Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, dimana Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Presiden dipilih
langsung oleh masyarakat. Indonesia disebut juga sebagai negara kepulauan terbesar
di dunia yang terdiri dari 13.487 pulau, oleh karena itu disebut sebagai Nusantara.
Dengan populasi sebesar 237 juta jiwa pada tahun 2010. Indonesia adalah Negara
berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk muslim terbesar
di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara islam.

Di indonesia terdapat lima pulau yaitu pulau Sumatera, Jawa, kalimantan,


Sulawesi dan Papua. Serta mempunyai masyarakat plural terbesar terdiri dari
bermacam-macam suku bangsa, budaya dan agama. Indonesia terdiri dari 33 provinsi
yang terbentang luas di khatulistiwa, dipisahkan oleh lautan luas dan kaya akan hasil
alam. Berdasarkan undang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 1964,
ditetapkannyalah Jakarta sebagai ibukota negara yang di sahkan tanggal 31 Agustus
1964 oleh presiden Soekarno pada saat itu. Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota,
penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja
kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Pemerintah pun mulai
melaksanakan program pembangunan proyek besar, seperti membangun pemukiman
masyarakat, dan mengembangkan pusat-pusat bisnis kota.

Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalahmasalah yang
terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat
transportasi umum yang memadai. Sebagaimana umumnya kota megapolitan, Jakarta
memiliki masalah stress, kriminalitas dan kemiskinan. Penyimpangan peruntukan lahan
dan privatisasi lahan telah menghabiskan persediaan taman kota sehingga menambah
tingkat stress warga Jakarta. Kemacetan lalu lintas, menurunnya interaksi sosial karena
gaya hidup yang individualistik juga menjadi penyebab stress.
Tata ruang kota yang tidak partisipatif dan tidak humanis menyisakan ruang-
ruang sisa yang mengundang tindak laku kriminalitas. Penggusuran kampung miskin
dan penggusuran lahan usaha informal oleh pemerintah adalah penyebab aktif
kemiskinan di Jakarta. Tata ruang kota yang sering berubah-ubah, menyebabkan polusi
udara dan banjir sulit dikendalikan. Walaupun pemerintah telah menetapkan wilayah
selatan Jakarta sebagai daerah resapan air (Perda Nomor 1 Tahun 2012), namun
ketentuan tersebut sering dilanggar dengan terus dibangunnya perumahan serta pusat
bisnis baru.

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, yang pernah melontarkan ide


memindahkan ibukota negara ke Kalimantan Tengah. Persisnya ke kota Palangkaraya,
yang dibelah oleh sungai Kahayan. Mimpi Presiden Soekarno untuk memindahkan
ibukota Negara itu dilontarkan pada tahun 1950-an. Saat itu, putra sang fajar tersebut
sudah meramalkan bahwa Jakarta akan tumbuh tak terkendali. Ada beberapa
pertimbangan Soekarno memilih Palangkaraya sebagai ibukota negara. Pertama,

1
Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus
pulau Indonesia. Kedua, menghilangkan sentralistik Jawa. Ketiga, pembangunan di
Jakarta dan Jawa adalah konsep peninggalan Belanda, dan Soekarno ingin
membangun sebuah ibu kota dengan konsepnya sendiri. Bukan peninggalan penjajah,
tapi sesuatu yang orisinil.

Satu hal lagi, seperti Jakarta yang punya Ciliwung, Palangkaraya juga punya
sungai Kahayan. Soekarno ingin memadukan konsep transportasi sungai dan jalan
raya, seperti di negara-negara lain. Ia juga ingin Kahayan secantik sungai-sungai di
Eropa. Di mana warga dapat bersantai dan menikmati keindahan kota yang dialiri
sungai. "Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal dan model," ujar Soekarno saat
pertama kali menancapkan tonggak pembangunan kota ini pada 17 Juli 1957.
"Janganlah mendirikan bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan. Sebab lahan itu
hendaknya diperuntukkan bagi taman, sehingga pada malam hari terlihat kerlap-kerlip
lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut," tambahnya. Untuk
mewujudkan ide tersebut, Soekarno bekerjasama dengan Uni Soviet. Para insinyur dari
Rusia pun didatangkan untuk membangun jalan raya di lahan gambut. Pembangunan
ini berjalan dengan baik. Tapi seiiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia di
awal 1960-an, pembangunan Palangkaraya terhambat.

Puncaknya pasca 1965, Soekarno dilengserkan. Kini Jakarta makin semrawut,


sementara pembangunan di Palangkaraya berjalan lambat. Hampir tak ada tanda kota
ini pernah akan menjadi ibukota RI yang megah. Hanya sebuah monumen berdiri
menjadi pengingat Soekarno pernah punya mimpi besar memindahkan ibukota ke
berpindah status menjadi kaum miskin kota. Hutan di Jawa pun makin menipis,
sehingga menimbulkan ancaman banjir yang akan semakin mempersulit kehidupan
para petani.

Sebaliknya, di luar Jawa cadangan air bersih melimpah, sumber energi


berlimpah. Mengapa kita tidak pindahkan sebagian kawasan industri ke luar Jawa,
selainmemindahkan juga ibu kota pemerintahan. Itulah alasan-alasan
merekomendasikan pemindahan ibu kota ke luar Jawa.

2
1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:


1. Mengetahui permasalahan yang muncul berkaitan dengan wacana pemindahan
ibukota negara/pusat pemerintahan.
2. Mengetahui skenario-skenario apa saja yang muncul berkaitan dengan wacana
pemindahan ibukota negara/pusat pemerintahan serta apa yang harus dilakukan
sebagai tindak lanjutnya.
3. Mencoba memberikan skenario terpilih dengan menggunakan model penilaian
terhadap empat kriteria penilaian kebijakan serta memberikan strategi
implikasinya.

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah:


1. Diharapkan hasil dari penulisan ini dapat memberi manfaat kepada semua pihak,
khususnya seluruh pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai Efek isu pemindahan ibukota negara bagi stabilitas negara dapat
dijadikan acuan dalam menganalisis kebijakan pemerintah yang merumuskan
masalah pemindahan ibukota/pusat pemerintahan.

3
BAB II
ANALISIS SITUASI

2.1 Masalah/Isu (Teoritik)


Seperti yang dikemukakan dilatar belakang, perpindahan ibukota bisa saja terjadi
karena berbagai hal termasuk diantaranya karena bencana dan kekalahan perang,
yang mana pada jaman dahulu pernah terjadi di Indonesia akibat kondisi darurat politik
(perpindahan ibukota sementara ke Jogja). Setiap terjadi bencana di Jakarta atau tanah
Jawa maka selalu muncul usulan atau wacana pemindahan ibukota negara dari
Jakarta. Tentunya usulan ini sering bersifat spekulatif dan musiman sekedar wacana
untuk obrolan.

Apakah wacana pindah ibukota ini hanya sekedar wacana yang setiap banjir
akan terulang seperti ini? Kemudian akan muncul pertanyaan, sesungguhnya apa
esensi krusial dari wacana pemindahan ibu kota? Jika ibu kota akan dipindah, tentu
akan ada efek bagi daerah yang didatangi dan daerah yang ditinggalkan. Wacana
pemindahan ibu kota ini bukan merupakan isu yang baru muncul. Namun yang
menjadikannya ramai diperbincangkan adalah bahwa wacana pemindahan Ibukota ini
adalah suatu isu yang penting dan besar, namun pemerintah tidak secara serius
menyikapinya.

Bahkan sampai saat ini belum ada pusat kajian yang cukup komprehensif dan
punya concern pada isu tersebut. Terlebih lagi instansi yang menghasilkan kajian yang
dapat menjadi masukan dalam policy making. Dan jika dikaji lagi, siapa yang
bertanggungjawab terhadap wacana pemidahan ibukota? Ini adalah contoh isu “yang
dalam pandangan pembicara bukan autopilot” namun fragmented.

2.2 Alasan diangkat sebagai isu kebijakan


Peran sebagai pusat pemerintahan, perekonomian dan bisnis menjadi beban
Jakarta sebagai ibukota negara. Situasi Jakarta saat ini yang terlalu ramai dan
semrawut menyebabkan wacana pemindahan ibukota negara kembali mencuat ke
publik. Wacana pemindahan Ibukota negara dari Jakarta ke wilayah lainnya bukanlah
hal yang baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka pada awal tahun 1920-an, Belanda
sudah merencanakan pemindahan ibukota dari Batavia ke kota Bandung. Beberapa
wilayah yang sejak dulu dijadikan alternatif sebagai calon ibukota negara, seperti
Palangkaraya, Jonggol, Purwokerto, Lampung, Karawang, dan Palembang.

Sejarah mencatat, sejak era Presiden Ir. Soekarno, Indonesia pernah


memindahkan ibukotanya beberapa kali antara tahun 1945-1950, karena Belanda
berhasil mengambil alih Jakarta. Jatuhnya ibukota membuat Sri Sultan Hamengku
Buwono IX mengirimkan utusannya dan menawarkan kota Yogyakarta menjadi ibukota
negara. Saran ini disetujui Presiden Soekarno Tepatnya pada tanggal 4 Januari 1946,
ibukota Indonesia resmi pindah ke Yogyakarta. Istana Negara pun pindah ke Gedung
Agung, berseberangan dengan Benteng Vedeburg. Namun, saat terjadinya Agresi

4
Militer II, Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Bahkan para pimpinan Negara juga
ditangkap.

Dalam keadaan seperti ini, dibentuklah Pemerintahan Darurat Republik


Indonesia dan ibukota kembali dipindahkan untuk mempertahankan kedaulatan.
Dipilihlah kota Bukittinggi. Pemilihan daerah ini bukan tanpa alasan atau hanya asal
asalan. Kepindahan ibukota ini karena adanya Sjafrudin Prawiranegara yang pada
masa itu memang disiapkan untuk memimpin pemerintahan darurat jika para pemimpin
tertangkap. Baru pada tanggal 17 Agustus 1950, ibukota dikembalikan ke Jakarta
berdasarkan UUD Sementara tahun 1950 dalam pasal 46.

Sekitar tahun 1957, Presiden Soekarno juga pernah berencana menjadikan


Palangkaraya sebagai calon ibukota masa depan Indonesia dengan memisahkan
antara urusan Pengendalian Pemerintahan dan kenegaraan. Usaha Soekarno saat itu
kandas, selain karena factor pengadaan bahan dan medan yang sangat sulit, saat itu
juga sedang dipersiapkan penyelenggaraan Asian Games dan ajang olahraga
tandingan Olimpiade, Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Demikian pula,
era Presiden HM. Soeharto. Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pernah
diwacanakan sebagai lokasi alternatif ibukota. Ratusan hektar lahan di kawasan ini
pernah dibebaskan oleh sejumlah pengembang. Namun entah kenapa rencana itu
terhenti, ribuan hektar tanah yang bakal dibebaskan itu kini menjadi hutan ilalang.

Di era Presiden Prof. Dr. Ing. Baharuddin Jusuf Habibie, KH. Abdurrahman
Wahid, dan Hj. Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri, ide itu sama sekali
tidak pernah muncul. Kemudian pada era Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono. Sejak
2009 lalu, Presiden SBY terbuka dan tidak tabu untuk berdiskusi atas wacana
perpindahan ibukota negara. Bahkan SBY telah mengajukan tiga skenario
perpindahan ibukota yang perlu didiskusikan oleh publik. Skenario pertama adalah
mempertahankan Jakarta sebagai ibukota, pusat pemerintahan, sekaligus kota ekonomi
dan perdagangan. Pilihanatas opsi ini berkonsekuensi pada pembenahan total atas
soal macet. Skenario kedua, membangun ibukota yang benar-benar baru (totally new
capital). Dan skenario ketiga adalah ibukota tetap di Jakarta, tapi memindahkan pusat
pemerintahan ke lokasi lain. Presiden SBY mengajak semua komponen bangsa untuk
membahas secara terbuka, matang, dan komprehensif atas wacana ini. Karena itu,
kebijakan perpindahan ibukota dan pergeseran pusat pemerintahan harus menjangkau
strategi jangka panjang bangsa.

Berdasarkan hal tersebut diatas, tidaklah salah jika perlu dirumuskan secara
matang, bukan hanya sekadar perbincangan musiman ketika Jakarta dilanda banjir,
namun harus segera diimplementasikan baik dalam rancangan undang-undang,
sehingga anggaran negara yang sekarang dapat disisihkan sebagian untuk rencana
besar tersebut.

5
BAB III
ALTERNATIF KEBIJAKAN
PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA/PUSAT PEMERINTAHAN

Kemacetan dan banjir yang kian lama kian bertambah parah terjadi di Ibukota
Jakarta menjadikan wacana pemindahan ibukota ke kota lain menghangat kembali.
Meskipun demikian, tak sedikit pula warga yang berpendapat sebaliknya. Berbagai
permasalahan maupun segala kelebihanyang ada di Jakarta membuat pro dan kontra
pemindahan ibukota menjadi topik menarik untuk ditelisik. Ada tiga skenario yang bisa
dipilih. Pertama, ibukota tetap di Jakarta tetapi dibenahi secara total. Kedua, ibukota
tetap di Jakarta tetapi pusat pemerintahan pindah ke lokasi lain. Ketiga, dibangunnya
ibukota yang sama sekali baru.

3.1 Ibukota Negara dan Pusat Pemerintahan Tetap di Jakarta


Skenario pertama ini merupakan skenario yang paling realistis, dimana ibukota
negara dan pusat pemerintahan tetap di Jakarta, namun dengan pilihan kebijakan untuk
menata, membenahi, dan memperbaiki berbagai persoalan Jakarta, seperti kemacetan,
urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah.
Kebijakan ini juga harus diikuti dengan desentralisasi fiskal dan penguatan otonomi
daerah untuk mengurangi kesenjangan antar daerah. Menurut Marco Kusumawijaya,
salah seorang pakar yang sering dimintai komentar soal tata kota ini berpendapat
bahwa pemindahan ibukota dari Jakarta tidak perlu.

Masalah-masalah Jakarta dapat diperbaiki dengan biaya lebih kecil daripada


ongkos memindahkan ibukota jika tujuannya adalah untuk membuat pemerintahan
nasional berfungsi lebih baik. Fungsi yang dimaksud Marco adalah fungsi mengelola
kepadatan Jakarta. Jakarta tidak lebih padat dari Tokyo, namun terbukti ibukota Jepang
ini berhasil mengelola lalu lintasnya sehingga tidak seruwet Jakarta. Marco juga
menyebut, Jepang yang merupakan salah satu negara terpadat di dunia itu justru juga
merupakan negara dengan tutupan hutan paling besar persentasenya.

Pemindahan ibukota dan pusat pemerintahan perlu kajian yang matang dan
mendalam karena menyangkut berbagai aspek, bukan sekedar membangun gedung-
gedung semata. Biayanya sangat mahal dan implikasinya luas. Ibukota yang baru harus
memiliki daya dukung yang mampu menyangga beban sebagai ibukota, bukan hanya
daya dukung terhadap roda pemerintahan, namun juga terhadap perekonomian, sosial,
serta budaya. Selain itu, jangan dilupakan pula potensi konflik antara warga asli yang
akan menjadi minoritas dengan warga pendatang. Sebagai contoh, pemindahan ibu
kota baru Myanmar, Nay Pyi Taw, yang artinya Kota Raja, yang dilaksanakan pada
tahun 2005, menurut sumber dari media luar negeri, terkesan tergesa-gesa karena
infrastruktur seperti listrik, jalan, dan air bersih di ibukota yang baru belum rampung.
Keadaan sebenarnya kini tidak bisa dipastikan karena kontrol media yang ketat dari
pemerintahnya. Contoh lainnya adalah Brasilia, ibukota Negara Brasil. Tahun 1960,
Presiden Juscelino Kubitschek, memindahkan ibukota dari Rio de Janeiro ke Brasilia.
Dari masa awal saja, pemerintah sudah susah payah untuk memindahkan fungsi-fungsi
pemerintahan. Bahkan, hingga 20 tahun sesudah perpindahan itu, pemerintah masih

6
harus memberi insentif agar orang-orang mau pindah ke ibukota baru. Susahnya
memindahkan ibukota juga bisa dilihat di Korea Selatan pertengahan tahun 2010 lalu,
dimana timbul kisruh politik akibat penolakan pemindahan ibukota dari Seoul ke Sejong.
Alasan pemindahan ibukota tersebut juga nyaris sama dengan wacana di sini yaitu soal
kemacetan di ibukota dan usaha pengurangan disparitas antarregional di negara itu.
Mengingat kesiapan dan kemampuan ekonomi Korea Selatan yang lebih baik
dibandingkan negara kita, kondisi yang terjadi di negara ginseng ini menunjukkan
bahwa pemindahan ibukota bukanlah perkara gampang. Sehingga bisa disimpulkan,
skenario memindahkan ibukota belum tentu merupakan obat mujarab terhadap
permasalahan yang dihadapi ibukota saat ini.

3.2 Pusat Pemerintahan Dipisahkan dari Ibukota Negara


Skenario kedua adalah skenario moderat. Dalam konteks ini ditawarkan agar
pusat pemerintahan dipisahkan dari ibukota negara. Artinya, Jakarta akan tetap
diletakkan sebagai ibukota negara karena faktor historis, namun pusat pemerintahan
akan digeser atau dipindahkan ke lokasi baru. Pemindahan ibukota negara ke luar
Jakarta membutuhkan kajian dan butuh proses panjang. Selain cukup rumit dan sulit,
Jakarta sudah terlanjur memiliki berbagai fasilitas infrastruktur yang hampir memadai
untuk pusat kegiatan pemerintahan. Yang paling mungkin dan realistis untuk
dilaksanakan adalah dengan memindahkan sebagian fungsi ibukota, seperti kasus
Belanda yang walaupun ibukotanya tetap di Amsterdam, namun pemerintahan kerajaan
dan sebagian fungsi pemerintahannya ada di Den Haag. Kasus serupa bisa disaksikan
pula di negeri jiran Malaysia yang pusat pemerintahannya sebagian besar ada di
Putrajaya.

Dibutuhkan kajian yang komprehensif perihal berbagai opsi lokasi dari pusat
pemerintahan baru ini. Faktor jarak antara Jakarta sebagai ibukota dan pusat
pemerintahan baru, khususnya terkait dengan infrastruktur wilayah, jaringan
transportasi yang terpadu, serta prasarana pendukung lainnya perlu dipertimbangkan.
Mungkin kota-kota satelit atau di luar sekitarnya (Jabodetabekjur), atau Jonggol, sesuai
rencana pada zaman orde baru, bisa menjadi pilihan alternatif sebagai pusat
pemerintahan negara kita yang baru, sembari membenahi sistem transportasi Jakarta
dengan pembangunan Mass Rapid Transportation (MRT), seperti monorel, subway,
dan busway yang terintegrasi dan pelaksanaan kebijakan penataan ruang yang sesuai
dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabek Punjur).

Selain membenahi sistem transportasi Jakarta yang terintegrasi, dari dan ke kota
satelit perlu dibangun juga infrastruktur jalan penghubung yang memadai seperti sistem
jalan lingkar dan radial. Jaringan penghubung (lingkar, radial) saat ini sudah disiapkan
pemerintah, sehingga akan memudahkan pemindahan pusat pemerintahan. Adanya
jalan penghubung ini, memiliki fungsi peran strategis yang mampu mengurangi beban
ibukota negara yang kini dihuni oleh sekitar 10 juta jiwa. Dengan demikian diharapkan
kawasan Jabodetabekjur bisa cepat berkembang menjadi kawasan hunian yang aman,
nyaman dan produktif. Pada akhirnya tekanan kepada Jakarta sebagai Ibukota Negara
akan jauh berkurang.

7
3.3 Membangun Ibukota Negara dan Pusat Pemerintahan Baru di
Luar Jakarta
Secara keruangan Jakarta sudah terlalu padat penduduk. Sebagai pusat
pemerintahan, perdagangan, perindustrian, dan pariwisata, mengakibatkan tata
ruangnya menjadi semrawut serta banyak terjadi pemanfaatan lahan yang saling
kontradiktif. Pembangunan fisik terus dipacu tanpa arah yang jelas. Rencana Umum
Tata Ruang (RUTR) yang sedemikian bagus disusun Bang Ali, (1966-1977), dengan
mudahnya dapat berubah sehingga banyak peruntukan kota yang dilanggar. Banyak
situ-situ yang berfungsi sebagai penampung air hilang menjadi perumahan. Program
proyek kali bersih (prokasih) macet total. Tiga belas kali/sungai yang membelah kota ini
tetap menjadi kubangan sampah. Kemacetan lalu lintas setiap saat, dan banjir yang
setiap tahun terjadi menunjukkan bahwa tataruang kurang memperhatikan karakteristik
lahan serta kurang mengakomodasikan kepentingan masyarakat.

Secara ekologis, sebagian besar wilayah Jakarta telah mengalami degradasi


kualitas lingkungan, dengan indikatornya berupa banjir, pencemaran udara,
pencemaran air, pembuangan limbah cair/padat serta pencemaran sosial. Banjir yang
menggenangi 70% wilayah Jakarta pada tahun 2007 dan merupakan banjir terbesar
yang terjadi di Jakarta memberikan kerugian yang sangat besar. Hasil pembangunan
yang memerlukan biaya yang tinggi dan waktu lama menjadi rusak, bahkan hilang
dalam waktu singkat. Sanitasi lingkungan menjadi lebih buruk akibat banjir, sehingga
banyak penyakit yang mewabah; ledakan demam berdarah di Jakarta merupakan bukti
bahwa sanitasi lingkungan kurang memadai.

Momentum banjir besar yang melanda Jakarta tahun 2007 tersebut


menimbulkan pemikiran atau gagasan untuk memindahkan ibukota Negara dan pusat
pemerintahan dari Jakarta. Jakarta dianggap tidak mampu mengatasi masalah banjir
dan kemacetan lalu lintas yang akan mengganggu peran Jakarta sebagai ibukota
negara. Secara kewilayahan Jakarta sudah amat padat penduduk dan sarat dengan
fasilitas, sedang di luar Jakarta, baik di Jawa maupun luar Jawa masih tersedia wilayah
yang memungkinkan untuk pengembangan. Skenario ketiga ini merupakan skenario
ideal yang bersifat radikal.

Dalam skenario ini, negara membangun ibukota negara yang baru dan
menetapkan pusat pemerintahan baru di luar wilayah Jakarta, sedangkan Jakarta
hanya dijadikan sebagai pusat bisnis. Skenario radikal memerlukan strategi
perencanaan yang komprehensif dengan berbagai opsi penentuan calon ibukota baru.
Guna memutuskan pilihan yang ideal, perlu keterlibatan para pemangku kepentingan,
seperti pemerintah daerah, dunia usaha, kalangan universitas, dan lembaga swadaya
masyarakat, untuk memberikan masukan bagi penyempurnaan kajian-kajian yang
dilakukan oleh pemerintah. Ada tiga alasan umum pemindahan ibukota, yaitu:
pertimbangan politik, pertimbangan sosio-ekonomi dan pertimbangan fisik.
Pertimbangan politik seringkali menjadi pertimbangan utama dalam pemindahan
ibukota.

8
Pertimbangan sosio-ekonomi menjadi pertimbangan penting dalam
memindahkan ibukota, khususnya untuk mengurangi ketimpangan wilayah dalam suatu
negara. Diharapkan dengan pembangunan ibukota baru dapat mengembangkan
kawasan baru yang dapat mengurangi pemusatan kegiatan di lokasi ibukota yang lama.
Keterbatasan kondisi fisik di ibukota lama juga menjadi pertimbangan pemindahan
ibukota. Ibukota lama dianggap tidak mampu menyediakan infrastruktur dan fasilitas
perkotaan yang memadai serta memiliki harga lahan yang tinggi.

BAB IV
SKENARIO TERPILIH DAN STRATEGI IMPLEMENTASI

Ide pemindahan ibukota negara telah banyak dibicarakan berbagai pihak sejak
beberapa tahun lalu. Bahkan pada saat kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta
pada tahun 2007 mulai banyak dibahas wacana pemindahan ibukota negara menyusul
banjir besar yang melanda Jakarta pada bulan Februari 2007. Pasalnya, Jakarta
dianggap tidak mampu mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu lintas yang akan
mengganggu peran Jakarta sebagai ibukota negara. Bahkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mulai membicarakan wacana pemindahan ibukota -negara dari Jakarta
ketika menghadiri Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh
Indonesia (APPSI) di Palangkaraya pada awal Desember 2009. Menurut SBY, beban
fungsi pelayanan dan kelayakan Jakarta sebagai ibukota negara makin berat.
Pembahasan pemindahan ibukota negara harus dikaji dari berbagai aspek dan tidak
hanya melihat faktor kemacetan di Jakarta sebagai alasan pemindahan ibukota negara,
tetapi juga dilihat sebagai upaya strategis untuk mendistribusikan pembangunan secara
merata. (Kompas, 5 Agustus 2010). Seperti telah dibahas pada bab sebelumnya, ada
tiga skenario dalam pemindahan ibukota negara, yakni :(1) tetap mempertahankan
Jakarta sebagai ibukota negara dan dilakukan pembenahan terhadap semua
permasalahan; (2) memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru; (3)
memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di luar Jakarta.
Tulisan ini mencoba untuk menetapkan skenario terpilih dengan menggunakan model
penilaian yang dituangkan dalam tabel penilaian alternatif kebijakan. Dalam model ini,
ada empat kriteria penilaian kebijakan, yaitu:

Technical feasibility: Efektivitas; pencapaian tujuan; apakah scenario tersebut


mencapai hasil (akibat) yang diharapkan; atau mencapai tujuan dari diadakan tindakan.
Economic and financial feability: Efisiensi (biaya dan hasil); berkenaan jumlah usaha
yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu yang umumnya diukur
dengan biaya.
Political viability: Apakah alternatif kebijakan diterima oleh actor kebijakan dan
kelompok sasaran; apakah kebijakan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat; apakah
kebijakan akan memenuhi kebutuhan masyarakat; apakah kebijakan didukung oleh
perangkat hukum yang memadai; apakah efek dan dampak kebijakan sama dan
seimbang antar kelompok masyarakat.
Administrative operability: Dapat diimplementasikan pada konteks sosial, politik, dan
administrasi yang berlaku; apakah tersedia staf yang cukup; apakah instansi terkait

9
akan mendukung implementasi kebijakan program; apakah tersedia sarana untuk
melaksanakan kebijakan program; dan apakah kebijakan dapat dilaksanakan tepat
waktu. Penjabaran penilaian kebijakan untuk masing-masing skenario sebagai
berikut:

(1) Tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara.


Technical feasibility: Tujuan membuat Jakarta sebagai kota yang layak untuk dijadikan
ibukota negara dapat tercapai setelah dilakukan pembenahan terhadap semua
permasalahan, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban,
banjir, maupun tata ruang wilayah.
Economic and financial feability: Membutuhkan biaya yang lebih kecil karena tidak
memindahkan ibukota. Biaya hanya dibutuhkan untuk menata, membenahi, dan
memperbaiki berbagai persoalan Jakarta.
Political viability: Berbagai permasalahan maupun segala kelebihan yang ada di
Jakarta membuat pro dan kontra pemindahan ibukota.
Administrative operability: Jakarta sudah memiliki daya dukung terhadap roda
pemerintahan, dan juga terhadap perekonomian, sosial, serta budaya.

(2) Memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru.


Technical feasibility: Tujuan membuat Jakarta sebagai kota yang layak untuk dijadikan
ibukota negara dapat tercapai jika system transportasi Jakarta dengan pembangunan
Mass Rapid Transportation (MRT), seperti monorel, subway, dan busway yang
terintegrasi sudah memadai dan jaringan penghubung (lingkar, radial) sudah disiapkan
pemerintah.
Economic and financial feability: Membutuhkan biaya yang cukup besar untuk
membangun pusat pemerintahan baru, seperti kantor presiden, departemen, dan
infrastuktur penunjang yang lainnya. Selain itu juga harus dibangun pemukiman
masyarakat.
Political viability: Tetap ada kelompok yang pro dan kontra, terutama pada opsi
penentuan calon lokasi pusat pemerintahan.
Administrative operability: Belum diketahui karena memulai sesuatu yang baru.

(3) Memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di luar
Jakarta.
Technical feasibility: Tujuan mendapatkan ibukota negara yang layak dapat tercapai
jika ibukota yang baru memiliki daya dukung yang mampu menyangga beban sebagai
ibukota, selain itu juga harus mempunyai daya dukung terhadap roda pemerintahan,
perekonomian, sosial, serta budaya.
Economic and financial feability: Biayanya sangat mahal untuk membuat ibukota
negara yang baru dan juga untuk membangun infrastruktur perkantoran milik
pemerintah dan BUMN.
Political viability: Ada kemungkinan terjadi potensi konflik antara warga asli yang akan
menjadi minoritas dengan warga pendatang.
Administrative operability: Belum diketahui karena memulai sesuatu yang baru.

4.1 Skenario Terpilih

10
Berdasarkan model penilaian diatas, Penulis memutuskan untuk memilih
skenario yang pertama, yaitu: “Tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara
dan pusat pemerintahan”. Hal ini didukung dari poin yang diperoleh pada kriteria
technical feasibility, economic and financial feability, serta administrative operability.
Artinya, tujuan menjadikan Jakarta sebagai kota yang layak untuk dijadikan ibukota
negara dan pusat pemerintahan tetap dapat tercapai asalkan dilakukan pembenahan
terhadap semua permasalahan, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan,
kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah. Biaya hanya dibutuhkan untuk
menata, membenahi, dan memperbaiki berbagai persoalan Jakarta, dan mungkin untuk
membangun “gula-gula ekonomi baru” di luar Jakarta sehingga tekanan terhadap
ibukota negara menjadi berkurang. Sementara pada konteks administrasi yang berlaku,
Jakarta bukan hanya memiliki daya dukung terhadap roda pemerintahan, namun juga
terhadap perekonomian, sosial, serta budaya. Potensi konflik yang terjadi
kemungkinannya sangat kecil karena warga Jakarta adalah warga yang multi etnis.

4.2 Strategi Implementasi


Harus didukung dengan kebijakan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki
berbagai persoalan Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan,
kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah.
Melakukan desentralisasi fiskal dan penguatan otonomi daerah untuk mengurangi
kesenjangan antar daerah.
Menyiapkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yaitu 30 % dari luas lahan yang dimiliki.
Melestarikan cagar budaya seperti: Monas, Gelora Senayan, dan Musium yang tidak
dapat dipisahkan dari Jakarta sebagai ibukota negara.

BAB V
PENUTUP

Keputusan untuk memindahkan ibukota adalah suatu keputusan besar dan


memakan biaya yang sangat mahal. Pengalaman dari beberapa Negara misalnya
Brasil, menunjukkan bahwa pemindahan ibukota memakan proses yang sangat
panjang. Mewacanakan pemindahan ibukota keluar Jakarta mesti dipahami sebagai
suatu proses penting sebelum menentukan keputusan besar untuk memindahkan
ibukota keluar Jakarta atau tetap menempatkan Jakarta sebagai ibukota negara.
Pemindahan ibukota tidak semata didorong oleh pertimbangan kondisi ibukota lama
yang sudah terlalu padat dan kurang tersedianya infrastruktur dan fasilitas perkotaan.
Pertimbangan politik dan sosio-ekonomi juga menjadi faktor penting dalam keputusan
pemindahan ibukota negara. Indonesia perlu dengan sangat seksama membahas
wacana pemindahan ibukota negara ini. Studi yang mendalam dan melibatkan berbagai
pihak di pusat maupun di daerah diperlukan untuk menentukan pilihan terbaik dari
ketiga skenario pemindahan ibukota negara. Setelah pilihan tersebut ditetapkan, akan
diperlukan pula suatu perencanaan yang komprehensif agar implementasi pilihan
tersebut berjalan dengan sebaikbaiknya.

11
Keputusan pemindahan ibukota negara akan menjadi proyek public terbesar dan
terpenting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Skenario yang dipilih Penulis
adalah “Tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat
pemerintahan”. Dengan alasan, tujuan menjadikan Jakarta sebagai kota yang layak
untuk dijadikan ibukota Negara dan pusat pemerintahan tetap dapat tercapai asalkan
dilakukan pembenahan terhadap semua permasalahan, seperti kemacetan, urbanisasi,
degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah. Biaya
hanya dibutuhkan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki berbagai persoalan
Jakarta, dan mungkin untuk membangun “gula-gula ekonomi baru” di luar Jakarta
sehingga tekanan terhadap ibukota negara menjadi berkurang. Sementara pada
konteks administrasi yang berlaku, Jakarta bukan hanya memiliki daya dukung
terhadap roda pemerintahan, namun juga terhadap perekonomian, sosial, serta budaya.
Potensi konflik yang terjadi kemungkinannya sangat kecil karena warga Jakarta adalah
warga yang multi etnis.

12
Daftar Pustaka

Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia


Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta:
LKIS
Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Pembangunan Indonesia. Penerbit Transmedia Global Wacana. Yogyakarta. Baiquni,
M.2004. Membangun Pusat -pusat di Pinggiran. Ideas. Yogyakarta. Jayadinata, Johara
T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan
.Anonim, 2007. Masih Layakkah Jakarta Jadi Ibu Kota?. Jawa Pos, 6 Februari 2007-
04-06 Anonim, 2002. Benang Kusut Ibu Kota Jakarta. Sinar Harapan 6 Juni2002.
Anonim, 2002. Banjir Jakarta Sulit Diatasi. Pikiran Rakyat, 19 Oktober 2002.
Baiquni,M.; Susilowardani. 2002. Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan. Refleksi
Kritis Pembangunan Indonesia. Penerbit Transmedia Global Wacana. Yogyakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai