Anda di halaman 1dari 13

LITERASI

Volume 2 No. 1, Juni 2012 Halaman 36 - 48

KOTA PROBOLINGGO PADA MASA MENJELANG DAN AWAL


REVOLUSI
THE CITY OF PROBOLINGGO AT THE BEGINNING OF THE LEAD AND
REVOLUTION

Ari Sapto
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang
arisapto@mhum.yahoo.com

Abstrak

Masa Revolusi tidak bisa dilepaskan dengan kondisi pada masa sebelumnya. Meski
terjadi perubahan yang bersifat fundamental pada masa revolusi, anasir-anasir masa
sebelumnya masih tampak memengaruhi, bahkan ada yang tetap eksis. Probolinggo
katagori kota kecil, kota pelabuhan yang memiliki dukungan pertanian dan perkebunan,
sejak abad ke-19 telah memiliki arti penting bagi pemerintah kolonial Belanda. Sebagai
bekas wilayah kerajaan, pengaruh Mataram masih demikian kuat. Tidak saja di bidang
fisik kota, tetapi juga bidang sosial budaya. Namun, letak geografis yang berhadapan
langsung dengan Pulau Madura, menyebabkan penduduk Madura dengan mudah
migrasi ke Probolinggo. Orang-orang Madura menjadi mayoritas dan di bidang budaya
terjadi percampuran antara Jawa dengan Madura. Di bidang ekonomi orang-orang Jawa
masih tekun bertani sawah, sementara orang-orang Madura memasuki sektor yang lebih
bervariasi.

Kata kunci: penduduk, Probolinggo, revolusi, sosial-ekonomi

Abstract

The revolution era was inseparable from the earlier period. Despite the radical changes
during the revolution, the previous elements remained in existene and had significant
influences. Probolinggo was a small town, a sea port having agricultural and plantation
bases and from the 19th century had an important significance for the Dutch colonial rule,
not only in physical but socio-cultural es well. Its geographical location near to Madura
made it easily accessible for Madurese migration. The Madurese people grew to become
the majority and in cultural terms, there was a mix of Madurese and Javanese elements.
In the economic sector, the Javanese mostly engaged in wet field agriculture, while the
Madurese accuppied a more heterogenous employment.

Keywords: population, Probolinggo, revolution, socio-economy.

A. Pendahuluan Bandung, dan Magelang. Hoofdenschool adalah


Bagi pemerhati masalah perkembangan sekolah yang mendidik bumiputera untuk
pamongpraja atau administrasi pemerintahan dijadikan tenaga administrasi pemerintahan
di Indonesia, kota Probolinggo akan selalu kolonial. Dalam perkembangannya Hoofden­
di­ingat dan menjadi sering disebut, sebab school berganti nama menjadi Opleidingsschool
Probolinggo salah satu dari empat kota voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA, Sekolah
di Indonesia yang memiliki Hoofdenschool untuk Pendidikan Pegawai Bumiputera).
(Sekolah Raja). Tiga kota lainnya yaitu Tondano, Ketika statusnya ditingkatkan menjadi seko­

36
Kota Probolinggo pada Masa Menjelang dan Awal Revolusi
Ari Sapto

lah menengah, namanya berubah menjadi teori ekologi kota (Kartodirdjo, 1977), hal ini
Milddelbare Opleidings School voor Inlandse bukan suatu kesengajaan. Karakteristik kota
Ambtenaren (MOSVIA) (Soetjiatingsih dan Probolinggo (meskipun tidak sepenuhnya)
Sutrisno Kutoyo, 1980/1981:102-103). Bagi sesungguhnya lebih dekat pada ciri-ciri kota
pemerhati Sejarah Pendidikan, Probolinggo yang perkembangannya bisa dilihat pada awal
(dan Surabaya) diingat sebagai kota pertama abad ke-20. Menurut Kuntowijoyo (1994:54)
di Jawa Timur yang memiliki Sekolah Dasar ciri-ciri kota awal abad XX sebagai berikut.
Negeri untuk bumiputera yang menggunakan
Pertama, sektor kota tradisional yang di­
bahasa Melayu. Penekanan penggunaan baha­
tandai dengan pembagian spasial yang
sa Melayu perlu dilakukan, karena pengakuan jelas berdasarkan status sosial dan de­
sebagai lingua franca oleh pemerintah kolonial katnya ke­dudukan pemukim dengan
Belanda mendorong akselerasi berkembangnya kraton. Kedua, sektor pedagang asing,
nasionalisme di kalangan bumiputera (Kahin, terutama pedagang Cina, yang mewarnai
1995: 51). Bahasa Melayu sebagai senjata untuk kehidupan kota de­ngan gaya bangunan,
melawan pengaruh Belanda. Formulasi nyata kegiatan ekonomi, dan kehidupan sosial
perlawanan tampak dalam Sumpah Pemuda. budaya tersendiri. Ketiga, sektor kolonial
Pada masa revolusi, Probolinggo menca­ dengan benteng dan barak, perkantoran,
tat kontribusi penting. Ketika pelabuhan di rumah-rumah, gedung societeit, rumah
Jakarta, Semarang, dan Surabaya dikuasai ibadah vrijmetselarij. Keempat, sektor
tentara Sekutu dan kemudian tentara Belanda, kelas menengah pribumi yang kadang-
kadang mengelompok dalam kampung-
bantuan beras yang dijanjikan pemerintah
kampung tertentu, seperti Kauman di
Syahrir untuk India, dikirim melalui pelabuh­
kota Yogyakarta atau Surakarta, atau di
an Probolinggo. Sukses pengiriman ditunjang
bagian lain. Kelima, sektor imigran yang
oleh daerah Karesidenan Besuki, di bagian menampung pendatang-pendatang baru
timur Probolinggo, sebagai gudang beras dan di kota dan berasal dari pedesaan di
kemampuan Divisi Suropati memberikan ja­ sekitar.
minan pengamanan. Di samping itu, Probo­
linggo salah satu dari sedikit kota di Indonesia, Menurut Kuntowijoyo (1994:55-62) se­
yang taktik perlawanan gerilyanya terhadap lanjutnya, garapan sejarah kota meliputi per­
pemerintah pendudukan Belanda pada masa kembangan ekologi kota, transformasi sosial
revolusi nasional dapat berlang­sung secara ekonomi, sistem sosial, problema sosial, dan
intensif, bahkan hingga pengakuan keda­ mobilitas sosial. Permasalahan yang hendak
ulatan. dicari jawabnya dalam tulisan singkat ini
Tulisan ini mendeskripsikan kondisi kota adalah bagaimana latar belakang sejarah,
Probolinggo dalam dimensi se­jarah. Hal itu kondisi penduduk, penduduk, dan sosial
penting untuk modal me­mahami peristiwa- ekonomi kota Probolinggo pada masa sebelum
peristiwa yang terjadi pada masa revolusi. dan awal revolusi?
Mereka yang menganggap dirinya ahli sejarah
B. Sejarah Singkat
kota biasanya paling suka memanfaatkan
Probolinggo sebelumnya bernama
teori-teori tertentu. Meskipun analisis dalam
Banger. Dalam Negarakertagama pupuh
tulisan ini tanpa mengacu teori tertentu,
XXXIV/4 disebutkan: “Agak lama berhenti
dalam uraian bersinggungan dengan,
seraya istirahat; mengunjungi para penduduk
umpamanya, teori urbanisasi atau migrasi
segenap desa; kemudian menuju Sungai Gawe,
seperti dikembangkan Louis Wirth, atau teori
Sumanding, Borang, Banger, Baremi lalu
perkembangan teknologi yang terkait dengan
lurus ke barat” (Slametmulyana, 1979:290).
nilai-nilai sosial budaya dari Max Weber, juga
Negarakertagama yang melukiskan perjalanan

37
Vol. 2, No. 1, Juni 2012

raja Hayam Wuruk menunjukkan bahwa menggunakan nama Banger. Nama Banger
Banger menjadi bagian dari wilayah Kerajaan pada waktu kemudian masih dapat ditemukan
Majapahit. Daerah ini pernah menjadi wilayah sebagai nama sungai yang melintasi kota.
Kerajaan Blambangan. Kerajaan Demak Cerita rakyat setempat memberitakan bahwa
gagal menaklukkan Banger, karena rajanya, nama Banger berasal dari bau genangan air.
Trenggono, meninggal di Pasuruan ketika Sungai Banger dahulu memiliki aliran yang
mencoba melakukan ekspansi ke wilayah lebar, sehingga dapat dilalui perahu. Sampai
timur. Sultan Agung dari Mataram melalui tahun 1970-an masih banyak perahu nelayan
serangan militer berhasil menaklukkan yang mengangkut ikan untuk dijual di pasar
seluruh ujung timur Jawa Timur di tahun ikan yang terletak di tengah kota. Akan tetapi,
1639, termasuk Banger (Graff, 1986:262-271). sekarang sungai telah menyempit dan dangkal,
Selama lebih dari satu abad kemudian Banger bahkan di beberapa tempat bagian atasnya
menjadi daerah kekuasaan Mataram. Menurut ditutup dengan beton cor (Sapto, 1999:23).
sistem pembagian wilayah kerajaan Mataram, Muara sungai berakhir di bagian timur pela­
Banger menjadi bagian daerah pesisiran timur. buhan. Pada saat-saat tertentu air meluap
Pada tahun 1686 Untung Suropati membangun meninggalkan genangan yang berbau busuk
kekuasaan di Pasuruan. Wilayahnya mem­ (banger).
bentang dari Blambangan, Panarukan, Pada abad XVI, Probolinggo memiliki
Probolinggo, Pasuruan, dan Malang. Untuk posisi yang unik. Wilayah ini menjadi pembatas
menundukkan Untung Suropati, Mataram kekuasaan Kerajaan Blambangan di bagian
minta bantuan Kumpeni dan baru berhasil timur dan Kerajaan Mataram di bagian barat.
tahun 1714 (Lekkerkerker, 1931:484). Wilayah ini juga semacam benteng hinduisme
Banger dalam bahasa Jawa berarti ‘berbau yang dipertahankan oleh Blambangan terhadap
busuk’. Nama ini dipandang bermakna kurang desakan Islam (Lekkerkerker, 1931:482). Secara
baik dan kurang sedap didengar, sehingga perlahan-lahan proses islamisasi berlangsung
diubah. Perubahan nama Banger menjadi mulai abad XVII. Proses ini tidak sepenuhnya
Probolinggo terjadi pada masa kekuasaan berhasil, mengingat pertahanan Hindu yang
Bupati Joyonagoro tahun 1770. Probolinggo kuat di antara penduduk Tengger.
berasal dari kata praba dan lingga. Praba berarti Sebagai akibat perjanjian yang ditanda­
sinar atau cahaya dan lingga berarti (lambang) tangani pada 11 Nopember 1743 antara
kekuatan atau kejantanan. Probolinggo Gubernur Jenderal van Imhoff dengan Sunan
sering diartikan sebagai kekuatan yang Pakubuwono II, Probolinggo jatuh ke tangan
bercahaya (Stibbe dan Sondbergen, 1939:1523; Kumpeni (Lekkerkerker, 1931:485). Perjanjian
Lekkerkerker, 1931:482). Versi lain yang ber­ ini terlaksana sebagai akibat keterlibatan
dasar dongeng, nama Probolinggo berasal dari Mataram dalam peristiwa Pemberontakan
kata prabu dan linggih, artinya raja atau tamu Cina (1740-1743). Kelompok yang anti Belanda
agung yang berkenan singgah. Prabu linggih di Mataram menggunakan kesempatan me­
mengalami proses perubahan ucap menjadi merangi VOC dan membebaskan diri dari­
Probolinggo (Waluyo, 1995:5). Sekitar tahun nya. Kelompok yang dipimpin oleh Patih
1950-an pen­duduk sekitar Probolinggo, seperti Natakusuma bekerjasama dengan orang-orang
Pasuru­an, Lumajang, dan Besuki, bila akan ke Cina (Kartodirdjo, 1987:223-226). Bedasarkan
Probolinggo masih sering mengatakan “akan perjanjian, seluruh ujung timur Jawa Timur
ke Banger” (Sapto, 1999:22). Dapat diduga menjadi daerah kekuasaan VOC (Vereenigde
bahwa nama Probolinggo popular dalam Oost-Indische Compagnie) atau Kumpeni.
bidang administratif pemerintahan, sementara Kerajaan Blambangan menolak aneksasi
dalam pergaulan sehari-hari, penduduk masih VOC, sebab lebih suka berada di bawah ke­

38
Kota Probolinggo pada Masa Menjelang dan Awal Revolusi
Ari Sapto

kuasaan raja Bali. Sejak saat ini Blambangan Barang-barang dan tenaga manusia yang dise­
terus terlibat konflik dengan Kumpeni sampai diakan untuk kumpeni, oleh bupati Joyolalono
akhirnya dapat ditaklukkan di tahun 1767. didapat menurut adat yang berlaku, yaitu
Penguasa Tengger, Panembahan Semeru, adat hubungan feodal tradisional bupati
juga tidak mau mengakui Kumpeni. Sikapnya dengan desa-desa yang terletak di lingkungan
ini menimbulkan konflik dengan bupati kekuasaannya. Kumpeni tidak ikut campur
Probolinggo Kyai Joyolalono, penguasa yang tangan mengenai hubungan ini. Adat hu­
diangkat VOC. Melalui siasat licik, Kyai bungan feodal merupakan konsep kawulo-
Joyolalono akhirnya berhasil membunuh pe­ gusti yang mendasari konsep kekayaan dan
nguasa Tengger. (Tjiptoatmodjo, 1983:269; kekuasaan golongan priyayi. Dalam konsep
Lekkerkerker, 1931:485). Ketika van Imhoff ini dijelaskan bukan luas perbatasan yang
mengadakan perjalanan untuk menjamin penting, melainkan jumlah penduduk dan
pelaksanaan perjanjian, pada tahun 1746, kemampuan untuk memobilisasi penduduk
Probolinggo didapati sebagai daerah yang untuk keperluan produksi, mendirikan ba­
mengalami kerusakan akibat perang antara ngunan dan perang (Onghokham, 1983:61-
Kumpeni dengan Kerajaan Blambangan. 62).
Oleh karena kemiskinannya, daerah ini untuk Kumpeni menyewakan desa-desa ke
beberapa saat dibebaskan dari kewajiban pihak swasta, kebanyakan orang-orang Cina
menanggung perjalanan dinas, tetapi masih kaya. Praktik persewaan desa dilakukan
diwajibkan menyerahkan hasil dari cukai dengan menyerahkan sejumlah desa dengan
impor, pajak pelabuhan dan menyetorkan membayar uang sewa. Burger (1960:169)
tenaga kerja. Pada tahun 1784 kondisinya menjelaskan sebagai berikut.
menjadi lebih baik, sehingga diwajibkan
… bahwa desa-desa disewakan dalam
menyetor upeti 40 koyang beras, uang 450
jang­ka waktu tertentu, misalnya 3, 5,
ringgit, nila, dan sarang burung (Lekkerkerker, 8 atau 10 tahun. Selama jangka waktu
1931:485). persewaan itu, pihak penyewa memiliki
Penguasa daerah dipertahankan dengan kekuasaan untuk menarik penghasilan
syarat memenuhi setoran tahunan dan tidak dari desa itu. Hak atau kekuasaan itu
merugikan kekuasaan Kumpeni. Probolinggo diartikan secara luas, sehingga penyewa
menjadi daerah yurisdiksi Kumpeni, bupati- dapat menuntut penyerahan hasil bumi,
bupatinya menjadi bupati Kumpeni. Kewaji­ misalnya beras dan hasil tanaman lain,
ban mereka terhadap raja Mataram dengan serta jasa dari penduduk desa setempat.
segala adat upacaranya dialihkan kepada Desa yang disewa banyak digunakan
Kumpeni. Kewajiban ini dimanfaatkan untuk untuk kepentingan usaha penanaman dan pe­
kepen­tingan perdagangan dan rumah tangga nggilingan tebu. Usaha ini banyak dilakukan
Kumpeni. Menurut Kartodirdjo (1987:13) upeti oleh orang-orang Cina. Untuk usaha semacam
yang wajib diserahkan kepada Kumpeni ti­ itu, sering orang-orang Cina menyewa bebe­
dak hanya ditentukan waktu penyerahannya, rapa desa sekaligus untuk jangka waktu tiga
tetapi juga ditentukan jumlah dan jenisnya, tahun atau lebih. Penduduk desa-persewaan
yang disesuaikan dengan kepentingannya, diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan dan
seperti beras, minyak kelapa, dan kayu bahan pemotongan tebu di ladang, pengangkutan
bangunan. Tenaga kerja yang diserahkan un­ ke penggilingan, dan pekerjaan penggilingan.
tuk mengangkut barang, memelihara jalan, Para penduduk ini mendapat bayaran menurut
memelihara dan membersihkan bangunan- banyak sedikitnya air tebu yang dihasilkan
bangunan di benteng. Bupati Kyai Jokolalono (Kartodirdjo dan Surjo, 1991:38-39).
dijadikan semacam leverancier Kumpeni.

39
Vol. 2, No. 1, Juni 2012

Kebutuhan akan dana mendorong di Hindia Belanda. Sedangkan Tumenggung


Daendels menjual daerah Probolinggo adalah jenjang kepangkatan bupati yang paling
kepada seorang Cina bernama Han Tik-Ko bawah. Babah Tumenggung dapat diartikan
(Probo­linggo, No. Inv. 6 d, ANRI, 1813:7). sebagai bupati keturunan Cina (Stibbe dan
Kebijakan ini diambil memperhatikan saran Sondbergen, 1939:1523). Bupati sebelumnya,
van Ljsseldijk, seorang pejabat Kumpeni yang Raden Tumenggung Joyodiningrat dipindah­
pada akhir abad ke-18 mengadakan peninjauan kan ke Sedayu (Gresik), tetapi keluarganya
ke Probolinggo. Harga jual disepakati sebesar masih terasa kuat pengaruhnya di Probolinggo
1.000.000 ringgit (rijksdaalders). Pembayaran (Lekkerkerker, 1931:506).
dengan cara diangsur selama 10 tahun. Setiap Untuk memenuhi kewajiban pembayaran,
bulan Juni pembeli diharuskan mengangsur penguasa baru berusaha memeras dan mem­
sebesar 50.000 ringgit dan pada bulan Desember berikan beban yang berat kepada rakyat. Di
sebesar 50.000 ringgit, sehingga lunas dalam samping itu, Han Tik-Ko juga harus meng­
20 kali angsuran. Pembeli sudah harus mulai hadapi oposisi dari keluarga bupati lama.
mengangsur pada akhir tahun 1811. Pembeli Akibatnya, ketidakpuasan muncul di mana-
menerima hak atas semua hutan jati dan di­ mana. Puncaknya meletus dalam bentuk per­
bebaskan dari semua penyerahan wajib serta lawanan rakyat yang berlangsung tanggal 18
tanaman paksa. Sebaliknya, cukai semua eks­ Mei 1813. Peristiwa ini dikenal sebagai Perang
por dan impor tetap dipungut pemerintah. Ini Kedopok, dikenal juga dengan Kepruk Cino.
juga berlaku atas penjualan candu. Kepada Kedopok adalah sebuah desa di wilayah kota,
pemerintah tetap disetorkan cukai atas sa­ tempat rakyat petani banyak mendukung
bung ayam, pemeliharaan ternak, dan pemo­ pemberontakan ini. Dikenal dengan Kepruk
tongan hewan. Pembeli juga diwajibkan me­ Cino karena sasaran utama pemberontakan
rawat semua jalan umum dan melakukan adalah orang-orang Cina, terutama keluarga
pengangkutan bagi dinas pemerintah dengan Han Tik-Ko. Dalam peristiwa ini Han Tik-Ko
tarif yang berlaku umum (The Acting Resident: terbunuh (Stibbe dan Sondbergen, 1939:1523;
Surabaya, Probolinggo, Besuki, Panarukan. Lekkerkerker, 1931:496). Akibat peristiwa ini,
No. Inv. 6 b, ANRI, 1813:175-179). Raffles kemudian menebus daerah Probolinggo
Keadaan di ujung timur Jawa Timur ke­ dari keluarga Han Tik-Ko.
kurangan sarana tukar. Pembayaran sebesar Setelah pemberontakan, selama lima tahun
harga beli tidak mungkin dilakukan oleh Probolinggo tidak mempunyai penguasa
Han Tik-Ko. Untuk menjamin pemerintah bumiputera. Baru pada tahun 1818 diangkat
mendapatkan biaya pembelian, atas usul Raden Tumenggung Aryo Notoadiningrat
Daendels, dilakukan pembuatan jenis uang sebagai penguasa. Bupati Aryo Notoadiningrat
kertas baru senilai satu juta ringgit. Uang hanya memerintah selama tiga tahun, pada
kertas ini diberi nama Uang Kertas Probolinggo tahun 1821 dipindahkan ke Lasem. Kembali
(Lekkerkerker, 1931:505-506). terjadi kekosongan penguasa bumiputera.
Han Tik-Ko memperoleh gelar Mayor Cina Pada tahun 1823 Raden Tumenggung Panji
dan tuan Tanah Probolinggo dan mendapat Notonegoro diangkat sebagai pengganti Aryo
izin membawa senjata (The Acting Resident: Notoadiningrat, mengisi jabatan bupati yang
Surabaya, Probolinggo, Besuki, Panarukan. telah kosong selama dua tahun (Lekkerkerker,
No. Inv. 6 b, ANRI, 1813:179; Lekkerkerker, 1931:506).
1931:506). Kedudukannya setingkat bupati. Probolinggo adalah daerah yang subur,
Oleh penduduk penguasa baru ini diberi gelar sejak masa Jawa Kuno sudah memiliki areal
sebagai Babah Tumenggung. Babah adalah persawahan yang luas. Negarakertagama
sebuatan bagi orang Cina kaya yang menetap pupuh XXXIV memberikan uraian tentang

40
Kota Probolinggo pada Masa Menjelang dan Awal Revolusi
Ari Sapto

persawahan di Banger (Slametmulyana, pemerintahan kota dihapus dan dipersatukan


1979:289-290). Berhasilnya petani mengolah dengan kabupaten senama. Setelah pengakuan
sawah dapat dilihat dari luasnya sawah yang kedaulatan kota dan kabupaten dipisahkan
sudah digarap. Pada tahun 1823 Karesidenan kembali.
Pasuruan dan Probolinggo berhasil mencetak
sawah seluas 40.319 hektar (Elson, 1984:19). C. Fisik Kota dan Penduduk
Kondisi semacam ini menarik orang asing Kota Probolinggo terletak di bagian timur
untuk mengusahakan perkebunan, terutama Pulau Jawa, di pantai Selat Madura. Di sebelah
tebu. Pada tahun 1856 terdapat 10 pabrik gula timur Surabaya, Selat Madura menjadi lebih
dengan areal tanaman tebu seluas 3.549 hektar lebar dan lebih dalam. Antara Pulau Madura
(Kolonial Verslag, 1856). Jumlah ini masih dan pantai Probolinggo jaraknya sekitar 40
harus ditambah lagi dengan perkebunan- mil laut (Jonge, 1989:4). Dermaga pelabuhan
perkebunan swasta dan penggilingan gula Probolinggo merupakan tonjolan daratan ke
rakyat. arah laut, menyerupai semenanjung dalam
Dua penguasa Probolinggo yang ter­ ukuran mini. Di tahun 1946 masih dijumpai
catat menonjol dalam sejarah ialah Kyai genangan-genangan lumpur di bibir pantai.
Tumenggung Wiryowijoyo (1837-1840) dan Ketinggian kota sekitar 4 m dari permukaan
Raden Tumenggung Wijoyokesumo (1888- laut (Cipta Adi Pustaka, 1990:401).
1894). Kyai Tumenggung Wiryowijoyo berjasa Pusat kota ditandai dengan adanya alun-
karena usahanya membangun bendungan alun yang dikelilingi gedung pemerintah di
dan membuat proyek perairan Ronggojalu. sebelah selatan, masjid di sebelah barat, penjara
Sedangkan Tumenggung Wijoyokesumo ter­ di sebelah timur, dan kampung Cina (pecinan)
kenal karena jasanya memperkenalkan tanam­ (Kuntowijoyo, 1993:45). Di sebelah utara
an ganyong. Umbi akar tanaman ini kaya alun-alun terdapat stasiun kereta api. Alun-
akan tepung kanji. Penduduk memasaknya alun bagian tengah dibelah oleh jalan yang
dengan cara ditanak dan dicampur dengan membujur utara selatan. Jalan ini bila terus ke
santan (Lekkerkerker, 1931). Bupati ganyong arah selatan akan bertemu dengan jalan pos.
ini juga terkenal karena sifat kerakyatannya. Sepanjang jalan ini di tahun 1946 terdapat
Penduduk memberikan gelar sebagai Kanjeng hotel, klub, dan gereja. Sebelah timur jalan,
Ganyong. Makamnya terletak di belakang dengan dibatasi pemukiman, terdapat jalan
Masjid Jami’ Probolinggo hingga sekarang atau kampung yang khusus diperuntukkan
masih dihormati bagi orang-orang Cina. Chineesche voor straat
Berdasar Ordonantie tanggal 20 Juni mempunyai arti ekonomis, sebab jalan ini ke
1918 (Staatsblad 1918, No. 322) pemerintahan arah utara dapat langsung ke pelabuhan. Hal
kabupaten dan kotapraja Probolinggo dipi­ ini memudahkan pengangkutan barang dari
sahkan. Pemisahan berlangsung hingga tahun pelabuhan ke pemukiman Cina dan pasar
1928. Berikutnya, berdasar Ordonantie tanggal di dekatnya dan sebaliknya. Sebelah barat
9 Agustus 1928, kotapraja dihapus, disatukan jalan utama, juga dibatasi oleh pemukiman,
kembali dengan kabupaten (Staatsblad 1928, terdapat jalan dan pemukiman khusus bagi
No.317). Pada masa pendudukan Jepang orang-orang Eropa (Town Plan of Probolinggo,
dan masa Republik mengalami pemisahan 1946).
kembali. Akan tetapi, sejak 13 Agustus 1948 Pemukiman bagi bumiputera terletak di
berdasar Undang-undang Pemerintahan pinggir kota, di bagian timur, barat, selatan,
Balatentara No. 70/J.Z/III/48, pemerintahan dan di utara dekat pelabuhan. Perkecualian
kota tidak diperkenankan melakukan usaha untuk golongan priyayi, menempati pusat
sendiri (AAS, No. Inv. 1247, ANRI). Dalam arti, kota juga. Jadi, pribumi sengaja ditempatkan

41
Vol. 2, No. 1, Juni 2012

di pinggir kota, mengitari pusat kota yang Di kota Probolinggo jalan pos merupakan jalur
hanya untuk orang-orang Eropa, Cina, orang utama. Jaringan jalan yang merupakan cabang
timur asing lain, dan segolongan kecil priyayi. dari jalan pos ini menghubungkan kota dengan
Seperti kota yang mempunyai ciri Jawa lainnya, daerah pedesaan dan kota-kota pedalaman.
pemukiman Cina berdekatan dengan pasar. Masih di dalam kota, terdapat jalan simpang
Sebagian besar aktivitas ekonomi orang-orang ke arah selatan menuju Lumajang dan lain-
Cina memang di bidang perdagangan. Pasar lain jalan simpang menuju ke berbagai tempat
kota terletak di kanan kiri jalan pos (Town Plan di pedalaman, antara lain ke Jember.
of Probolinggo, 1946). Penduduk kota Probolinggo berdasar per­
Di samping jalan darat dan air, kota juga hitungan tahun 1930 berjumlah 90.411 jiwa.
dilewati jalur kereta api yang menghubungkan Terdiri atas orang Eropa sebesar 952 orang,
Lumajang di sebelah selatan dan Pasuruan di bumiputera 85.257 orang, orang Cina 3.719
sebelah barat. Angkutan tram yang dikelola orang, dan timur asing lainnya 483 orang (Stibbe
Probolinggo Stoomtram Maschapy menghubung­ dan Sondbergen, 1939:1524). Bumiputera terdiri
kan beberapa bagian kota sejak tahun 1894 dari orang Jawa dan Madura (pandhalungan).
(Tjiptoatmodjo, 1983:121). Pandhalungan merupakan pendukung budaya
Perhubungan jalur darat maupun laut campuran Jawa dan Madura. Imbangan jum­
memungkinkan terlaksananya hubungan an­ lah penduduk Madura dengan penduduk
tara daerah pedalaman dengan kota, antara Jawa menunjukkan mayoritas orang Madura.
kota dengan daerah sekitarnya, maupun antara Menurut perhitungan tahun 1845 jumlah
satu kota dengan kota lainnya. Jalur darat penduduk orang Jawa di Probolinggo sebesar
tidak hanya penting untuk perdagangan darat 18.456 jiwa dan penduduk Madura 56.317
tetapi juga untuk keperluan pemerintahan dan jiwa. Orang pandhalungan dimasukkan dalam
gerakan militer. Pengawasan terhadap pe­ kelompok orang Madura (Bleeker, 1847:150-
merintahan tingkat bawah oleh atasan hanya 161). Orang Jawa yang mendiami ujung
dapat dilakukan dengan baik apabila tersedia timur Jawa Timur sejak lama jumlahnya tidak
jalur jalan yang baik. Demikian pula kondisi begitu banyak. Populasi orang Jawa semakin
jalan sangat berpengaruh atas kelancaran merosot karena adanya berbagai peperangan
gerakan militer pada masa perang. dan pindah ke tempat lain. Orang Jawa sering
Jalan pos yang dibangun pada masa ke­ pindah sekehendak hatinya. Tempat tinggal
kuasaan Daendels dan cukup terkenal dalam tidak dipedulikan, karena tanah yang belum
sejarah, pada hakikatnya sebagian besar dibuka masih demikian luas. Bila menghadapi
hanya memperbaiki jalan yang telah ada, masalah di daerahnya, cenderung pergi ke
sehingga lebih keras, lebih lebar, dan lebih tempat lain yang lebih aman (Onghokham,
memadai untuk dilalui kereta-kereta kuda 1985:61).
(Tjiptoatmodjo, 1983:121). Jalan pos setelah Sementara jumlah orang Jawa menipis,
kota Pasuruan ke arah timur melewati Rejoso, migrasi orang-orang Madura semakin ber­
Grati, terus ke kota Probolinggo. Ke arah timur tambah besar. Proses migrasi orang-orang
melalui Kraksaan, Paiton, hingga memasuki Madura ke Jawa berlangsung selama berabad-
Karesidenan Besuki. Sebagian besar jalan pos abad. Proses ini melalui berbagai saluran,
Daendels melintasi kota-kota di tepi pantai seperti perdagangan, pelayaran, penangkapan
Selat Madura. Meskipun mula-mula jalan ini ikan, pencarian nafkah sebagai tenaga kerja,
dibangun dengan tujuan untuk memudahkan dan ekspedisi militer (Tirtoatmodjo, 1983:303).
gerakan militer Belanda di waktu perang, Daerah pantai ujung timur Jawa Timur adalah
namun manfaat lain ialah makin lancarnya daerah seberang Selat Madura yang banyak
komunikasi antara kota-kota yang dilaluinya. dikunjungi perahu-perahu nelayan Madura.

42
Kota Probolinggo pada Masa Menjelang dan Awal Revolusi
Ari Sapto

Para nelayan bertujuan menjual hasil tangkap­ Jepang memaksa penduduk pulau itu mencari
an ikannya di bandar-bandar kecil di pantai nafkah di tempat mereka sendiri dan lalu
daratan Jawa. Sebagian nelayan ini tertarik lintas orang dibatasi dengan aneka macam
untuk menetap di daerah Probolinggo dengan peraturan. Satu-satunya bentuk migrasi yang
membuka hutan atau menyiapkan tanah untuk masih be­rarti adalah migrasi tenaga kerja.
pemukiman di belakang pantai. Hal semacam Banyaknya penduduk yang tidak diketahui
ini juga terjadi di kalangan pedagang- jumlahnya dipekerjakan sebagai romusha,
pedagang Madura yang berkunjung di pantai pekerja paksa, di wilayah atau di luar wilayah
daratan Jawa dengan perahu-perahu kecil Indonesia (Jonge, 1989:25).
berisi muatan barang dagangan.
Sejak awal abad ke-19 ketika di Probolinggo D. Ekonomi dan Sosial
dibuka perkebunan-perkebunan, baik oleh pi­ Mata pencarian penduduk kota bervari­
hak swasta maupun pemerintah, banyak orang asi, seperti sebagai petani, pedagang, nelayan,
Madura yang bekerja mencari nafkah sebagai tenaga kasar, tukang, dan pegawai. Kedua
tenaga kasar (Jonge, 1989:24). Pembukaan et­nik, Jawa dan Madura, mempunyai kultur
perkebunan tebu dan tembakau mendorong sendiri yang berbeda. Kultur Jawa yang halus
migrasi besar-besaran. Pertengahan abad ke-19 karena terbawa oleh kehidupan persawahan
orang Madura yang bertempat tinggal di Jawa berbeda dengan kultur Madura yang sedikit
Timur dua kali lipat lebih banyak daripada kasar karena ekologi ladang. Percampuran
yang bertempat tinggal di pulau Madura etnik memang sering terjadi dan orang Madura
sendiri (Jonge, 1989:25). terserap dalam kultur Jawa, khususnya kelom­
Bagi orang-orang Madura, Selat Madura pok menengah dan atas, sedangkan kelompok
seolah-olah merupakan suatu teluk. Sepanjang bawah masih bertahan dalam isolasi kultur
tahun terdapat lalu lintas barang dan orang Madura sendiri. Orang-orang Jawa tetap me­
yang ramai di antara kota-kota dan desa-desa nekuni pekerjaan sebagai petani dan orang
pantai di sekitar selat. Biasanya para migran Madura sebagai nelayan, pedagang, dan buruh
berangkat ke daerah yang berhadapan dengan (Suhartono, 1995:33).
kabupatennya (Jonge, 1989:25). Jadi orang- Umumnya penduduk menggunakan ba­
orang dari Sampang bergerak ke jurusan hasa Jawa dan Madura, tergantung siapa yang
Probolinggo. Di daerah-daerah pantai yang diajak komunikasi. Penduduk dapat berbahasa
saling berhadapan pun digunakan dialek yang Jawa ngoko, tetapi juga krama. Bahasa Jawa ngoko
sama. Probolinggo juga berfungsi sebagai tem­ dan krama diucapkan dengan logat Madura.
pat transit dalam proses migrasi orang-orang Penggunaan bahasa tergantung keperluan.
Madura. Dari sini orang-orang ini menyebar Di kantor-kantor biasanya digunakan bahasa
ke daerah Jember, Lumajang, dan Malang Jawa krama. Di daerah Mayangan, tempat
(Tirtoatmodjo, 1983:310). Menurut catatan sebagian besar orang-orang Madura tinggal
syahbandar Probolinggo, orang Madura yang sebagai pekerja kasar, juga dipergunakan dua
masuk mencari pekerjaan dengan mengguna­ bahasa. Bahkan ada kecenderungan, anak-anak
kan perahu pada tahun 1928 berjumlah 32.940 muda lebih suka menggunakan bahasa Jawa
jiwa. Orang Madura yang masuk melalui Pa­ dialek pesisiran dengan logat Madura (Sapto,
suruan sekitar 1.529 orang. Menurut catatan 1999:36). Hal ini dapat dimengerti, sebab
syahbandar itu selanjutnya, banyak dari mi­ sebagian besar anak-anak muda itu kelahiran
gran Madura yang tinggal di Jawa dan hidup Probolinggo, generasi kedua atau ketiga.
berkecukupan (ANRI, 1978:CLXVIII). Berbeda dengan orang tua dan kakek nenek
Pada zaman pendudukan Jepang migrasi mereka, datang langsung dari pulau sehingga
berhenti sama sekali. Tentara pendudukan tampak masih kental bahasa Maduranya.

43
Vol. 2, No. 1, Juni 2012

Ketela menjadi hasil penting pertanian komunal; (2) wong kendo (bahasa Madura:
di samping padi. Makanan pokok penduduk oreng kendo) ialah yang memiliki pekarangan
berupa beras (Stibbe dan Sondbergen, dan rumah serta masih termasuk dalam daftar
1939:1524). Areal pertanian terutama mem­ warga desa yang pada suatu saat (kalau ada
bentang di bagian timur kota. Meskipun lowongan) akan menjadi golongan penerima
terdapat juga di bagian barat dan selatan, bagian tanah desa; (3) tumpang (istilah lain
tetapi tidak seluas di bagian timur. Di bagian indung) adalah yang hanya memiliki rumah,
utara, sepanjang pantai, tanah dibuka oleh menumpang di halaman atau pekarangan
orang-orang Madura. Daerah ini kemudian orang lain; (4) tumpang tlosor adalah yang sama
didiami secara turun temurun dan diklaim sekali tidak memiliki rumah dan tinggal atau
sebagai milik sendiri. Hal ini makin meluas menumpang di rumah orang lain (Moertono,
karena jumlah migran semakin banyak, 1985:144). Terdapat perbedaan istilah untuk
sehingga kontrol terhadap tanah semakin beberapa daerah, walaupun esensinya sama.
lemah (Suhartono, 1995:47). Tanah-tanah di Seperti istilah wong kenceng di tempat lain
sepanjang pantai banyak difungsikan sebagai disebut kuli kenceng, kuli ngarep, kuli kuwat,
tambak. Di samping me­ngelola tambak, banyak kuli gogol, dan sikep. Wong kendo disebut juga
penduduk yang juga sekaligus pemilik sawah. dengan kuli kendo, kuli mburi, dan kuli setengah
Produk utama dari usaha perikanan tambak kenceng (Kano, 1984:28-85). Dalam hirarkhi
adalah ikan bandeng. Produk sampingannya status, keempat golongan dapat dibedakan
yang terpenting adalah udang. Ikan bandeng sebagai golongan petani pemilik (wong kenceng
umumnya dipasarkan dalam bentuk ikan dan wong kendo), golongan petani penyewa
segar atau ikan pindang (pindang bandeng), (tumpang) dan buruh tani atau pekerja upahan
dan bisa dipastikan tidak pernah ikan bandeng (tumpang tlosor).
diproses menjadi ikan asin. Harga ikan Stratifikasi sosial juga didasarkan pada
bandeng juga jauh lebih mahal daripada harga lamanya bermukim. Status tertinggi diberikan
ikan pada umumnya (Masyuri, 1995:150-152). kepada keturunan pendiri-pendiri desa.
Penggolongan petani didasarkan pada Pendiri desa biasanya adalah pembuka-
pemilikan tanah. Di sini terlihat pengaruh pembuka tanah (Suryo, 1985:19), sehingga
Mataram sangat kuat. Pada masa kolonial hak sekaligus me­nyandang sebagai pemilik tanah.
atas pemilikan tanah mempunyai implikasi Asal tidak dipindahtangankan, keturunan
pendiri desa mempunyai status sama, yaitu
pada hak dan kewajiban terhadap desa. Menurut
pemilik tanah. Dalam diri keturunan pendiri
Domis, Residen Pasuruan, stratifikasi petani
desa kriteria pemilikan tanah dan lamanya
di Probolinggo didasarkan pada keinginan
bermukim.
untuk bekerja pada penguasa dan kerja wajib
Usaha perdagangan sebagian besar dita­
setiap tahun (Elson, 1984:10-16). Kiranya hal
ngani golongan etnis lain, terutama Cina
ini suatu kesalahan. Bekerja untuk penguasa
(AAS, No. Inv. 152, ANRI). Bumiputera yang
dan kerja wajib merupakan konsekuensi pe­
berprofesi sebagai saudagar jumlahnya kecil.
milikan atas tanah, bukan kriteria stratifikasi.
Penduduk bumiputera sebagian besar sebagai
Konsep hubungan kawula-gusti mengatur
pedagang kecil atau penjaja berbagai barang,
hu­bungan antara penguasa dengan warga
seperti sayuran, makanan, dan buah-buahan
desa (Onghokham, 1983:61-64). Berdasar
(Sapto, 1999:38). Khususnya tentang orang-
pada sistem pemilikan tanah petani dapat
orang Cina, penduduk kota mempunyai ke­
dibedakan : (1) wong kenceng (bahasa Madura: san yang kurang menyenangkan. Orang-
oreng kenceng) ialah warga desa inti yang telah orang Cina pada akhir abad XVIII dan awal
mendapat bagian tanah milik desa atau tanah abad XIX mengeksploitasi penduduk melalui

44
Kota Probolinggo pada Masa Menjelang dan Awal Revolusi
Ari Sapto

desa-desa yang disewa. Orang-orang Cina Di kota terdapat dua buah pabrik gula,
juga menguasai bidang ekonomi, baik sebagai yaitu Wonoasih dan Umbul. Masing-masing
pengusaha dan pedagang besar, tetapi juga mempunyai areal perkebunan tersendiri. Akan
sebagai pedagang menengah dan kecil. Lebih tetapi, tidak jarang pabrik gula menyewa tanah
dari satu abad, sejak berakhirnya kekuasaan penduduk untuk ditanami tebu. Petani yang
Kumpeni pada tahun 1799, orang-orang Cina tanahnya disewa dapat bekerja sebagai buruh
bergerak di bidang ekspor dan impor, pemilik di perkebunan tebu dengan upah harian (Stibbe
toko, pabrik roti, pemungut pajak, dan rentenir dan Sondbergen, 1939:1525). Tanah yang
(Tirtoatmodjo, 1983:327). Sebagai rentenir, di disewa, biasanya sawah, dipilih yang dekat
samping meminjamkan uang dengan bunga dengan desa-desa yang padat penduduknya,
tinggi, mereka menyewakan tanah kepada dengan harapan mudah memperoleh tenaga
pen­duduk (Sapto, 1999:39). Orang-orang Cina kerja. Meskipun telah merekrut tenaga kerja
membeli tanaman petani dengan sistem ngijo dari petani dan buruh tani, perkebunan
(Stibbe dan Sondbergen, 1939:1524), yaitu masih kekuarangan tenaga kerja dan untuk
pembelian tanaman petani ketika masih dalam mencukupinya direkrut tenaga kerja upahan
keadaan muda (ijo = hijau, tanaman padi lain. Terciptalah kelompok sosial lain, yakni
ketika masih muda) atau belum siap panen. buruh. Dalam kelompok ini juga dapat di­
Biasanya petani menjual tanamannya dengan masukkan pekerja kasar lainnya, seperti kuli
sistem ngijo karena terdesak kebutuhan. pelabuhan. Banyak buruh perkebunan dan
Oleh karenanya, dibeli dengan harga rendah. pelabuhan berasal dari etnik Madura (AAS,
Orang Cina juga meminjamkan uang kepada No. Inv. 1246, ANRI). Kelompok pekerja kasar
pedagang-pedagang kecil bumiputera di desa- pelabuhan banyak mendiami pemukiman pa­
desa. Hal ini dilakukan dengan sangat rapi dat di daerah Mayangan.
(Stibbe dan Sondbergen, 1939:1524). Pada masa kejayaan kerajaan Mataram,
Di kalangan pedagang, perbedaan status wilayahnya yang luas dibagi menjadi negara
sosial lebih banyak didasarkan pada pengua­ atau kuthanegara (ibukota) sebagai pusat ling­
saan modal. Oleh karena itu, dikenal pedagang karan, negaragung atau negara agung (daerah
besar dan pedagang kecil. Pedagang besar di inti) dan mancanegara (daerah luar, termasuk
kalangan penduduk dikenal dengan sebutan pesisir), serta tanah sabrang (tanah di seberang
saudagar. Dengan demikian golongan sauda­ laut). Pembagian ini direncanakan menurut
gar dalam hirarkhi sosial menempati posisi lingkaran konsentris, ketika istana sebagai pusat
atas, karenanya memiliki status sosial tinggi di lingkaran sampai berakhir dengan wilayah-
masyarakat. wilayah yang paling jauh letaknya (Moertono,
Pasar di kota banyak menawarkan ikan 1985:130-131). Negara atau kuthanegara sebagai
laut, ikan tawar tambak, garam, dan sarang ibukota kerajaan, biasanya pada keempat
burung. Juga hasil tanaman ekspor, seperti sudut di bangun benteng. Negaragung, yaitu
jagung, kacang, tembakau, dan minyak jarak. daerah yang terletak di luar dan di sekitar
Barang impor yang ditawarkan, ialah rotan, negara. Negaragung menjadi daerah apanage
karung, gula Jawa, minyak kelapa, kain (lungguh) kaum pembesar dan bangsawan
Madura, dan besi batangan (Tjiptoatmodjo, istana. Di luar negaragung terletak mancanegara.
1983:327). Terdapat empat buah pasar di Mancanegara diperintah bupati-bupati yang
kota yang sibuk dan ramai pengunjung. berkedudukan sebagai raja bawahan kerajaan
Kesibukan pasar ditunjang adanya prasarana Mataram. Bupati merupakan penguasa-
jalan yang baik. Jalan-jalan yang cukup baik penguasa daerah anak keturunan raja, atau
memungkinkan penduduk sekitar kota penguasa lain yang “asli” dari daerah itu atau
dapat berbelanja di kota dan hasil bumi dari anak keturunan suatu keluarga bangsawan
pedalaman dapat dipasarkan ke kota. yang pada masa lalu dengan sengaja ditanam

45
Vol. 2, No. 1, Juni 2012

di daerah oleh raja Mataram (Moertono, 1985). di luar priyayi, artinya yang tidak mempunyai
Probolinggo termasuk mancanegara. gelar kepangkatan atau kebangsawanan.
Di mancanegara, termasuk di pesisir, pe­ Pada akhir pemerintahan Hindia Belanda,
nguasa dinamakan bupati. Pada hakikatnya Kabupaten Probolinggo dibagi menjadi tiga
bupati seorang raja pula. Mancanegara dahulu distrik, yaitu Probolinggo (kota), Tongas, dan
merupakan kerajaan-kerajan yang berdiri Sukapura. Distrik Probolinggo dibagi lagi ke
sendiri. Masing-masing dikepalai seorang raja dalam lima onderdistrik, yaitu Probolinggo,
yang pada abad ke-17 ditaklukkan dan men­ Kanigaran, Wonoasih, Bantaran, dan Leces
jadi bawahan Kerajaan Mataram. Maka dari (Stibbe dan Sondbergen, 1939:1525). Setiap
itu, “mancanegara bukanlah satu kesatuan distrik dikepalai seorang wedana dan setiap
administrasi pemerintahan, tetapi sekelompok onderdistrik dikepalai seorang asisten we­
negara yang masing-masing mempunyai kepa­ dana. Bupati dibantu oleh seorang patih, yang
la yang disebut bupati dan tunduk kepada membantu menjalankan tugas administrasi
raja Mataram” (Moertono, 1985; Kartodirdjo, dan mewakili bupati bila berhalangan. Dari
1991). bupati hingga sistem wedana merupakan
Masyarakat Jawa membedakan gelar hirarkhi penjabat pemerintahan bumiputera
yang biasa dipakai golongan aristokrasi men­ yang mendapat gaji dari pemerintah dan
jadi dua, yaitu gelar kebangsawanan dan kedudukannya sebagai pegawai Pemerintah
gelar kepangkatan. Gelar kebangsawanan, Dalam Negeri (Hatmosoeprobo, 1995:57).
seperti Pangeran, Ratu, Raden, dan Mas. Gelar Masih terdapat para pejabat bawahan atau
kepangkatan, seperti Bupati, Patih, Wedana, dan pegawai negeri biasa yang jumlahnya justru
Demang. Secara bertingkat dari bawah ke atas cukup besar. Kelompok pegawai ini banyak
gelar bupati pesisir ialah Tumenggung, Adipati, bekerja di dinas-dinas pemerintah, juga
Pangeran, dan Panembahan. Pangeran pada da­ sebagai guru. Kelompok yang sering disebut
sarnya gelar tertinggi pejabat pemerintah sebagai priyayi rendahan ini hidup dalam
(Kartodirdjo, dkk, 1991:11). Akan tetapi, bayang-bayang priyayi menengah dan tinggi,
ketika daerah pesisir jatuh ke tangan Kumpeni yaitu wedana, patih, dan bupati. Penguasa
gelar tertinggi pejabat pemerintahan adalah Jepang mempertahankan sebagaian besar dari
Panembahan, seperti terjadi pada penguasa mereka untuk menjalankan roda pemerintahan
Madura Barat (Tirtoatmodjo, 1983:372). Di (Lombard, 1996:118). Dengan terbentuknya
samping gelar jabatan hampir semua bupati golongan berpendidikan pegawai kantoran,
mempunyai gelar kebangsawanan Raden. terjadilah metamorfosa sosial kaum ningrat-
Gelar Raden diperoleh sebagai warisan nenek feodal menjadi kaum menengah kota. Para pe­
moyangnya atau bisa juga karena jasanya gawai, baik tinggi ataupun rendah, merupakan
(Kartodirdjo, 1991:12). cadangan utama untuk mengisi posisi-posisi
Dari uraian tentang bangsawan pesisir di lowong setelah Proklamasi Kemerdekaan.
atas tampak bahwa masyarakat Probolinggo
dapat dibedakan dua golongan, yaitu golongan E. Sastra sebagai Sumber Informasi Sejarah
yang memerintah dan golongan wong cilik Anjasmara ari mami
(orang kebanyakan). Pemerintah kolonial Masmirah kulaka warta
tetap mempertahankan birokrasi tradisional Dasihmu tan wurung layon
Aneng kuta Prabalingga
Jawa, sehingga kedua golongan masih tampak
Prang tanding lan Urubismo
jelas. Golongan yang memerintah terdiri atas
Kario mukti wong ayu
bupati, patih, wedana, dan demang, beserta
Pun kakang pamit palastra
kerabatnya. Golongan yang memerintah ditan­
dai dengan gelar kepangkatan dan atau gelar Tembang Asmaradana tersebut melukis­
kebangsawanan. Golongan wong cilik, golongan kan ketika Darmarwulan atau Damar

46
Kota Probolinggo pada Masa Menjelang dan Awal Revolusi
Ari Sapto

Sasongko merasa hampir kalah ketika perang Cina. Hal tersebut menjadi peluang bagi
tanding dengan Urubismo atau Menakjinggo. penguasaha Cina untuk menjadi penguasa
Darmarwulan mengeluh pada istrinya, Anjas­ di wilayah Probolinggo. Oleh karena itu,
mara, putri dari Patih Logender. Di samping beberapa kali Probolinggo dipimpin Bupati
pesan keputusasaan seorang ksatria yang dari etnis Cina.
merupakan jago dari ratu Majapahit, tembang
ini juga memberikan paling tidak dua informasi. Daftar Pustaka
Pertama, penggunaan secara eksplisit kata
kuta (kota) dan bukan tlatah (wilayah, daerah). Arsip Nasional Republik Indonesia. 1949.
Ini menunjukkan bahwa Probolinggo, ketika Algemeene Secretarie (AS), 1945-1949, ANRI-
tembang itu dicipta, telah memperlihatkan Jakarta.
karakteristik sebuah kota. Kedua, penggunaan Arsip Nasional Republik Indonesia. 1950. Inven­
kata Prabalingga dan bukan Banger. Besar taris van het Archief van de Algemene Secretarie
kemungkinan tembang ini dibuat setelah (AAS) en het Kabinet van de Gouverneur
ta­hun 1770, sebab nama Prabalingga baru General, 1944-1950, ANRI Jakarta.
dipergunakan pada masa itu. Jadi, apa yang Arsip Nasional Republik Indonesia. 1978. Memori
digambarkan dalam tembang dengan saat Serah Terima Jabatan 1921-1930. Jakarta:
pembuatannya tidak bersamaan dalam waktu. ANRI.
Dengan kata lain, tembang Asmaradana ini Arsip Nasional Republik Indonesia. Arsip Jawa
mengungkapkan kisah masa Majapahit te­ Timur, koleksi 6: Probolinggo. Jakarta: ANRI.
tapi dibuat sesudah tahun 1770. Apabila Bleeker. 1847. Bijdragen tot de Statistiek der
kemungkinan ini diterima, pada seperempat Bevolking van Java. TNI. IXe. Jaargang. IV.
akhir abad ke-18 Probolinggo telah menjadi h: 150-161.
sebuah kota yang cukup penting. Burger, D.H. 1960. Sedjarah Ekonomis Sosiologis
Indonesia. Jilid I. Jakarta: Pradnya
F. Simpulan
Paramita.
Uraian pada bab terdahulu menunjukkan
Cipta Adi Pustaka. 1990. Ensiklopedia Nasional
bahwa Probolinggo pada masa menjelang
Indonesia. Jilid XIII. Jakarta: Cipta Adi
dan awal revolusi merupakan salah satu
Pustaka.
kota terpenting di Ujung Timur Pulau Jawa.
Cipta Adi Pustaka.1989. Ensiklopedia Nasional
probolinggo menjadi tujuan migrasi penduduk
Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Cipta Adi
dari Madura. Hal tersebut menyebabkan
Pustaka.
terjadinya percampuran budaya Jawa dengan
Elson, R.E. 1984. Javanese Peasants and Colonial
Madura. Dalam hal mata pencaharian, masya­
Sugar Industri. Impact and Change in an
rakat Jawa cenderung mengandalkan bidang East Java Residency 1830-1940. Singapore:
pertanian, sedangkan masyarakat Madura Oxford University Press.
memasuki bidang pekerjaan yang lebih
Graaf, H.J. de. 1986. Puncak Kekuasaan Mataram,
bervariasi. Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta:
Tata fisik kota dan kondisi sosial budaya Pustaka Grafitipers.
masyarakat Probolinggo menampakkan ada­
Hatmosoeprobo, Soehardjo. 1995. Pemerintah
nya pengaruh Mataram. Tanahnya yang subur Kolonial Pada Abad XIX dan Perintis
dan didukung adanya irigasi dan prasarana Pergerakan Nasional. Jakarta: Grasindo.
transportasi menyebabkan Probolinggo men­
Jonge, Huub de. 1989. Madura Dalam Empat
jadi salah satu andalah pendapatan penguasa Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi,
saat itu. Keadaan tanah yang subur juga dan Islam. Suatu Studi Antropologi Ekonomi.
memungkinkan desa-desa di Probolinggo Jakarta: KITLV-LIPI dan Gramedia.
digadaikan oleh penguasa kepada pengusaha

47
Vol. 2, No. 1, Juni 2012

Kahin, George McTurnan. 1995. Refleksi Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha
Pergumulan Lahirnya Republik, Nasionalisme Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Studi
dan Revolusi di Indonesia, Judul Asli: Tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai
Nationalism and Revolution in Indonesia, XIX. Judul Asli: State and Statecraft in Old
Terj. Nin Bakdi Soemanto, Solo/Jakarta: Java. A Study of the Later Mataram Period
Sebelas Maret University Press dan Pustaka 16th to 19th Century. Terj. Yayasan Obor.
Sinar Harapan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kano, Hiroyoshi. 1984. “Sistem Pemilikan Tanah Naskah Inventaris Arsip Kartografi. Town Plan of
dan Masyarakat Desa di Jawa Abad XIX.” Probolinggo. No. 1299/56/XLII.
Dalam Sediono M.P. Tjondronegoro Onghokham. 1983. Rakyat dan Negara. Jakarta:
dan Gunawan Wiradi (eds.). Dua abad Sinar Harapan.
Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah
Onghokham. 1985. “Gerakan Cina: Tuntutan
Pertanian di Jawa Dari Masa ke Masa. Jakarta:
Persamaan Hak.” Prisma. No. 8. Tahun ke
Yayasa N Obor dan Gramedia.
X. Jakarta: LP3ES. h: 61-64.
Kartodirdjo, Sartono dan Suryo, Djoko. 1991.
Raport. 1813. Raport van de Landschapen Besuki en
Sejarah Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta:
Panarukan.
Aditya Media.
Sapto, Ari. 1999. “Gerilya Kota di Probolinggo,”
Kartodirdjo, Sartono. 1987. Pengantar Sejarah
1947-1949. Thesis tidak diterbitkan. Jakarta:
Indonesia Baru: 1500-1900. Dari Emporium
Universitas Indonesia.
ke Imperium. Jakarta: Gramedia.
Slametmulyana. Negarakertagama dan Tafsir
Kartodirdjo, Sartono. dkk. 1987. Perkembangan
Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya
Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah
Aksara.
Mada University Press.
Stibbe, D.G dan Sondbergen, F.J.W.H. 1939.
Kuntowijoyo, 1993. Radikalisasi Petani.
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie. The
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama.
Hague: Martinus Nijhoff.
Lekkerkerker, J.G.W. 1931. “Probolinggo:
Suhartono. 1995. Bandit-bandit Pedesaan di Jawa.
Geschiedenis en Overlevering.” De Indische
Studi Historis 1850-1942. Yogyakarta:
Gids. 53 (10). h: 481-512.
Aditya Media.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya.
Suryo, Djoko. 1985. “Gerakan Petani.” Prisma.
Kajian Sejarah Terpadu. Jilid I: Batas-batas
No. 11. Tahun ke XIV. Jakarta: LP3ES. h:
Pembaratan. Judul Asli: Le Carrefour
16-24.
Javanais. Essai d’histoire Globale. I.
The. 1813. The Acting Resident: Surabaya,
le Limited de I’occidentalisation. Terj.
Probolinggo, Besuki, Panarukan.
Gramedia. Jakarta: Gramedia Pustaka
utama. Tjiptoatmodjo, F.A. Sutjipto. 1983. “Kota-kota
Pantai di Sekitar Selat Madura. Abad XVII
Masyuri. 1995. Menyisir Pantai Utara. Usaha dan
Sampai Medio Abad XIX.” Disertasi Tidak
Perekonomian Nelayan di Jawa dan Madura
Diterbitkan. Yogyakarta: Universitas
1850-1940. Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Gadjah Mada.
Nusantara dan Perwakilan KITLV.

48

Anda mungkin juga menyukai