Disusun Oleh:
Tingkat 2 Reguler 2
A. DASAR TEORI
A.1. DEFINISI DIAGNOSA KEPERAWATAN
Penurunan volume cairan intravascular, interstisial, dan/atau
intraselular.(SDKI DPP PPNI, 2016)
A.2. PENYEBAB
1. Kehilangan cairan aktif
2. Kegagalan mekanisme regulasi
3. Peningkatan permeabilitas kapiler
4. Kekurangan intake cairan
5. Evaporasi
2. Luka bakar
Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025m 2
pada dewasa. Bila kulit terbakar akan terjadi peningkatan
permeabilitas karena rusaknya pembuluh darah kapiler, dan area-
area sekitarnya. Sehingga terjadi kebocoran cairan intrakapiler ke
intertisial sehingga menimbulkan udem dan bula yang mengandung
banyak elektrolit.
Kulit terbakar juga berakibat kurangnya cairan intravaskuler. Bila
kulit terbakar > 20% dapat terjadi syok hipovolemik dengan gejala:
gelisah, pucat, akral dingin, berkeringat, nadi kecil, cepat, TD
menurun, produksi urin berkurang dan setelah 8 jam dapat terjadi
pembengkakan. Saat pembuluh darah kapiler terpajan suhu tinggi, sel
darah ikut rusak sehingga berpotensi anemia. Sedangkan bila luka
bakar terjadi di wajah dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas
karena asap, gas, atau uap panas yang terhirup, oedema laring
menyebabkan hambatan jalan napas yang mengakibatkan sesak
napas, takipnea, stridor, suara parau, dan dahak bewarna gelap.
Selain itu dapat juga terjadi keracunan gas CO 2, karena hemoglobin
tidak mampu mengikat O2 ditandai dengan lemas, binggung, pusing,
mual, muntah dan berakibat koma bahkan meninggal dunia.
Luka bakar yang tidak steril mudah terkontaminasi dan beresiko
terkena infeksi kuman gram (+) dan (-) contohnya pseudomonas
aeruginosa di tandai dengan warna hijau pada kasa penutup luka
bakar. Infeksi ysng tidak dalam (non invasif) ditandai dengan
keropeng dan nanah. Infeksi invasif ditandai dengan keropeng yang
kering, dan jaringan nekrotik.
Bila luka bakar derajat I dan II sembuh dapat meninggalkan
jaringan parut. Sedangkan pada luka bakar derajat III akan mengalami
kontraktur. Pada luka bakar berat akan dapat ditemukan ileus
paralitik dan stress pada luka bakar berat ini akan mudah mengalami
tukak di mukosa lambung “tukak Curling” dan apabila ini berlanjut
kan menimbulkan ulcus akibat nekrosis mukosa lambung. Kecacatan
pada luka bakar hebat terutama pada wajah beresiko mengalami
beban jiwa yang menimbulkan gangguan jiwa yang disebut
schizophrenia.
3. Penyakit crohn
Enteritis regional umumnya terjadi pada remaja atau dewasa
muda, tetapi dapat terjadi kapan saja selam hidup. Keadaan ini sering
terihat pada populasi 50-80 tahun. Meskipun ini dapat terjadi
dimanasaja disepanjang saluran gastrointestinal, area paling umum
yang serin terkena adalah ilium distal dan kolon.
Enteritis regional adalah inflamasi kronis dan subkutan yang
meluas keseluruh lapisan dimding usus dari mukosa usus, ini disebut
juga transmural. Pembentukan fistula, fisura, dan abses terjadi sesuai
luasnya inflamasi kedalaman peritonium, lesi (ulkus) tidak pada
kontak terus menerus, granuloma terjadi pada setengah kasus. Pada
kasus lanjut mukosa usus mempunyai penampilan ”Coblestone”.
Dengan berlanjutnya penyakit, dinding usus menebal dan menjadi
tibrotit, dan lumen usus menyempit.
4. Muntah
Kemampuan untuk memuntahkan merupakan suatu keuntungan
karena memungkinkan pengeluaran toksin dari lambung. Muntah
terjadi bila terdapat rangsangan pada pusat muntah yang berasal
dari, gastrointestinal, vestibulo okular, aferen kortikal yang lebih
tinggi, menuju CVC kemudian dimulai nausea, retching, ekpulsi isi
lambung. Ada 2 regio anatomi di medulla yang mengontrol muntah,
1) chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan 2) central vomiting centre
(CVC). CTZ terletak di area postrema pada dasar ujung caudal
ventrikel IV di luar blood brain barrier (sawar otak). Koordinasi pusat
muntah dapat dirangsang melalui berbagai jaras. Muntah dapat
terjadi karena tekanan psikologis melalui jaras yang kortek serebri
dan sistem limbik menuju pusat muntah (CVC) dan jika pusat muntah
terangsang melalui vestibular atau sistim vestibuloserebelum dari
labirin di dalam telinga. Rangsangan bahan kimia melalui darah atau
cairan otak (LCS ) akan terdeteksi oleh CTZ. Mekanisme ini menjadi
target dari banyak obat anti emetik. Nervus vagus dan visera
merupakan jaras keempat yang menstimulasi muntah melalui iritasi
saluran cerna dan pengosongan lambung yang lambat. Sekali pusat
muntah terangsang maka cascade ini akan berjalan dan akan
menyebabkan timbulnya muntah. Pencegahan muntah mungkin
dapat melalui mekanisme ini.
5. Diare
Faktor-faktor fisiologi yang menyebabkan diare sangat erat
hubungannya satu dengan lainnya. Misalnya bertambahnya cairan
pada intraluminal akan menyebabkan terangsangnya usus secara
mekanis, sehingga meningkatkan gerakan peristaltik usus dan akan
mempercepat waktu lintas khim dalam usus. Keadaan ini akan
memperpendek waktu sentuhan khim dengan selaput lendir usus,
sehingga penyerapan air, elektrolit dan zat lain akan mengalami
gangguan.
6. Kolitis ulseratif
Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan inflamasi berulang
dari lapisan mukosa kolon dan rektum. Puncak insiden kolitis ulseratif
adalah pada usia 30 sampai 50 tahun.
Perdarahan terjadi sebagai akibat dari ulserasi. Lesi berlanjut,
yang terjadi satu secara bergiliran, satu lesi diikuti oleh lesi yang
lainnya. Proses penyakit mulai pada rektum dan akhirnya dapat
mengenai seluruh kolon. Akhirnya usus menyempit, memendek, dan
menebal akibat hipertrofi muskuler dan deposit lemak. (Brunner &
Suddarth, 2002, hal 1106).
Kolitis ulseratif merupakan penyakit primer yang didapatkan pada
kolon, yang merupakan perluasan dari rektum. Kelainan pada rektum
yang menyebar kebagian kolon yang lain dengan gambaran mukosa
yang normal tidak dijumpai. Kelainan ini akan behenti pada daerah
ileosekal, namun pada keadaan yang berat kelainan dapat terjadi
pada ileum terminalis dan appendiks. Pada daerah ileosekal akan
terjadi kerusakan sfingter dan terjadi inkompetensi. Panjang kolon
akan menjadi 2/3 normal, pemendekan ini disebakan terjadinya
kelainan muskuler terutama pada kolon distal dan rektum. Terjadinya
striktur tidak selalu didapatkan pada penyakit ini, melainkan dapat
terjadi hipertrofi lokal lapisan muskularis yang akan berakibat
stenosis yang reversibel
Lesi patologik awal hanya terbatas pada lapisan mukosa, berupa
pembentukan abses pada kriptus, yang jelas berbeda dengan lesi
pada penyakit crohn yang menyerang seluruh tebal dinding
usus. Pada permulaan penyakit, timbul edema dan kongesti mukosa.
Edema dapat menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi
perdarahan pada trauma yang hanya ringan, seperti gesekan ringan
pada permukaan.
Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kriptus pecah
menembus dinding kriptus dan menyebar dalam lapisan submukosa,
menimbulkan terowongan dalam mukosa. Mukosa kemudian terlepas
menyisakan daerah yang tidak bermukosa (tukak). Tukak mula- mula
tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium yang lebih lanjut,
permukaan mukosa yang hilang menjadi lebih luas sekali sehingga
menyebabkan banyak kehilangan jaringan, protein dan darah.
A.4. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Penyakit Addison
Penatalaksanaan medis penyakit addison :
2. Luka bakar
3. Penyakit crohn
Penatalaksanaan medis amentosa Crohn’s disease dapat dibagi
menjadi terapi terhadap kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan. Dalam
terapi terhadap kekambuhan akut, pemicu-pemicu seperti infeksi yang
mendasari, fistula, perforasi, dan proses patologi lainnya harus dihilangkan
terlebih dahulu sebelum dilakukannya terapi glukokortikoid intravena.
4. Muntah
Penatalaksanaan medis pada pasien dengan keluhan muntah adalah
mengkoreksi keadaan hipovolemi dan gangguan elektrolit. Pada penyakit
gastroenteritis akut dengan muntah, obat rehidrasi oral biasanya sudah
cukup untuk mengatasi dehidrasi. Pada muntah bilier atau suspek obstuksi
intestinal penatalaksanaan awalnya adalah dengan tidak memberikan
makanan secara peroral serta memasang nasogastic tube yang
dihubungkan dengan intermittent suction. Pada keadaan ini memerlukan
konsultasi dengan bagian bedah untuk penatalaksanaan lebih lanjut.
Pengobatan muntah ditujukan pada penyebab spesifik muntah yang dapat
diidentifikasi. Penggunaan antiemetik pada bayi dan anak tanpa
mengetahui penyebab yang jelas tidak dianjurkan. Bahkan kontraindikasi
pada bayi dan anak dengan gastroenteritis sekunder atau kelainan
anatomis saluran gastrointestinal yang merupakan kasus bedah misalnya,
hiperthrophic pyoric stenosis (HPS), apendisitis, batu ginjal, obstruksi usus,
dan peningkatan tekanan intrakranial. Hanya pada keadaan tertentu
antiemetik dapat digunakan dan mungkin efektif, misalnya pada mabuk
perjalanan (motion sickness), mual dan muntah pasca operasi, kemoterapi
kanker, muntah siklik, gastroparesis, dan gangguan motilitas saluran
gastrointestinal. Terapi farmakologis muntah pada bayi dan anak adalah
sebagai berikut : 1. Antagonis dopamin Tidak diperlukan pada muntah akut
disebabkan infeksi gastrointestinal karena biasanya merupakan self limited.
Obat-obatan antiemetik biasanya diperlukan pada muntah pasca operasi,
mabuk perjalanan, muntah yang disebabkan oleh obat-obatan sitotoksik,
dan penyakit refluks gastroesofageal. Contohnya Metoklopramid dengan
dosis pada bayi 0.1 mg/kgBB/kali PO 3-4 kali per hari. Pasca operasi 0.25
mg/kgBB per dosis IV 3-4 kali/hari bila perlu. Dosis maksimal pada bayi 0.75
mg/kgBB/hari. Akan tetapi obat ini sekarang sudah jarang digunakan karena
mempunyai efek ekstrapiramidal seperti reaksi distonia dan diskinetik serta
krisis okulonergik. Domperidon adalah obat pilihan yang banyak digunakan
sekarang ini karenadapat dikatakan lebih aman. Domperidon merupakan
derivate benzimidazolin yang secara invitro merupakan antagonis
dopamine. Domperidon mencegah refluks esophagus berdasarkan efek
peningkatan tonus sfingter esophagus bagian bawah. 2. Antagonisme
terhadap histamine (AH1) Diphenhydramine dan Dimenhydrinate
(Dramamine) termasuk dalam golongan etanolamin. Golongan etanolamin
memiliki efek antiemetik paling kuat diantara antihistamin (AH1) lainnya.
Kedua obat ini bermanfaat untuk mengatasi mabuk perjalanan (motion
sickness) atau kelainan vestibuler. Dosisnya oral: 1-1,5mg/kgBB/hari dibagi
dalam 4-6 dosis. IV/IM: 5 mg/kgBB/haridibagi dalam 4 dosis. 3.
Prokloperazin dan Klorpromerazin Merupakan derivate fenotiazin. Dapat
mengurangi atau mencegah muntah yang disebabkan oleh rangsangan
pada CTZ. Mempunyai efek kombinasi antikolinergik dan antihistamin untuk
mengatasi muntah akibat obatobatan, radiasi dan gastroenteritis. Hanya
boleh digunakan untuk anak diatas 2 tahun dengan dosis 0.4–0.6
mg/kgBB/hari tiap dibagi dalam 3-4 dosis, dosis maksimal berat badan 4.
Antikolinergik Skopolamine dapat juga memberikan perbaikan pada
muntah karena faktor vestibular atau stimulus oleh mediator proemetik.
Dosis yang digunakan adalah 0,6 mikrogram/kgBB/ hari dibagi dalam 4 dosis
dengan dosis maksimal 0,3mg per dosis. 5. 5-HT3 antagonis serotonin Yang
sering digunakan adalah Ondanasetron. Mekanisme kerjanya diduga
dilangsungkan dengan mengantagonisasi reseptor 5-HT yang terdapat pada
CTZ di area postrema otak dan mungkin juga pada aferen vagal saluran
cerna. Ondansentron tidak efektif untuk pengobatan motion sickness. Dosis
mengatasi muntah akibat kemoterapi 4–18 tahun: 0.15 mg/kgBB IV 30
menit senelum kemoterapi diberikan, diulang 4 dan 8 jam setelah dosis
pertama diberikan kemudiansetiap 8jam untuk 1-2 hari berikutnya. Dosis
pascaoperasi: 2–12 yr 40 kg: 4 mg IV; >12 yr: dosis dewasa8 mg PO/kali.
5. Diare
Penatalaksanaan medis diare pada balita adalah LINTAS DIARE (Lima
Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan Dokter Anak
Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-satunya cara
untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta mempercepat
penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi
akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati diare. Adapun
program LINTAS Diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare) yaitu:
1. Berikan Oralit
5. Pemberian Nasehat
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi
nasehat tentang :
Muntah berulang
Sangat haus
Makan/minum sedikit
Timbul demam
Tinja berdarah
6. Kolitis ulseratif
Penatalaksanaan Medis
Terapi Obat - obatan
Terapi obat-obatan. Obat-obatan sedatif dan
antidiare/antiperistaltik digunakan untuk mengurangi peristaltik
sampai minimum untuk mengistirahatkan usus yang terinflamasi.
Terapi ini dilanjutkan sampai frekuensi defekasi dan kosistensi feses
klien mendekati normal.
Sulfonamida seperti sulfasalazin (azulfidine) atau sulfisoxazol
(gantrisin) biasanya efektif untuk menangani inflamasi ringan dan
sedang. Antibiotik digunakan untuk infeksi sekunder, terutama
untuk komplikasi purulen seperti abses, perforasi, dan peritonitis.
Azulfidin membantu dalam mencegah kekambuhan. (Brunner &
Suddarth, 2002, hal 1107-1108).
Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2014).Medical surgical
Nursing. Mosby: ELSIVER
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia