Anda di halaman 1dari 19

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN

KEBUTUHAN OKSIGENASI AKIBAT PATOLOGI


SISTEM GANGGUAN PERTUKARAN GAS

Disusun Oleh:

ATIKA RAHM AYU (1814401064)

Tingkat 2 Reguler 3

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG


PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2019/2020
LAPORAN PRAKTEK KLINIK KMB 1
PRODI DIII KEPERAWATAN TANJUNGKARANG

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN


KEBUTUHAN OKSIGENASI AKIBAT PATOLOGI
SISTEM GANGGUAN PERTUKARAN GAS

A. DASAR TEORI
A.1. DEFINISI DIAGNOSA KEPERAWATAN
Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan/atau eleminasi
karbondioksida pada membran alveolus kapiler. (SDKI DPP PPNI, 2016).

A.2. PENYEBAB
Penyebab terjadinya gangguan pertukaran gas antara lain (SDKI DPP
PPNI,2016) :
a. Ketidakseimbangan ventilasi perfusi
b. Perubahan membran alveolus kapiler

A.3. GEJALA DAN TANDA MAYOR


Subjektif :
 Dispnea
Objektif :
 PCO2 meningkat atau menurun,
 PO2 menurun,
 Takikardia,
 pH arteri meningkat atau menurun
 Bunyi napas tambahan

A.3. GEJALA DAN TANDA MINOR


Subjektif :
 pusing
 pengelihatan kabur
Objektif :
 Sianosis
 Diaphoresis
 Gelisah
 Napas cuping hidung
 Pola napas abnormal (cepat/lambat, regular/ireguler, dalam/dangkal)
 Warna kulit abnormal (misalnya pucat, kebiruan)
 Kesadaran menurun

A.4. KONDISI KLINIS TERKAIT (Uraikan patofisiologi kondisi klinis yang terkait,
boleh ditambahkan barisannya)

1. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)

Pada bronkitis kronik terjadi penyempitan saluran nafas.


Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan
menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik, saluran pernafasan kecil
yang berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit. Berkelok-
kelok, dan berobliterasi. Penyempitan ini terjadi karena metaplasia sel
goblet. Saluran nafas besar juga menyempit karena hipertrofi dan
hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru penyempitan saluran
nafas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.
(Mansjoer,2001).
Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan nafas
yaitu: inflamasi dan pembengkakan bronki, produksi lendir yang
berlebihan, kehilangan rekoil elastik jalan nafas, dan kolaps bronkiolus
serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi. Karena dinding
alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak
langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang mengakibatkan
kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan
hipoksemia.
Pada tahap akhir, eliminasi karbondioksida mengalami
kerusakan mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dalam darah
arteri (hiperkapnia) danmenyebabkan asidosis respirastorius individu
dengan emfisema mengalami obstruksi kronik kealiran masuk dan
aliran keluar dari paru. Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar
paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan
positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan
selama ekspirasi. (Mansjoer, 2001) (Diane C. Baughman, 2000).

2. Gagal jantung kongestif


Proses Terjadinya Gagal Jantung Kongestif
Jantung memiliki empat ruang yang memiliki tugas masing-
masing, yaitu serambi kanan dan kiri yang berada di bagian atas, serta
bilik kanan dan kiri yang ada di bagian bawah. Berdasarkan letak
ruang jantung tersebut, gagal jantung kongestif bisa dibedakan
menjadi tiga tipe, yaitu sebelah kiri, kanan, dan campuran.
 Gagal jantung kongestif sebelah kiri

Pada penderita gagal jantung kongestif sebelah kiri, ruang


ventrikel atau bilik kiri dari jantung tidak berfungsi dengan
baik. Bagian ini seharusnya mengalirkan darah yang ke seluruh
tubuh melalui aorta, kemudian diteruskan ke pembuluh darah
arteri.

Karena fungsi bilik kiri tidak berjalan secara optimal, maka


terjadilah peningkatan tekanan pada serambi kiri dan
pembuluh darah di sekitarnya. Kondisi ini menciptakan
penumpukan cairan di paru-paru (edema paru). Selanjutnya,
penumpukan cairan juga dapat terbentuk di rongga perut dan
kaki. Kurangnya aliran darah ini kemudian mengganggu fungsi
ginjal, sehingga tubuh menimbun air dan garam lebih banyak
dari yang dibutuhkan.
Pada beberapa kasus, penyakit ini bisa juga bukan
dikarenakan kegagalan bilik kiri jantung dalam memompa
darah. Ketidakmampuan bilik kiri jantung dalam melakukan
relaksasi juga kadang menjadi penyebabnya. Karena tidak
mampu melakukan relaksasi, maka terjadilah penumpukan
darah saat jantung melakukan tekanan balik untuk mengisi
ruang jantung.

 Gagal jantung kongestif sebelah kanan

Terjadi ketika bilik kanan jantung kesulitan memompa


darah ke paru-paru. Akibatnya, darah kembali ke pembuluh
darah balik (vena), hingga menyebabkan penumpukan cairan
di perutdan bagian tubuh lain, misalnya kaki.

Gagal jantung kongestif kanan seringkali diawali dari gagal


jantung kongestif kiri, di mana terjadi tekanan berlebih pada
paru-paru, sehingga kemampuan sisi kanan jantung untuk
memompa darah ke paru-paru pun jadi ikut terganggu.

 Gagal jantung kongestif campuran

Gagal jantung kongestif kiri dan kanan terjadi secara


bersamaan.

3. Asma
Asma merupakan kondisi yang diakibatkan inflamasi kronis pada
saluran napas yang kemudian dapat meningkatkan kontraksi otot
polos.di sekeliling saluran napas. Hal ini, bersama dengan faktor lain
menyebabkan penyempitan saluran napas sehingga menimbulkan
gejala klasik berupa mengi. Penyempitan saluran napas biasanya
dapat pulih dengan atau tanpa pemberian terapi.Adakalanya saluran
napas itu sendiri yang berubah. Biasanya terjadinya perubahan di
saluran napas, termasuk meningkatnya eosinofil dan
penebalan lamina retikularis. Dalam jangka waktu lama, otot polos
saluran napas bisa bertambah ukurannya bersamaan dengan
bertambahnya jumlah kelenjar lendir.Jenis sel lain yang terlibat
yaitu: Limfosit T, makrofag, dan neutrofil. Kemungkinan ada juga
keterkaitan komponen lain sistem imunyaitu: antara
lain sitokin, kemokin, histamin, and leukotrien.

4. Pneumonia
Pneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
yang disebabkan oleh bakteri staphylococcus, Haemophilus influenza
atau karena aspirasi makanan dan minuman. Dari saluran pernafasan
dengan gambaran sebagai berikut:
 Infeksi saluran nafas bagian bawah menyebabkan tiga hal,
yaitu dilatasi pembuluh darah alveoli, peningkatan suhu, dan
edema antara kapiler dan alveoli.
 Ekspansi kuman melaui pembuluh darah kemudian masuk
kedalam saluran pencernaan dam menginfeksinya
mengakibatkan terjadinya peningkatan flora normal dalam
usus, peristaltic meningkat akibat usus mengalami malabsorbsi
dan kemudian terjadilah diare yang beresiko terhadap
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

5. Tuberculosis Paru
Ketika seorang klien TB Paru batuk, bersin, atau berbicara, maka
secara tidak sengaja keluarlah droplet nuclei dan jatuh ke tanah,
lantai, dan tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu
udara yang panas, droplet nuclei menguap. Menguapnya bakteri
droplei ke udara dibantu dengan pergerakan angin akan membuat
bakteri tuberculosis yang mengandung dalam droplet nuclei terbang
ke udara. Apabila bakteri ini dihirup oleh orang sehat, maka orang itu
berpotensi terkena infeksi bakteri tuberculosis. Penularan bakteri
lewat udara disebut dengan istilah air borne infection. Bakteri yang
terhisap akan melewati pertahanan mukosilier saluran pernapasan
dan masuk hingga alveoli. Pada titik lokasi dimana terjadi implantasi
bakteri, bakteri akan menggandakan diri (multiplying). Bakteri
tuberculosis dan focus ini disebut focus primer, lesi primer, atau focus
Ghon. Reaksi juga terjadi pada jaringan limfe regional, yang bersama
dengan focus primer disebut sebagai kompleks primer. Dalam waktu
3-6 minggu, inang yang baru terkena infeksi akan menjdi sensitive
terhadap protein yang dibuat bakteri tuberculosis dan bereaksi positif
terhadap tes tuberculin atau tes Mantoux.

Berpangkal dari komples primer, infeksi dapat menyebar ke


seluruh tubuh melalui berbagai jalan, yaitu :

1. Percabangan bronkus
Penyebaran infeksi lewat percabangan bronchus dapat mengenai
area paru atau melalui sputum menyebar ke laring
(menyebabkan ulserasi laring), maupun ke saluran pencernaan.
2. Sistem saluran limfe
Penyebaran lewat saluran limfe menyebabkan adanya regional
limfadenopati atau akhirnya secara tak langsung mengakibatkan
penyebaran lewat darah melalui duktus limfatikus dan
menimbulkan tuberculosis milier.
3. Aliran darah
Aliran vena pulmonalis yang melewati ke paru dapat membawa
atau mengangkat material yang mengandung bakteri tuberculosis
dan bakteri ini dapat mencapai berbagai organ melalui aliran
darah, yaitu tulang, ginjal, kelenjar adrenal, otak, dan meningen.
4. Reaktivasi infeksi primer (infeksi pasca-primer)
Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak
berkembang lebih jauh dan bakteri tuberculosis tak dapat
berkembang biak lebih lanjut dan menjadi dorman (tidur). Ketika
suatu saat kondisi inang melemah akibat sakit keras atau
memakai obat yang dapat melemahkan daya tahan tubuh terlalu
lama, maka bakteri tuberculosis yang dorman dapat aktif
kembali. Inilah yang disebut sebagai reaktivasi infeksi primer atau
infeksi pasca primer. Infeksi ini dapat terjadi bertahun-tahun
setelah infeksi primer terjadi. Selain itu, infeksi pasca primer juga
dapat diakibatkan oleh bakteri tuberculosis baru. Biasanya infeksi
pasca primer terjadi didaerah apeks paru.

6. Asfiksia

Asfiksia dapat terjadi pada periode antepartum, intrapartum


maupun postpartum. Birth asphyxia atau asfiksia yang terjadi pada
saat persalinan dapat disebabkan oleh adanya hipoksia pada janin
pada periode antepartum. Asfiksia dapat juga terjadi tanpa didahului
oleh adanya hipoksia pada janin, hal ini disebabkan oleh karena
proses persalinan yang menyebabkan bayi mengalami kekurangan
oksigen atau tidak dapat bernafas. Pada saat persalinan, asfiksia
dinilai dari ada atau tidaknya gejala abnormalitas janin pada saat
monitoring, bradikardia, late decelarations, loss of
variability, meconium staining dan fetal acidosis. Penyebab dari gejala
tersebut adalah karena adanya penurunan aliran darah dari plasenta
kepada janin dan stres pada janin (Freeman & Nelson 1988). Asfiksia
juga dapat terjadi pada periode setelah persalinan (postpartum) yaitu
setelah bayi lahir, tanpa didahului oleh adanya gejala atau tanda
asfiksia pada saat periode antepartum maupun intrapartum. Pada
saat setelah persalinan di ruang bersalin, bayi yang lahir dapat
mengalami asfiksia yang dinilai dari Apgar Score pada menit pertama,
kelima, sepuluh dan 15 menit pertama kehidupan serta ada tidaknya
asidosis. Asfiksia postpartum mungkin disebabkan oleh maladaptasi
saat lahir atau kegagalan sistem pernafasan, jantung dan saraf pada
neonatus akibat kelainan konginetal, penyakit pada janin atau cedera
kelahiran (Gadoth & Gobel 2011).
Mekanisme terjadinya hipoksia pada beberapa kondisi patologis
adalah sebagai berikut (Lewis & Berg dalam Beyond the Number
2004):

1. Kontraksi uterus yang kuat akan memperburuk hipoksia akibat


kompresi vaskuler tubuh bayi
2. Partus lama atau macet akan disertai dengan kontraksi yang lebih
lama daripada periode relaksasi
3. Tekanan pada tali pusat dapat menyebabkan penyempitan arteri
umbilikalis sehingga menimbulkan pengurangan aliran darah dari
dan ke janin
4. Spasme vaskuler secara sistemik vaskuler pada hipertensi atau
pre eklamsia menyebabkan pengurangan pasokan oksigen pada
bayi.
A.4. PENATALAKSANAAN MEDIS (Penatalaksanaan kondisi klinis terkait)

1. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)

Penatalaksanaan medis dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah:


1.      Mempertahankan patensi jalan nafas
2.      Membantu tindakan untuk mempermudah pertukaran gas
3.      Meningkatkan masukan nutrisi
4.      Mencegah komplikasi, memperlambat memburuknya kondisi
5.      Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan program
pengobatan (Doenges, 2000)
Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas tatalaksana kronik dan
tatalaksana eksaserbasi, masing masing sesuai dengan klasifikasi (derajat)
beratnya (Lihat Buku Penemuan dan Tatalaksana PPOK)

2. Gagal jantung kongestif


Penatalaksanaan medis
Langkah utama dalam pengobatan gagal jantung adalah mengurangi
aktivitas. Tindakan ini dilakukan untuk mengurangi beban kerja jantung,
sehingga dapat meringankan gejala. Penanganan gagal jantung akan
disesuaikan dengan penyebab dan tingkat keparahan gagal jantung, usia
pasien, serta penyakit lain yang menyertai. Tujuan dari pengobatan gagal
jantung adalah:

 Meringankan gejala gagal jantung.


 Meningkatkan kekuatan jantung.
 Mencegah terjadinya henti jantung mendadak.

Penanganan gagal jantung dapat berupa pemberian obat, operasi, atau


pemasangan (implan) alat.
3. Asma

Penatalaksanaan medis
Meskipun tidak ada obat untuk asma, gejala-gejala yang muncul biasanya
bisa disembuhkan.[97] Untuk itu, harus ada suatu rancangan penanganan khusus
yang bisa disesuaikan untuk pemantauan dan pengelolaan gejala. Rancangan ini
harus memasukkan langkah pengurangan pajanan terhadap alergen, pengujian
untuk mengetahui tingkat keparahan gejala, dan penggunaan obat-obatan.
Rancangan pengobatan harus ditulis dan saran penyesuaian pengobatan harus
diberikan berdasarkan terjadinya perubahan-perubahan pada gejala.[98]

Cara pengobatan asma yang paling efektif yaitu menemukan pemicunya,


misal merokok, hewan peliharaan, atau aspirin, dan menghilangkan pajanan
terhadap pemicu-pemicu tersebut. Jika menjauhi pemicu masih belum cukup,
baru disarankan untuk menggunakan obat. Obat farmasi dipilih berdasarkan,
antara lain, keparahan penyakit dan frekuensi gejala. Pengobatan khusus untuk
asma secara luas dikategorikan dalam obat reaksi-cepat dan reaksi-lambat. [99][100]

Bronkodilator direkomendasikan untuk pelega jangka pendek. Pada pasien


yang mendapatkan serangan sesekali, tidak diperlukan obat lain. Jika penyakitnya
ringan namun persisten (terjadi serangan lebih dari dua kali dalam seminggu),
maka disarankan menggunakan kortikosteroid hirup dosis rendah atau antagonis
leukotriene oral atau stabiliser sel mast. Bagi pasien yang mendapatkan serangan
setiap hari, disarankan menggunakan kortikosteroid hirup dengan dosis yang
lebih tinggi. Pada serangan asma sedang atau berat, kortikosteroid oral turut
ditambahkan ke dalam rancangan pengobatan ini.

4. Pneumonia

Penatalaksanaan medis pneumonia menurut Wijayaningsih (2013 : 25)


 Farmakologi
1. Pemberian antibiotik misalnya penisilin G, streptomisin, ampicilin,
gentamicin.
2. Pemilihan jenis antibiotik didasarkan atas umur, keadaan umum
penderita, dan dugaan kuman penyebab:

a). Umur 3 bulan-5 tahun, bila toksis disebabkan oleh


streptokokus pneumonia, hemofilus influenza atau stafilokokus.
Pada umumnya tidak diketahui penyebabnya, maka seca praktis
dipakai kombinasi: penisilin prokai 50.000-100.000 KI/kg/24 jam
IM, 12 kali sehari dan kloramfenikos 50-100 mg/kg/24jam IM/IV,
4 kali sehari dan kloksasilin 50 mg/kg/24 jam, oral 4 kali sehari
dan kloramfenikol (dosis sama dengan di atas).

b). Anak-anak < 5tahun, yang non toksis, biasanya disebabkan


oleh: streptokokus pneumonia: pensilin prokain IM atau
fenoksimetilpenisilin 25.000-50.000 KI/24 jam oral, 4 kali sehari,
eritromisin atau kotrimoksazol 6/30 mg/kg/24 jam, oral 2 kali
sehari. Oksigen 1-2 L/m. IVFD dekstrose 5% ½ Nacl O.225%
350cc/24 jam. ASI/Pasi 8x20 cc per sonde B. Antibiotik yang paling
baik adalah antibiotik yang sesuai dengan penyebabnya.

 Non farmakologi:
1. Istirahat, umumnya penderita tidak perlu dirawat, cukup istirahat
dirumah.
2. Simptomatik terhadap batuk.
3. Batuk yang produktif jangan ditekan dengan antitusif.
4. Bila terdapat obsturksi jalan nafas, dan lendir serta ada febris,
diberikan bronkodilator.
5. Pemberian oksigen umumnya tidak diperlukan, kecuali untuk kasus
berat.

5. Tuberculosis Paru
Penatalaksanaan medis tuberculosis paru:
Zain (2001) membagi penatalaksanaan tuberculosis paru menjadi tiga
bagian yaitu pencegahan, pengobatan, dan penemuan penderita (active
case finding).

Pencegahan TB Paru

1. Pemeriksaan kontak yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul


erat dengan penderita TB BTA positif. Pemeriksaan meliputi : tes
tuberculin,  klinis, dan radiologis. Bila tes tuberculin positif maka
pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan
mendatang. Bila masih negative diberikan BCG vaksinasi.
2.   Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan terhadap kelompok-kelompok
populasi tertentu, misal : penghuni rumah tahanan, petugas kesehatan,
siswa-sisiwi pesantren.
3. Vaksinasi BCG
4.  Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan
dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang
masih sedikit.
5.   Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberculosis
kepada masyarakat di tingkat puskesmas maupun di tingkat rumah sakit.

Pengobatan Tuberkulosis Paru

Berikut penatalaksanaan pengobatan tuberkulosisi. Mekanisme Kerja Obat


anti-Tuberkulosis (OAT).

a.       Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat


      Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan
Streptomisin (S).

      Intraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan Isoniazid
(INH).

b.    Aktivitas sterilisasi, terhadap the persisters (bakteri semidormant).

      Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan


Isoniazid (INH).

      Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin dan


Isoniazid. Untuk very slowly growing bacilli, digunakan Pirazinamid (Z).

c.    Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas


bakteriostatis terhadap bakteri terhadap asam.

      Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Etambutol (E), asam pra
amino salisilik (PAS), dan sikloserine.

      Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh Isoniazid


dalam keadaan telah terjadi resistensi sekunder.

Pengobatan TB terbagi dalam dua fase yaitu fase intensif ( 2-3 bulan )
dan fase lanjutan ( 4-7 bulan ). Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat
utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai
rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin,
dan Etambutol. (Depkes RI, 2004).

Disamping itu, perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB


yang dikenal dengan Directly Observed Treatment Short Course (DOTSC).
Lima komponen DOTSC yang direkomendasikan WHO yaitu :
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan para pengambil keputusan
dalam penanggulangan TB.
2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan sputum secara makroskopik langsung,
dan pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan
kultur.
3.  Pengobatan TB dengan panduan OAT jangka pendek di bawah
pengawasan langsung oleh PMO, khususnya dalam dua bulan pertama di
mana penderita harus minum obat setiap hari.
4.  Kesinambungan ketersediaan panduan OAT jangka pendek yang cukup.
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.

6. Asfiksia
Penatalaksanaan medis Asfiksia :
Menurut Hidayat (2006) penatalaksanaan untuk asfiksia berdasarkan
Apgar Score yakni:

Asfiksia ringan (7-10)

Bayi dibungkus dengan kain hangat

Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada hidung kemudian


mulut

Bersihkan badan dan tali pusat

Lakukan observasi tanda vital, pantau Apgar Score dan masukkan incubator

Asfiksia sedang (4-6)

Bersihkan jalan napas

Berikan oksigen 2L/menit


Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki. Apabila belum ada
reaksi, bantu pernapasan dengan masker

Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis, berikan nabic 7,5%
sebanyak 6 cc, dektrosa 40% 4 cc disuntikkan melalui vena umbilicus secara
perlahan-lahan untuk mencegah tekanan intrakanial meningkat

Asfiksia berat (0-3)

Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui ambubag

Berikan oksigen 4-5L/menit

Bila tidak berhasil, lakukan pemasangan ETT

Bersihkan jalan napas melalui ETT

Apabila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis berikan nabic 7,5%
sebanyak 6 cc selnjutnya berikan sebanyak 4 cc

Antisipasi kebutuhan resusitasi

Antisipasi, persiapan adekuat, evaluasi akurat dan inisiasi bantuan


sangatlah penting dalam kesuksesan resusitasi neonatus. Pada setiap
kelahiran harus ada setidaknya satu orang yang bertanggung jawab pada
bayi baru lahir. Orang tersebut harus mampu untuk memulai resusitasi,
termasuk pemberian ventilasi tekanan positif dan kompresi dada.

B. RENCANA KEPERAWATAN (lihat SLKI dan SIKI)

Diagnosa Keperawatan : Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan


Ketidakseimbangan ventilasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam
‐ Gangguan pertukaran gas akan berkurang
‐ Status pernafasan : pertukaran gas tidak akan
terganggu
‐ Status pernafasan : ventilasi tidak akan terganggu

Kriteria Hasil : ‐ Fungsi paru dalam batas normal


‐ Ekspansi paru yang simetris
‐ Tidak menggunakan otot bantu untuk bernafas
- pCO3 (3)
- pO2 (3)
- sianosis (3)
- Hemoglobin (3)

Intervensi dan Rasional :

1. Manajemen jalan nafas


Rasional : memfasilitasi kepatenan jalan nafas
2. Terapi oksigen
Rasional : memberikan oksigen dan memantau efektivitasnya
3. Bantuan ventilasi
Rasional : meningkatkan pola pernafasan spontan yang optimal dalam
memaksimalkan pertukaran oksigen dan karbondioksida di
paru
4. Pantau tanda-tanda vital
Rasional : mengumpulkan dan menganalisis data kardiovaskuler,
pernafasan dan suhu tubuh untuk menentukan dan
mencegah komplikasi

DAFTAR PUSTAKA
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA international Nursing
Diagnoses: Definitions & classification, 2015-2017. Oxford : Wiley Blackwell.

Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2014).Medical


surgical Nursing. Mosby: ELSIVER

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia (SDKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia


(SLKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia (SIKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai