yang telah diakui secara internasional seluas 2,7
juta km/segi. Berdasarkan luas wilayah lautnya Indonesia tercatat sebagai Negara kepulauan
yang terbesar di dunia dengan jumlah dan konfigurasi pulau-pulau yang sangat unik dan
strategis.
Kebudayaan bahari sudah ada sejak nenek moyang bangsa Indonesia, ada beberapa bukti
yang kuat untuk mempertegas kalau nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa yang
mempunyai kebudayaan bahari. Misalnya peninggalan sejarah SM berupa bekas Kerajaan
Marina yang didirikan oleh para perantau dari Nusantara, ditemukan diwilayah Madagaskar.
Bukti ini menunjukkan dengan jelas bahwa nenek moyang bangsa Indonesia pada masa itu
ternyata telah dapat membangun kapal-kapal layar yang mampu mengarungi lautan sejauh
kurang lebih 6.500 km yang merentang dari wilayah Nusantara sampai ke Madagaskar.
Pada catatan perkembangan sejarah peradaban kebudayaan Nusantara selanjutnya
ditemukan diberbagai kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Nusantara yang pada umumnya
juga memiliki dasar nilai-nilai kebudayaan kebaharian. Kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di
Wilayah Nusantara, antara lain kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit.
Sebagai kerajaan maritime yang sangat kuat di Asia Tenggara, Sriwijaya telah
mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan serta
mengusai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan lautnya.
Angkatan laut kerajaan Sriwijaya umumnya telah ditempatkan diberbagai pangkalan strategis
dan mendapat tugas utama mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang yang berlabuh,
memungut biaya cukai, serta mencegah terjadinya pelanggaran laut diwilayah kedaulatan dan
kekuasaannya.
Kerajaan Majapahit yang didirikan Raden Wijaya berpusat di daerah Tarik, wilayah di
tepi Sungai Brantas dekat pelabuhan Canggu Laut. Kekuatan dan kemasyuran yang dimiliki oleh
Majapahit sebagai kerajaan maritime telah menyebabkan banyak kerajaan lain yang tunduk dan
memilih bersekutu dengan Majapahit. Strategi politik Majapahit adalah ingin menyatukan
kepulauan Nusantara dibawah kekuasaannya dan telah mendorongnya untuk memprioritaskan
pembangunan armada laut yang tangguh. Kebijakan politik tadi telah dikukuhkan dalam Sumpah
Amukti Palapa dari Majapahit Gadjah Mada yang intinya ingin mempersatukan seluruh wilayah
Nusantara dibawah Majapahit.

Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit mengalami masa kejayaan dan keemasan
karena telah mampu membangun berbagai kebesarannya. Hal ini dilandasi oleh ketajaman visi
kemaritiman serta kesadaran yang tinggi terhadap keunggulan strategis letak geografi wilayah
bahari Nusantara. Posisi strategis bahari Nusantara tidak muncul begitu saja, akan tetapi karena
adanya rasa bangga dan bersyukur sebagai bangsa bahari yang kuat dan besar serta dilandasi
seperangkat nilai budaya yang senantiasa berkembang.
Masa kejayaan dan emasan kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit berakhir, yang
dialami setelah masuknya VOC ke Indonesia (1602-1798). Salah satu peristiwa bersejarah yang
menandai hilangnya kejayaan budaya bahari Nusantara adalah ditandatanginya naskah Perjanjian
Giyanti pada tahun 1755 oleh pihak Belanda dengan Raja Surakarta dan Jogjakarta.
Pada tahun 1957 tercatat ada kebangkitan baru bagi kebudayaan bahari Nusantara.
Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno, dengan mendeklarasikan Wawasan
Nusantara (oleh Perdana Menteri Juanda). Inti dari Wawasan Nusantara adalah wawasan
kebangsaan bangsa Indonesia yang mengetengahkan diteguhkannya asas Negara Nusantara.
Wawasan Nusantara merupakan cara memandang bahwa wilayah laut merupakan satu keutuhan
dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada dibawahnya, serta seluruh kekayaan
yang terkandung didalamnya yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Konsep Negara Nusantara , pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto telah
dilaksanakan perjuangan diplomatis yang sangat gencar serta berkelanjutan, baik diforum
internasional maupun regional. Sehingga pada tahun 1982 gagasan mengenai Negara
Nusantara tadi berhasil mendapatkan pengakuan secara internasional, tepatnya dalam forum
konvensi PBB tentang hokum laut tahun 1982 (UNCLOS 82), serta berlaku efektif sebagai
hokum internasional positif sejak 16 Novenber 1984.
Perjuangan untuk mengembangkan kebaharian Nusantara terus dilakukan. Pada tahun
1998 Presiden BJ. Habibie kembali mendeklarasikan visi pembangunan kelautan bangsa
Indonesia dalam sebuah Deklarasi Bunaken. Inti dari deklarasi tersebut adalah pemahaman
bahwa laut merupakan peluang, tantangan, dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan,
dan pembangunan bangsa Indonesia.
Perkembangan budaya bahari Nusantara selanjutnya terjadi pada tahun 1999. Terutama
ditandai oleh Presiden Abdurrahman Wahid yang menyatakan komitmennya terhadap
Pembangunan Kelautan di Indonesia. Komitmen pembangunan di bidang maritime makin

menampakkan harapan yang cerah dengan dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP) dan dikembangkannya Dewan Kelautan Nasional (DKN) menjadi Dewan Maritim
Indonesia (DMI).
Sebaliknya ketika laut mulai diteritorialisasikan oleh negara, maka ruang gerak
individu pun menjadi terbatas. Perdebatan tentang laut bebas dan laut terbatas ini merupakan
perdebatan yang tidak pernah selesai, dan ini selalu terefleksi dalam konflik-konflik kenelayanan
yang terjadi dalam paling tidak satu decade terakhir. Upaya pemerintah untuk menghidupkan
kembali Budaya Bahari Nusantara atau lebih tepatnya mengembalikan kejayaan Nusantara
pada prinsipnya memerlukan prasyarat menemukan titik temu dari perdebatan antara dua
perspektif tentang laut di

atas, agar tidak satu pihak bisa mengakomodasi kebebasan para

pelaut dalam mengembangkan keterampilannya dan di lain pihak bisa memenuhi kebutuhan
negara untuk menjaga kedaulatan wilayahnya.
Kebudayaan bahari terdiri dari bagian/ unsur-unsurnya saling terkait membentuk satu
kesatuan menyeluruh (holistic). Unsur-unsur tersebut berupa sistem-sistem ideasional/ kognitif/
mental (gagasan, pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma, moral, emosi, dan perasaan kolektif,
refleksi/intropeksi diri, intuisi), bahasa, kelompok/organisasi sosial, ekonomi teknologi, seni dan
realigi berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa laut. Setiap
unsur kebudayaan maritim tersebut mengandung dan dapat dianalisis dalam tiga wujud
kebudayaan, yakni sistem budaya, sistem sosial, dan budaya materialnya. Jadi, untuk mengkaji
dan membangun budaya bahari nusantara maka harus dipahami dan dilihat dalam konteks
keseluruhannya, bukan secara parsial atau sering disebut berpikir holistik.
Secara geografis, Indonesia, sebagai negara bahari (archipelagic state), mempunyai luas
wilayah yang membentang mulai dari 95 sampai dengan 141 BT dan diantara 60 LU sampai
110 LS. Sedangkan luas wilayah perairan laut Indonesia tercatat mencapai kurang lebih 7,9 juta
km2 (termasuk ZEE). Kalau dihitung, panjang pantai yang mengelilingi seluruh Kepualaun
Nusantara tercatat kurang lebih 81.000 km, serta jumlah penduduk yang tinggal di kawasan
pesisir terdapat lebih dari 40 juta orang. (144 juta masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir,
dan memanfaatkan kekayaan laut yang melimpah) dalam sebuah majalah Berita Indonesia
terbitan tahun 2007.
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa lalu, Indonesia memiliki pengaruh yang sangat
dominan di wilayah Asia Tenggara, terutama karena adanya kekuatan maritim besar di bawah

Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Majapahit. Selain itu, banyak bukti prasejarah di pulau Muna,
Seram dan Arguni yang diperkirakan merupakan hasil budaya manusia sekitar tahun 10.000
sebelum masehi! Bukti sejarah tersebut berupa gua yang dipenuhi lukisan perahu layar. Ada pula
peninggalan sejarah sebelum masehi berupa bekas kerajaan Marina yang didirikan perantau dari
Nusantara yang ditemukan di wilayah Madagaskar. Tentu pengaruh dan kekuasaan tersebut
dapat diperoleh bangsa Indonesia waktu itu karena kemampuan membangun kapal dan armada
yang layak laut, bahkan mampu berlayar sampai lebih dari 4.000 mil.
Selain Sriwijaya dan bahkan sebelum Majapahit, Kerajaan Singosari juga memiliki
armada lau yang kuat dan mengadakan hubungan dagang secara intensif
dengan wilayah sekitarnya. Kita mengetahui strategi besar Majapahit mempersatukan wilayah
Indonesia melalui Sumpah Amukti Palapa dari Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit telah
banyak mengilhami pengembangan dan perkembangan nilai-nilai luhur kebudayaan Bangsa
Indonesia sebagai manifestasi sebuah bangsa bahari yang besar.
Sayangnya, setelah mencapai kejayaan budaya bahari Indonesia terus mengalami
kemunduran, terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial
Belanda ke Indonesi. Perjanjian Gayanti pada tahun 1755 antara Belanda dengan Raja Surakarta
dan Jogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan perdagangan hasil
wilayahnya kepada Belanda. Sejak itu, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa
Indonesia, dan pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan.
Tragedi Giyanti menjadi awal dari proses disorientasi karakter budaya bangsa Indonesia
dari bahari dengan dukungan agraris menjadi bangsa agraris saja. Proses ini sangat dinantikan
dan diharapkan oleh VOC/Belanda, karena dengan demikian bangsa Indonesia yang sebelumnya
menguasai lautan dan perdagangan internasional dan mendapatkan keuntungan darinya, secara
sistemik memiliki kesadaran baru bahwa ia bukan bangsa dengan karakter budaya bahari dan
agraris tetapi bangsa yang hanya berkarakter budaya agraris.
Kesadaran baru ini dipupuk terus hingga kini secara komprehensif melalui berbagai jalur
pendekatan di bidang ekososbudhankam yang digelar, baik oleh pemerintah kolonial maupun
pemerintah Indonesia sesudah 1945, dan juga oleh masyarakat. Internalisasi yang dilakukan
secara masif, terorganisir, terus menerus dan dalam periode waktu yang lama, walaupun itu
sebuah kesalahan atau kebohongan, sebagaimana diyakini oleh Joseph Goebbels , akan menjadi
sebuah kebenaran yang diyakini oleh seluruh masyarakat.

Secara ringkas Roadmap Indonesia sebagai Negara Kepulauan dapat dilihat dari
perkembangannya sebagai berikut:

Tahun 1939, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ketentuan TZMKO (Territoriale


Zee en Maritiem Kringen Ordonantie), yang menetapkan wilayah laut Indonesia hanya 3
mil dari garis batas pantai di setiap pulau.

13 Desember 1957, dicetuskan Deklarasi Djuanda oleh Perdana Menteri Ir H Djuanda,


yang menetapkan wilayah laut Indonesia 30 mil dari garis batas pantai di setiap pulau,
hingga menempatkan Indonesia sebagai Negara Kepulauan terbesar kedua di dunia.

Tahun 1960, keluar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4/1960 tentang
Perairan Indonesia.

Tahun 1961, keluar Undang-Undang No. 19/1961 tentang Persetujuan Atas Tiga
Konvensi Jenewa Tahun 1958 mengenai Hukum Laut.

Tahun 1982, PBB menyepakati Konvensi PBB Tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Tahun 1983, keluar Undang-Undang No. 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia.

18 Desember 1996, Menristek BJ Habibie di Makassar membacakan pidato Presiden RI


yang dikenal dengan konsepsi pembangunan Benua Maritim Indonesia.

Tahun 1996, keluar Keppres No. 77/1996 tentang Dewan Kelautan Nasional.

Tahun 1998, Presiden BJ Habibie mendeklarasikan visi pembangunan kelautan Indonesia


dalam Deklarasi Bunaken.

26 Oktober 1999, Presiden KH Abdurrahman Wajid mendirikan Departemen Eksplorasi


Laut, dipimpin untuk pertama kali oleh Sarwono Kusumaatmadja.

13 Desember 1999, Presiden KH Abdurrahman Wahid mencanangkan 13 Desember


sebagai Hari Nusantara.

Desember 1999, Departemen Eksplorasi Laut berubah nama menjadi Departemen


Eksplorasi Laut dan Perikanan.

Tahun 1999, keluar Keppres No. 161/1999 tentang Dewan Maritim Indonesia.

Tahun 2001 awal, Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan berubah nama menjadi
Departemen Kelautan dan Perikanan.

11 Desember 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keppres No.


126/2001, yang menetapkan 13 Desember sebagai Hari Nusantara dan meresmikannya
sebagai perayaan nasional.

Tahun 2004, keluar Undang-Undang No. 31/2004 tentang Perikanan.

Tahun 2006, keluar Undang-Undang No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan, dan Kehutanan.

Tahun 2006, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi mengeluarkan Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17/2006, sebuah deregulasi yang meningkatkan
iklim usaha dan investasi di bidang kelautan dan perikanan yang lebih berpihak kepada
industri dalam negeri.

5 Februari 2007, keluar Undang-Undang No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan


Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, yang memuat misi Indonesia sebagai
Negara Kepulauan yang Maju, Mandiri, Adil dan Makmur.

21 September 2007, keluar Keppres No. 21/2007 tentang Dewan Kelautan Indonesia.

4 Oktober 2007, diresmikan pembentukan Peradilan Perikanan.

Tahun 2007, keluar Undang-Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil.

26 Oktober 2007, Indonesia memperingati Sewindu Departemen Kelautan dan Perikanan,


berlangsung di STP Jakarta dengan mengambil tema, Sewindu DKP Bersama Anak
Bangsa Membangun Negeri.

13 Desember 2007, Indonesia memperingati Hari Nusantara 2007 dan Tahun Emas
Deklarasi Djuanda.
Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) ketika masih bernama Dewan Maritim Indonesia

(DMI), melalui majalah internal Maritim Indonesia edisi Juli 2007 menyebutkan, laut Indonesia
menyimpan potensi kekayaan yang dapat dieks-ploitasi senilai 156.578.651. 400 dollar AS per
tahun. Jika dirupiahkan dengan kurs Rp 9.300 per 1 dollar AS, angka itu setara dengan Rp 1.456
triliun.
Jika dianalogikan secara sederhana, jumlah potensi laut yang Rp 1.456 triliun lebih itu
hampir dua kali lipat APBN tahunan Indonesia. Hal itu berarti, dengan mengeksploitasi potensi

laut saja Indonesia sanggup menjalankan roda pemerintahan dengan kemampuan anggaran yang
dua kali lipat kekuatannya.
Walaupun demikian, kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional dinilai masih
rendah. Pada tahun 1998 sektor kelautan hanya menyumbang 20,06 persen ter-hadap PDB,
itupun sebagian besarnya atau 49,78 persen disumbangkan oleh subsektor pertambangan minyak
dan gas bumi di laut. Ini menunjukkan bahwa kekayaan laut Indonesia yang sangat besar itu
masih disia-siakan potensinya. Berbeda dengan negara kepulauan lain seperti RRC, AS, dan
Norwegia, yang sudah memanfaatkan laut sedemikian rupa hingga memberikan kontribusi di
atas 30 persen terhadap PDRB nasional mereka.
Demikianlah, kebaharian bangsa Indonesia yang sangat menguntungkan dipandang dari
berbagai aspek kehidupan sebagai sebuah bangsa dan sudah berumur ribuan tahun, menjadi
terpuruk. Kini bangsa Indonesia menjadi penonton dari berbagai keuntungan yang lewat di depan
mata dan dinikmati bangsa-bangsa lain dari kekayaan budaya bahari yang seharusnya dimiliki
dan dikuasai bangsa Indonesia. Hal ini terjadi semata karena bangsa ini percaya bahwa dirinya
adalah bangsa berkarakter budaya agraris dan bukan bangsa bahari.
Celakanya, para elit pemimpin bangsa sendirilah yang memimpin pengingkaran dan
penipuan jatidiri ini dengan segala sepakterjang kebijakan yang diambilnya. Sebagai contoh
terbaru dari pengingkaran ini adalah rencana pembelian kapal selam yang tadinya dari Rusia tipe
Kilo, kemudian dibatalkan dan diganti dengan pembelian dari Korea Selatan dengan tipe kecil
Chongbogo.
Kompleksitas fenomena sosial budaya, terutama berkaitan dengan beragamnya kelompok
dan kategori sosial terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam pemanfaatan sumberdaya
dan lingkungan laut serta beragamnya sektor mata pencaharian terkait laut menjadi alasan lebih
cocok memilih term budaya bahari daripada term-term budaya maritim dan budaya marin
dalam rangka pengkajian ilmiah. Term kedua menurut perasaan linguistik Eropah lebih mengacu
kepada kegiatan pelayaran, sedangkan term ketiga diacukan kepada aktivitas menangkap ikan
semata (Nishimura, 1976). Jika kedua term asing diaplikasikan secara konsisten, kedua wilayah
studi tersebut akan saling eksklusif, yang berarti bagian-bagian tertentu dari kedua subjeknya
tereduksi. Konsep budaya bahari akan mencakup semua fenomena dan untuk pembatasan dan
penyederhanaan subjek kajian kiranya dilakukan fokus-fokus studi pada setiap atau beberapa
fenomena sosial budaya yang kompleks tersebut.

Dalam rangka deskripsi, penjelasan dan analisis fenomena budaya bahari yang kompleks kiranya
lebih memadai memanfaatkan konsep tiga wujud kebudayaan (sistem gagasan, sistem sosial,
budaya material) dari Koentjaraningrat daripada melakukan reduksi wujud kedua dan ketiga
seperti dilakukan para antropolog kognitif (Goodenough, 1961: 522; Keesing, 1981: 68) dan
simbolik (Geertz dalam Harris, 1999: 20) ) atau secara berlebihan menekankan pada
pertimbangan rasional biaya dan keuntungan (cost-benefit considerations) seperti dilakukan para
penganut materialis budaya (Harris, 1999: 19). Sebuah formulasi batasan budaya secara jelas
mencakup ketiga wujud tersebut dikemukakan oleh Koentjaraningrat sebagaikeseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980: 193).
Meskipun konsep moderat seringkali dikritik oleh para penganut kognitivisme dan simbolisme
karena dinilai mencakup segalanya, namun konsep tiga wujud kebudayaan justru sebetulnya
memadai sebagai model deskripsi atau analisis karena tidak mengurangi dan tidak melampaui
fenomena sosial budaya ke atas dan ke bawah. Bahkan kalau mendengarkan perbincangan
masyarakat lokal pada semua tingkatan, kebudayaan yang mereka pahami ternyata meliputi tiga
wujud seperti dikonsepsikan oleh Koentjaraningrat. Memadainya konsep tiga wujud kebudayaan
untuk analisis fenomena sosial budaya juga pernah diungkapkan Ignas Kleden dalam acara
seminar pada Kongres Asosiasi Antropologi Indonesia di Hotel Indonesia, 1996.
Mengacu kepada konsep tiga wujud dan definisi budaya tersebut, untuk studi fenomena sosial
budaya bahari yang kompleks, maka budaya bahari difahami sebagai sistem-sistem gagasan/ide,
prilaku/tindakan dan sarana/ prasarana fisik yang digunakan oleh masyarakat pendukungnya
(masyarakat bahari) dalam rangka pengelolaan pemanfaatan sumberdaya

alam dan

merekayasajasa-jasa lingkungan laut bagi kehidupannya. Budaya bahari mengandung isi/unsurunsurnya berupa sistem-sistem pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma/aturan, simbol
komunikatif, kelembagaan, teknologi dan seni berkaitan kelautan. Adapun kelemahan-kelemahan
dibagi bersama berbagai perspektif berupa asumsi-asumsi tentang homogeniti, ketertutupan,
totalitas, keseimbangan, normatif, esensialis, abstrak dan general, yang dalam penjelasan tidak
atau kurang empirik kiranya bisa diatasi dengan konsep kreasi dan dinamika budaya dari
Sanjek dan mode penjelasan kontekstualis progresif dari A.P.Vayda (1988; 1992).

Kerumitan fenomena sosial budaya, khususnya budaya bahari, terutama dalam proses dinamika,
berubah dan bertahannya sebagaimana digambarkan di muka kiranya dapat dijelaskan dan
dianalisis dengan konsep proses kreasi dan dinamika seperti dinyatakan oleh Sanjek (dalam
Borofsky, 1994: 313) bahwa kebudayaan is under continuous creation fluid,
interconnected, diffusing, interpenetrating, homogenizing, diverging, hegemonizing, resisting,
reformulating, creolizing, open rather then closed, partial rather then total, crossing its own
boundaries, persisting where we dont espect it to, and changing where we do. Kelihatannya
kompleksitas proses kreasi dan dinamika budaya tersebut relatif bisa mengenai semua sisi realita
sosial budaya, sehingga perangkat-perangkat proses kreasi tertentu kalau bukan sepenuhnya bisa
digunakan sebagai model deskripsi dan eksplanasi dengan konsep atau perspektif budaya
tertentu. Tidak menjadi masalah, apakah proses kreasi budaya dimaksudkan oleh Sanjek pada
dimensi kognitif dan simbolik, meliputi pikiran dan prilaku, atau ketiga wujud gagasan, prilaku
sosial dan material. Kelihatannya bahwa setiap dari penganut dapat memanfaatkan konsep dari
Sanjek tersebut hingga pada batas-batas tertentu. Memadukan berbagai kekuatan dari berbagai
perspektif, termasuk perspektif-perspektif teoritis berlawanan sekalipun, kalau memang relevan
dengan masalah yang dikaji merupakan langka penyelamatan jika tidak mau menanggung risiko
dengan mengandalkan suatu perspektif teoritis tunggal (Barnard, 2000: 174-175).

Anda mungkin juga menyukai