Anda di halaman 1dari 32

KOTA SUBANG DARI 1850 SAMPAI 1968

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh :

Nama CONTOH YA INI


NIM. 1234567890

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA

2022
DAFTAR ISI

A. Latar Belakang…………………………………………… ………….1


B. Rumusan Masalah…………………………………………… ………2
C. Batasan Penelitian…………………………………………… ………3
D. Tinjauan Pustaka……………………………………………. ………4
E. Kerangka Konseptual…………………………………………….. …5
F. Metode Penelitian……………………………………….…… ………6
G. Sistematika …………………………………………… ………..……7
Daftar Pustaka…………………………………………….. ……………8
Lampiran…………………………………………………………………9
A. Latar Belakang

Dalam perkembangan historiografi kota-kota di Indonesia, penulisan sejarah

kota banyak dilakukan oleh sejarawan. Namun ketertarikan mereka hanya kepada

kota-kota besar. Dengan demikian, kajian mengenai kota-kota kecil masih jarang

ditemukan. Hal ini bisa terjadi karena dua hal. Pertama, kota-kota kecil dianggap

tidak memiliki peran sentral dalam perkembangan sejarah nasional. Padahal,

gambaran mengenai kota-kota kecil dapat menggambarkan secara lebih utuh kajian

tentang kota-kota di Indonesia. Kedua, kurang lengkapnya sumber menjadikan para

sejarawan tidak terlalu tertarik pada kajian kota-kota kecil. Namun demikian,

terbatasnya sumber seharusnya tidak menimbulkan suatu kecenderungan untuk

menghilangkan ketertarikan terhadap kota-kota kecil itu (Kuntowijoyo, 2003: 59).

Kota Subang1 adalah salah satu kota kecil di Indonesia yang cukup menarik

untuk dikaji. Selain untuk menggambarkan secara lebih utuh kajian mengenai kota-

kota di Indonesia, juga untuk menunjukkan peran Kota Subang dalam sejarah

nasional karena kejadian-kejadian historis pada tingkat lokal merupakan dimensi dari

1
Penyebutan daerah sebagai sebuah kota seringkali mengarah kepada daerah otonom yang dipimpin
oleh seorang walikota. Namun demikian, menurut penilaian Purnawan Basundoro (2012: 100), ibu
kota kabupaten dapat juga disebut sebagai kota. Ia menyebutnya dengan sebutan kota kabupaten.
Dengan demikian, Kota Subang merupakan kota dari Kabupaten Subang.

1
2

sejarah nasional (Kartodirdjo, 2014: 47). Untuk itu, pengkajian lebih mendalam

mengenai Kota Subang penting untuk dilakukan.

Dari abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-20, orang-orang Belanda

memainkan peranan yang penting dalam menciptakan perubahan yang terjadi di

Indonesia, khususnya Jawa. Tanpa kecuali, Subang2 adalah wilayah yang

perkembangannya sangat dipengaruhi oleh orang-orang Belanda. Buktinya, pada

awal abad ke-19, Kabupaten Subang menjadi tanah partikelir bernama Pamanoekan

en Tjiassemlanden (P en T).3 Dampaknya, daerah tersebut mulai diatur secara rapi

dengan batas-batas yang jelas. Batas-batas wilayah Subang pada saat itu terefleksikan

pada batas-batas wilayah Subang hari ini yang disebut sebagai Kabupaten Subang

(Effendhie, 1990:1).

Namun demikian, perkembangan yang sesungguhnya mengenai Kota Subang

tidak terjadi bersamaan dengan penentuan status Subang sebagai tanah pertikelir yang

menunjukkan wilayah Kabupaten Subang secara administratif. Pertumbuhan dan

perkembangan Kota Subang setidak-tidaknya baru terjadi sekitar 1850. Menurut

2
Nama Subang sekarang digunakan untuk menunjukkan dua wilayah administratif. Pertama, Subang
sebagai kabupaten. Kedua Subang sebagai ibu kota kabupaten atau Kota Subang. Untuk
memudahkan pengkajian maka digunakan nama Kota Subang sebagai wilayah penelitian. Sementara
itu, penyebutan Subang tanpa diawali kata kota merujuk pada wilayah administratif pertama atau
yang disebut dengan Kabupaten Subang.
3
Pada awalnya, daerah Subang bukan merupakan daerah otonom. Ia dikenal sebagai daerah
Karawang saja. Namun, perubahan terjadi pada daerah itu ketika Raffles menjual sebagian tanah
jajahan. Penjualan tersebut dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, kondisi keuangan pemerintah
jajahan saat itu yang semakin hari kian memburuk. Kedua, masuknya kepentingan-kepentingan
pribadi dari para pebisnis Eropa yang kemudian mendesak Raffles untuk menjual sebagian tanahnya
(Effendhie, 1998: 160).
3

Machmoed Effendhie (1998: 95), pada 1850 tuan tanah4 Peter William

Hoflandmemilih, menjadikan Desa Tengeragoeng sebagai tempat kediamannya.

Selain itu, ia juga menjadikan desa tersebut sebagai pusat administrasi tanah partikelir

P en T. Dalam waktu yang bersamaan, P.W. Hofland mengganti nama desa tersebut

menjadi Subang. Masih menurutnya, nama Subang yang dipilih oleh Hofland

berdasarkan pada kesukaannya pada orang-orang di sana yang berasal dari desa

Subang di Kuningan. Mereka dipandang oleh P.W. Hofland sebagai orang yang rajin

dan pekerja keras.

Meskipun benar Distrik Subang dipilih oleh P.W. Hofland menjadi pusat

administrasi, tetapi pendapat Machmoed agaknya perlu ditinjau ulang mengingat

beberapa hal. Pertama, letak Desa Tengeragoeng berdasarkan peta tertua sampai yang

paling muda berada di Segalaherang. Tidak pernah sekalipun ditemukan nama desa

itu di wilayah Kota Subang yang saat itu bernama Distrik Subang/Distrik Ciherang.

Kedua, peta awal abad ke-19 menginformasikan bahwa nama Subang telah dikenal

sebagai nama distrik. Oleh karena itu, penelitian berkenaan dengan itu sangat menarik

untuk dikaji lebih dalam lagi.

Terlepas dari itu, terpilihnya Kota Subang sebagai pusat administrasi P en T

pada pertengahan abad ke-19 menunjukkan bahwa Kota Subang merupakan kota
4
Tuan tanah di Jawa memiliki hak pertuanan yang mana ia bukan merupakan wakil pemerintah, tetapi
ia mendapat pelimpahan hak-hak kenegaraan dari Pemerintah Hindia-Belanda. Oleh karena itu, tuan
tanah berhak untuk memilih daerah pusat pemerintahan. Lebih jauh, pengangkatan demang pun
dapat dipilih oleh tuan tanah. Hal ini seolah menimbulkan kesan bahwa Subang yang dimiliki oleh
tuan tanah merupakan miniatur dari sebuah “negara” atau dalam bahasa Machmoed adalah negara
dalam negara (Effendhie, 1998: 12).
4

kolonial karena dibangun oleh orang Belanda. Selain itu, adanya konsentrasi

kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang dipegang oleh penjajah memperkuat

statusnya sebagai kota kolonial. Sebagaimana disebutkan oleh Basundoro bahwa ciri

utama dari kota kolonial yaitu yang merancang dan membangun kota tersebut adalah

orang-orang Belanda sehingga bentuk fisiknya pun disesuaikan dengan kepentingan,

kebutuhan dan selera mereka yang berasal dari Eropa (Basundoro, 2012:8).

Meskipun Kota Subang menjadi pusat administrasi P en T, namun segala

aktivitas di dalamnya tidak dapat dilepaskan dari hal-hal yang berkaitan dengan

perkebunan, mengingat statusnya sebagai perkebunan swasta. Sejarah menunjukkan

bahwa kolonialisme di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan

perkebunan.5 Sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa sejarah kolonialisme Barat

di Indonesia merupakan sejarah perkebunan (O’Malley, 1988:197). Eratnya kaitan

antara Kota Subang dan perkebunan menjadi suatu pertanda bagi kita untuk sampai

kepada pemikiran bahwa mengkaji Kota Subang tentu tidak lepas dari mengkaji

perkebunan.

Pertumbuhan dan perkembangan Kota Subang sebagai daerah perkebunan

memang tidak akan lepas dari segala aktivitas yang berkaitan dengan perkebunan.

5
Perkebunan di Indonesia merupakan kepanjangan dari sistem kapitalisme agraris Barat yang
diperkenalkan melalui sistem perekonomian kolonial. Pada awal perkembangannya, sistem
perkebunan merupakan suatu hal yang baru bagi masyarakat Indonesia karena sebelumnya
masyarakat sudah mengenal sistem kebun. Perbedaan keduanya terletak pada orientasinya. Yang
disebutkan pertama lebih berorientasi ke pasar. Sementara yang disebutkan belakangan hanya
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup (Kartodirdjo & Suryo, 1991: 3).
5

Akan tetapi, faktor-faktor di luar perkebunan pun tidak dapat diabaikan. Mulai dari

strategis tidaknya letak geografis suatu daerah, hubungan antar daerah yang mudah

dan lancar serta faktor-faktor politik juga ikut andil dalam menciptakan pertumbuhan

dan perkembangan itu yang pada akhirnya menyebabkan mobilitas sosial baik

vertikal maupun horizontal (Daliman, 2012: 8).

Setelah Kota Subang menjadi pusat administrasi, banyak perubahan terjadi di

sana. Salah satu perubahan mendasar adalah perubahan jumlah penduduk. Sebelum

Kota Subang ditetapkan sebagai pusat administrasi yaitu pada 1845, jumlah

penduduk Kota Subang 8.051 orang. Setelah menjadi pusat administrasi, jumlahnya

meningkat tajam pada 1867 yaitu 16.158 orang (Bleeker, 1869:481). Perubahan juga

terjadi dalam berbagai bidang selama kurun waktu 1850-1968, baik dalam bidang

sosial-politik, sosial-ekonomi maupun sosial-budaya.

Dalam bidang sosial-politik, pergantian kekuasaan dari Pemerintah Hindia-

Belanda ke Pemerintah Jepang dan berakhir di tangan Pemerintah Republik Indonesia

setelah Indonesia merdeka tentu sangat mempengaruhi peranan dan kedudukan tuan

tanah beserta para “pendukungnya” di Kota Subang, meskipun tuan tanah memiliki

hak pertuanan atas tanahnya. Selain itu, pengangkatan seorang demang yang dipilih

oleh tuan tanah diperkirakan menimbulkan mobilitas sosial baik vertikal maupun

horisontal.

Dalam bidang sosial-ekonomi, setelah Kota Subang menjadi pusat

administrasi, tentunya berpengaruh juga terhadap perkembangan pekerjaan di sana.


6

Selain menjadi petani dan buruh perkebunan, diperkirakan ada juga sebagian

masyarakat yang kemudian menjadi pegawai P en T, terutama setelah kebijakan

politik etis6 mulai berlaku. Selain itu, peran orang Cina dalam kehidupan sosial-

ekonomi masyarakat Kota Subang tidak dapat diabaikan. Sejak dahulu, orang Cina

dikenal sebagai pedagang (Liem, 1995:xvi). Keberadaannya di Kota Subang

diperkirakan tidak jauh dengan anggapan yang sudah melekat dalam dirinya tersebut.

Diperkirakan pula merekalah yang kemudian menempati kalangan menengah

masyarakat Kota Subang.

Dalam bidang sosial-budaya, masyarakat Kota Subang merupakan masyarakat

yang sedikit berbeda dengan masyarakat luar Kota Subang. Kota Subang seolah

seperti “air payau” yang mempertemukan dua kebudayaan dari utara dan selatan.

Masyarakat Subang di bagian utara cenderung memiliki kesamaan budaya dengan

suku Jawa pada umumnya dan mereka menggunakan Bahasa Jawa.7 Sementara itu

masyarakat yang tinggal di daerah Subang bagian selatan menggunakan Bahasa

Sunda dan budayanya lebih dekat dengan budaya Sunda Priangan. Heterogenitas

penduduk itu ditambah dengan hadirnya orang-orang Eropa yang sejak 1850 mulai

6
Tiga prinsip politik etis adalah edukasi, imigrasi, dan irigasi. Sejak politik etis diberlakukan, banyak
pribumi yang mengenyam pendidikan meskipun terbatas pada kalangan elite saja. Banyak dari
mereka kemudian bisa membaca, menulis dan menghitung. Dampaknya, mereka dapat bersaing
dengan orang-orang Eropa untuk mengisi posisi yang mana membutuhkan keahlian khusus seperti
juru tulis dan yang lainnya (Ricklefs, 2011: 228-236).
7
Hal ini sering dikaitkan dengan terdapatnya tentara Mataram yang tidak kembali ke daerah asalnya
setelah gagal melakukan pengusiran VOC dari Batavia. Mereka malah menetap di Subang bagian
utara (Asdi, dkk, 1980: 26).
7

menghuni daerah ini. Tentu saja, kedatangan mereka disertai dengan budaya Eropa

yang semakin menambah keberagaman budaya di Kota Subang.

Perubahan serta keunikan tersebut membuat penulis tertarik untuk mendalami

lebih jauh dan menyajikannya dalam penelitian ini bagaimana kemudian hal-hal

tersebut berpengaruh terhadap perkembangan kota dan masyarakatnya. Penelitian ini

tentu bukan tanpa tujuan. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat

positif bagi masyarakat luas, khususnya masyarakat Subang dan bagi mereka yang

berkepentingan dengan informasi tentang Kota Subang, khususnya pada abad ke-19

dan abad ke-20. Penulisan sejarah berarti membahas mengenai perubahan-perubahan

yang terjadi sehingga dalam penelitian ini dibahas perkembangan Kota Subang dari

awal perkembangannya sebagai desa sampai menjadi sebuah kota dengan segala

perubahan yang terjadi didalamnya, baik yang disebabkan oleh perubahan dalam

bidang sosial, ekonomi, politik,maupun budaya. Panggung Sejarah Kota Subang yang

telah diuraikan menggambarkan apa yang dibahas dalam penelitian ini, sehingga

dipenulis tertarik dan memberi judul Kota Subang dari 1850 sampai 1968.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan awal Kota Subang?

2. Bagaimana perkembangan Kota Subang pada masa Hindia Belanda?

3. Bagaimana perkembangan Kota Subang pada masa Jepang sampai masa

kemerdekaan.
8

C. Batasan Penelitian

Untuk memudahkan pengkajian, penelitian ini akan dibatasi pada dua hal. Pertama,

batasan temporal dan kedua batasan spasial. Batasan temporal penelitian ini cukup panjang,

yaitu dari 1850 sampai dengan 1968. Namun, cakupan waktu tersebut tidaklah secara langsung

menunjuk suatu periodesasi. Sebab, dalam perkembangan sejarah tidak ada permulaan ataupun

akhir. Tidak jarang studi ini bergerak maju ataupun mundur melewati batas waktu yang

ditetapkan. Selain itu, pada1850 diambil sebagai awal penelitian yang didasarkan pada

penetapan daerah yang disebut Kota Subang sebagai pusat administrasi. Sementara periode

sebelum tahun itu hanya dijadikan sebagai background saja. Kemudian pada1968 dijadikan

sebagai batasan akhir temporal penelitian ini yang didasarkan pada tahun itu merupakan tahun

di mana Kota Subang diresmikan oleh pemerintah sebagai ibu kota kabupaten.

Kedua, batasan spasial yang dikaji dalam penelitian ini adalah daerah yang secara

administratif disebut dengan Ibu Kota Kabupaten Subang (Kota Subang). Adapun Kota Subang

sebagai aspek spasial yang dipilih selain karena unsur interested topic, penulis juga bertujuan

untuk melengkapi karya tulis mengenai kota-kota di Indonesia. Sementara itu, aspek temporal

yang dipilih memang cukup panjang namun dengan rentang waktu tersebut diharapkan dapat

menggambarkan perkembangan Kota Subang secara menyeluruh. Unsur-unsur lain seperti

manageable dan obtainable topic mendukung penulis untuk merekonstruksi sejarah Kota

Subang dalam berbagai aspek.

D. Tinjauan Pustaka

Menurut hemat penulis, belum ada yang secara spesifik menulis tentang

sejarah Kota Subang. Namun demikian, terdapat beberapa buku yang telah lebih awal

menulis mengenai sejarah Subang, namun dalam ruang lingkup yang disebut sebagai

kabupaten. Melalui buku-buku tersebut penulis dapat mengetahui sejauh mana buku-

buku itu membahas mengenai Subang. Lebih jauh, dengan menguraikan secara umum
9

isi dari buku-buku itu maka aspek orisinilitas dari tesis ini dapat tergambarkan.

Adapun buku-buku tersebut akan penulis paparkan sebagai berikut.

Pertama, buku dari Broersma yang berjudul De Pamanoekan en Tjiassem-

Landen (1912) dengan jumlah 109 halaman. Karya dari Broersma ini merupakan

kumpulan artikel yang berasal dari Java Bode dari 20 Oktober sampai dengan 13

Desember 1910. Buku ini berisi tentang perkembangan tanah partikelir Pamanoekan

en Tjiassem-Landen sejak berdiri sampai masa tuan tanah P.W. Hofland. Disebutkan

bahwa tuan tanah pertama adalah J. Sharpnel dan Muntinghe. Kemudian kepemilikan

beralih ke tangan P.W. Hofland. Pada masa ia menjadi tuan tanah di Subang

perkembangan tanah partikelir ini berkembang lebih pesat lagi. Buku ini juga

membahas aspek-aspek teknis seperti penyewaan tanah, irigasi, budidaya padi dan

tanaman lainnya, serta penerapan cuke dan tenaga kerja. Lebih jauh, pengadaan

sarana transportasi untuk mengangkut hasil komoditas perkebunan pun dibahas dalam

buku ini. Pembahasan dalam buku ini bersifat umum dengan menonjolkan aspek-

aspek teknis dalam penyelenggaraan perkebunan saja. Sementara mengenai

perkembangan Kota Subang dan masyarakat yang tinggal di sana tidak ditonjolkan.

Perkembangan Kota Subang dan kehidupan masyarakatnyayang tidak ditonjolkan

dalam buku ini merupakan pokok pembahasan dalam tesis ini. Selain itu, pokok

bahasan yang dibahas oleh Broersma melingkupi Subang secara keseluruhan.

Sementara tesis yang akan ditulis hanya mencakup Kota Subang sebagai pusat

pemerintahan.
1

Kedua, buku yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Subang pada 1980

yang berjudul 5 April 1948 Hari jadi kabupaten Subang dengan Latar Belakang

Sejarahnya. Buku ini memiliki jumlah halaman sebanyak 121 halaman. Buku ini

membahas mengenai sejarah Kabupaten Subang dari mulai masa prasejarah sampai

dengan masa kemerdekaan. Perkembangan Subang dari masa ke masa hanya

diceritakan secara umum saja, maka dapat dikatakan setiap pembahasan dalam buku

ini merupakan sebuah ringkasan.

Sementara itu, tesis ini akan membahas lebih dalam beberapabagian dari

kumpulan ringkasan tersebut yaitu pengkajian mendalam mengenai sejarah Kota

Subang mulai dari tahun 1850 sampai dengan tahun 1968 saja yang meliputi masa

Hindia Belanda, Jepang, dan Indonesia. Masa-masa sebelum tahun 1850 hanya akan

digambarkan secara umum saja atau dapat dikatakan hanya sebagai background.

Dalam aspek spasial pun tentu berbeda. Buku ini mencakup Kabupaten Subang,

sementara tesis yang akan ditulis hanya mencakup ruang lingkup yang disebut Kota

Subang saja.

Ketiga, Laporan dari Machmud Effendie yang berjudul Dari Tanah Partikelir

P en T Menuju Tanah Merdeka: Draft Pendahuluan Monografi Kabupaten Subang

1900-1968. Laporan ini diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor

pada tahun 1990. Laporan setebal 45 halaman ini cukup singkat. Pembahasan dalam

laporan ini lebih terfokus kepada nasionalisasi perkebunan Pamanoekan en

Tjiasemlanden. Dalam periodesasi yang telah ditetapkan tersebut, yaitu pada 1900-
1

1968, dijelaskan secara deskriptif pergantian kepemilikan sampai akhirnya menjadi

tanah merdeka atau dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Laporan ini juga memberikan

informasi mengenai batas-batas geografis Subang saat menjadi tanah partikelir

dengan jelas, sehingga penulis dapat melihat perbedaan batas-batas itu dengan

Kabupaten Subang dan Kota Subang khususnya. Melihat rentang waktu yang diambil

antara laporan dan tesis ini jelas berbeda. Kemudian fokus perhatian yang terdapat

dalam laporan ini pun berbeda dengan tesis ini. Jika laporan ini lebih terfokus pada

nasionalisasi perkebunan, maka tesis ini lebih terfokus kepada sejarahKota Subang

beserta masyarakatnya.

Keempat, tesis berjudul Negara Kecil dalam Negara: Kondisi Sosial-Ekonomi

di Tanah Partikelir Pamanukan dan Ciasem 1813-1910 (1998). Tesis tersebut ditulis

oleh Machmoed Effendhie dan memiliki jumlah halaman sebanyak 165. Pembahasan

yang terdapat dalam tesis tersebut berisi mengenai pertumbuhan dan perkembangan

Kabupaten Subang sejak menjadi tanah partikelir dan perkembangannya sampai

dengan tahun 1910 yang ditandai dengan berakhirnya masa keluarga P.W. Hofland

sebagai tuan tanah di Subang. Dalam tesis ini bahkan dijelaskan proses penjualan

tanah persil 3 dan 4 yang merupakan wilayah Kabupaten Subang saat ini secara rinci.

Hal yang paling disorot oleh Machmoed adalah dinamika sosial ekonomi masyarakat

Kabupaten Subang saat itu. Kemudian Machmoed juga sampai pada simpulan bahwa

Kabupaten Subang merupakan miniatur “negara” yang terdapat dalam negara. Hal ini

didasarkan atas hak-hak yang dimiliki tuan tanah layaknya pemerintah negara. Ia juga
1

sampai pada suatu kesimpulan mengenai tindakan Raffles saat itu yang menjual

tanah-tanah di Jawa termasuk Kabupaten Subang. Menurutnya apa yang dilakukan

oleh Raffles terkait penjualan tanah tidak semata-mata untuk mengatasi krisis yang

sedang melanda pemerintah Hindia-Belanda. Akan tetapi, ternyata ia juga melibatkan

kepentingan pribadi para kapitalis Eropa yang ingin mengambil keuntungan dari

kolonisasi yang dilakukan pemerintah Hindia-belanda.

Tesis dari Machmoed tersebut dalam aspek spasial dan temporal berbeda

dengan tesis penulis. Machmoed mengambil rentang waktu 1813-1910 untuk aspek

temporalnya, sementara penulis mengambil rentang tahun 1850-1968. Dalam aspek

spasial, Machmoed mengambil wilayah Kabupaten Subang, sementara penulis hanya

mengambil Kota Subang saja yang mana merupakan bagian dari Kabupaten Subang.

Tesis Machmoed memberikan penulis suatu gambaran mengenai Kabupaten Subang

dari segi sosial-ekonominya yang mana pada akhirnya nanti informasi tersebut akan

sangat berguna bagi penulis karena kondisi sosial-ekonomi pun akan dibahas penulis

pada tesis ini. Namun demikian, dinamika sosial-ekonomipada ruang Kota Subang

saja yang akan dibahas oleh penulis.

Kelima yaitu buku Sejarah Kabupaten Subang yang ditulis oleh Kusma dkk.

Buku ini diterbitkan pada tahun 2007 dengan tebal halaman mencapai 117 halaman.

Buku ini sebenarnya hasil revisi dari tim peneliti sejarah Subang terhadap buku yang

sudah terbit lebih dahulu yaitu buku karya Armin Asdi dkk dengan judul 5 April 1948

Hari Jadi Kabupaten Subang dengan Latar Belakang Sejarahnya. Substansinya pun
1

tidak banyak berubah antara kedua buku itu. Perbedaannya hanya terletak pada

penambahan materi pada zaman pra sejarah saja serta perincian ulang dengan

memberikan subbab-subbab. Jika pada buku pertama uraian dalam salah satu bab

hanya mencakup tiga subbab, maka pada buku yang telah direvisi memiliki lebih dari

tiga subbab. Meskipun adanya penambahan subbab, namun tidak ada penambahan

materi isinya. Hal ini nampak pada jumlah halaman yang relatif sama diantara bab

pada buku pertama dan bab pada buku kedua. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa

inti dari buku ini sama persis dengan buku pendahulunya yaitu membahas sejarah

Subang dari masa prasejarah sampai masa pergerakan nasional secara ringkas. Atas

dasar itu perbedaan antara buku dengan tesis ini serupa dengan perbedaan antara tesis

ini dengan buku pertama dengan judul 5 April 1948, Hari jadi Kabupaten Subang

dengan Latar Belakang Sejarahnya.

Keenam, pada 2008, Yayasan Buku Anak Desa (YBAD) menerbitkan buku

yang berjudul Subang Dalam Dimensi Jaman dengan tebal halaman mencapai 147

halaman. Buku ini tidak jauh berbeda dengan buku yang diterbitkan oleh Pemerintah

Kabupaten Subang, baik yang terbit pada 1980 maupun revisinya yang terbit

belakangan. Buku ini hanya berisi ringkasan sejarah Subang tiap periode. Periode

yang ditetapkan dalam buku ini sangat panjang yaitu dari masa prasejarah sampai

masa reformasi. Lebih jauh, buku ini juga membahas mengenai kemunduran

perkebunan yang sedikit banyak akan berpengaruh terhadap masyarakat Kota

Subang. Pembahasan dalam buku ini hampir serupa dengan dua buku sebelumnya
1

mengenai sejarah Kabupaten Subang. Dengan demikian, perbedaannya pun jelas

terlihat baik dari aspek spasial maupun temporalnya. Jika buku ini mencakup periode

dari pra sejarah sampai dengan masa reformasi maka aspek temporal tesis yang dikaji

hanya tahun 1850 sampai dengan 1968. Sementara itu dari aspek spasialnya, buku ini

mencakup Kabupaten Subang, sedangkan tesis ini hanya akan membahas Kota

Subang saja.

Ketujuh, pada 2013 Iim Imadudin menulis sebuah karya dalam bentuk tesis

dengan judul Kehidupan Sosial Ekonomi Buruh di Tanah Partikelir Pamanukan dan

Ciasem. Tesis ini memiliki jumlah halaman mencapai 259 halaman. Menurut IIm

kehidupan buruh di Pamanukan dan Ciasem sangatlah memprihatinkan. Bayaran

yang mereka terima tidak sepadan dengan keringat yang dikeluarkannya. Menurutnya

juga, buruh di sana menempati stratifikasi pekerjaan terendah. Mereka juga tidak

jarang mendapat perlakuan yang tidak sewajarnya sehingga sering ditemukan

perlawanan dari mereka. Informasi yang diberikan dalam tesis ini cukup bermanfaat

karena dapat memberikan gambaran mengenai masyarakat Subang yang bekerja

sebagai buruh. Skup temporal dalam karya ini mencakup 1910-1969. Tentu berbeda

dengan tesis yang akan ditulis dengan skup temporal tahun 1850-1968. Kemudian

fokus dari karya Iim ini lebih kepada kehidupan buruh. Sementara masyarakat umum

yang tidak bekerja sebagai buruh tidak dibahas dalam tesis Iim. Tesis ini akan

membahas masyarakat Kota Subang secara keseluruhan dan tidak memfokuskan diri
1

pada kondisi sosial-ekonominya saja, melainkan membahas aspek politik, dan

budayanya juga.

Terakhir, pada 2017, Nina Herlina Lubis membuat buku tentang Subang.

Seperti literatur sebelumnya. Buku ini lebih memfokuskan diri pada ruang lingkup

yang disebut Kabupaten. Selain itu, periode yang diambil buku ini sangat panjang.

Dimulai dari masa pra sejarah sampai dengan tahun 2017. Dengan demikian, terlihat

dengan jelas perbedaan antara buku ini dengan tesis penulis. Melalui buku ini, penulis

mendapatkan informasi beberapa sumber yang belum diketahui sebelumnya.

Berdasarkan buku-buku, laporan serta tesis yang telah dipaparkan di atas

maka penulisan mengenai sejarah Kota Subang belum pernah ditulis. Karya-karya

sebelumnya memfokuskan diri kepada wilayah Subang yang disebut dengan

Kabupaten. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan terhindar

dari plagiarism.

E. Kerangka Konseptual

Dewasa ini, studi sejarah tidak hanya terbatas pada pengkajian yang sifatnya

informatif saja, tetapi juga berusaha untuk melacak berbagai asal mula, sebab-sebab,

struktur masyarakat, pola kelakuan, kecenderungan proses dalam berbagai bidang,

kondisional dan kontekstual serta perubahannya. Untuk dapat menjelaskan itu semua
1

maka diperlukan adanya alat analitis yang tajam dan mampu mengekstrapolasikan

fakta, unsur, pola, dan sebagainya (Kartodirdjo, 1993:2).

Secara metodologis, penggambaran suatu peristiwa sangat bergantung pada

pendekatan apa yang dipakai. Kemudian segimana yang dipakai untuk memandang

suatu peristiwa, dimensi siapa yang diperhatikan, dan unsur-unsur apa saja yang

diungkapkan. Hasil pelukisannya sangat ditentukan oleh jenis pendekatan yang

dipakai (Kartodirdjo, 1993:4).

Penelitian ini menggunakan pendekatan ilmu sosial. Selain itu, penelitian ini

tidak hanya bersifat narasi sejarah saja, tetapi juga bersifat analitis dengan meminjam

konsep dan teori dari ilmu sosial. Pendekatan semacam ini dilakukan karena lebih

eksplanatif dalam menjawab berbagai penyebab yang muncul dari peristiwa-peristiwa

sejarah (Kartodirdjo, 1993:2).

Jika mengikuti pemikiran evolusionis yang dikembangkan oleh Bergel

mengenai alur perkembangan kota,8 maka perkembangan Kota Subang setidak-

tidaknya melewati tiga fase dalam sejarah. Dimulai dari daerah yang masih berupa

hunian biasa,9 kemudian berkembang menjadi desa, dan menjadi kota. Namun

demikian, perubahan dari desa menjadi kota tidak akan terjadi jika desa tersebut

8
Menurut Bergel dalam Basundoro (2012: 1), Kota pada awalnya adalah sebuah desa yang
mengalami perkembangan terus-menerus sehingga menjadi sebuah kota. Desa-desa akan berubah
menjadi kota kecil, kota kecil akan berubah menjadi kota besar, kota besar akan berubah menjadi
metropolis, dan metropolis akan berubah menjadi megalopolis.
9
Yang dimaksud dengan hunian biasa adalah sebuah pemukiman yang tidak diketahui secara jelas
status administrasinya. Lebih jauh ke belakang, hunian biasa ini dapat berupa pemukiman sementara
seperti yang dilakukan manusia masa lalu yang selalu berpindah-pindah atau nomaden.
1

bukan merupakan pusat administrasi, pusat perdagangan, pusat industri, dan pusat

pertambangan. Dengan perkataan lain, tidak semua desa dapat menjadi kota apabila

tidak memenuhi syarat-syarat tadi (Rahardjo, 1983: 9; Margana& Nursam, 2010: 37).

Tahun-tahun sebelum 1850daerah Subang tidak cukup dikenal. Ia hanya

sebuah desa biasa dengan jumlah penduduk yang tidak banyak. Namun,

perkembangan daerah itu mulai nampak setelah 1850. Desa tersebut kemudian dipilih

oleh tuan tanah yaitu P.W. Hofland untuk dijadikan pusat administrasi tanah

partikelir P en T. Dalam perkembangan berikutnya, yaitu pada dasawarsa pertama

abad ke-20, Subang mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan segala

infrastruktur yang dimiliki kota seperti saluran listrik, saluran irigasi, akses jalan raya

dari dan ke Subang sebagai pusatnya, gedung-gedung perkantoran dan yang lainnya.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Bergel bahwa Subang berawal dari

sebuah hunian biasa kemudian menjadi desa dan menjadi kota. Selain itu, melalui

pengertian yang disebut oleh Rahardjo dapat dijelaskan bahwa Subang mengalami

perkembangan dari desa menjadi sebuah kota karena statusnya sebagai pusat

administrasi P en T.

Menurut Kuntowijoyo (2014: 59), pergeseran dari desa ke kota terjadi

bersamaan dengan perubahan sosial dalam masyarakatnya. Oleh karena itu,

digunakan teori perubahan sosial untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi

pada masyarakat Kota Subang. Istilah perubahan sosial sebenarnya memiliki makna

lebih dari satu (taksa). Istilah itu terkadang diartikan dalam arti yang sempit yaitu
1

mengacu kepada perubahan dalam struktur sosial. Akan tetapi, istilah itu juga dapat

dipakai dalam arti yang lebih luas. Artinya perubahan itu tidak hanya mengacu

kepada struktur sosial saja, tetapi juga mencakup organisasi politik, ekonomi, dan

budaya (Burke, 2015: 212). Perubahan sosial dalam pengertian ini juga dinyatakan

oleh Sartono Kartodirdjo. Menurutnya, apabila proses sejarah dipandang secara

keseluruhan dalam perspektif sejarah sosial, maka proses itu merupakan perubahan

sosial dalam berbagai dimensinya (Kartodirdjo, 1993:160). Oleh karena itu,

penjelasan yang sifatnya analitis mengenai perjalanan sejarah Kota Subang dapat

dikatakan mengikuti kerangka konsep perubahan sosial dalam arti yang luas.

Karena Kota Subang dikembangkan secara masif oleh orang asing, maka

digunakan teori perubahan sosial dari Wertheim. Menurut Wertheim dalam Sofianto

(1997: 16), perubahan sosial yang terjadi di Indonesia diakibatkan oleh adanya

interaksi sosial dengan peradaban barat, terutama bangsa Belanda. Dengan demikian,

untuk mengamati gejala perubahan sosial yang terjadi di Kota Subang difokuskan

kepada interaksi sosial yang terjadi antara penduduk pribumi dengan orang asing baik

dengan orang-orang yang berasal dari Eropa maupun dari Jepang.

Namun demikian, perubahan sosial di Kota Subang tidak semata-mata

diakibatkan oleh adanya interaksi dengan orang asing. Masalah pemukiman,

urbanisasi, konflik antar pribumi, konflik pribumi dengan asing juga turut

mempengaruhi perubahan sosial di sana. Sebagaimana telah diungkapkan Wertheim

bahwa masalah-masalah ini merupakan masalah yang dihadapi oleh kota-kota di

Indonesia (Sofianto, 1997: 16).


1

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah.

Metode sejarah terdiri dari empat tahap yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan

histriografi. Tahapan pertama dalam metode sejarah adalah heuristik. Pada tahapan

ini penulis lakukan dengan mengunjungi perpustakaan-perpustakaan yang ada di

Kabupaten Sumedang, seperti Perpustakaan Batu Api, Perpustakan Fakultas Ilmu

Budaya Unpad, dan Perpustakaan Riyadhul Jannah. Di Perpustakaan Batu Api,

penulis mendapatkan buku seperti buku Lim Twan Djie dengan judul Perdagangan

Perantara Distribusi Orang-Orang Cina di Jawa. Perpustakaan Fakultas Ilmu

Budaya, penulis mendapatkan Tesis Iim Imadudin. Di Perpustakaan Riyadhul Jannah,

penulis mendapatkan sejumlah buku seperti, Robert Van Niel dengan judul Sistem

Tanam Paksa di Jawa. Kemudian karya dari Kunto Sofianto dengan judul Garoet

Kota Intan, Sartono Kartodirdjo, dengan judul Sejarah Perkebunan di Indonesia,

serta Pendekatan Ilmu Sosial dalam metodologi Sejarah. Suhartono dengan judul

Bandit-Bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942, serta Apanage dan

Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1930-1929. Renier dengan judul

Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, Max Weber dengan judul The City,Helius

Sjamsuddin dengan judul Metodologi Sejarah, dan Phil Astrid, Pengantar Sosiologi

dan Perubahan Sosial.


2

Studi pustaka yang dilakukan di Bandung dilakukan dengan mengunjungi

Perpustakaan Daerah Jawa Barat dan Perpustakaan Yayasan Akatiga di daerah Dago.

Di Perpustakaan Daerah Jawa Barat, penulis mendapatkan buku mengenai Subang.

Pertama, karya dari Armin Asdi dengan judul Hari Jadi Kabupaten Subang dengan

Latar Belakang Sejarahnya. Kemudian karya dari Teguh Meinanda dengan judul

Subang dalam Dimensi Jaman, Broersma dengan judul De Pamanoekan en

Tjiassemlanden. Di Yayasan Akatiga penulis mendapakan tulisan Machmoed

berbentuk laporan dengan judul Dari Tanah Partikelir P en T menuju Tanah

Merdeka.

Selain melakukan studi pustaka di Bandung, penulis juga melakukan studi

pustaka di luar Kota Bandung, yaitu Jakarta. Penulis mengunjungi Arsip Nasional

Republik Indonesia (ANRI) di Jalan Ampera Raya No.7 Jakarta Selatan. Di sana

penulis memperoleh sumber-sumber tertulis berupa arsip kolonial yang sifatnya

primer. Arsip-arsip itu seperti Conduite Staat, Burgerlijke Openbare Werken,

Staatsblad van Nederland-Indie, Regeerings Almanak, Verslag, Memorie van

Overgave. Selain melakukan heuristik di ANRI, penulis juga mengunjungi

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) di Jalan Salemba Raya No.28A

Jakarta Pusat. Di sana penulis memperoleh beberapa sumber primer juga mengenai

Subang, terutama peta Subang awal abad ke-19. Peta dari Grote Atlas de Verenigde

Oost-Indische Compagnie Comprehensive Atlas of the Dutsch United East India

Company adalah peta yang berhasil didapatkan oleh penulis. Selain peta itu, penulis

juga memperoleh Conduite Staat untuk melengkapi bagian-bagian yang tidak

diperoleh di ANRI.
2

Yogyakarta adalah kota berikutnya yang menjadi tempat studi pustaka yang

dilakukan penulis. Penulis mengunjungi Perpustakaan Universitas Gadjah Mada

(UGM) dan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) di Jalan Sosio-Humaniora

No.1 Bulaksumur Yogyakarta. Penulis mendapatkan sebuah tesis mengenai Subang

yang ditulis oleh Machmoed Effendhie pada tahun 1998.

Penulis juga melakukan studi pustaka di Subang. Penulis mengunjungi Arsip

Daerah Kabupaten Subang di Jalan Dewi Sartika No. 2 Subang. Kemudian Dinas

Kebudayaan dan pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten

Subang di Jalan Jend Ahmad Yani No. 11 Subang. Serta Perpustakaan Daerah

Subang di Jalan Kartawigenda No. 2 Subang. Hal ini dimaksudkan untuk menelusuri

catatan tertulis mengenai sejarah Kota Subang. Selain mengunjungi lembaga-lembaga

tersebut, penulis juga mengunjungi alun-alun Kota Subang. Hal ini dimaksudkan

untuk melihat struktur Kota Subang agar dapat mengidentifikasi ciri-ciri Kota

Subang, apakah merupakan kota tradisional, kota kolonial atau kota pasca kolonial.

Lebih lanjut, penulis juga mengunjungi beberapa situs di Subang seperti situs

Subanglarang di daerah Binong. Kunjungan-kunjungan itu dilakukan agar penulis

mendapat gambaran tentang Subang pada masa lalu yang terefleksikan pada masa

kini terlepas dari adanya perubahan-perubahan yang disebabkan oleh berbagai faktor.
2

Tahapan kedua yaitu tahapan kritik. Tahap ini perlu dilakukan oleh penulis agar

penulis tidak menerima begitu saja sumber-sumber yang telah diperoleh melalui

proses heuristik. Ada dua hal yang dilakukan penulis pada tahapan ini, yaitu menguji

otentisitas dan kredibilitas sumber. Kritik eksternalyaitu digunakan untuk meneliti

otentisitas atau keaslian sumber secara bentuk dengan menguji material kertas atau

bahan, tanggal, dan tinta yang terdapat di dalam teks. (Kuntowijoyo, 2013: 77). Pada

tahapan kritik eksternal ini penulis melihat sekilas secara fisik sumber yang telah

diperoleh karena pada tahapan ini sangat rentan terhadap penipuan dan kepalsuan.

Adapun sumber-sumber yang dilakukan kritik eksternal adalah seperti Conduite

Staat, Burgerlijke Openbare Werken, Staatsblad van Nederland-Indie, Regeerings

Almanak, Verslag, Memorie van Overgave. Bahan kertas yang dipakai oleh sumber-

sumber tersebut sebagian sudah mulai rapuh. Bahkan sebagian sudah sangat rapuh

sehingga ada yang dilapisi dengan alat tertentu agar kerusakan yang ditimbulkan

tidak lebih parah. Hal itu menunjukkan bahwa umur dari kertas tersebut cukup tua.

Setelah disesuaikan dengan tanggal yang tertera pada sumber yaitu abad ke-19, maka

dapat dikatakan jenis kertas yang dipakai sesuai dengan tanggal sumber tersebut

diproduksi. Dengan demikian, sumber tersebut otentik.


2

Pada tahap kritik internal, penulis menguji kredibilitas pada sumber-sumber

yang dipakai apakah informasi yang diberikan dapat dipercaya atau tidak. Salah satu

bentuk kritik internal adalah kedekatan saksi dengan peristiwa dilihat dari segi waktu.

Semakin dekat masa hidup saksi dengan peristiwa itu terjadi maka kesaksian yang

diberikan semakin dapat dipercaya (Herlina, 2015: 32). Sumber-sumber yang telah

didapatkan kemudian dilihat dari segi waktu agar kesaksian yang diberikan

mendekati obyektif. Misalnya, ketika akan menjelaskan tentang siapa yang menjadi

pejabat pribumi (demang) di Kota Subang pada 1900, maka laporan dari Regeerings

Almanakpada tahun yang sama lebih kredibel daripada laporan dari sumber lain pada

tahun yang berbeda.

Setelah melewati proses kritik, maka sumber tersebut harus dikoroborasikan

antara sumber yang satu dengan sumber yang lain. Sumber-sumber yang telah penulis

dapatkan berupa arsip pemerintah kemudian di koroborasikan dengan tulisan-tulisan

mengenai Subang di waktu yang bersamaan ketika arsip pemerintah itu dibuat.

Tulisan Bleeker mengenai statistik kependudukan di Jawa sedikit banyak

menyinggung juga mengenai Kota Subang, terutama berkaitan dengan jumlah

penduduk di sana. Kemudian tulisan Tjakraprawira pada 1930 tentang keadaan Kota

Subang. Selain itu, penulis juga mengkoroborasikannya dengan tradisi lisan yang

berkembang di masyarakat. Dengan begitu, didapatkan fakta sejarah yang mendekati

kebenaran.
2

Tahap ketiga adalah interpretasi. Pada tahapan ini, penulis melakukan

penafsiran makna terhadap data-data yang telah terkumpul sehingga menghasilkan

fakta sejarah yang diperlukan untuk menyusun sejarah Kota Subang dalam rentang

waktu yang cukup panjang yaitu 118 tahun (1850-1968). Fakta-fakta sejarah itu

kemudian dianalisis dengan menggunakan bantuan dari ilmu-ilmu lain yang erat

hubungannya dengan ilmu sejarah, terutama ilmu politik, sosiologi, dan antropologi.

Terakhir adalah tahap historiografi. Pada tahapan ini, penulis menulis kisah

yang komprehensif tentang Kota Subang dalam kurun waktu 118 tahun (1850-1968).

Penulis menuliskan kisah tersebut sesuai dengan kerangka out line dan tujuan yang

telah dibuat.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini penulis membaginya ke dalam lima bab. Bab

pertama Pendahuluan berisi pengantar yang merupakan pengenalan dari tesis ini. Bab

dua sampai bab empat merupakan isi dari penelitian yang berisi informasi tentang

sejarah Kota Subang. Pada bab lima disampaikan simpulan dari hasil penelitian.

Bab pertama, Pendahuluan yang merupakan pengantar dalam penulisan tesis ini

berisi tujuh subbab. Subbab pertama berjudul Latar Belakang Penelitian berisi alasan

mengapa penulis memilih objek kajian Kota Subang serta batasannya. Kedua

merupakan subbab Rumusan Masalah yang menguraikan tiga permasalahan pokok

yang dikaji dalam tesis ini. Tujuan Penelitian adalah judul dalam subbab ketiga berisi

tujuan penulis mengakaji permasalahan yang telah diuraikan pada subbab

sebelumnya. Subbab keempat berjudul Metode Penelitian yang berisi mengenai

uraian metode yang digunakan dalam penelitian ini. Kemudian subbab kelima
2

berjudul Tinjauan Pustaka yang memaparkan beberapa karya mengenai Subang yang

telah ada sebelumnya. Bagaimana kaitan serta perbedaan karya tersebut dengan tesis

ini. Subbab keenam Kerangka Pemikiran Teoretis yang menjelaskan teori apa yang

dipakai dalam tesis ini dan apa kegunaanya dalam mengupas permasalahan yang

dikemukakan dalam subbab perumusan masalah. Terakhir adalah Sistematika

Penulisan pemaparan singkat mengenai isi tesis yang diperinci lewat susunan bab.

Pada bab kedua berjudul Kota Subang sampai dengan Tahun 1850. Pada

bab ini akan dijelaskan secara umum perkembangan Subang sebelum menjadi pusat

administrasi. Secara substansi, maka pembahasan dalam bab ini akan menjelaskan

mengenai latar belakang terbentuknya Kota Subang. Subbab ini diawali dengan

menjelaskan asal muasal nama Subang yang didasarkan pada dua hal, yaitu mitos dan

fakta. Bagian ini akan dibahasdalam subbab Toponimi Subang. Demografi adalah

subbab kedua yang terdapat dalam bab II. Pada subbab ini berisi penjelasan tentang

keadaan umum penduduk Subang. Subbab ini berisi penjelasan mengenai keadaan

penduduk Kota Subang sebelum tahun 1850 secara umum.

Bab ketiga yaitu berjudul Kota Subang Masa Pemerintah HindiaBelanda

(1850-1942). Dalam bab ini terdiri dari empat buah subbab. Mengawali subbab

pertama dalam bab ini diberi judul dengan Demografi. Subbab ini berisi tentang

penduduk Kota Subang yang terdiri dari penduduk pribumi dan penduduk asing.

Untuk penduduk asing, berdasarkan data yang tersedia maka terbatas pada orang

Eropa dan orang Cina. Berkaitan dengan perkembangan wilayah Kota Subang dari

waktu ke waktu akan di bahas pada subbab yang berjudul Politik dan Administrasi

pemerintahan. Pada subbab ini juga akan dibahas tentang hal-hal yang berkaitan

dengan aktivitas politik masyarakat Kota Subang. Subbab berikutnya yaitu Dinamika

Sosial-Ekonomi. Subbab ini berisi uraian tentang berbagai kegiatan ekonomi yang
2

menjadi penggerak perekonomian Kota Subang. Terakhir Dinamika Sosial-Budaya

dibahas juga dalam subbab III. Penulisan subbab itu perlu ditulis karena dapat

menunjukkan adanya suatu hidup bersama yang menandakan adanya interaksi antar

individu di Kota Subang. Bab ini memiliki periode yang cukup panjang daripada bab-

bab yang lainnya. Maka secara kuantitas merupakan bab yang memeiliki jumlah

halaman paling banyak. Lebih jauh, bab ini juga merupakan bab yang akan merubah

“wajah” Kota Subang semakin jauh lagi.

Bab keempat berjudul Kota Subang Masa Pemerintah Jepang Sampai

Masa Kemerdekaan (1942-1968). Bab ini akan menguraikan kehidupan masyarakat

Kota Subang setelah adanya pergantian kekuasaan dari Pemerintah Hindia Belanda

kepada Jepang. Kemudian pergantian kekuasaan dari Jepang ke Indonesia setelah

merdeka, juga dibahas dalam bab ini. Pergantian itu tentu membawa dampak yang

cukup besar pula bagi Kota Subang dan masyarakatnya karena telah terbebas dari

masa penjajahan. Atas dasar itu, pergantian kekuasaan dari Belanda ke Jepang dan

kemudian beralih ke masa kemerdekaan akan memberikan pengaruh yang cukup

besar pada Kota Subang dan masyarakatnya dalam berbagai aspek. Maka pada bab ini

dijelaskan kembali beberapa subbab yang terdapat pada bab tiga.

Terakhir yaitu Bab kelima. Bab ini berjudul Simpulan. Dalam bab ini tidak

terdapat subbab. Akan tetapi, di dalamnya tidak hanya berisi simpulan hasil penelitian

saja. Di dalamnya terdapat juga saran dari penulis kepada khalayak yang mana berisi

saran untuk penelitian yang akan datang, agar apa yang kurang dalam penelitian ini

dapat diperdalam oleh peneliti selanjutnya.


2

DAFTAR PUSTAKA

Semua sumber baik buku, jurnal, arsip yang di kutip di dalam in note dan foot note.
2

LAMPIRAN

FOTO

PETA

DSB
2

OUTLINE

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Batasan Penelitian

1.4 Tinjauan Pustaka

1.5 Kerangka Konseptual

1.6 Metode Penelitian

1.7 Sistematika Penulisan

BAB II KOTA SUBANG SAMPAI DENGAN TAHUN 1850

2.1 Toponimi Subang.

2.2 Kota Subang Sebelum 1850

2.3 Demografi

BAB III KOTA SUBANG MASA PEMERINTAH HINDIA BELANDA (1850-1942)

3.1 Demografi

3.1.1 Penduduk Pribumi

3.1.2 Penduduk Asing (Eropa dan Cina)

3.2 Dinamika Sosial Politik Masyarakat Kota Subang

3.2.1 Pemerintahan dan Wilayah Administratif

3.2.2 Aktivitas Politik Masyarakat Kota

3.3 Dinamika Sosial-Ekonomi

3.3.1 Pertanian dan Perkebunan

3.3.2 Ekonomi Non Pertanian dan Perkebunan

3.4 Dinamika Sosial-Budaya

3.4.1 Pendidikan
3

3.4.2 Pertumbuhan Pers

3.4.3 Bangunan dan Fasilitas Kota

3.4.4 Kesehatan, Rekreasi dan Hiburan

BAB IV KOTA SUBANG MASA PEMERINTAH JEPANG SAMPAI DENGAN


MASA KEMERDEKAAN (1942-1968)

4.1 Demografi

4.2 Dinamika Sosial Politik Masyarakat Kota Subang

4.2.1 Masuknya Jepang Ke Kota Subang

4.2.2 Pemerintahan dan Wilayah Administratif

4.2.3 Aktivitas Politik Masyarakat Kota

4.3 Dinamika Sosial Ekonomi

4.4 Dinamika Sosial Budaya

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan.

5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai