PENDAHULUAN
Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalahmasalah yang
terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat
transportasi umum yang memadai. Sebagaimana umumnya kota megapolitan, Jakarta
memiliki masalah stress, kriminalitas dan kemiskinan. Penyimpangan peruntukan lahan
dan privatisasi lahan telah menghabiskan persediaan taman kota sehingga menambah
tingkat stress warga Jakarta. Kemacetan lalu lintas, menurunnya interaksi sosial karena
gaya hidup yang individualistik juga menjadi penyebab stress.
Tata ruang kota yang tidak partisipatif dan tidak humanis menyisakan ruang-
ruang sisa yang mengundang tindak laku kriminalitas. Penggusuran kampung miskin
dan penggusuran lahan usaha informal oleh pemerintah adalah penyebab aktif
kemiskinan di Jakarta. Tata ruang kota yang sering berubah-ubah, menyebabkan polusi
udara dan banjir sulit dikendalikan. Walaupun pemerintah telah menetapkan wilayah
selatan Jakarta sebagai daerah resapan air (Perda Nomor 1 Tahun 2012), namun
ketentuan tersebut sering dilanggar dengan terus dibangunnya perumahan serta pusat
bisnis baru.
1
Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus
pulau Indonesia. Kedua, menghilangkan sentralistik Jawa. Ketiga, pembangunan di
Jakarta dan Jawa adalah konsep peninggalan Belanda, dan Soekarno ingin
membangun sebuah ibu kota dengan konsepnya sendiri. Bukan peninggalan penjajah,
tapi sesuatu yang orisinil.
Satu hal lagi, seperti Jakarta yang punya Ciliwung, Palangkaraya juga punya
sungai Kahayan. Soekarno ingin memadukan konsep transportasi sungai dan jalan
raya, seperti di negara-negara lain. Ia juga ingin Kahayan secantik sungai-sungai di
Eropa. Di mana warga dapat bersantai dan menikmati keindahan kota yang dialiri
sungai. "Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal dan model," ujar Soekarno saat
pertama kali menancapkan tonggak pembangunan kota ini pada 17 Juli 1957.
"Janganlah mendirikan bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan. Sebab lahan itu
hendaknya diperuntukkan bagi taman, sehingga pada malam hari terlihat kerlap-kerlip
lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut," tambahnya. Untuk
mewujudkan ide tersebut, Soekarno bekerjasama dengan Uni Soviet. Para insinyur dari
Rusia pun didatangkan untuk membangun jalan raya di lahan gambut. Pembangunan
ini berjalan dengan baik. Tapi seiiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia di
awal 1960-an, pembangunan Palangkaraya terhambat.
2
1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan
3
BAB II
ANALISIS SITUASI
Apakah wacana pindah ibukota ini hanya sekedar wacana yang setiap banjir
akan terulang seperti ini? Kemudian akan muncul pertanyaan, sesungguhnya apa
esensi krusial dari wacana pemindahan ibu kota? Jika ibu kota akan dipindah, tentu
akan ada efek bagi daerah yang didatangi dan daerah yang ditinggalkan. Wacana
pemindahan ibu kota ini bukan merupakan isu yang baru muncul. Namun yang
menjadikannya ramai diperbincangkan adalah bahwa wacana pemindahan Ibukota ini
adalah suatu isu yang penting dan besar, namun pemerintah tidak secara serius
menyikapinya.
Bahkan sampai saat ini belum ada pusat kajian yang cukup komprehensif dan
punya concern pada isu tersebut. Terlebih lagi instansi yang menghasilkan kajian yang
dapat menjadi masukan dalam policy making. Dan jika dikaji lagi, siapa yang
bertanggungjawab terhadap wacana pemidahan ibukota? Ini adalah contoh isu “yang
dalam pandangan pembicara bukan autopilot” namun fragmented.
4
Militer II, Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Bahkan para pimpinan Negara juga
ditangkap.
Di era Presiden Prof. Dr. Ing. Baharuddin Jusuf Habibie, KH. Abdurrahman
Wahid, dan Hj. Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri, ide itu sama sekali
tidak pernah muncul. Kemudian pada era Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono. Sejak
2009 lalu, Presiden SBY terbuka dan tidak tabu untuk berdiskusi atas wacana
perpindahan ibukota negara. Bahkan SBY telah mengajukan tiga skenario
perpindahan ibukota yang perlu didiskusikan oleh publik. Skenario pertama adalah
mempertahankan Jakarta sebagai ibukota, pusat pemerintahan, sekaligus kota ekonomi
dan perdagangan. Pilihanatas opsi ini berkonsekuensi pada pembenahan total atas
soal macet. Skenario kedua, membangun ibukota yang benar-benar baru (totally new
capital). Dan skenario ketiga adalah ibukota tetap di Jakarta, tapi memindahkan pusat
pemerintahan ke lokasi lain. Presiden SBY mengajak semua komponen bangsa untuk
membahas secara terbuka, matang, dan komprehensif atas wacana ini. Karena itu,
kebijakan perpindahan ibukota dan pergeseran pusat pemerintahan harus menjangkau
strategi jangka panjang bangsa.
Berdasarkan hal tersebut diatas, tidaklah salah jika perlu dirumuskan secara
matang, bukan hanya sekadar perbincangan musiman ketika Jakarta dilanda banjir,
namun harus segera diimplementasikan baik dalam rancangan undang-undang,
sehingga anggaran negara yang sekarang dapat disisihkan sebagian untuk rencana
besar tersebut.
5
BAB III
ALTERNATIF KEBIJAKAN
PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA/PUSAT PEMERINTAHAN
Kemacetan dan banjir yang kian lama kian bertambah parah terjadi di Ibukota
Jakarta menjadikan wacana pemindahan ibukota ke kota lain menghangat kembali.
Meskipun demikian, tak sedikit pula warga yang berpendapat sebaliknya. Berbagai
permasalahan maupun segala kelebihanyang ada di Jakarta membuat pro dan kontra
pemindahan ibukota menjadi topik menarik untuk ditelisik. Ada tiga skenario yang bisa
dipilih. Pertama, ibukota tetap di Jakarta tetapi dibenahi secara total. Kedua, ibukota
tetap di Jakarta tetapi pusat pemerintahan pindah ke lokasi lain. Ketiga, dibangunnya
ibukota yang sama sekali baru.
Pemindahan ibukota dan pusat pemerintahan perlu kajian yang matang dan
mendalam karena menyangkut berbagai aspek, bukan sekedar membangun gedung-
gedung semata. Biayanya sangat mahal dan implikasinya luas. Ibukota yang baru harus
memiliki daya dukung yang mampu menyangga beban sebagai ibukota, bukan hanya
daya dukung terhadap roda pemerintahan, namun juga terhadap perekonomian, sosial,
serta budaya. Selain itu, jangan dilupakan pula potensi konflik antara warga asli yang
akan menjadi minoritas dengan warga pendatang. Sebagai contoh, pemindahan ibu
kota baru Myanmar, Nay Pyi Taw, yang artinya Kota Raja, yang dilaksanakan pada
tahun 2005, menurut sumber dari media luar negeri, terkesan tergesa-gesa karena
infrastruktur seperti listrik, jalan, dan air bersih di ibukota yang baru belum rampung.
Keadaan sebenarnya kini tidak bisa dipastikan karena kontrol media yang ketat dari
pemerintahnya. Contoh lainnya adalah Brasilia, ibukota Negara Brasil. Tahun 1960,
Presiden Juscelino Kubitschek, memindahkan ibukota dari Rio de Janeiro ke Brasilia.
Dari masa awal saja, pemerintah sudah susah payah untuk memindahkan fungsi-fungsi
pemerintahan. Bahkan, hingga 20 tahun sesudah perpindahan itu, pemerintah masih
6
harus memberi insentif agar orang-orang mau pindah ke ibukota baru. Susahnya
memindahkan ibukota juga bisa dilihat di Korea Selatan pertengahan tahun 2010 lalu,
dimana timbul kisruh politik akibat penolakan pemindahan ibukota dari Seoul ke Sejong.
Alasan pemindahan ibukota tersebut juga nyaris sama dengan wacana di sini yaitu soal
kemacetan di ibukota dan usaha pengurangan disparitas antarregional di negara itu.
Mengingat kesiapan dan kemampuan ekonomi Korea Selatan yang lebih baik
dibandingkan negara kita, kondisi yang terjadi di negara ginseng ini menunjukkan
bahwa pemindahan ibukota bukanlah perkara gampang. Sehingga bisa disimpulkan,
skenario memindahkan ibukota belum tentu merupakan obat mujarab terhadap
permasalahan yang dihadapi ibukota saat ini.
Dibutuhkan kajian yang komprehensif perihal berbagai opsi lokasi dari pusat
pemerintahan baru ini. Faktor jarak antara Jakarta sebagai ibukota dan pusat
pemerintahan baru, khususnya terkait dengan infrastruktur wilayah, jaringan
transportasi yang terpadu, serta prasarana pendukung lainnya perlu dipertimbangkan.
Mungkin kota-kota satelit atau di luar sekitarnya (Jabodetabekjur), atau Jonggol, sesuai
rencana pada zaman orde baru, bisa menjadi pilihan alternatif sebagai pusat
pemerintahan negara kita yang baru, sembari membenahi sistem transportasi Jakarta
dengan pembangunan Mass Rapid Transportation (MRT), seperti monorel, subway,
dan busway yang terintegrasi dan pelaksanaan kebijakan penataan ruang yang sesuai
dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabek Punjur).
Selain membenahi sistem transportasi Jakarta yang terintegrasi, dari dan ke kota
satelit perlu dibangun juga infrastruktur jalan penghubung yang memadai seperti sistem
jalan lingkar dan radial. Jaringan penghubung (lingkar, radial) saat ini sudah disiapkan
pemerintah, sehingga akan memudahkan pemindahan pusat pemerintahan. Adanya
jalan penghubung ini, memiliki fungsi peran strategis yang mampu mengurangi beban
ibukota negara yang kini dihuni oleh sekitar 10 juta jiwa. Dengan demikian diharapkan
kawasan Jabodetabekjur bisa cepat berkembang menjadi kawasan hunian yang aman,
nyaman dan produktif. Pada akhirnya tekanan kepada Jakarta sebagai Ibukota Negara
akan jauh berkurang.
7
3.3 Membangun Ibukota Negara dan Pusat Pemerintahan Baru di
Luar Jakarta
Secara keruangan Jakarta sudah terlalu padat penduduk. Sebagai pusat
pemerintahan, perdagangan, perindustrian, dan pariwisata, mengakibatkan tata
ruangnya menjadi semrawut serta banyak terjadi pemanfaatan lahan yang saling
kontradiktif. Pembangunan fisik terus dipacu tanpa arah yang jelas. Rencana Umum
Tata Ruang (RUTR) yang sedemikian bagus disusun Bang Ali, (1966-1977), dengan
mudahnya dapat berubah sehingga banyak peruntukan kota yang dilanggar. Banyak
situ-situ yang berfungsi sebagai penampung air hilang menjadi perumahan. Program
proyek kali bersih (prokasih) macet total. Tiga belas kali/sungai yang membelah kota ini
tetap menjadi kubangan sampah. Kemacetan lalu lintas setiap saat, dan banjir yang
setiap tahun terjadi menunjukkan bahwa tataruang kurang memperhatikan karakteristik
lahan serta kurang mengakomodasikan kepentingan masyarakat.
Dalam skenario ini, negara membangun ibukota negara yang baru dan
menetapkan pusat pemerintahan baru di luar wilayah Jakarta, sedangkan Jakarta
hanya dijadikan sebagai pusat bisnis. Skenario radikal memerlukan strategi
perencanaan yang komprehensif dengan berbagai opsi penentuan calon ibukota baru.
Guna memutuskan pilihan yang ideal, perlu keterlibatan para pemangku kepentingan,
seperti pemerintah daerah, dunia usaha, kalangan universitas, dan lembaga swadaya
masyarakat, untuk memberikan masukan bagi penyempurnaan kajian-kajian yang
dilakukan oleh pemerintah. Ada tiga alasan umum pemindahan ibukota, yaitu:
pertimbangan politik, pertimbangan sosio-ekonomi dan pertimbangan fisik.
Pertimbangan politik seringkali menjadi pertimbangan utama dalam pemindahan
ibukota.
8
Pertimbangan sosio-ekonomi menjadi pertimbangan penting dalam
memindahkan ibukota, khususnya untuk mengurangi ketimpangan wilayah dalam suatu
negara. Diharapkan dengan pembangunan ibukota baru dapat mengembangkan
kawasan baru yang dapat mengurangi pemusatan kegiatan di lokasi ibukota yang lama.
Keterbatasan kondisi fisik di ibukota lama juga menjadi pertimbangan pemindahan
ibukota. Ibukota lama dianggap tidak mampu menyediakan infrastruktur dan fasilitas
perkotaan yang memadai serta memiliki harga lahan yang tinggi.
BAB IV
SKENARIO TERPILIH DAN STRATEGI IMPLEMENTASI
Ide pemindahan ibukota negara telah banyak dibicarakan berbagai pihak sejak
beberapa tahun lalu. Bahkan pada saat kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta
pada tahun 2007 mulai banyak dibahas wacana pemindahan ibukota negara menyusul
banjir besar yang melanda Jakarta pada bulan Februari 2007. Pasalnya, Jakarta
dianggap tidak mampu mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu lintas yang akan
mengganggu peran Jakarta sebagai ibukota negara. Bahkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mulai membicarakan wacana pemindahan ibukota -negara dari Jakarta
ketika menghadiri Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh
Indonesia (APPSI) di Palangkaraya pada awal Desember 2009. Menurut SBY, beban
fungsi pelayanan dan kelayakan Jakarta sebagai ibukota negara makin berat.
Pembahasan pemindahan ibukota negara harus dikaji dari berbagai aspek dan tidak
hanya melihat faktor kemacetan di Jakarta sebagai alasan pemindahan ibukota negara,
tetapi juga dilihat sebagai upaya strategis untuk mendistribusikan pembangunan secara
merata. (Kompas, 5 Agustus 2010). Seperti telah dibahas pada bab sebelumnya, ada
tiga skenario dalam pemindahan ibukota negara, yakni :(1) tetap mempertahankan
Jakarta sebagai ibukota negara dan dilakukan pembenahan terhadap semua
permasalahan; (2) memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru; (3)
memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di luar Jakarta.
Tulisan ini mencoba untuk menetapkan skenario terpilih dengan menggunakan model
penilaian yang dituangkan dalam tabel penilaian alternatif kebijakan. Dalam model ini,
ada empat kriteria penilaian kebijakan, yaitu:
9
akan mendukung implementasi kebijakan program; apakah tersedia sarana untuk
melaksanakan kebijakan program; dan apakah kebijakan dapat dilaksanakan tepat
waktu. Penjabaran penilaian kebijakan untuk masing-masing skenario sebagai
berikut:
(3) Memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di luar
Jakarta.
Technical feasibility: Tujuan mendapatkan ibukota negara yang layak dapat tercapai
jika ibukota yang baru memiliki daya dukung yang mampu menyangga beban sebagai
ibukota, selain itu juga harus mempunyai daya dukung terhadap roda pemerintahan,
perekonomian, sosial, serta budaya.
Economic and financial feability: Biayanya sangat mahal untuk membuat ibukota
negara yang baru dan juga untuk membangun infrastruktur perkantoran milik
pemerintah dan BUMN.
Political viability: Ada kemungkinan terjadi potensi konflik antara warga asli yang akan
menjadi minoritas dengan warga pendatang.
Administrative operability: Belum diketahui karena memulai sesuatu yang baru.
10
Berdasarkan model penilaian diatas, Penulis memutuskan untuk memilih
skenario yang pertama, yaitu: “Tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara
dan pusat pemerintahan”. Hal ini didukung dari poin yang diperoleh pada kriteria
technical feasibility, economic and financial feability, serta administrative operability.
Artinya, tujuan menjadikan Jakarta sebagai kota yang layak untuk dijadikan ibukota
negara dan pusat pemerintahan tetap dapat tercapai asalkan dilakukan pembenahan
terhadap semua permasalahan, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan,
kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah. Biaya hanya dibutuhkan untuk
menata, membenahi, dan memperbaiki berbagai persoalan Jakarta, dan mungkin untuk
membangun “gula-gula ekonomi baru” di luar Jakarta sehingga tekanan terhadap
ibukota negara menjadi berkurang. Sementara pada konteks administrasi yang berlaku,
Jakarta bukan hanya memiliki daya dukung terhadap roda pemerintahan, namun juga
terhadap perekonomian, sosial, serta budaya. Potensi konflik yang terjadi
kemungkinannya sangat kecil karena warga Jakarta adalah warga yang multi etnis.
BAB V
PENUTUP
11
Keputusan pemindahan ibukota negara akan menjadi proyek public terbesar dan
terpenting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Skenario yang dipilih Penulis
adalah “Tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat
pemerintahan”. Dengan alasan, tujuan menjadikan Jakarta sebagai kota yang layak
untuk dijadikan ibukota Negara dan pusat pemerintahan tetap dapat tercapai asalkan
dilakukan pembenahan terhadap semua permasalahan, seperti kemacetan, urbanisasi,
degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah. Biaya
hanya dibutuhkan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki berbagai persoalan
Jakarta, dan mungkin untuk membangun “gula-gula ekonomi baru” di luar Jakarta
sehingga tekanan terhadap ibukota negara menjadi berkurang. Sementara pada
konteks administrasi yang berlaku, Jakarta bukan hanya memiliki daya dukung
terhadap roda pemerintahan, namun juga terhadap perekonomian, sosial, serta budaya.
Potensi konflik yang terjadi kemungkinannya sangat kecil karena warga Jakarta adalah
warga yang multi etnis.
12
Daftar Pustaka
13