Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN

KEBUTUHAN CAIRAN AKIBAT PATOLOGI


SISTEM GANGGUAN HIPOVOLEMIA

Disusun Oleh:

ATIKA RAHMA AYU (1814401064)

Tingkat 2 Reguler 2

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019/2020


PRODI DIII KEPERAWATAN TANJUNGKARANG

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN


KEBUTUHAN CAIRAN AKIBAT PATOLOGI
SISTEM GANGGUAN HIPOVOLEMIA

A. DASAR TEORI
A.1. DEFINISI DIAGNOSA KEPERAWATAN
Penurunan volume cairan intravascular, interstisial, dan/atau
intraselular.(SDKI DPP PPNI, 2016)

A.2. PENYEBAB
1. Kehilangan cairan aktif
2. Kegagalan mekanisme regulasi
3. Peningkatan permeabilitas kapiler
4. Kekurangan intake cairan
5. Evaporasi

A.3. GEJALA DAN TANDA MAYOR


Subjektif :
 (tidak tersedia)
Objektif :
 Frekuensi nadi meningkat
 Nadi teraba lemah
 Tekanan darah menurun
 Tekanan nadi menyempit
 Turgor kulit menurun
 Membrane mukosa kering
 Volume urin menurun
 Hematokrit meningkat
A.3. GEJALA DAN TANDA MINOR
Subjektif :
 Merasa lemah
 Mengeluh haus
Objektif :
 Pengisian vena menurun
 Status mental berubah
 Suhu tubuh meningkat
 Konsentasi urin meningkat
 Berat badan turun tiba-tiba

A.4. KONDISI KLINIS TERKAIT


1. Penyakit Addison
Penyakit Addison, atau insufisiensi adrenokortikol, terjadi bila
fungsi korteks adrenal tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan
pasien akan hormon-hormon korteks adrenal. Atrofi autoimun atau
idiopatik pada kelenjar adrenal merupakan penyebab pada 75% kasus
penyakit Addison (Stren & Tuck, 1994). Penyebab lainnya mencakup
operasi pengangkatan kedua kelenjar tersebut. Tuberkolosis (TB) dan
hitoplasmosis merupakan infeksi yang paling sering ditemukan dan
menyebabkan kerusakan pada kedua kelenjar adrenal. Meskipun
kerusakan kelenjar adrenal akibat proses autoimun telah
menggantikan tuberkolosis yang terjadi akhir-akhir ini harus
mempertimbangkan pencantuman penyakit infeksi ini ke dalam daftar
diagnosis. Sekresi ACTH yang tidak adekuat dari kelenjar hipofisis juga
akan menimbulkan insufisiensi adrenal akibat penurunan stimulasi
korteks adrenal.

Gejala insufisiensi adrenokortikal dapat pula terjadi akibat


penghentian mendadak terapi hormon adrenokortikol yang akan
menekan respond normal tubuh terhadap keadaan stress dan
mengganggu mekanisme umpan balik normal. Terapi dengan
pemberian kortikosteroid setiap hari selama 2 hingga 4 hingga dapat
menekan fungsi korteks adrenal; oleh sebab itu, kemungkinan
penyakit Addison harus diantisipsi pada pasien yang mendapat
pengobatan kortikosteroid. (Brunner & Suddart, 2002)

2. Luka bakar
Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025m 2
pada dewasa. Bila kulit terbakar akan terjadi peningkatan
permeabilitas karena rusaknya pembuluh darah kapiler, dan area-
area sekitarnya. Sehingga terjadi kebocoran cairan intrakapiler ke
intertisial sehingga menimbulkan udem dan bula yang mengandung
banyak elektrolit.
Kulit terbakar juga berakibat kurangnya cairan intravaskuler. Bila
kulit terbakar > 20% dapat terjadi syok hipovolemik dengan gejala:
gelisah, pucat, akral dingin, berkeringat, nadi kecil, cepat, TD
menurun, produksi urin berkurang dan setelah 8 jam dapat terjadi
pembengkakan. Saat pembuluh darah kapiler terpajan suhu tinggi, sel
darah ikut rusak sehingga berpotensi anemia. Sedangkan bila luka
bakar terjadi di wajah dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas
karena asap, gas, atau uap panas yang terhirup, oedema laring
menyebabkan hambatan jalan napas yang mengakibatkan sesak
napas, takipnea, stridor, suara parau, dan dahak bewarna gelap.
Selain itu dapat juga terjadi keracunan gas CO 2, karena hemoglobin
tidak mampu mengikat O2 ditandai dengan lemas, binggung, pusing,
mual, muntah dan berakibat koma bahkan meninggal dunia.
Luka bakar yang tidak steril mudah terkontaminasi dan beresiko
terkena infeksi kuman gram (+) dan (-) contohnya pseudomonas
aeruginosa di tandai dengan warna hijau pada kasa penutup luka
bakar. Infeksi ysng tidak dalam (non invasif) ditandai dengan
keropeng dan nanah. Infeksi invasif ditandai dengan keropeng yang
kering, dan jaringan nekrotik.
Bila luka bakar derajat I dan II sembuh dapat meninggalkan
jaringan parut. Sedangkan pada luka bakar derajat III akan mengalami
kontraktur. Pada luka bakar berat akan dapat ditemukan ileus
paralitik dan stress pada luka bakar berat ini akan mudah mengalami
tukak di mukosa lambung “tukak Curling” dan apabila ini berlanjut
kan menimbulkan ulcus akibat nekrosis mukosa lambung. Kecacatan
pada luka bakar hebat terutama pada wajah beresiko mengalami
beban jiwa yang menimbulkan gangguan jiwa yang disebut
schizophrenia.

3. Penyakit crohn
Enteritis regional umumnya terjadi pada remaja atau dewasa
muda, tetapi dapat terjadi kapan saja selam hidup. Keadaan ini sering
terihat pada populasi 50-80 tahun. Meskipun ini dapat terjadi
dimanasaja disepanjang saluran gastrointestinal, area paling umum
yang serin terkena adalah ilium distal dan kolon.
Enteritis regional adalah inflamasi kronis dan subkutan yang
meluas keseluruh lapisan dimding usus dari mukosa usus, ini disebut
juga transmural. Pembentukan fistula, fisura, dan abses terjadi sesuai
luasnya inflamasi kedalaman peritonium, lesi (ulkus) tidak pada
kontak terus menerus, granuloma terjadi pada setengah kasus. Pada
kasus lanjut mukosa usus mempunyai penampilan ”Coblestone”.
Dengan berlanjutnya penyakit, dinding usus menebal dan menjadi
tibrotit, dan lumen usus menyempit.

4. Muntah
Kemampuan untuk memuntahkan merupakan suatu keuntungan
karena memungkinkan pengeluaran toksin dari lambung. Muntah
terjadi bila terdapat rangsangan pada pusat muntah yang berasal
dari, gastrointestinal, vestibulo okular, aferen kortikal yang lebih
tinggi, menuju CVC kemudian dimulai nausea, retching, ekpulsi isi
lambung. Ada 2 regio anatomi di medulla yang mengontrol muntah,
1) chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan 2) central vomiting centre
(CVC). CTZ terletak di area postrema pada dasar ujung caudal
ventrikel IV di luar blood brain barrier (sawar otak). Koordinasi pusat
muntah dapat dirangsang melalui berbagai jaras. Muntah dapat
terjadi karena tekanan psikologis melalui jaras yang kortek serebri
dan sistem limbik menuju pusat muntah (CVC) dan jika pusat muntah
terangsang melalui vestibular atau sistim vestibuloserebelum dari
labirin di dalam telinga. Rangsangan bahan kimia melalui darah atau
cairan otak (LCS ) akan terdeteksi oleh CTZ. Mekanisme ini menjadi
target dari banyak obat anti emetik. Nervus vagus dan visera
merupakan jaras keempat yang menstimulasi muntah melalui iritasi
saluran cerna dan pengosongan lambung yang lambat. Sekali pusat
muntah terangsang maka cascade ini akan berjalan dan akan
menyebabkan timbulnya muntah. Pencegahan muntah mungkin
dapat melalui mekanisme ini.

5. Diare
Faktor-faktor fisiologi yang menyebabkan diare sangat erat
hubungannya satu dengan lainnya. Misalnya bertambahnya cairan
pada intraluminal akan menyebabkan terangsangnya usus secara
mekanis, sehingga meningkatkan gerakan peristaltik usus dan akan
mempercepat waktu lintas khim dalam usus. Keadaan ini akan
memperpendek waktu sentuhan khim dengan selaput lendir usus,
sehingga penyerapan air, elektrolit dan zat lain akan mengalami
gangguan.

Berdasarkan gangguan fungsi fisiologis saluran cerna dan macam


penyebab dari diare, maka patofisiologi diare dapat dibagi dalam 3
macam kelainan pokok yang berupa :

1.  Kelainan gerakan transmukosal air dan elektrolit (karena toksin)

Gangguan reabsorpsi pada sebagian kecil usus halus sudah


dapat menyebabkan diare, misalnya pada kejadian infeksi. Faktor
lain yang juga cukup penting dalam diare adalah empedu. Ada 4
macam garam empedu yang terdapat di dalam cairan empedu
yang keluar dari kandung empedu. Dehidroksilasi asam
dioksikholik akan menyebabkan sekresi cairan di jejunum dan
kolon, serta akan menghambat absorpsi cairan di dalam kolon. Ini
terjadi karena adanya sentuhan asam dioksikholik secara
langsung pada permukaan mukosa usus. Diduga bakteri
mikroflora usus turut memegang peranan dalam pembentukan
asam dioksi kholik tersebut. Hormon-hormon saluran cerna
diduga juga dapat mempengaruhi absorpsi air pada mukosa. usus
manusia, antara lain adalah: gastrin, sekretin, kholesistokinin dan
glukogen. Suatu perubahan PH cairan usus juga. dapat
menyebabkan terjadinya diare, seperti terjadi pada Sindroma
Zollinger Ellison atau pada Jejunitis.

2.  Kelainan cepat laju bolus makanan didalam lumen usus


(invasive diarrhea)

Suatu proses absorpsi dapat berlangsung sempurna dan


normal bila bolus makanan tercampur baik dengan enzim-enzim
saluran cerna dan. berada dalam keadaan yang cukup tercerna.
Juga. waktu sentuhan yang adekuat antara khim dan permukaan
mukosa usus halus diperlukan untuk absorpsi yang normal.
Permukaan mukosa usus halus kemampuannya berfungsi sangat
kompensatif, ini terbukti pada penderita yang masih dapat hidup
setelah reseksi usus, walaupun waktu lintas menjadi sangat
singkat. Motilitas usus merupakan faktor yang berperanan
penting dalam ketahanan local mukosa usus. Hipomotilitas dan
stasis dapat menyebabkan mikro organisme berkembang biak
secara berlebihan (tumbuh lampau atau overgrowth) yang
kemudian dapat merusak mukosa usus, menimbulkan gangguan
digesti dan absorpsi, yang kemudian menimbulkan diare.
Hipermotilitas dapat terjadi karena rangsangan hormon
prostaglandin, gastrin, pankreosimin; dalam hal ini dapat
memberikan efek langsung sebagai diare. Selain itu hipermotilitas
juga dapat terjadi karena pengaruh
enterotoksin staphilococcus maupun kholera atau karena ulkus
mikro yang invasif o1eh Shigella atau Salmonella.Selain uraian di
atas haruslah diingat bahwa hubungan antara aktivitas otot polos
usus,gerakan isi lumen usus dan absorpsi mukosa usus
merupakan suatu mekanisme yang sangat kompleks.

3.  Kelainan tekanan osmotik dalam lumen usus (virus).

Dalam beberapa keadaan tertentu setiap pembebanan usus


yang melebihi kapasitas dari pencernaan dan absorpsinya akan
menimbulkan diare. Adanya malabsorpsi dari hidrat arang, lemak
dan zat putih telur akan menimbulkan kenaikan daya tekanan
osmotik intra luminal, sehingga akan dapat menimbulkan
gangguan absorpsi air. Malabsorpsi hidrat arang pada umumnya
sebagai malabsorpsi laktosa yang terjadi karena defesiensi enzim
laktase. Dalam hal ini laktosa yang terdapat dalam susu tidak
sempurna mengalami hidrolisis dan kurang di absorpsi oleh usus
halus. Kemudian bakteri-bakteri dalam usus besar memecah
laktosa menjadi monosakharida dan fermentasi seterusnya
menjadi gugusan asam organik dengan rantai atom karbon yang
lebih pendek yang terdiri atas 2-4 atom karbon. Molekul-molekul
inilah yang secara aktif dapat menahan air dalam lumen kolon
hingga terjadi diare. Defisiensi laktase sekunder atau dalam
pengertian yang lebih luas sebagai defisiensi disakharidase
(meliputi sukrase, maltase, isomaltase dan trehalase) dapat
terjadi pada setiap kelainan pada mukosa usus halus. Hal tersebut
dapat terjadi karena enzim-enzim tadi terdapat pada brush
border epitel mukosa usus. Asam-asam lemak berantai panjang
tidak dapat menyebabkan tingginya tekanan osmotik dalam
lumen usus karena asam ini tidak larut dalam air

6. Kolitis ulseratif
Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan inflamasi berulang
dari lapisan mukosa kolon dan rektum. Puncak insiden kolitis ulseratif
adalah pada usia 30 sampai 50 tahun.
Perdarahan terjadi sebagai akibat dari ulserasi. Lesi berlanjut,
yang terjadi satu secara bergiliran, satu lesi diikuti oleh lesi yang
lainnya. Proses penyakit mulai pada rektum dan akhirnya dapat
mengenai seluruh kolon. Akhirnya usus menyempit, memendek, dan
menebal akibat hipertrofi muskuler dan deposit lemak. (Brunner &
Suddarth, 2002, hal 1106).
Kolitis ulseratif merupakan penyakit primer yang didapatkan pada
kolon, yang merupakan perluasan dari rektum. Kelainan pada rektum
yang menyebar kebagian kolon yang lain dengan gambaran mukosa
yang normal tidak dijumpai. Kelainan ini akan behenti pada daerah
ileosekal, namun pada keadaan yang berat kelainan dapat terjadi
pada ileum terminalis dan appendiks. Pada daerah ileosekal akan
terjadi kerusakan sfingter dan terjadi inkompetensi. Panjang kolon
akan menjadi 2/3 normal, pemendekan ini disebakan terjadinya
kelainan muskuler terutama pada kolon distal dan rektum. Terjadinya
striktur tidak selalu didapatkan pada penyakit ini, melainkan dapat
terjadi hipertrofi lokal lapisan muskularis yang akan berakibat
stenosis yang reversibel
Lesi patologik awal hanya terbatas pada lapisan mukosa, berupa
pembentukan abses pada kriptus, yang jelas berbeda dengan lesi
pada penyakit crohn yang menyerang seluruh tebal dinding
usus. Pada permulaan penyakit, timbul edema dan kongesti mukosa.
Edema dapat menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi
perdarahan pada trauma yang hanya ringan, seperti gesekan ringan
pada permukaan.
Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kriptus pecah
menembus dinding kriptus dan menyebar dalam lapisan submukosa,
menimbulkan terowongan dalam mukosa. Mukosa kemudian terlepas
menyisakan daerah yang tidak bermukosa (tukak). Tukak mula- mula
tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium yang lebih lanjut,
permukaan mukosa yang hilang menjadi lebih luas sekali sehingga
menyebabkan banyak kehilangan jaringan, protein dan darah.
A.4. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Penyakit Addison
Penatalaksanaan medis penyakit addison :

1)   Terapi dengan pemberian kortikostiroid setiap hari selama 2 sampai 4


minggu dosis 12,5 – 50 mg/hr

2)   Hidrkortison (solu – cortef) disuntikan secara IV

3)   Prednison (7,5 mg/hr) dalam dosis terbagi diberikan untuk terapi


pengganti kortisol

4)   Pemberian infus dekstrose 5% dalam larutan saline

5)   Fludrukortison : 0,05 – 0,1 mg/hr diberikan per oral

2. Luka bakar

Penatalaksanaan medis pada penderita luka bakar sebagai berikut:

a.         Mematikan sumber api


Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api pada seluruh
tubuh (menyelimuti, menutup bagian yang terbakar, berguling,
menjatuhkan diri ke air).
b.         Merendam atau mengaliri luka
Setelah sumber panas hilang adalah dengan merendam luka bakar
dalam air atau menyiram dengan air mengalir selama kurang lebih 15
menit. Pada luka bakar ringan tujuan ini adalah untuk menghentikan
proses koagulasi protein sel jaringan dan menurunkan suhu jaringan
agar memperkecil derajat luka dan mencegah infeksi sehingga sel-sel
epitel mampu berfoliferasi.
c.         Rujuk ke Rumah Sakit
Pada luka bakar dalam pasien harus segera di bawa ker Rumah
Sakit yang memiliki unit luka bakar dan selama perjalanan pasien sudah
terpasang infus.

3. Penyakit crohn
Penatalaksanaan medis amentosa Crohn’s disease dapat dibagi
menjadi terapi terhadap kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan. Dalam
terapi terhadap kekambuhan akut, pemicu-pemicu seperti infeksi yang
mendasari, fistula, perforasi, dan proses patologi lainnya harus dihilangkan
terlebih dahulu sebelum dilakukannya terapi glukokortikoid intravena.

Obat-obatan yang digunakan dalam terapi terapi Crohn’s disease


mencakup antibiotika, aminosalisilat, kortikosteroid, dan imunomodulator.
Sebagai terapi utama pada kondisi akut, hidrokortison atau
metilprednisolon intravena sering digunakan sebagai tambahan terhadap
metronidazole dan pengistirahatan usus. Penggunaan terapi steroid
terbatas untuk mencapai respons yang cepat dalam waktu singkat karena
pada penggunaan jangka lama mempunyai berbagai efek samping, seperti
osteonekrosis, myopati, osteoporosis, dan gangguan pertumbuhan. Dapat
pula digunakan inhibitor imunitas yang diperantarai sel yaitu cyclosporine
secara intravena jika pasien menunjukkan respons yang buruk terhadap
terapi kortikosteroid.
Tujuan dari terapi kronis adalah menghilangkan inflamasi usus.
Aminosalisilat merupakan terapi pilihan karena aktivitas antiinflamasinya.
Berbagai obat telah digunakan, yang masing-masing mempunyai target
lokasi yang berbeda pada usus. Sulfasalazine dan balsalazide terutama
dilepaskan di colon. Dipentum dan Asacol terutama dilepaskan di ileum
distal dan colon. Pentasa dapat dilepaskan di duodenum hingga colon
bagian distal, sementara Rowasa secara spesifik digunakan untuk rectum
dan colon bagian distal.
Methotrexate, azathioprine, dan 6-mercaptopurine adalah modulator
sistem imun non-steroid yang dapat ditoleransi dengan baik. Azathioprine,
yang secara non-enzymatis dikonversi di dalam tubuh menjadi 6-
mercaptopurine, selanjutnya dimetabolisme menjadi asam thioinosinic,
yang merupakan zat inhibitor sintesa purin. Efek samping dari azathioprine
and 6-mercaptopurine jarang terjadi dibandingkan dengan steroid.

4. Muntah
Penatalaksanaan medis pada pasien dengan keluhan muntah adalah
mengkoreksi keadaan hipovolemi dan gangguan elektrolit. Pada penyakit
gastroenteritis akut dengan muntah, obat rehidrasi oral biasanya sudah
cukup untuk mengatasi dehidrasi. Pada muntah bilier atau suspek obstuksi
intestinal penatalaksanaan awalnya adalah dengan tidak memberikan
makanan secara peroral serta memasang nasogastic tube yang
dihubungkan dengan intermittent suction. Pada keadaan ini memerlukan
konsultasi dengan bagian bedah untuk penatalaksanaan lebih lanjut.
Pengobatan muntah ditujukan pada penyebab spesifik muntah yang dapat
diidentifikasi. Penggunaan antiemetik pada bayi dan anak tanpa
mengetahui penyebab yang jelas tidak dianjurkan. Bahkan kontraindikasi
pada bayi dan anak dengan gastroenteritis sekunder atau kelainan
anatomis saluran gastrointestinal yang merupakan kasus bedah misalnya,
hiperthrophic pyoric stenosis (HPS), apendisitis, batu ginjal, obstruksi usus,
dan peningkatan tekanan intrakranial. Hanya pada keadaan tertentu
antiemetik dapat digunakan dan mungkin efektif, misalnya pada mabuk
perjalanan (motion sickness), mual dan muntah pasca operasi, kemoterapi
kanker, muntah siklik, gastroparesis, dan gangguan motilitas saluran
gastrointestinal. Terapi farmakologis muntah pada bayi dan anak adalah
sebagai berikut : 1. Antagonis dopamin Tidak diperlukan pada muntah akut
disebabkan infeksi gastrointestinal karena biasanya merupakan self limited.
Obat-obatan antiemetik biasanya diperlukan pada muntah pasca operasi,
mabuk perjalanan, muntah yang disebabkan oleh obat-obatan sitotoksik,
dan penyakit refluks gastroesofageal. Contohnya Metoklopramid dengan
dosis pada bayi 0.1 mg/kgBB/kali PO 3-4 kali per hari. Pasca operasi 0.25
mg/kgBB per dosis IV 3-4 kali/hari bila perlu. Dosis maksimal pada bayi 0.75
mg/kgBB/hari. Akan tetapi obat ini sekarang sudah jarang digunakan karena
mempunyai efek ekstrapiramidal seperti reaksi distonia dan diskinetik serta
krisis okulonergik. Domperidon adalah obat pilihan yang banyak digunakan
sekarang ini karenadapat dikatakan lebih aman. Domperidon merupakan
derivate benzimidazolin yang secara invitro merupakan antagonis
dopamine. Domperidon mencegah refluks esophagus berdasarkan efek
peningkatan tonus sfingter esophagus bagian bawah. 2. Antagonisme
terhadap histamine (AH1) Diphenhydramine dan Dimenhydrinate
(Dramamine) termasuk dalam golongan etanolamin. Golongan etanolamin
memiliki efek antiemetik paling kuat diantara antihistamin (AH1) lainnya.
Kedua obat ini bermanfaat untuk mengatasi mabuk perjalanan (motion
sickness) atau kelainan vestibuler. Dosisnya oral: 1-1,5mg/kgBB/hari dibagi
dalam 4-6 dosis. IV/IM: 5 mg/kgBB/haridibagi dalam 4 dosis. 3.
Prokloperazin dan Klorpromerazin Merupakan derivate fenotiazin. Dapat
mengurangi atau mencegah muntah yang disebabkan oleh rangsangan
pada CTZ. Mempunyai efek kombinasi antikolinergik dan antihistamin untuk
mengatasi muntah akibat obatobatan, radiasi dan gastroenteritis. Hanya
boleh digunakan untuk anak diatas 2 tahun dengan dosis 0.4–0.6
mg/kgBB/hari tiap dibagi dalam 3-4 dosis, dosis maksimal berat badan 4.
Antikolinergik Skopolamine dapat juga memberikan perbaikan pada
muntah karena faktor vestibular atau stimulus oleh mediator proemetik.
Dosis yang digunakan adalah 0,6 mikrogram/kgBB/ hari dibagi dalam 4 dosis
dengan dosis maksimal 0,3mg per dosis. 5. 5-HT3 antagonis serotonin Yang
sering digunakan adalah Ondanasetron. Mekanisme kerjanya diduga
dilangsungkan dengan mengantagonisasi reseptor 5-HT yang terdapat pada
CTZ di area postrema otak dan mungkin juga pada aferen vagal saluran
cerna. Ondansentron tidak efektif untuk pengobatan motion sickness. Dosis
mengatasi muntah akibat kemoterapi 4–18 tahun: 0.15 mg/kgBB IV 30
menit senelum kemoterapi diberikan, diulang 4 dan 8 jam setelah dosis
pertama diberikan kemudiansetiap 8jam untuk 1-2 hari berikutnya. Dosis
pascaoperasi: 2–12 yr 40 kg: 4 mg IV; >12 yr: dosis dewasa8 mg PO/kali.

5. Diare
Penatalaksanaan medis diare pada balita adalah LINTAS DIARE (Lima
Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan Dokter Anak
Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-satunya cara
untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta mempercepat
penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi
akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati diare. Adapun
program LINTAS Diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare) yaitu:

1.  Berikan Oralit

Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari


rumah tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila
tidak tersedia berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur,
air matang. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang baru
dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan
muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare
untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum
harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan
cairan melalui infus.

2.  Berikan obat Zinc


Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh.
Zinc dapat menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase),
dimana ekskresi enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan
hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan dalam epitelisasi dinding
usus yang mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama kejadian
diare. Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama
dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar,
mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare
pada 3 bulan berikutnya.(Black, 2003).

3.  Pemberian ASI / Makanan :

Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi


pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta
mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum Asi harus
lebih sering di beri ASI. Anak yang minum susu formula juga diberikan
lebih sering dari biasanya. Anak uis 6 bulan atau lebih termasuk bayi
yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan yang
mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering.
Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2
minggu untuk membantu pemulihan berat badan.

4.  Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi

Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya


kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika
hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebagian besar
karena shigellosis), suspek kolera.Obat-obatan Anti diare juga tidak
boleh diberikan pada anak yang menderita diare karena terbukti tidak
bermanfaat. Obat anti muntah tidak di anjurkan kecuali muntah berat.
Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status
gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping yang
bebahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila
terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).

5.  Pemberian Nasehat

Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi
nasehat tentang :

a.    Cara memberikan cairan dan obat di rumah

b.    Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :

  Diare lebih sering

  Muntah berulang

  Sangat haus

  Makan/minum sedikit

  Timbul demam

  Tinja berdarah

  Tidak membaik dalam 3 hari.

6. Kolitis ulseratif
Penatalaksanaan Medis
        Terapi Obat - obatan
Terapi obat-obatan. Obat-obatan sedatif dan
antidiare/antiperistaltik digunakan untuk mengurangi peristaltik
sampai minimum untuk mengistirahatkan usus yang terinflamasi.
Terapi ini dilanjutkan sampai frekuensi defekasi dan kosistensi feses
klien mendekati normal.
Sulfonamida seperti sulfasalazin (azulfidine) atau sulfisoxazol
(gantrisin) biasanya efektif untuk menangani inflamasi ringan dan
sedang. Antibiotik digunakan untuk infeksi sekunder, terutama
untuk komplikasi purulen seperti abses, perforasi, dan peritonitis.
Azulfidin membantu dalam mencegah kekambuhan. (Brunner &
Suddarth, 2002, hal 1107-1108).

B. RENCANA KEPERAWATAN (lihat SLKI dan SIKI)

Diagnosa Keperawatan : Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan


cairan-cairan aktif
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit
Kriteria Hasil : 1. Mukosa bibir lembap
2. Turgor kulit elastis
3. TTV dalam batas normal
4. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi
5. Intake dan output cairan seimbang

Intervensi dan Rasional :

1. Pantau status hidrasi


Rasional : Untuk mengetahui adanya tanda-tanda dehidrasi dan
mencegah syok hipovolemik
2. Monitor intake cairan dan output
Rasional : Untuk mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk
mengatur keseimbangan cairan.
3. Berikan terapi IV, sesuai program
Rasional : Untuk memberikan hidrasi cairan tubuh secara parenteral
4. Anjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan sedikitnya 8 gelas sehari
Rasional: mengganti kehilangan cairan dalam tubuh
5. Kolaborasi pemberian cairan intravena jika diinstruksikan
Rasional: membantu memenuhi kebutuhan cairan dalam tubuh
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA international Nursing


Diagnoses: Definitions & classification, 2015-2017. Oxford : Wiley Blackwell.

R. Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta. EGC

Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2014).Medical surgical
Nursing. Mosby: ELSIVER

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia


(SDKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), 
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia


(SIKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai