Anda di halaman 1dari 129

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Kedudukan dan peranan Bupati di Priangan pada abad ke-
17 sampai dengan abad ke-19, merupakan salah satu permasalahan
sejarah lokal/daerah dan salah satu aspek sejarah sosial Indonesia
yang cukup menarik untuk dibahas.
Pada waktu itu bupati di Priangan khususnya dan bupati di
Pulau Jawa umumnya mempunyai kedudukan dan peranan penting
serta unik dalam penyesuaian budaya sendiri terhadap modernisasi
yang ditimbulkan oleh pemerintah kolonial. Kedudukan bupati
sebagai penguasa daerah, digunakan oleh pemerintah kolonial
sebagai perantara pemerintah dengan masyarakat pribumi dalam
pelaksanaan eksploitasinya.
Sejarah membuktikan bahwa pada zaman kolonial, baik
zaman Kompeni (VOC/Vereenigde Oost-Indische Compagnie) maupun
zaman pemerintahan Hindia Belanda, daerah Priangan menduduki
posisi penting. Letak geografis daerah Priangan dan kesuburan
tanahnya, menyebabkan pemerintah kolonial menaruh perhatian
besar terhadap potensi daerah itu. Mereka berusaha menjadikan

1
daerah Priangan sebagai sumber produksi bagi kepentingan
ekploitasinya 1). Priangan dengan produksi kopinya merupakan
sumber dana yang potensial bagi pihak Belanda, sehingga mereka
dapat menguasai sebagian dari wilayah Nusantara, khususnya Pulau
Jawa dalam waktu sangat lama. Selain pihak/pemerintah kolonial,
penguasa Mataram pun menjadikan Priangan sebagai salah satu
daerah pertahanannya dalam waktu lebih dari setengah abad (1620 –
1677).
Bantuan daerah Priangan kepada pemerintah kolonial,
bukan hanya dalam bidang finansial, tetapi juga dalam melahirkan
gagasan baru bagi pelaksanaan eksploitasi kolonial selanjutnya.
Kultuurstelsel (Sistim Tanam Paksa) lahir atas dasar pengalaman pihak
kolonial di Priangan. Dapatlah dikatakan bahwa Kultuurstelsel adalah
Preangerstelsel (Sistim Priangan) yang dilaksanakan di seluruh Pulau
Jawa di luar Priangan.
Oleh karena pemerintah kolonial menjalankan sistim
pemerintahan tak langsung, maka dalam pelaksanaan eksploitasi-
nya, bupati menduduki posisi dan peranan penting sebagai basis
kekuasaan. Hal itu disebabkan bupati menduduki posisi tertinggi,
baik dalam hirarki pemerintahan pribumi maupun dalam struktur
masyarakat tradisional 2). Bupati adalah panutan bagi bawahannya
dan pagustén bagi rakyatnya. Oleh sebab itu, tanpa bantuan bupati,
pemerintah kolonial akan mendapat kesulitan untuk mencapai hasil

2
yang diharapkan dari politik eksploitasinya. Demikian pula rakyat –
karena ikatan feodal – kehidupannya tergantung pada kebijakan
bupati. Di sinilah pentingnya posisi bupati waktu itu.
Sampai saat ini masalah bupati di Priangan pada abad yang
lampau belum banyak dibahas secara khusus, padahal sumber-
sumber untuk mengungkap dan membahasnya cukup tersedia, baik
di dalam negeri maupun di luar negeri. Di samping untuk memenuhi
rasa ingin tahu akan posisi bupati di Priangan pada abad yang
lampau, studi ini diharapkan dapat berfungsi untuk berbagai
kegunaan. Mungkin pula berguna bagi kelompok, keluarga atau
suku bangsa yang ingin mengetahui atau mencari riwayat bupati
Priangan di masa lampau. Contoh-contoh tingkah laku yang
terungkap di dalamnya, diharapkan dapat diambil manfaatnya
sebagai palajaran dan tauladan.
Sejarah menyajikan seperangkat wawasan yang dapat
mempersatukan sikap warga bangsa terhadap tanah airnya. Dalam
hubungan ini, Arthur Schopenhauer pada tahun 1818 mengatakan :
“Hanya melalui sejarah, suatu bangsa menjadi sadar secara
sempurna akan dirinya sendiri”.3)
Oleh karena itu, hasil studi sejarah lokal/daerah, selain
penting artinya bagi kelengkapan sejarah nasional, mungkin pula
dapat dipertimbangkan oleh para pejabat dan pemimpin masyarakat
atau stakeholder untuk dipakai sebagai salah satu sumber acuan dalam

3
mencari pemecahan berbagai persoalan pembangunan dewasa ini.4)
Totalitas pengalaman manusia di masa lampau, manfaatnya amat
berharga dipetik untuk dijadikan bekal dalam menghadapi masa
depan.

Perumusan dan Pembatasan Masalah


Dalam bahasa Sansakerta, istilah bupati berasal dari kata bhu
yang berarti “bumi” atau “tanah “, dan pati berarti “tuan”, “pemilik”
atau “penguasa”.5) Dengan demikian, bupati adalah pemilik atau
penguasa bumi atau tanah, yang berarti raja.
Dalam sistim pemerintahan tradisional Jawa (Yogyakarta
dan Surakarta), bupati berarti pegawai tinggi istana.6) Dalam
pengertian terakhir, di kedua daerah itu sebutan bupati biasanya
digabungkan dengan nama jabatan, seperti bupati jaksa, bupati gladag,
bupati gedong, dan sebagainya.7) Pada zaman Mataram dikenal dua
macam sebutan bupati. Pertama, wedana bupati, yaitu bupati yang
mengepalai sejumlah bupati (kepala daerah) dalam wilayah teritorial
tertentu. Kedua, bupati saja, yaitu sebutan untuk kepala-kepala
daerah yang memimpin kabupaten di wilayah mancanegara.8) Pada
zaman Hindia Belanda, yang dimaksud dengan bupati adalah
jabatan kepala daerah yang berada di bawah perintah residen. Dalam
menjalankan pemerintahannya, bupati didampingi oleh asisten
residen. Kedudukan dan peranan bupati dalam pengertian itulah

4
yang akan dicoba dibahas dalam tulisan ini, dengan harapan dapat
mendudukkan masalah tersebut pada proporsinya.
Bedirinya pemerintah kolonial (Hindia Belanda) di
Indonesia sejak awal abad ke-19, menyebabkan di Pulau Jawa lahir
penguasa baru di samping penguasa tradisional yang telah ada.
Kekuasaan dan eksploitasi kolonial mendorong terjadinya perubahan
sosial di Pulau Jawa. Golongan yang pertama-tama merasakan
langsung pengaruh kekuasaan kolonial adalah penguasa tradisional,
khususnya para bupati, karena mereka lah yang behadapan langsung
dengan penguasa baru tersebut.
Berkembangnya kekuasaan kolonial mengakibatkan
kedudukan bupati menjadi tergeser, dari penguasa daerah yang
otonom menjadi pegawai pemerintah kolonial. Dalam proses itu,
kedudukan dan kekuasaan bupati mengalami masa turun-naik.
Kondisi itu terjadi khususnya pada abad ke-19.
Permasalahan yang akan dibahas adalah, bagaimana bupati-
bupati di Priangan pada abad ke-19 menjalankan fungsi ganda
mereka, yaitu sebagai alat pemerintah kolonial dan selaku pemimpin
tradisional. Seberapa jauh peranan yang dapat mereka lakukan?
Bagaimana loyalitas para bupati terhadap pemerintah kolonial dan
bagaimana hubungan mereka dengan rakyat? Apakah bupati dapat
mempertahankan kedudukan dan peranannya sebagai pemimpin
tradisional? Faktor-faktor apa yang menopang kepemimpinan dan

5
kekuasaan bupati? Sejauh mana budaya Barat mempengaruhi sikap
dan pandangan bupati dalam mengikuti perubahan sosial?
Permasalahan tersebut akan dibahas berdasarkan sumber yang
berhasil diperoleh.
Pengungkapan periode Priangan pada zaman kekuasaan
Mataram (Mataram Islam) dan Kompeni, dimaksudkan untuk
memahami latar belakang kedudukan dan peranan bupati pada abad
ke-19, karena pentingnya potensi Priangan pada abad ke-19 bagi
perekonomian pemerintah kolonial, bermula dari masa
sebelumnya. Preangerstelsel adalah sistim eksploitasi kolonial yang
dipertahankan terus sejak zaman Kompeni hingga timbulnya
zaman liberal di Indonesia (mulai tahun 1870), bahkan khusus
penanaman wajib kopi berlangsung sampai dengan awal abad ke-20.
Di sinilah letak pentingnya potensi Priangan bagi pemerintah
kolonial. Dalam hal ini, bupati – walaupun kedudukan formalnya
didesak mundur – tetap berperanan penting sebagai basis kekuasaan
dalam pelaksanaan eksploitasi kolonial, karena bupati lah yang
memiliki kekuasaan memobilisasi rakyat.

Metode Penelitian
Sesuai dengan masalah dalam kurun waktu yang dibahas,
penelitian ini didasarkan pada kajian literatur. Prosedur penelitian,
mulai dari pencarian sumber sampai dengan penulisan,

6
berpedoman pada metode sejarah.
Pencarian sumber (heuristik) dilakukan di beberapa
perpustakaan dan lembaga kearsipan, baik di dalam negeri maupun
di luar negeri. Di dalam negeri, pencarian sumber dilakukan di
Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional di Jakarta; Perpustakaan
Fakultas Sastra Unpad, Perpustakaan Pemerintah Kota Bandung,
Perpustakaan Propinsi Jawa Barat, Perpustakaan Prof. Dr. Dodi
Tisnaamijaya, di Bandung; Perpustakaan Sosnobudoyo, Perpustakaan
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta, dan lain-lain.
Di luar negeri, sumber-sumber yang diperlukan terutama diperoleh
dari Perpustakaan KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde) dan Universiteit Bibliotheek, Leiden (Belanda). 9)
Dalam menganalisa pokok masalah, yaitu kedudukan bupati
dan peranannya pada zaman kolonial, selain pendekatan sejarah,
digunakan pula pendekatan dari disiplin ilmu lain, yaitu pendekatan
politik, sosiologi, dan antropologi. Kontruksi-konstruksi konseptual
atau teori-teori dalam ketiga disiplin ilmu itu, mem-punyai daya
penjelas yang besar untuk mencari kondisi-kondisi kausal dalam
suatu fenomena sejarah, dan dapat memperkuat analisa
terhadapnya.10)
Pendekatan politik dan sosiologi dapat membantu me-
ngungkap proses turun-naiknya kedudukan dan kekuasaan bupati di
bawah proses politik pemerintah kolonial serta hubungan kausal di

7
dalamnya. Pendekatan antropologi diperlukan karena menyangkut
masalah kepercayaan tradisional dan sistim yang berlaku di
masyarakat waktu itu.
Dengan kata lain, pendekatan-pendekatan tersebut
digunakan untuk memahami secara mendalam mengenai
kedudukan dan peranan bupati di Priangan pada zaman kolonial,
khususnya pada abad ke-19.

Kerangka Teori
Bupati di Priangan pada abad ke-19 dan abad-abad sebelum-
nya, merupakan penguasa yang memerintah dan sekaligus sebagai
pemimpin tradisional. Hubungan antara bupati dengan rakyat
terjalin dalam ikatan feodal. Ikatan ini berlangsung sejak bupati
dengan status sebagai raja yang merdeka, kemudian menjadi bupati
vasal Mataram, selanjutnya bupati sebagai perantara politik dan alat
kekuasaan asing, khususnya zaman pemerintahan Hindia Belanda.
Untuk memahami kedudukan bupati Priangan pada abad
ke-19 yang mengalami turun naik sesuai dengan pengaruh kekuasaan
yang silih berganti, perlu diketahui beberapa konsep, antara lain
konsep kekuasaan dan kepemimpinan dengan kekuasaan
tradisional yang legal-rasional dan kharismatik.11) Hal ini disebabkan
pada waktu itu bupati di Priangan khususnya dan bupati di Pulau
Jawa umumnya memiliki fungsi ganda, yaitu selaku kepala daerah

8
dengan fungsi sebagai aparat pemerintah kolonial, dan sebagai
pemimpin tradisional karena konsesus masyarakat.
Pada posisi pertama, bupati merupakan pihak yang dikuasai
oleh pemerintah kolonial. Hubungan antara pemerintah kolonial
dengan bupati adalah hubungan atasan dengan bawahan. Pada posisi
kedua, bupati memiliki kekuasaan penuh atas rakyat. Hubungan
bupati dengan rakyat terjalin dalam ikatan feodal-tradisional yang
melembaga menjadi tradisi, sehingga terjadi hubungan “tuan dan
hamba”. Di sini tampak jelas bahwa kekuasaan mencerminkan
kedudukan seseorang atau sekelompok orang.
Kekuasaan merupakan aspek politik yang banyak dibahas
dan di-permasalahkan oleh para ahli dengan pandangan yang
berbeda. Oleh karena itu konsep kekuasaan bermacam-macam
pula. Akan tetapi konsep kekuasaan yang diberikan oleh para ahli,
pada umumnya bertitik tolak pada pandangan Max Weber yang
merumuskan, bahwa “kekuasaan adalah kemampuan untuk – dalam
hubungan soaial–melaksanakan kemauan sendiri, sekalipun meng-
alami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan itu.12)
Senada dengan itu, Laswell dan Kaplan menyatakan,
“kekuasaan adalah hubungan di mana seseorang atau sekelompok
orang dapat menentukan tindakan pihak lain, sehingga sesuai dengan
tujuan pihak pertama”.13) Pandangan ini didukung oleh Van Doorn
yang memberikan rumusan, bahwa “kekuasaan adalah kemungkinan

9
untuk membatasi alternatif-alternatif bertindak dari seseorang atau
suatu kelompok sesuai dengan tujuan pihak pertama”.14)
Sebaliknya Mokken merumuskan kekuasaan dengan
konsep yang menunjukkan sifat netral, bahwa “kekuasaan adalah
kemampuan dari pelaku–seseorang atau kelompok atau
lembaga–untuk menetapkan secara mutlak atau mengubah–seluruh
atau sebagian–alternatif-alternatif bertindak atau alternatif-
alternatif memilih yang tersedia bagi pelaku-pelaku lain”.15) Parson
menghubungkan kekuasaan dengan wewenang (authority), dan ia
cenderung untuk melihat kekuasaan sebagai “fasilitas untuk melaksana-
kan fungsi di dalam dan atas nama masyarakat”.16)
Dalam konsep kekuasaan yang berbeda-beda itu, terlihat
adanya dasar pendapat yang sama, bahwa kekuasaan merupakan
kemampuan satu pihak untuk mempengaruhi pihak lain, sehingga
pihak lain yang menjadi objek kekuasaan, bertindak sesuai dengan
kehendak dan tujuan pelaku yang memiliki kekuasaan.
Berdasarkan konsep kekuasaan tersebut, jelaslah bahwa
pada abad ke-19, bupati memiliki dua fungsi dan peran yang satu
sama lain bertolak belakang. Sebagai aparat kolonial, berarti bupati
menjadi obyek kekuasaan. Sebaliknya, sebagai kepala daerah, bupati
justru menjadi pelaku yang memiliki kekuasaan, dan rakyat adalah
obyek kekuasaan bupati.
Pada abad ke-19, kekuasaan bupati di Priangan yang terus

10
bertahan adalah kekuasaan tradisionalnya, karena kekuasaannya
sebagai kepala daerah berangsur-angsur dibatasi oleh pemerintah
kolonial. Sebaliknya, kekuasaan tradisional bupati justru diperkuat
oleh pemerintah kolonial sendiri, yaitu dengan pemberian simbol-
simbol status dan atribut-atribut kebesaran, seperti gelar kepangkatan
tradisional, benda-benda untuk upacara kebesaran, tanda-tanda
jasa, dan lain-lain. Hal itu menambah legitimasi kepemimpinan
tradisional bupati.
Kepemimpinan tradisional yang dimaksud adalah
kepemimpinan yang berakar pada struktur sosial yang tersusun
berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status.17) Ketiga unsur
kepemimpinan tradisional itu dimiliki oleh bupati. Unsur kelahiran
diperoleh karena hak mewariskan jabatan secara turun temurun
yang sudah melembaga menjadi tradisi. Unsur kekayaan dan status
dimiliki oleh bupati karena fungsinya. Kedudukan dan peranan
bupati sebagai kepala daerah sekaligus sebagai pemimpin tradisional
tidak mungkin digantikan oleh orang kolonial. Itulah sebabnya
pemerintah kolonial tidak berhasil menghapuskan hak bupati
tersebut. Akibatnya pemerintah kolononial gagal untuk melaksana-
kan pemerintahan langsung kepada rakyat tanpa perantaraan bupati.
Fungsi ganda bupati menyebabkan dalam kehidupannya
bupati mengalami konflik peranan. Para bupati dihadapkan pada
konflik antara pengharapan dan motivasi.18) Sebagai perantara

11
politik, bupati harus mengkomunikasikan kepentingan pemerintah
kolonial dengan masyarakat pribumi yang memiliki norma yang
berlainan. Sebaliknya, sebagai pemimpin masyarakat tradisional, ia
wajib menguasai, mengawasi, melindungi, dan mengatur kehidupan
rakyat. Dalam kolektivitas sosial, bupati wajib memolakan kelakuan
berdasarkan nilai-nilai tertentu, agar terjaga nilai-nilai sosial-kultural
masyarakat.19) Hal ini disebabkan pola kepemimpinan bupati waktu
itu – karena jumlah penduduk pribumi di tiap kabupaten masih kecil
– cenderung berbentuk pola kepemimpinan tunggal yang meliputi
semua aspek kehidupan masyarakat.20) Di samping itu, bupati
sebagai kepala rumah tangga kabupaten dan anggota terkemuka
dari keluarga besar bupati, wajib memberi perlakuan khusus kepada
sanak keluarganya. Sementara itu, peranannya sebagai pejabat
menuntut sikap “tanpa pamrih”.
Mampukah bupati mengatasi konflik peran dan mem-
pertahankan kedudukannya ?
Secara teori, bupati akan mampu mengatasi konflik
peranannya dan dapat mempertahankan martabat serta menegak-
kan statusnya, selama kekuasaannya mampu menciptakan dan
menopang konsensus masyarakat akan status bupati. Untuk kepeluan
itu, bupati harus mempertahankan gaya hidupnya sebagai bentuk
otoritas yang sah. Itulah sebabnya dalam kehidupan bermasyarakat,
para bupati terpaksa membatasi diri. Hal ini antara lain terlihat

12
dalam perkawinan antar keluarga. Dengan demikian, dapatlah
dikatakan bahwa sistim perkawinan itu merupakan “perkawinan
politik”. Faktor lain yang memenunjang status dan kekuasaan
bupati, terutama kekuasaan tradisionalnya, ialah kondisi struktur
sosial dengan nilai-niali yang berlaku di masyarakat waktu itu.
Adanya ikatan feodal antara bupati dengan rakyat dan
masuknya konsep Jawa mengenai kepemimpinan dan kekuasaan ke
dalam kehidupan masyarakat Priangan, menyebabkan bupati di
Priangan termasuk ke dalam kategori pemimpin kharismatis,
pemimpin yang mampu menggerakkan orang lain melalui kekuatan
pribadinya.21) Komunikasi antara bupati dengan rakyat dapat di-
lakukan dalam kerangka tradisional melalui kepercayaan tradisional
pula. Faktor inilah yang menyebabkan dalam kurun waktu tertentu
pemerintah kolonial mengangkat kembali prestise bupati dengan
menempatkannya pada posisi semula, tetapi dalam status resmi
pegawai pemerintah.
Unsur-unsur feodal tradisional, simbol-simbol dan atribut-
atribut ke-besaran yang diperkuat oleh pemerintah kolonial sendiri,
telah menunjang pengaruh para bupati, sehingga mereka mampu
mempertahankan kepemimpinan-nya, paling tidak sebagai
pemimpin tradisional.
Uraian tersebut, selain menunjukkan pentingnya posisi dan
peran bupati, menunjukkan pula hubungan antara pemerintah

13
kolonial – bupati – rakyat yang dasarnya terletak pada kekuasaan
dan kepentingan.
Secara politis, pemerintah kolonial adalah pelaku yang
memiliki kekuasaan dan bupati adalah pelaku (pihak) yang menjadi
obyek kekuasaan. Oleh karena pemerintahan yang dijalankan oleh
pemerintah kolonial adalah sistim pemerintah tak langsung, maka
ruang lingkup kekuasaannya hanya sampai pada penguasa
tradisional, khsusunya bupati. Terhadap bupati, pemrintah kolonial
kuasa menjatuhkan sanksi administratif. Akan tetapi, terhadap
rakyat, pemerintah kolonial dapat dikatakan tidak memiliki
pengaruh. Bupatilah yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh
besar terhadap rakyat.
Hubungan kekuasaan biasanya bersifat tidak seimbang,
dalam arti satu pelaku mempunyai kekuasaan lebih besar dari pelaku
lain. Ketidakseimbangan itu sering menimbulkan ketergantungan.22)
Dalam hubungan kekuasaan antara pemerintah kolonial – bupati –
rakyat pada abad ke-19, ketergantungan itu terjadi.
Keberhasilan politik eksploitasi ekonomi kolonial,
tergantung pada kemampuan bupati untuk menggerakan rakyatnya.
Sebaliknya, kehidupan para bupati tergantung pula dari kebijakan
pemerintah kolonial. Bila mereka tidak ingin kedudukannya hilang
samasekali, mereka harus menunjukkan loyalitas tinggi terhadap
pemerintah dengan melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya. Untuk

14
keperluan itu, bupati pun akan tergantung pada kepatuhan rakyat
dalam menjalankan perintah bupati. Dalam pada itu, rakyat – karena
ikatan feodal dan konsepsi tradisional mereka terhadap
kepemimpinan bupati – kehidupannya banyak tergantung pada
kepemimpinan dan kebijakan bupati.

Tinjauan Pustaka
Bahan bacaan mengenai bupati di Jawa, terutama sumber
abad ke-19, cukup banyak. Sumber dimaksud berupa buku, artikel
dalam majalah, terutama majalah-majalah yang dikeluarkan oleh
pihak Belanda, dan sumber berupa arsip. Bahan-bahan untuk
menyusun tulisan ini, sebagian besar diperoleh dari Perpustakaan
Nasional dan Arsip Nasional di Jakarta, Perpustakaan Sonobudoyo
di Yogyakarta serta Perpustakaan KITLV dan Universiteit
Bibliotheek, Leiden (Belanda).
Sangat disayangkan, beberapa bundel arsip Priangan yang
terdapat di Arsip Nasional tidak dapat digunakan lagi, karena
kondisinya sudah rusak berat. Misalnya, bundel arsip Priangan
zaman pemerintahan Daendels dan Raffles dan beberapa bagian
bundel lainnya. Arsip-arsip yang diharapkan dapat menunjang
pembahasan inti permasalahan, seperti berkas surat-surat para
bupati, Memorie Preangerstelsel dari para bupati Priangan dan para
pejabat Belanda, Geheim Politiek Verslag der Residentie Preanger-

15
Regenschappen (berbagai tahun ), dan lain-lain – sekalipun masih dapat
difotokopi – banyak yang sulit dibaca, karena sumber-sumber itu
ditulis tangan dengan huruf (tulisan) yang khas, tetapi tidak jelas.
Kondisi sumber demikian itu, menyita waktu cukup lama untuk
mengolahnya. Keterbatasan dalam menggunakan sumber arsip itu
diimbangi oleh pemakaian sumber berupa buku dan majalah yang
membicarakan bupati di Jawa umumnya pada periode yang dibahas
dalam tulisan ini.
Sumber-sumber pribumi berupa babad dan ulasan
terhadapnya, seperti Babad Pasundan, Babad Sumedang, Babad
Galoeh–Imbanagara, Babad Raden Adipati Aria Martanagara dan tulisan
dalam Volks Almanak Soenda ( 1921 – 1922, 1936-1939), majalah
Parahiangan ( 1932 – 1933), Poesaka Soenda (1927), sangat membantu
memperjelas permasalahan, karena sumber-sumber itu mengurakian
tentang kedudukan, kehidupan, kepemimpinan, peranan, dan
pribadi bupati di Pringan pada abad ke-17 sampai dengan awal abad
ke-20. Sumber–sumber berupa historiografi tradisional itu
merupakan pembanding, baik bagi sumber–sumber asing maupun
bagi sumber-sumber dalam negeri (di luar sumber tradisional).
Gambaran umum tentang kedudukan bupati di Pulau Jawa
abad ke-19 termuat antara lain dalam tulisan R.A.A.A Soeria Nata
Atmadja, De Regenten Positie (1940); B. J.O. Schrieke,
Penguasa–Penguasa Pribumi (1974); Sartono Kartodirdjo, The Regents in

16
Java as Middlemen (1980); Suhardjo Hatmosuprobo, Bupati-Bupati di
Djawa Peranan Sosial Mereka Pada abad Ke-19 ( 1970 ); dan Leslie H.
Palmier, Social Status and Power in Java (1969).
Mengenai bupati di Priangan, belum banyak sumber–kecuali
arsip-arsip Priangan pada zamannya–yang mengungkapkannya
secara khusus. Karya F. De Haan, Priangan; De Preanger-Regentschappen
Onder het Nederlandsch Bestuur Tot 1811(4 jilid, 1910-1912); J.W. de
Klein, Het Preangerstelsel (1677 – 1871) en zijn Nawerking (1931 ); dan
Samiati Alisjahbana, A Preliminary Study of Class Structures Among the
Sundanese in the Prijangan (1954), merupakan sumber-sumber penting
untuk menganalisa kedudukan bupati di Priangan pada abad ke-19
dan abad-abad sebelumnya. Buku Priangan karya de Haan, sampai
kini merupakan karya monumental tentang Priangan dalam kurun
waktu yang dibahasnya.
Dalam menggunakan sumber-sumber asing, terutama
sumber-sumber Belanda abad-abad yang lalu, diterapkan pandangan
Indonesia sentris, dengan harapan dapat menempatkan sejarah
lokal – seperti topik tulisan ini – dalam konteks sejarah nasional.

17
CATATAN BAB I

1)
Perkembangan eksploitasi kolonial pada abad ke-19, lihat G, Gonggrijp,
Schets Eener Economische Geschiedenis van Nederlandesch Indie, 2de
druk. Haarlem : De Erven F. Bohn, 1938.
2)
Kartodirdjo, 1966 : hal. 45.
3)
Terbaca dalam Alfian, 1985 : hal. 5.
4)
Ibid. : hal. 20.
5)
van den Berg, 1902 : hal. 3.
6)
Poerwadarminta, 1966 : hal 168.
7)
van den Berg, 1902 : hal 27-46.
8)
Hatmosuprobo, 1970 : hal. 4 dan Soetjipto, 1980 : hal 5-6. Mancanegara
dalam konteks itu berarti daerah taklukan.
9)
Penelitian di negeri Belanda dilakukan pada akhir tahun 1985 hingga awal
tahun 1986, dalam rangka melaksanakan tugas dari Proyek Sundanologi,
yaitu menginventarisasi sumber-sumber sejarah dan budaya Sunda (Jawa
Barat). Penelitian berlangsung lebih-kurang lima bulan.
10)
Berkhofer Jr., 1969 : 315.
11)
Kartodirjo, 1982 : hal. 226-227.
12)
Budiardjo (peny.), 1984 : hal. 16.
13)
Laswell and A.Kaplan, 1950) : hal 74.
14)
Budiardjo (peny.), op. cit. : hal.17.
15)
Ibid. : hal.18.
16)
Parsons, 1967 : hal.308.
17)
Kartodirdjo, op. cit. : hal. 226.
18)
Kartodirdjo, 1980 : hal. 3, 25.
19)
Kartodirdjo (peny.), 1984 : hal. vi.
20)
Keller, 1984 : hal. v-vi.
21)
Mangunhardjana SJ., 1976) : hal 18. Tentang pemimpin kharismatik, lihat

18
antara lain tulisan A.R. Willner dan D. Willner dalam Sartono Kartodirdjo
(peny.), op. cit. : hal 165-184.
22)
Budiardjo ( peny.), op. cit. : hal. 12.

19
20
BAB II
PRIANGAN DI BAWAH KEKUASAAN MATARAM
(1620 – 1677)

Wilayah dan Pemerintahan


Priangan adalah salah satu daerah di Jawa Barat dengan luas
wilayah lebih-kurang 21.500 kilometer persegi atau kira-kira
seperenam dari luas Pulau Jawa. Wilayah itu di sebelah Utara ber-
batasan dengan Cirebon dan Jakarta, di sebelah Timur berbatasan
dengan Cirebon dan Banyumas, di sebelah Selatan dan Barat
berbatasan dengan Banten.1)
Sebelum Priangan jatuh ke bawah kekuasaan Mataram,
wilayah itu meliputi daerah antara Sungai Cipamali sebelah Timur
dan Sungai Cisadané sebelah Barat, kecuali daerah Pakuan Pajajaran
(daerah Bogor sekarang), Jakarta dan Cirebon.2) Pada mulanya di
Priangan hanya terdapat dua daerah yang berdiri sendiri, yaitu
Sumedang Larang dan Galuh.3) Sumedang Larang muncul setelah
Kerajaan Sunda (Pajajaran) runtuh oleh kekuatan Banten (1579/
1580)4) dalam rangka penyebaran agama Islam. Sumedang Larang
dikuasai oleh Prabu Geusan Ulun sebagai raja (1580–1608) Kerajaan
5)
Sumedang Larang beribukota di Kutamaya (daerah di sebelah
Barat Kota Sumedang sekarang). Galuh tetap berdiri sendiri di

21
bawah pemerintahan penguasa setempat. Tahun 1595 Galuh
dikuasai oleh Mataram di bawah pemerintahan Sutawijaya
(Penambahan Senopati) yang memerintah Mataram tahun 1586-
1601.6) Selanjutnya Galuh statusnya berubah dari kerajaan menjadi
kabupaten, dengan bupati pertama Adipati Panaekan (1618-1625).
Holle menyatakan bahwa waktu itu Adipati Panaekan adalah wedana
vasal Mataram pertama di daerah mancanegara kilen (westerom-
melanden).7)
Kerajaan lain yang statusnya diubah oleh raja Mataram
menjadi kabupaten adalah Sumedang Larang. Setelah Prabu Geusan
Ulun wafat (1608), pemerintahan Sumedang Larang diteruskan oleh
anak tirinya, Radén Aria Suriawangsa (1608-1624). Sementara itu
kekuasaan di Matarm sudah beralih ke tangan Sultan Agung (1613-
1645) dan Mataram berkembang menjadi negara kuat. Pada masa
pemerintahan Radén Aria Suriawangsa, Kerajaa Sumedang Larang
berubah menjadi Kabupaten Sumedang, akibat Radén Aria
Suriadiwangsa berserah diri kepada Mataram. Peristiwa ini terjadi
pada tahun 1620 dan wilayah Sumedang Larang kemudian disebut
Priangan. 8)
Mengapa Radén Aria Suriadiwangsa berserah diri kepada
Mataram ?
Ada dua faktor utama yang mendorong Radén Aria
Suriadiwangsa bersikap demikian. Pertama, ia merasa bahwa

22
Sumedang Larang terjepit di antara tiga kekuataan, yaitu Mataram,
Banten, dan Kompeni di Batavia. Ketiga kekuatan itu sama-sama
ingin menguasai Sumedang Larang. Oleh karena itu Radén Aria
Suriadiwangsa harus menentukan sikap tegas bila tidak ingin
menjadi bulan-bulanan dari ketiga kekuatan tersebut. Kedua, ia
masih mempunyai hubungan keluarga dengan penguasa Mataram
dari pihak ibunya, Ratu Harisbaya.9)
Bagi pihak Mataram, hal itu merupakan keuntungan besar.
Penyerahan diri Radén Aria Suriadiwangsa berarti seluruh wilayah
Priangan ditambah daerah Karawang10) berada di bawah kekuasaan
Mataram. Penguasa Mataram dapat menjadikan Priangan sebagai
daerah pertahanan di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan
pasukan Banten atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia.
Untuk mengawasi wilayah Priangan dan mengkoordinasi
para kepala daerahnya, Sultan Agung mengangkat Radén Aria
Suriadiwangsa menjadi Wedana Bupati Priangan (1620-1624)
merangkap sebagai bupati Sumedang, dengan gelar Pangéran
Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga
Gempol I.11) Sejak itulah di Priangan terdapat jabatan atau pangkat
bupati dalam arti kepala daerah, dengan status sebagai pegawai
tinggi dari suatu kekuasaan.
Pada waktu Rangga Gempol I menjalankan perintah Sultan
Agung untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura) tahun 1624,

23
jabatan Wedana Bupati Priangan diwakilkan kepada adiknya,
Pangéran Rangga Gedé. Sementara itu Banten mengadakan
serangan ke Sumedang. Pangéran Rangga Gedé tidak mampu
mengatasi serangan tersebut. Akibatnya ia mendapat sanksi politis
dari Sultan Agung dan ditahan di Mataram.12) Sultan Agung
menyerahkan jabatan Wedana Bupati Priangan kepada Dipati Ukur,
penguasa Tanah Ukur yang berpusat di daerah Bandung Selatan
sekarang. Waktu itu, wilayah kekuasaan Dipati Ukur meliputi Sumedang,
Sukapura, Bandung, Limbangan, sebagian daerah Cianjur,
Karawang, Pamanukan, dan Ciasem.13) Sultan Agung mengangkat
Dipati Ukur sebagai Wedana Bupati Priangan disertai syarat, Dipati
Ukur harus sanggup merebut Batavia dari Kompeni.
Tahun 1628 pihak Mataram dengan melibatkan Dipati Ukur
beserta pasukannya menyerang Kompeni di Batavia. Namun Dipati
Ukur gagal melaksanakan tugasnya merebut Batavia (1628). Dipati
Ukur menyadari akibat kegagalannya, yaitu ia pasti mendapat
hukuman berat dari Sultan Agung. Oleh karena itu, Dipati Ukur
beserta sejumlah pengikutnya memberontak terhadap Mataram.
Gerakan perlawanan Dipati Ukur terhadap Mataram berlangsung
lebih-kurang tiga tahun. Pihak Mataram baru berhasil menumpas
pemberontakan Dipati Ukur sekitar awal tahun 1632, itu pun berkat
bantuan beberapa orang kepala daerah di Priangan. Sultan Agung
menyerahkan kembali jabatan Wedana Bupati Priangan kepada

24
Pangéran Rangga Gedé yang telah dibebaskan dari tahanan.14)
Untuk mengembalikan stabilitas politik di wilayah
kekuasaan Mataram bagian Barat yang mengalami kekalutan akibat
pemberontakan Dipati Ukur, Sultan Agung melakukan reorganisasi
pemerintahan di wilayah tersebut. Daerah Karawang, lumbung padi
dan garis depan pertahanan Mataram bagian Barat, dijadikan
kabupaten, tetapi statusnya tetap berada di bawah kekuasaan
Wedana Bupati Priangan.
Wilayah Priangan Tengah dibagi menjadi empat kabupaten,
masing-masing di bawah kekuasaan seorang bupati. Kabupaten
Sumedang diperintah oleh Pangéran Rangga Gedé bergelar
Pangéran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata II (Rangga
Gempol II), merangkap sebagai Wedana Bupati Priangan. Daerah
Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten,
yaitu Sukapura, Bandung, dan Parakanmuncang. Untuk memerintah
tiga kabupaten yang disebut terakhir, Sultan Agung mengangkat tiga
orang kepala daerah yang berjasa membantu menumpas pem-
berontakan Dipati Ukur, yaitu Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta
menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha,
Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti menjadi Bupati Bandung
dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, dan Ki Somahita
Umbul Sindangkasih menjadi Bupati Parakanmuncang dengan
gelar Tumenggung Tanubaya. Pengangkatan ketiga orang bupati

25
tersebut dinyatakan dalam piagem bertitimangsa 9 Muharam Tahun
Alip15) (Lampiran 1). Dengan demikian, dapat dikatakan kabupaten-
kabupaten Sukapura, Bandung, dan Parakanmuncang merupakan
“kabupaten kembar”, karena dibentuk berdasarkan satu piagam
bertanggal 9 Muharam Tahun Alip.
Perlu dikemukakan, terhadap tanggal 9 Muharam Tahun
Alip terdapat dua versi penafsiran. F. de Haan menafsirkan tanggal
itu sama dengan tanggal 20 April 1641. Namun menurut Prof. Dr.
Soekanto dan Dr. J. Brandes, padanan 9 Muharam Tahun Alip dalam
penganggalan Masehi adalah tanggal 16 Juli 1633.16)
Kiranya padanan tanggal 9 Muharam Tahun Alip yang
benar atau mendekati kebenaran adalah tanggal 16 Juli 1633. Alasan
atau dasar pemikirannya adalah, pertama, tahun 1633 identik
dengan tahun Alip dalam penanggalan Jawa-Islam.17) Kedua, Sultan
Agung raja Mataram memecah wilayah Priangan di luar Sumedang
dan Galuh menjadi tiga kabupaten (Sukapura, Bandung, dan
Parakanmuncang), secara politis sebagai akibat gerakan perlawanan
Dipati Ukur terhadap Mataram (1628-1631/32). Oleh karena itu
sungguh rasional bila Sultan Agung membentuk ketiga kabupaten
tersebut lebih-kurang satu tahun (1633) setelah geakan Dipati Ukur
berhasil ditumpas. Sebaliknya, bila pembentukan ketiga kabupaten
itu dianggap terjadi tanggal 20 April 1641, berarti lebih-kurang 9
tahun setelah gerakan Dipati Ukur reda. Hal itu tidak rasional,

26
karena tenggang waktunya terlalu jauh dari berakhirnya gerakan
perlawanan Dipati Ukur.
Sultan Agung juga memecah wilayah Galuh menjadi empat
daerah, yaitu Utama, Bojonglopang (Kertabumi), Imbanagara, dan
Kawasén.18) Daerah-daerah tersebut termasuk wilayah Priangan
Timur. Setelah Sultan Agung wafat (1645), pemerintahan Mataram
dilanjutkan oleh puteranya, Sunan Amangkurat I atau Sunan
Tegalwangi (1645-1677). Ia meneruskan kebijakan ayahnya meng-
adakan reorganisasi pemerintahan. Antara tahun 1656 -1657
Amangkurat I membagi wilayah Mataram bagian Barat menjadi 12
ajeg19) (kira-kira setara dengan kabupaten). Keduabelas ajeg itu,
sembilan di antaranya berada di wilayah Jawa Barat, yakni :
1. Sumedang diperintah oleh Pangéran Rangga Gempol
Kusumadinata III (Rangga Gempol III).
2. Parakanmuncang diperintah oleh Tumenggung Tanubaya.
3. Bandung diperintah oleh Tumenggung Wiraangunangun.
4. Sukapura diperintah oleh Tumenggung Wiradadaha.
5. Karawang diperintah oleh Tumenggung Panatayuda.
6. Imbanagara diperintah oleh Ngabéhi Ngastanagara.
7. Kawasén diperintah oleh Mas Managara.
8. Wirabaja (Galuh).
9. Sekacé.20)
Tiga ajeg lainnya, yaitu Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), dan

27
Banjar (Panjer)21) masuk ke dalam wilayah Jawa Tengah.
Raja Mataram melakukan reorganisasi tersebut karena
melihat kedudukan Kompeni di Batavia semakin kuat dan Banten
melebarkan kekuasaannya ke arah Timur, sedangkan wilayah
Priangan, terutama Priangan Tengah masih dalam keadaan kacau
akibat pemberontakan Dipati Ukur. Oleh karena itu, Priangan Barat
harus diperkuat. Reorganisasi ini sekaligus menghapus jabatan
wedana bupati di Priangan (kira-kira tahun 1657). Wedana Bupati
Priangan terakhir adalah Pangéran Rangga Gempol Kusumadinata
(Rangga Gempol III/Pangéran Panembahan, bupati Sumedang
periode 1656 – 1706. 22)
Sejak jabatan wedana bupati dihapuskan, kedudukan Bupati
Sumedang –yang semula paling tinggi di antara bupati-bupati di
Priangan, sehingga mendapat gelar “pangéran”23) – menjadi sederajat
dengan bupati Priangan lainnya. Mereka sama-sama sebagai
ministeriales yang menjadi perantara raja Mataram dengan rakyat
Priangan.

Kedudukan dan Kekuasaan Bupati


Dengan dikuasainya wilayah Priangan oleh Mataram, maka
kedudukan penguasa daerah di wilayah itu menjadi turun derajatnya,
dari bupati dalam arti raja yang berdaulat penuh atas daerah dan
rakyatnya, menjadi bupati vasal dalam arti pejabat tinggi yang wajib

28
mengabdi kepada raja Mataram.
Kerajaan Mataram terdiri atas pusat kerajaan dan daerah-
daerah vasal. Pusat kerajaan diperintah langsung oleh raja sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan daerah-daerah vasal
diperintah oleh para bupati. Pusat kerajaan terbagi atas dua daerah,
yaitu Kutagara atau Kutanagara dan Negara Agung atau Negara
Gedé. Daerah Kutagara dibagi lagi dalam dua bagian pemerintahan,
yaitu Peprintahan Lebet (pemerinatahan dalam istana) dan Peprintahan
Jawi (pemerintahan luar istana).
Pemerintahan sehari-hari pada Peprintahan Lebet dilakukan
oleh empat orang wedana lebet – bergelar tumenggung atau pangéran,
apabila mereka masih keturunan raja – di bawah pengawasan
seorang patih lebet. Keempat wedana lebet itu ialah wedana gedong kiwa,
wedana gedong tengen, wedana keparak kiwa, dan wedana keparak tengen.
Dalam menjalankan tugasnya, keempat wedana itu masing-masing
dibantu oleh beberapa pejabat bawahan, yakni seorang kliwon
(sering disebut juga papatih atau lurah carik), seorang kebayan dengan
gelar ngabéhi, rangga atau radén, dan 40 orang mantri jajar.
Di samping wedana lebet terdapat dua orang tumenggung
dengan pangkat wedana miji yang diangkat oleh dan berada di bawah
perintah langsung raja. Kedudukan pejabat tersebut cukup penting,
dan bersama-sama dengan keempat wedana lebet, mereka merupakan
anggota Dewan Tertinggi Kerajaan.

29
Daerah Negara Agung terdiri atas delapan bagian, masing-
masing dikepalai oleh wedana jawi (wedana luar) yang berada di
bawah koordinasi seorang patih jawi. Kedelapan wedana jawi masing-
masing mendapat sebutan sesuai dengan nama daerah
kekuasaannya, yaitu wedana bumi, wedana bumija, wedana séwu, wedana
numbak anyar, wedana siti ageng kiwa, wedana siti ageng tengen, wedana
panumping, dan wedana panekar. Sama halnya dengan wedana lebet,
wedana jawi pun memiliki pegawai bawahan yang sebutan dan
jumlahnya sama seperti pembantu wedana lebet.
Wilayah kekuasaan Mataram di luar daerah pusat kerajaan
(Kutaraga dan Negara Agung) dibagi dalam empat daerah, yakni
Mancanegara Wétan, Mancanegara Kilén, Pesisiran Wétan , dan
Pesisiran Kilén. Masing-masing daerah dikepalai oleh seorang
wedana bupati atau lebih, dengan status sebagai bupati kepala dari
kabupaten-kabupaten yang termasuk dalam wilayah wewenangnya.
Tiap kabupaten diperintah oleh bupati yang membawahi beberapa
kelurahan atau patinggén.24) Bupati dan para pejabat bawahannya,
masing-masing memiliki pegawai sesuai dengan urusan
pemerintahannya.
Dilihat dari struktur birokrasi Kerajaan Mataram, bupati-
bupati di Priangan waktu itu termasuk ke dalam kategori pejabat
(elit birokrasi) tingkat menengah. Kedudukan mereka sejajar dengan
bupati-bupati di daerah manca-negara lainnya (lihat Lampiran 2).

30
Namun demikian, tidak berarti bahwa bupati adalah pegawai
kerajaan. Bupati di daerah mancanegara, termasuk bupati di Priangan,
adalah kepala daerah yang berkuasa penuh atas daerah dan
rakyatnya. Sistim pemerintahan dan gaya hidup mereka di daerah
masing-masing merupakan bentuk miniatur dari keraton.25)
Mengapa bupati di Priangan dan bupati-bupati di daerah
mancanegara umumnya memiliki kekuasaan besar? Padahal secara
politis, mereka berada dalam jangkauan kekuasaan raja Mataram.
Ada dua faktor dasar yang menyebabkan bupati di daerah
mancanegara memiliki kekuasaan besar. Pertama, karena struktur
pemerintahan Mataram merupakan garis hirarki, terdiri atas unit-
unit kekuasaan yang terpisah-pisah. Dari atas ke bawah, struktur
kerajaan didasarkan atas prinsip pelimpahan kekuasaan yang me-
nyeluruh. Tanggungjawab atas tiap unit terletak pada satu tangan,
yaitu kepala daerah setempat. Oleh karena itu, setiap penguasa
daerah mempunyai kekuasaan penuh di daerahnya secara hirarkis
dan dimensional. Meskipun wilayahnya kecil, tetapi kekuasaan
kepala daerah bersifat proporsional, meliputi bidang kekuasaan
yang hampir sama besarnya dengan kekuasaan raja, kecuali hukum
pidana mati yang menjadi hak prerogatif raja. Kedua, besarnya
kekuasaan kepala daerah di mancanegara disebabkan pula oleh
beberapa kondisi, yaitu letak daerah mancanegara jauh dari pusat
kekuasaan dan belum ada sarana transportasi dan komunikasi yang

31
memadai. Perjalanan dari pusat kekuasaan Mataram ke daerah-
daerah mancanegara cukup sulit dilakukan, apalagi di musim hujan.26)
Faktor-faktor tersebut menyebabkan penguasa Mataram sulit
mengawasi para kepala daerah mancanegara.
Sistim pemerintahan Mataram yang didasarkan pada prinsip
pelimpahan kekuasaan dalam unit-unit kekuasaan yang terpisah-
pisah, juga menyebabkan kekuasaan raja tidak merata di seluruh
wilayah kerajaan. Di daerah-daerah yang terletak jauh dari pusat
kerajaan, kekuasaan raja cenderung menjadi lemah. Secara teori,
“kekuasaan akan menjadi sangat lemah justru pada titik di mana
daerah kekuasaan menyatu dengan daerah tetangganya”27) Hal ini
berlaku bagi daerah Priangan yang berbatasan langsung dengan
pusat kekuasaan lain, yaitu Banten. Dengan demikian, tidaklah
heran apabila bupati-bupati di daerah Priangan waktu itu memiliki
kekuasaan besar di daerah kekuasaan masing-masing.
Oleh karena itu, meskipun para bupati di Priangan merupakan
bupati vasal Mataram yang berfungsi dan berperan sebagai wakil
penguasa Mataram, namun di daerah masing-masing mereka ber-
kuasa seperti raja. Kehidupan mereka mirip dengan kehidupan raja
dalam ukuran lebih kecil. Setiap bupati memiliki simbol-simbol
kebesaran, seperti songsong (payung kebesaran ), pakaian kebesaran,
senjata pusaka, kandaga (kotak perangkat upacara kebesaran ), kuda
tunggang, dan lain-lain.28) Mereka juga memiliki pengawal khusus

32
dan prajurit bersenjata. Atas dasar itu, dalam pandangan rakyat,
bupati memiliki otoritas penuh, baik sebagai kepala daerah maupun
sebagai pemimpin tradisional.
Dalam struktur masyarakat Priangan waktu itu, bupati
adalah elit penguasa dan golongan ménak (priyayi). Mereka men-
duduki posisi tertinggi, baik dalam hirarki pemerintahan maupun
dalam struktur masyarakat. Bupati di Priangan biasa disebut dalem
atau pagustén oleh rakyat daerah setempat.29)
Sebagai penguasa daerah, bupati menempati dua posisi
utama. Pertama posisi bupati terhadap raja selaku tuannya. Kedua,
posisi bupati terhadap rakyat yang berada di bawah kekuasaannuya.
Dalam posisi pertama, hubungan bupati di Pringan dengan raja
Mataram terbatas pada persembahan upeti tiap tahun, menghadap
raja di istana pada waktu-waktu tertentu; misalnnya pada hari-hari
upacara Grebeg atau memberi bantuan bila diminta oleh raja, seperti,
bantuan tenaga untuk perang atau menaklukkan suatu daerah.
Contoh, bantuan Bupati Sumedang Rangga Gempol I dalam menakluk-
kan Sampang (1624) dan bantuan Dipati Ukur dalam serangan ke
Batavia. Kewajiban-kewajiban bupati itu merupakan cara bagi raja
untuk mengetahui seberapa besar loyalitas para bupati terhadapnya.
Terhadap rakyat di wilayah kekuasaannya, bupati adalah
penguasa dengan otoritas tertinggi untuk memerintah, melindungi,
mengadili, memelihara keamanan dan ketertiban.30) Dalam

33
menjalankan fungsi itu, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat
bawahan, yaitu demang, patih, kepala cutak (wedana), camat, patinggi
(lurah/kepala desa), dan lain-lain. Pengangkatan pejabat-pejabat
tersebut bersifat nepotisme, karena pejabat-pejabat itu biasanya
masih keluarga bupati.31)
Tinggi-rendahnya kedudukan dan besar-kecilnya kekuasaan
seorang bupati, tidak diukur dari luas wilayah kekuasaan, melainkan
dari jumlah cacah yang dimilikinya. Bagi bupati, cacah sangat penting
artinya, tetapi bukan untuk prajurit, melainkan untuk keperluan
keuangan (fiskal). Besarnya pendapatan dan jumlah pelayan bupati
akan tergantung dari jumlah cacahnya.32) Hal itu berarti jumlah cacah
penting artinya sebagai salah satu faktor penunjang kedudukan
bupati sebagai penguasa daerah.
Menurut Anderson, jumlah cacah merupakan salah satu
sumber kekuasaan bagi pemilik cacah. Pemusatan populasi-populasi
besar di sekitar penguasa merupakan pertanda terbaik yang menunjuk-
kan ia memiliki kekuasaan yang daya tarik magnetisnya meng-
ungkapkan, bahwa penguasa itu tetap memiliki wahyu.33) Pendapat ini
didasarkan pada konsep tradisional masyarakat Jawa yang meng-
anggap bahwa seorang kepala daerah tentu masih keturunan raja atau
bupati sebelumnya, bahwa penguasa (raja dan bupati) adalah orang
yang mendapat pulung atau wahyu, yaitu orang yang terpilih oleh Tuhan
untuk memimpin rakyat34) di wilayah kekuasaan masing-masing.

34
Pandangan rakyat akan kedudukan raja atau bupati itu,
rupanya berasal dari unsur-unsur kepercayaan pra Islam (khususnya
Hindu), yaitu anggapan tentang penjelmaan (reinkarnasi) para
leluhur ke dalam diri raja. Mungkin atas dasar itu pula di Priangan,
bupati biasa dijadikan awal silsilah keturunan.35)
Bahwa cacah sangat penting artinya bagi bupati, antara lain
terbukti bila cacah pindah ke daerah kabupaten lain, mereka tetap
dipertahankan sebagai milik bupati yang semula menerima cacah itu
dari raja. Demikian pula apabila cacah dari satu kabupaten membuka
lahan di wilayah kabupaten lain, maka lahan itu dianggap milik
bupati yang menguasai cacah yang membuka lahan tersebut.36)
Dengan demikian, di dalam wilayah kekuasaan bupati kadang-
kadang terdapat “daerah kantong” (enclave) milik bupati lain. Hal ini
ada kalanya menimbulkan konflik di antara bupati yang ber-
kepentingan. Misalnya, konflik antara bupati Prakanmuncang
dengan bupati Sukapura mengenai status cacah dan tanah Taraju.
Daerah Taraju yang berada di wilayah Sukapura, dibuka oleh rakyat
Parakanmuncang (17 cacah/keluarga). Mereka kemudian menetap di
sana. Oleh karena itu, Bupati Parakanmuncang menganggap Taraju
menjadi miliknya.37)
Dalam kasus seperti itu rajalah yang berhak memberi
keputusan. Hal tersebut menunjukkan, bahwa kedudukan bupati
dalam hirarki pemerintahan Mataram tidak lebih dari ministeriales

35
yang harus taat pada putusan raja Mataram sebagai atasannya.
Walaupun demikian, di daerahnya bupati berkuasa penuh dan
memegang kepemimpinan tradisional yang diakui oleh masyarakat
secara konsensus karena ikatan feodal.
Kedudukan dan kekuasaan bupati diperkuat lagi oleh hak
istimewa bupati untuk mewariskan jabatan. Salah satu bukti bahwa
bupati di Priangan mendapat hak mewariskan jabatan dan berkuasa
penuh atas daerahnya, adalah Piagam Sultan Agung bertitimangsa 9
Muharam tahun Jim Akhir yang diberikan kepada bupati Sukakerta.
Dalam piagam itu antara lain disebutkan hak bupati menguasai
daerah sampai tujuh keturunan (Lihat lampiran 3).
Selain mendapat hak mewariskan jabatan, bupati juga
memperoleh hak memungut pajak berupa uang, barang, tenaga
kerja (ngawula), berburu, menangkap ikan, dan mengadili 38) (kecuali
hukum pidana mati).
Tinggi-rendahnya kedudukan bupati dalam pemerintahan
dapat diketahui dari gelar kepangkatan yang disandangnya. Hirarki
kepangkatan bupati dari bawah ke atas adalah : tumenggung – aria –
adipati – pangéran. Gelar tumenggung diperoleh secara langsung pada
waktu diangkat menjadi bupati, sedangkan gelar aria, adipati, dan
pangéran diperoleh karena kondite yang baik dan telah menunjukkan
jasa yang pantas dihargai 39). Selain memiliki gelar ke-pangkatan,
bupati di Priangan juga memiliki gelar kepriyayian, yaitu radén.

36
Gambaran konkrit dari besarnya kekuasaan, wibawa,
pengaruh, dan kharisma pribadi bupati antara lain acara “Senénan”,40)
yaitu perjalanan dinas bupati pada hari Senin di wilayah
kekuasaannya. Dalam perjalanan itu, bupati kuasa untuk meminta
apa saja milik rakyat yang disenanginya. Di Priangan acara itu
disebut “Nyanggrah”.41) Biasanya permintaan bupati itu dinyatakan
secara halus dan bersifat diplomatis. Misalnya, apabila bupati
menghendaki kuda bagus milik lurah (kepala desa), cukup dengan
memuji kebagusan kuda itu dan menggunting bulu surinya. Pemilik
kuda pun tanggap, bahwa bupati meng-inginkan kudanya. Ia me-
nyerahkan kuda itu dengan perasaan bangga, karena mendapat
perhatian besar dari panutannya. Dalam hal ini, konsep raja kuasa
atas segala-galanya membenarkan akan sikap-sikap tersebut.
Acara lain yang cukup penting dalam kehidupan bupati ialah
séba, yaitu menghadap bupati pada waktu tertentu bagi kepala-
kepala daerah bawahannya. Menurut Moertono, arti simbolis dari
séba ialah “tanda umum akan tunduknya seseorang terhadap
kewibawaan dan kekuasaan seorang atasan” 42), yang dalam hal ini adalah
bupati.
Simbol-simbol status, atribut-atribut kebesaran, mitos
geneologi, pulung (wahyu), upacara kebesaran, acara-acara khusus,
hak istimewa, dan lain-lain, merupakan bentuk simbolis dan bentuk
nyata yang memperkokoh kedudukan, wibawa, dan pengaruh

37
bupati sebagai penguasa daerah. Hal itu berarti Mataram telah
menumbuhkan feodalisme pada diri bupati di Priangan dan bupati
di daerah mancanegara lain, sehingga hubungan antara bupati dengan
rakyat pun terjalin dalam ikatan feodal yang melembaga menjadi
tradisi.43) Faktor itulah yang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pihak
kolonial (Kompeni)44) dan pemerintah Hindia Belanda) dalam
melaksanakan politik eksploitasi ekonomi di Priangan khususnya
dan di Pulau Jawa pada umumnya.

38
CATATAN BAB II
1)
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 2de druk, 3de deel, 1919 : hal. 503 dan
Alisjahbana, 1954 : hal. v.
2)
de Wilde, 1830 : hal.1, cf. Pemda Kabupaten Dt. II Bandung, 1975 : hal. 6.
3)
Holle, K.F., 1869 : hal. 319-322, cf. Indonesia. Depdikbud, 1981/1982 : hal. 8.
4)
Djajadiningrat, 1983 : hal. 98 f. dan Widjajakusumah, 1961 : hal. 1.
5)
Kern, 1898 : hal. 11-12 cf. Raksakusumah, 1963 : hal. 43.
6)
Widjajakusumah, 1961 : hal. 15 dan Soeria di Radja, 1927 : hal. 43, cf. Mees,
1925 : hal. 34.
7)
de Haan, III. 1912 : 69.
8)
Widjajakusumah dan R. Moh. Saleh, 1960 : hal. 65, cf. Soeria di Radja, 1927 :
hal. 44 dan Kern, 1898 : hal. 12.
9)
Widjajakusumah dan R. Moh. Saleh, 1960 : hal. 55-56. Ratu Harisbaya adalah
saudara Panembahan Senopati, raja Mataram tahun 1586-1601.
10)
Widjajakusumah dan R. Moh. Saleh, 1960 : hal. 65.
11)
Widjajakusumah, 1961 : 23 dan Kern, 1898 : hal. 12.
12)
Soeria di Radja, 1927 : hal. 45.
13)
Ibid., cf. Kern, 1898 : hal. 12.
14)
Soeria di Radja, 1927 : hal. 50. Ceritera Dipati Ukur terdapat delapan versi :
Sumedang, Bandung, Sukapura, Galuh, Banten, Talaga, Mataram, dan Batavia
(Ekadjati, 1982).
15)
van Rees, VBG, 1880: 17 dan de Haan, III, 1912: 58-59.
16)
Holle, 1868 : hal. 341-343 dan Kertinegara, Cod. Or. 7858. De Haan
menafsirkan tanggal 9 Muharam Tahun Alip sama dengan 20 April 1641.
Akan tetapi, Prof. Dr. Mr. Sukanto dan Dr. J. Brandes menafsirkannya tanggal
16 Juli 1633 (de Haan, III, 1912 : 58-59 dan Widjajakusumah, 1961 : 27).
17)
Hardjasaputra, dalam Lubis et al., 2000: 114 dan 213.
18)
de Haan, III, 1912 : hal. 73, cf. TBG, VI, 1867 : hal. 252 dan XVII, 1868 : hal.

39
329.
19)
Natanegara, 1936 : hal. 56-57, Widjajakusumah, 1961 : hal. 23-24, dan Holle,
1868 : hal. 235.
20)
Mengai pembagian wilayah Mataram menjadi 12 ajeg, terdapat perbedaan
informasi antara Babad Cirebon dengan Babad Pasundan. Babad Cirebon tidak
menyebutkan nama Sekacé, tetapi Sindangkasih (Kern, 1898 : hal. 19).
21)
Sumber sama dengan catatan no.17.
22)
Widjajakusumah, 1961 : hal. 24 dan Natanegara, 1936 : hal. 57.
Penghapusan jabatan wedana bupati menyebabkan ketidaksenangan bagi
Rangga Gempol III. Ia ingin terus menjadi Wedana Bupati Priangan, sehingga
memaksa Bupati Bandung, Sukapura, dan Parakanmuncang untuk tetap
tunduk kepadanya. Akibatnya, timbul konflik antara Rangga Gempol III
dengan ketiga bupati tersebut (Natanegara, 1936 : hal. 60-63, cf. de Haan, I
dan II, 1910 : hal. 158 dan 42).
23)
Di Priangan, gelar “pangéran” diberikan oleh raja Mataram khusus kepada
bupati Sumedang. Mengenai gelar kepangkatan tradisional, lihat tulisan van
den Berg (1920).
24)
Soetjipto, 1980 : hal. 1-7 dan Kartodirdjo et al., 1975 : 1-10.
25)
Soetjipto, 1980 : hal. 7, cf. Day, 1966 : hal. 13-14 dan Vlekke, 1961 : hal. 189.
26)
Moertono, dalam Budiardjo (peny.), 1984 : 164, 166.
27)
Anderson, dalam Holt (ed.), 1972 : hal. 31.
28)
Bupati memperoleh simbol-simbol kebesaran dari raja. Perolehan simbol-
simbol itu dinyatakan dalam piagam pengangkatannya (Periksa Lampiran 1).
29)
Alisjahbana, 1954 : hal. 3-5.
30)
Hatmosuprobo, 1970 : 5.
31)
Koesoemahatmadja, 1978 : hal. 40, cf. van Vollenhoven, 1931 : hal. 715 dan
Day, 1966 : hal. 14.
32)
de Haan, I, 1910 : 30, cf. Onghokham, 1983 : hal. 15. Cacah dalam konteks
tersebut berarti keluarga (kuren dalam istilah Sunda).
33)
Anderson, dalam Holt (ed.), 1972 : hal. 30.

40
34)
Koesoemahatmadja, 1978 : hal. 37.
35)
Volks Almanak Soenda, 1922 : hal. 225.
36)
Alisjahbana, 1954 : hal. 5, cf. de Haan, I, 1910 : hal. 30.
37)
Ekadjati, 1982 : hal. 79.
38)
van Meerten, 1887 : 17-22, cf. Burger, 1, 1962 : hal. 201.
39)
Martanagara, tth. : 37 f., cf. van den Berg, 1902.
40)
Deenik, 1929 : hal. 59 dan de Haan, IV, 1912 : hal. 375 ff. Acara “Senénan" di
Priangan mungkin tiruan dari acara yang sama di Mataram yang disebut
“Saptonan”.
41)
Milik rakyat yang kadang-kadang diminta oleh bupati antara lain gadis cantik,
kuda bagus, dan barang-barang antik (Burger, 1, 1962. : hal. 118).
42)
Moertono,1968 : hal. 97.
43)
Pengaruh Mataram yang tertanam cukup kuat dalam kehidupan masyarakat
Sunda, khususnya di Priangan, adalah bahasa Jawa yang digunakan sebagai
bahasa resmi sampai dengan dekade kedua abad ke-19 (Alisjahbana,.1954 :hal.
7). Akibatnya, terjadi undak-usuk dalam bahasa Sunda.
44)
Kompeni adalah aparat VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie), perkumpulan
dagang Belanda di Hindia Timur, yang memiliki kekuatan senjata.

41
42
BAB III
KEDUDUKAN DAN PERANAN BUPATI DI PRIANGAN
ZAMAN KOLONIAL

Zaman Kekuasaan Kompeni (1677-1799)


Setelah Sultan Agung meninggal (1645), Mataram
berangsur-angsur menjadi lemah akibat kemelut yang terjadi di
lingkungan kerajaan dan serangan dari luar. Misal, pertengahan
tahun 1677 pusat Kerajaan Mataram diserang oleh pasukan Madura
pimpinan Pangeran Trunojoyo1) Kompeni campur tangan meng-
atasi kemelut itu. Akibatnya wilayah Kerajaan Mataram jatuh ke
dalam kekuasaan Kompeni pada tahun 1757.2) Daerah-daerah
vasalnya pun termasuk Priangan berangsur-angsur dikuasai oleh
Kompeni.
Wilayah Priangan jatuh ke tangan Kompeni dalam dua
tahap akibat perjanjian Mataram – Kompeni tahun 1677 dan 1705.
Pada tahap pertama (perjanjian 19-20 Oktober 1677) Kompeni
memperoleh wilayah Priangan Barat dan Tengah (Cianjur, Bandung,
dan Sumedang). Pada tahap kedua (perjanjian 5 Oktober 1705)
Kompeni menguasai wilayah Priangan Timur (Limbangan, Sukapura,
Galuh) dan Cirebon.3)

43
Pada mulanya Mataram menyerahkan daerah Priangan
kepada Kompeni hanya sebagai pinjaman. Oleh karena Mataram
bertambah lemah, maka penguasa kerajaan itu makin sering
meminta bantuan Kompeni. Hal itu mengakibatkan Kompeni
berkuasa penuh atas wilayah Mataram termasuk Priangan.4)
Sesuai dengan sistim pemerintahan tak langsung yang
dianutnya, Kompeni dengan piagam tanggal 15 November 1684
mengangkat kepala-kepala daerah di Priangan untuk memerintah
daerah masing-masing atas nama Kompeni. Pengangkatan kepala-
kepala daerah itu disertai oleh pemberian sejumlah cacah, sebagai
berikut :
1. Pangéran Sumedang : 1015 cacah
2. Demang Timbanganten : 1125 cacah
3. Tumenggung Sukapura : 1125 cacah
4. Tumenggung Parakanmuncang: 1076 cacah
5. Gubernur Imbanagara : 708 cacah
6. Gubernur Kawasén : 605 cacah
7. Lurah-lurah Bojonglopang : 20 cacah dan 10 desa.5)
Kompeni memahami, bahwa bupati – yang memiliki
wibawa dan pengaruh besar terhadap rakyat – sangat penting fungsi
dan peranannya bagi keberhasilan politik dagang dan eksploitasi
Kompeni. Akan tetapi, penguasa Kompeni pun menyadari, bahwa
pengangkatan salah seorang bupati di Priangan menjadi bupati

44
kepala, mungkin akan menimbulkan konflik di antara bupati –
seperti yang terjadi pada zaman kekuasaan Mataram – atau masalah
lain. Atas dasar itu, Kompeni memilih penguasa pribumi di luar
Priangan yang dianggap cakap, dapat dipercaya, serta memahami
permasalahan bupati dan rakyat pribumi. Dengan besluit tanggal 19
Februari 1706, Kompeni mengangkat Pangéran Aria Cirebon
menjadi Bupati Kompeni6) (setara dengan wedana bupati). Tugasnya
adalah mengawasi dan mengkoordinir bupati-bupati di Priangan, agar
mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap Kompeni
dengan baik dan lancar.
Pengangkatan Bupati Kompeni untuk wilayah Priangan,
tidak berarti Kompeni mengadakan perubahan drastis dalam sistim
pemerintahan di daerah tersebut. Pada awal kekuasaannya, Kompeni
hanya menuntut agar kekuasaan Kompeni diakui oleh para bupati,
dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC.
Bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang
dengan pihak lain.7)
Sebagai objek kekuasaan dan tidak memiliki kekuatan, para
bupati menerima tuntutan Kompeni, asal kedudukan mereka tetap
utuh. Memang Kompeni tidak menggangu kedudukan dan fungsi
bupati, bahkan membiarkan bupati memiliki hak-hak istimewa
seperti pada waktu di bawah kekuasaan Mataram. Berarti Kompeni
pun menjadikan para bupati sebagai ministeriales, bahkan Kompeni

45
“melindungi” struktur politik dan sosial pribumi.8)
Dengan “perlindungan “ dan kebijakan Kompeni itu, para
bupati memiliki otoritas penuh dan memerintah daerahnya secara
otokratis. Dalam status sebagai kepala daerah dan pemimpin
tradisional, bupati menjalankan kekuasaan pribadi atas rakyat,
dibantu oleh para pejabat bawahan – seperti pada zaman Mataram –
dengan loyalitas pribadi terhadap bupati. Sistim pemerintahan serta
gaya hidup bupati di Priangan sampai waktu itu, masih tetap
merupakan replika raja-raja Jawa.9) Baik dalam hal pakaian maupun
dalam tatacara kebupatian lainnya adalah tatacara bupati Jawa.
Setiap kabupaten merupakan tempat tinggal keluarga bupati dan
sanak keluarganya. Mereka dilayani oleh sejumlah pelayan tetap dan
tenaga kerja wajib (kawula) yang berganti-ganti setiap hari.10) Namun
demikian, pada umumnya bupati dapat hidup mewah. Makin intensif-
nya ekploitasi Kompeni menyebabkan penghasilan bupati pun
makin bertambah, yaitu dari presentase dan hadiah-hadiah di luar
penghasilan resmi11) (hasil berbagai pajak).
Dalam melaksanakan eksploitasi ekonomi di Priangan,
Kompeni menerapkan penanaman wajib terutama kopi dalam
sistim yang disebut Preangerstelsel (Sistim Priangan). Sehubungan dengan
hal itu, Kompeni memberi presentase dan hadiah kepada para
bupati. Namun bukan berarti Kompeni baik hati, tetapi pem-berian
hadiah itu mengandung tujuan agar para bupati mematuhi aturan

46
dan melaksanakan tugas serta kewajiban bagi kepentingan
Kompeni, yaitu :
1. Melaksanakan penanaman kopi, lada, tarum (nila), kapas
dan lain-lain.
2. Tiap tahun menyerahkan hasil panen tanaman tersebut
kepada Kompeni, dan mengurus pengangkutannya.12)
3. Bertanggungjawab atas jumlah pohon kopi yang harus
dipelihara, dan menyerahkan hasil panennya dalam
jumlah yang sudah ditentukan.
4. Mengerahkan dan menyerahkan tenaga kerja rodi.
5. Memelihara keamanan dan ketertiban daerah masing-masing.
6. Tidak boleh mengangkat atau memecat umbul (pegawai
bawahan bupati) tanpa pertimbangan Bupati Kompeni,
atau penguasa Kompeni di Cirebon.
7. Melakukan sensus penduduk tiap tahun dan melapor-
kannya ke Batavia.
8. Mengawasi kegiatan keagamaan, terutama kegiatan kiyai.
9. Pada waktu tertentu, para bupati wajib menghadap
gubernur jenderal di Batavia sebagai tanda kehormatan.13)
Semula penanaman kopi belum dilakukan secara besar-
besaran. Setelah Kompeni mengetahui bahwa penjualan biji kopi
mendatangkan keuntungan besar, penanaman kopi pun ditingkat-
kan. Penanaman kopi dalam jumlah besar dimulai tahun 1707.

47
Bupati yang pertamakali menyerahkan hasilnya kepada Kompeni
adalah Bupati Cianjur Radén Aria Wiratanudatar tahun 1711.14)
Selain kewajiban-kewajiban tersebut di atas, bupati juga
berkewajiban untuk mengawasi kegiatan keagmaan (Islam) di
wilayah kekuasaan masing-masing. Hal itu menunjukkan bahwa
Islam sebagai potensi sangat dikhawatirkan oleh Kompeni sebagai
faktor yang dapat merongrong kekuasaannya. Agar para bupati
mengawasi kegiatan keagamaan dengan baik, Kompeni tidak
menggangu pengaruh bupati dalam bidang tersebut. Kompeni
membiarkan para bupati memperoleh penghasilan dari bidang
keagamaan,15) antara lain dari zakat fitrah.
Tugas dan kewajiban bupati, khususnya yang menyangkut
penyerahan hasil tanaman wajib, menunjukkan hubungan antara
bupati dengan Kompeni. Namun dalam hubungan itu, terdapat
perbedaan antara bupati di Priangan dengan bupati di Pantai Utara
Pulau Jawa. Bupati di Priangan menerima piagam pengangkatan
(aanstellingsacte), sedangkan bupati di Pantai Utara Pulau Jawa harus
menandatangani surat perjanjian ikatan (acte van verband).16) Hal ini
berarti kedudukan bupati Priangan secara yuridis berbeda dengan
bupati di Pantai Utara Pulau Jawa.
Perbedaan kedua ikatan itu terletak pada sifat pemenuhan
kewajiban. Bupati di Priangan kewajiban utamanya adalah mengenai
verplichte leveranties, yaitu memungut hasil-hasil tanaman yang wajib

48
diproduksi oleh petani dan menyerahkannya kepada Kompeni.
Dalam penyerahan produksi kopi setiap kali panen, petani kopi
mendapat ganti rugi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.
Namun para petani kopi mendapat keuntungan, karena harga tiap
satu pikul (62 kilogram) kopi lebih tinggi dari harga satu pikul padi
pada waktu yang sama. Dari penyerahan produksi kopi, bupati pun
mendapat imbalan. Untuk penyerahan setiap pikul kopi misalnya,
bupati meperoleh imbalan sebesar 5-6 ringgit (uang perak Belanda).
Kewajiban utama bupati di Pantai Utara Pulau Jawa adalah
sebaliknya, yaitu memungut contingenten (pemungutan hasil bumi
tanpa mendapat ganti rugi sedikit pun dari Kompeni), karena
pemungutan hasil bumi itu – yang kemudian diserahkan kepada
Kompeni – dianggap sebagai pajak dalam bentuk natura.17)
Dengan kata lain, hubungan utama antara bupati di Priangan
dengan Kompeni bersifat hubungan mitra dagang, di mana bupati
berperan sebagai perantara atau leveransir. Sebaliknya, hubungan
antara Kompeni dengan bupati di Pantai Utara Pulau Jawa bersifat
hubungan atasan dan bawahan.
Sebagai imbalan terhadap bupati atas pelaksanaan kewajiban-
nya kepada Kompeni, para bupati dibiarkan memiliki hak-hak
istimewa yang diperoleh dari raja Mataram. Hak-hak dimaksud
adalah memungut pajak berupa uang dan barang, memperoleh
tenaga kerja; hak berburu dan menangkap ikan; hak mengadili, dan

49
lain-lain. Di Priangan, hak bupati yang disebut pertama dan kedua
adalah sebagai berikut.
Pajak berupa uang :
1. Pajak jembatan
2. Pajak pasar dan warung
3. Pajak penjualan hewan ternak dan kuda
4. Pajak perikanan
5. Pajak penjualan sawah dan tanah darat
6. Pajak pemotongan hewan (kerbau dan sapi).
Pemotongan setiap ekor kerbau dikenakan pajak f 1
dan kepala, tanduk serta kulitnya harus diserahkan kepada
bupati.

Pajak berupa barang:


1. Cuké, yaitu 1/10 dari hasil panen padi. Pemasukan cukai
ini, 2/3 bagian untuk bupati, sisanya diserahkan kepada
pejabat-pejabat tingkat distrik (kewedanaan) ke bawah.
2. Pupundutan,18) yaitu permintaan akan keperluan rumah
tangga, seperti beras, lauk-pauk, garam, sayur–mayur,
gula, dan lain-lain, pada waktu tertentu, misalnya apabila
di keluarga bupati berlangsung perayaan kelahiran, khitanan,
perkawinan, dan sebagainya.
3. Pasedekah, yaitu pajak perayaan yang ditarik dari penduduk

50
yang akan mengadakan perayaan khitanan atau perkawinan.
4. Pungutan lain-lain (bersifat insidental).

Perolehan tenaga kerja :


1. Ngawula, yaitu pengabdian rakyat kepada bupati dan
pejabat bawahannya.
2. Pancéndiensten (kerja wajib).
Rakyat wajib melakukan beberapa jenis pekerjaan untuk
kepentingan pejabat pribumi, khususnya bupati. Misal,
me-nyertai berburu dan menangkap ikan, mengurus
kuda dan ternak, memelihara rumah, mengolah ladang,
menyerahkan kayu bakar, menebang pohon dan me-
nyerahkan bahan-bahan lain untuk perbaikan atau
pembangunan rumah pejabat.19)
Hak-hak istimewa tersebut merupakan salah satu aspek
yang meng-gambarkan besarnya kekuasaan bupati terhadap rakyat,
disatu pihak. Di pihak lain, menunjukkan betapa beratnya beban
yang harus dipikul oleh rakyat, karena rakyat harus melaksanakan
kewajiban untuk kepentingan Kompeni dan untuk keperluan penguasa
daerah, pemimpinnya sendiri. Akan tetapi, pemenuhan kewajiban rakyat
kepada kedua penguasa itu sifatnya berbeda. Kewajiban rakyat kepada
Kompeni bersifat paksaan. Sebaliknya, kewajiban rakyat kepada
pemimpin mereka, khususnya bupati, bersifat pengabdian, karena

51
hubungan kedua belah pihak adalah hubungan “abdi-dalem”. Hubungan
itu terjalin dalam ikatan feodal yang kuat.
Selama Kompeni tidak turut campur secara langsung dalam
pemerintahan kabupaten, para bupati dapat dikatakan berperan
sebagai pemegang kontrak atau administrator tanah perkebunan yang
luas.20) Tiap tahun mereka mengirimkan sejumlah hasil tanaman
wajib, terutama kopi, kepada Kompeni.
Setelah Kompeni bertindak lebih intensif, kekuasaan bupati
sebagai kepala daerah jadi menurun. Kompeni turut campur dalam
pemerintahan kabupaten tanpa berunding lebih dahulu dengan
bupati. Pergantian bupati secara turun-temurun (hak mewariskan
jabatan) yang semula diakui oleh Kompeni, selanjutnya ditentukan
oleh Kompeni sendiri. Pada setiap kabupaten ditempatkan pejabat
Kompeni untuk mengawasi penanaman kopi yang semakin
ditingkatkan. Akan tetapi, dalam prakteknya ia memerintah
kebupaten bersama-sama bupati, sehingga kabupaten merupakan
kantor Kompeni.21)
Pada abad ke-18 Kompeni makin menganggap dirinya
sebagai penguasa yang sah dan pemilik kabupaten, sedangkan para
bupati dianggap sebagai bangsawan peminjam tanah. Hal itu terjadi
akibat gaya hidup bupati yang royal, sehingga beberapa orang bupati
terbelenggu oleh hutang kepada Kompeni.22) Dalam hal ini, Nederburgh
menyindir, bahwa bupati di Priangan pada pertengahan abad ke-18

52
adalah penguasa asing di negeri sendiri.23)
Secara politis memang kedudukan formal dan kekuasaan
bupati menurun. Akan tetapi, peranan bupati bagi Kompeni tetap
penting. Bupati dengan kharisma pribadinya merupakan basis
kekuatan untuk menggerakkan rakyat, sedangkan Kompeni tidak
memiliki pengaruh terhadap rakyat, karena ruang lingkup kekuasaan-
nya hanya sampai pada bupati. Dalam pada itu, rakyat – karena
ikatan feodal – hanya taat pada perintah bupati.
Dengan demikian, sindiran Nederburgh tersebut tidak
memiliki dasar yang kuat. Keberhasilan Preangerstelsel pada dasarnya
bertumpu pada kedudukan dan peranan bupati. Dalam pelaksanaan
eksploitasi itu, bupati menjadi perantara Kompeni dengan rakyat,
sekaligus berperan sebagai penggerak rakyat untuk melaksanakan
kewajibannya. Posisi dan peranan bupati demikian itu terus ber-
langsung, setidaknya sampai akhir abad ke-19.

Zaman Pemerintahan Hindia Belanda (1808 – 1900)


Akhir abad ke-18 (31 Desember 1799) usaha dagang Kompeni
mengalami kehancuran, sehingga lembaga dagangnya (VOC) bubar.24)
Kekuasaan atas Nusantara diambilalih oleh Pemerintah Kerajaan
Belanda, kemudian dibentuk pemerintahan Hindia Belanda dipimpin
pertamakali oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels
(1808-1811).25) Setelah tiba di Pulau Jawa, Daendels menjadikan

53
Batavia sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda. Dalam
menjalankan pemerintahannya, Daendels melakukan tindakan
keras, baik di bidang administrasi maupun di bidang politik.
Di bawah pemerintahan Daendels, kedudukan bupati meng-
alami per-ubahan. Daendels memodifikasi kedudukan bupati di
Pulau Jawa termasuk bupati di Priangan, dari penguasa daerah yang
berdaulat penuh menjadi aparat pemerintah kolonial. Hal ini terlihat
jelas dari tindakannya. Piagam pengangkatan para bupati Priangan
dari Kompeni dinyatakan tidak berlaku lagi. Selanjutnya bupati
diangkat oleh gubernur jenderal sebagai pegawai pemerintah dan
menerima gaji. Para bupati di Priangan diperintahkan, bahwa sejak
itu mereka harus menggunakan stempel negara dalam surat–surat
resmi yang dibuatnya.26)
Tindakan Daendels itu sejalan dengan reorganisasi pemerintahan.
Daendels membagi Pulau Jawa menjadi sembilan wilayah
administratif yang disebut prefectures–kemudian sebutannya berubah
menjadi landdrostambten–yaitu wilayah administratif setingkat
keresidenan, satu di antaranya adalah Priangan. Tiap prefectures/
landdrostambten diperintah oleh seorang prefect/ landdrost (pekjabat
kolonial setingkat residen).27)
Sikap dan tindakan Daendels itu berarti bupati berada di
bawah perintah dan bekerja untuk tujuan atau kepentingan
pemerintah kolonial semata-mata. Daendels membatasi kekuasaan

54
bupati serta menempatkannya di bawah pengawasan langsung
prefect/landdrost (residen). Dalam hal pergantian bupati, Daendels
tidak mengakui prinsip pergantian secara turun–temurun.
Pergantian pejabat itu dilakukan atas dasar penunjukan. Tindakan-
tindakan itu dilakukan oleh Daendels, karena ia ingin melaksanakan
sistim pemerintahan langsung, memerintah rakyat tanpa perantaraan
bupati.
Untuk kepentingan jalannya pemerintahan, Daendels
membangun jalan dari Anyer di ujung Barat Jawa Barat sampai
Panarukan di ujung Timur Jawa Timur. Jalan itu disebut Grote Postweg
(Jalan Raya Pos), karena tujuan utama pembangunannya adalah untuk
kepentingan komunikasi pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah melalui pos (surat). Hal itu sejalan dengan tugas utama
Gubernur Jenderal Daendels, yaitu mempertahankan Pulau Jawa
dari kemungkinan serangan pasukan Inggris yang berkedudukan di
India.28)
Keberhasilan proyek besar Daendels itu tidak dapat
dipisahkan dari peranan bupati, karena tanggungjawab pelaksanaan
pembangunan Grote Postweg diserahkan kepada para bupati,
khususnya bupati di daerah yang dilewati oleh jalan tersebut. Di
daerah Priangan, jalan itu melewati bagian tengah Kabupaten-
kabupaten Cianjur, Bandung29), dan Sumedang.30) Waktu itu ketiga
kabupaten tersebut masing-masing dipimpin oleh Bupati R.A.A.

55
Wiratanudatar VI, Bupati R.A. Wiranatakusumah II, dan Bupati
Pangeran Kusumadinata alias “Pangeran Kornel”(lihat Lampiran 4).
Para bupati mampu melaksanakan tugas tersebut, bukan
dalam status mereka sebagai aparat pemerintah kolonial semata,
tetapi terutama dalam kedudukan mereka selaku kepala daerah dan
pemimpin tradisional. Dalam kedudukan yang disebut terakhir,
bupati kuasa memerintah atau menggerakkan rakyat untuk berbagai
kepentingan, termasuk membangun Grote Postweg. Hal itu di-
mungkinkan karena hubungan bupati dengan rakyat tetap terjalin
dalam ikatan feodal yang kuat, sehingga rakyat hanya taat pada
perintah bupati. Tanpa bantuan bupati, pembangunan jalan tersebut
akan mengalami kegagalan.
Daendels memahami pentingnya peranan bupati bagi
pelaksanaan kebijakan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, ia
membiarkan bupati memiliki hak memungut pajak berupa uang,
tenaga kerja, dan hasil bumi. Kebijakan Daendels itu juga didasar-
kan pada beberapa pertimbangan. Pertama, untuk penghematan
biaya pemerintah. Kedua, bupati wajib membayar (memberi gaji)
kepala-kepala bawahannya.31) Ketiga, agar bupati selaku aparat
pemerintah kolonial melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan
baik, termasuk pelaksana-an penanam tanaman wajib, karena
Preangerstelsel dipertahankan.
Sebagai pegawai pemerintah, bupati harus tunduk pada

56
perintah dan patuh pada kebijakan atasan, bila tidak ia akan
mendapat sanksi. Hal itu ditunjukan oleh pelaksanaan sanksi
administratif dan mutasi jabatan. Misal, Bupati Parakanmuncang
Radén Tumenggung Aria Wira Tanureja, dipecat dari jabatannya
karena tidak melaksanakan perintah untuk menanam 300.000
pohon kopi di daerahnya. Sebagai penggantinya, Kepala Cutak
Pamanukan Radén Aria Adiwijaya diangkat menjadi Bupati
Parakanmuncang (Besluit 14 Januari 1809).32)
Perintah penanaman kopi dalam jumlah besar, menunjuk-
kan bahwa Daendels sangat berambisi untuk melipatgandakan
keuntungan dari produksi kopi Priangan. Dalam perjalanan dari
Batavia ke Semarang, ia mengetahui bahwa Priangan adalah daerah
produsen kopi. Ia memperkirakan daerah itu dapat menghasilkan
lebih-kurang 10.000 pikul kopi per tahun33).
Sejalan dengan hal tersebut, Daendels membagi Priangan ke
dalam dua unit daerah, yaitu unit daerah produsen kopi dan unit
daerah bukan produsen utama kopi. Kabupaten-kabupaten Cainjur,
Bandung, Sumedang, dan Parakan-muncang termasuk ke dalam
unit pertama. Keempat kabupaten itu menjadi bagian dari wilayah
Jaccatrasche en Preangerbovelanden (Daerah Pedalaman Jakarta dan
Priangan). Kabupaten Limbangan, Sukapura, dan Galuh yang
termasuk ke dalam unit kedua, digabungkan dengan wilayah Cirebon
dan disebut Cheribonsche Preangerlanden, karena Cirebon pun merupakan

57
daerah minus kopi. Pembagian daerah itu terjadi antara tahun 1808 –
1809. Beberapa waktu kemudian, Kabupaten Limbangan dan
Sukapura dikeluarkan dari wilayah administratif Cirebon.34)
Reorganisasi yang dilakukan oleh Daendels, pada satu segi
menunjukkan pentingnya peran bupati dalam pelaksanaan eksploitasi
ekonomi kolonial. Pada segi lain, reorganisasi itu mem-bawa akibat
besar bagi kedudukan/posisi bupati. Di daerah produsen utama kopi,
posisi bupati bertambah kuat, karena keberhasilan produksi
tanaman itu sangat tergantung pada peran bupati. Sebalik-nya, di
daerah minus kopi, bupati dapat kehilangan kedudukannya. Misal,
Bupati Sukapura Radén Demang Anggadipa alias Radén
Tumenggung Wiradadaha VIII (1807-1811) dipecat dari jabatan-
nya, karena ia tidak melaksanakan perintah penanaman nila di sawah35)
sebagai pengganti kopi. Bupati Sukapura menolak perintah tersebut,
karena jika sawah ditanami nila, para petani akan kehilangan
penghasilan padi dan palawija.
Akibat sikap Bupati Sukapura tersebut, Kabupaten Sukapura
kemudian dihapuskan. Daerahnya digabungkan ke dalam wilayah
Kabupaten Limbangan yang diperintah oleh Bupati Radén
Tumenggung Wangsareja (1805-1813). 36) Sebagian daerah
Limbangan, termasuk daerah bekas Kabupaten Sukapura dibagi-
bagi, kemudian digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Cianjur,
Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang (Besluit tanggal 2 Maret

58
1811). Penggabungan daerah itu dimaksudkan untuk kepentingan
produksi kopi37) khususnya dan eksploitasi ekonomi pada
umumnya.
Bupati lain yang menunjukkan sikap menentang terhadap
tindakan pemerintah kolonial adalah Bupati Parakanmuncang
Radén Tumenggung Aria Wira Tanureja dan Bupati Sumedang
Radén Adipati Surianegara.38) Sikap mereka menunjukkan bahwa
bupati di Priangan bukan alat pemerintah kolonial semata-mata.
Mereka berusaha untuk dapat hidup merdeka, lepas dari kekuasaan
asing.
Sikap para bupati juga terlihat dalam usaha mereka untuk
mem-pertahankan kedudukan mereka, paling tidak kedudukan
sebagai pemimpin tradisional. Para bupati memahami, bahwa rakyat
pribumi waktu itu masih buta politik dan tidak mengetahui seluk-
beluk pemerintahan. Oleh karena itu, para bupati berupaya agar
dalam pandangan rakyat, mereka adalah bupati, kepala daerah,
pemimpin rakyat. Bupati yang berpandangan demikian, bersikap
dan bertindak bijaksana. Di samping menjalankan tugas dari
pemerintah kolonial, ia/mereka juga menjalankan fungsi sebagai
pemimpin yang wajib melindungi dan memperhatikan kesejahteraan
hidup rakyat.
Bupati di Priangan yang bersikap demikian antara lain
Bupati Bandung Radén Adipati Wiranatakusumah II (1794 – 1829).

59
Ia adalah perintis pem-bangunan kota Bandung. Secara bijaksana ia
membebaskan rakyat Balubur Hilir dari kewajiban membayar pajak,
sebagai imbalan atas jasa mereka turut aktif dalam mendirikan kota
Bandung.39)
Bupati yang bersikap demikian kiranya menyadari, bahwa
“inti kepemimpinan bukan pertama-tama terletak pada kedudukan.
Inti kepemimpinan adalah fungsi atau tugas”.40) Memang,
kedudukan dan kekuasaan bupati tidak ada artinya apabila tidak
diakui oleh rakyat. Sikap bupati seperti itu tentu mendapat tanggapan
baik dari rakyat, karena kehidupan mereka banyak tergantung pada
kebijakan bupati. Hal itu menunjukkan kuatnya ikatan tradisional
antara kedua belah pihak. Faktor inilah yang menyebabkan bupati
menduduki posisi dan peranan penting dalam pelaksanaan
eksploitasi kolonial di Pulau Jawa.
Peranan bupati pada masa itu, bukan hanya dalam bidang
ekonomi. Dalam kerangka politik militer pun, bupati turut ambil
bagian. Hal itu ditunjukan oleh pemberian pangkat militer kepada
bupati. Pangkat militer itu disesuaikan dengan gelar bupati yang
bersangkutan. Gelar tumenggung disamakan dengan mayor, gelar
adipati dan aria disamakan dengan letnan kolonel, dan gelar pangéran
disamakan dengan kolonel.41) Oleh karena itu, masyarakat Sumedang
khususnya dan masyarakat Priangan umumnya memberi julukan
“Pangéran Kornél” kepada Bupati Sumedang, Pangéran Adipati

60
Kusumanegara alias Pangéran Kusumadinata (1791-1828).42)
Pemberian pangkat militer kepada para bupati dengan
maksud agar mereka lebih taat pada perintah atasan, justru
memperbesar wibawa dan pengaruh para bupati di kalangan
masyarakat pribumi. Dengan kata lain, kebijakan tersebut
memperkuat feodalisme di kalangan bupati. Oleh karena itu,
merosotnya kedudukan bupati hanya dalam pandangan pemerintah
kolonial atau hanya bersifat politis. Dalam kenyataannya, bupati
tetap berkedudukan sebagai kepala daerah dan pemimpin
tradisional. Kedudukan bupati, lebih-lebih sebagai pemimpin
tradisional, tidak mungkin dapat diambilalih oleh pejabat kolonial,
karena – seperti dikemukakan pada Bab I – kepemimpinan
tradisional yang dimiliki bupati berakar pada kelahiran dan status
sosial.
Kedudukan bupati yang berhubungan erat dengan ikatan
feodal antara bupati dengan rakyat, merupakan faktor utama yang
menyebabkan Daendels gagal melaksanakan sistim pemerintahan
langsung. Namun demikian, kebijakan-kebijakan Daendels pada
dasarnya dilanjutkan oleh para gubernur jenderal penggantinya.
Pertengahan tahun 1811, Daendels digantikan oleh
Gubernur Jenderal Jan Willem Jansens (Mei 1811). Akan tetapi,
Jansens hanya berkuasa di Nusantara, khususnya Pulau Jawa, lebih-
kurang empat bulan. Hal itu terjadi akibat armada Inggris menyerbu

61
Pulau Jawa (Agustus 1811). Jansens tidak mampu mengatasi
serbuan itu. Ia menyerah kepada pihak Inggris di Salatiga (17
September 1811) melalui Kapitulasi Tuntang.43)
Pemerintah Inggris menempatkan Thomas Stamford Raffles
sebagai penguasa di Hindia Belanda, khususnya Pulau Jawa, dengan
pangkat Letnan Gubernur Jenderal (1811-1816). Ia mengubah
sebutan prefecture/landdrostambt menjadi residency (keresidenan) dan
prefect/landdrost menjadi resident (residen). Ia juga memperkenalkan
jabatan asisten residen. Dalam menjalankan pemerintahan, pada
dasarnya Raffles mengikuti kebijakan-kebijakan Daendels. Sama
halnya dengan Daendels, Raffles pun tidak mengakui prinsip
pergantian bupati secara turun-temurun. Ia berusaha untuk meng-
hilangkan kekuasaan dan pengaruh bupati terhadap rakyat, karena ia
mengetahui ikatan feodal antara bupati dengan rakyat sangat kuat.
Dalam peraturan yang dikeluarkannya (Peraturan, 22 Maret 1815,
artikel 1), Raffles antara lain menyatakan “The inhabitants of the
Batavian and Preangers Regencies, is not having yet released from feudal services
to their chiefs .....”.44)
Agar kekuasaan dan pengaruh bupati terhadap rakyat
berkurang, Raffles melakukan berbagai tindakan. Sejalan dengan
penolakan sistim pergantian bupati secara turun-temurun, bupati
ditempatkan sebagai pegawai umum pemerintah yang berada di
bawah pengawasan langsung residen dan didampingi oleh asisten

62
residen. Hak bupati untuk mengadili, dicabut. Tugas itu diserahkan
kepada residen. Akan tetapi hak bupati untuk memungut pajak,
tidak diganggu.45)
Bahwa pada masa pemerintahan Raffles para bupati di
Priangan dijadikan pegawai biasa, terbukti dari sanksi administratif
yang diberikan kepada bupati. Bupati yang dianggap tidak cakap
menjalankan tugas, dipensiunkan. Misal, Radén Tumenggung Wangsareja
dipensiunkan dari jabatannya sebagai Bupati Limbangan. Sebagai
gantinya, Bupati Parakanmuncang R.T.A. Adiwijaya dipindahkan ke
Limbangan, karena Kabupaten Parakanmuncang dihapuskan.46)
Sebagai pengganti hak mengadili yang dicabut, sejak tahun
1813 bupati mendapat tugas sebagai pengawas urusan kepolisian.47)
Tindakan Raffles itu bersifat kontradiksi dengan upaya menghapus
pengaruh bupati atas rakyat, karena anggota polisi adalah penduduk
pribumi dan polisi menangani kasus yang menyangkut rakyat. Oleh
karena itu, tugas bupati tersebut justru memperbesar pengaruh
bupati di kalangan masyarakyat pribumi.
Raffles tidak kuasa menghapus pengaruh bupati atas rakyat,
berarti ia gagal melaksanakan sistim pemerintahan langsung. Para
bupati di Priangan tetap memiliki kekuasaan dan pengaruh besar
atas rakyat masing-masing. Hal itu antara lain ditunjukan pada waktu
terjadi pemberontakan Bagus Rangin (1812). Pemerintah kolonial
mengalami kesulitan untuk mengatasinya. Oleh karena itu, Raffles

63
terpaksa meminta bantuan beberapa orang bupati, yaitu bupati
Sumedang, Cianjur, dan Karawang. Dengan kekuasaan dan pengaruh-
nya, mereka meng-gerakkan dan memimpin rakyat masing-masing
menumpas pemberontakan tersebut.48) Kepemimpinan bupati dalam
menjalankan tugas seperti itu, dan usaha mereka dalam melaksanakan
fungsi kepemimpinan tradisionalnya, menyebabkan wibawa dan
kharisma bupati di kalangan masyarakat bertambah besar.
Sampai akhir masa kekuasaannya, Raffles gagal melaksana-
kan sistim pemerintahan langsung. Kegagalan itu disebabkan oleh
dua faktor. Pertama, Raffles tidak mampu menghapus ikatan feodal
antara bupati dengan rakyat. Kedua, masa kekuasaan Raffles di
Pulau Jawa berlangsung dalam waktu pendek (1811-1816). Sesuai
dengan ketentuan Traktat London (13 Agustus 1814), tahun 1816
pemerintah Inggris menyerahkan kekuasaan atas Pulau Jawa khusus-
nya dan Hindia Belanda umumnya kepada pemerintah Kerajaan
Belanda.49)
Pemerintahan di Hindia Belanda setelah kekuasaan Letnan
Gubernur Jenderal Raffles berakhir, pertama kali dilaksanakan oleh
Komisaris Jenderal terdiri atas C.Th. Elout, G.A.G. Ph. Baron van
der Capellen, dan A.A. du Bus (Buykes) Gisignies. Mereka segera
menambah jumlah personil pemerintah Hindia Belanda. Komisaris
Jenderal juga mengukuhkan jabatan residen. Sementara itu, fungsi
bupati dibatasi oleh peraturan-peraturan legal.50) Dengan demikian,

64
posisi bupati dalam pemerintahan makin terdesak. Dibandingkan
dengan zaman Kompeni, kekuasaan dan pengaruh bupati waktu itu
sudah jauh berkurang Hal itu mengakibatkan ketidakpuasan para
bupati bertambah besar.
Setelah Van der Capellen menjadi gubernur jenderal (Besluit
16 Januari 1819), ia mengadakan perjalanan keliling Pulau Jawa
(1819). Dalam perjalanan itu ia mengetahui ketidakpuasan bupati
terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Ia pun menyadari bahwa
pengaruh tradisional bupati terhadap rakyat sangat besar,
sedangkan pejabat-pejabat Belanda tidak mungkin menggantikan
kedudukan sosial bupati. Berdasarkan pemikiran itu, Van der Capellen
dengan besluit tanggal 1 Februari 1820 mengangkat kembali bupati di
Priangan khususnya dan bupati di Pulau Jawa umumnya, dari bupati
dengan status pegawai biasa menjadi bupati sebagai kepala daerah.51)
Sejalan dengan tindakan itu, Van de Capellen menulis surat
kepada Manteri Jajahan (9 Mei 1820). Dalam surat itu dijelaskan
bahwa mengurangi hak dan kekuasaan penguasa pribumi, pemimpin
tradisional, adalah tindakan yang kurang bjaksana.52) Dalam hubungan
ini, Dr. Heyting menyatakan, hanya dengan menggunakan para
bupati dalam sistim pemerintahan Hindia Belanda, maka Belanda
dapat mencapai keuntungan. Masalahnya, administrator Belanda itu
orang asing, maka kecurigaan dan ketidakpercayaan penduduk akan
selalu timbul.53)

65
Van der Capellen yang menyadari akan hal tersebut, berusaha
untuk menarik simpati rakyat melalui para bupati. Kebijakan itu
dituangkan dalam Keputusan Pemerintah tahun 1820 (Staatsblad
1820 No. 22) yang menetapkan, bahwa bupati harus dihormati
sebagai orang pertama di kabupaten. Kedudukan-nya di bawah
asisten residen sebagai penasehatnya. Dalam lingkungan pemerintahan,
bupati adalah “saudara muda” asisten residen, tetapi ia pun wajib
memberi nasehat kepada “saudara tua”–nya54) mengenai kebijakan-
kebijakan yang perlu diambil. Walaupun bupati diawasi secara
langsung oleh asisten residen, tetapi instruksi kepada bupati datang
dari residen.55)
Dalam keputusan pemerintah itu ditegaskan pula agar
atribut–atribut bupati dan para pejabat bawahannya harus selalu
terlihat oleh rakyat, bahwa mereka adalah pemimpin tradisional
turun temurun. Tempat bupati dalam pertemuan dan perayaan, gelar,
payung kebesaran (lihat Lampiran 5), dan kebiasaan, ditentukan
sesuai dengan kedudukan bupati dalam hirarki pemerintahan
Hindia Belanda.56)
Di balik semua penghormatan itu terkandung motivasi yang
dalam, yaitu dimaksudkan untuk menjadikan bupati sebagai mandor
besar dalam pelaksanaan Preangerstelsel yang terus dipertahankan.
Pemerintah kolonial percaya, bahwa bila pemimpin tradidional
(khususnya bupati ) banyak kehilangan kebesaran dan fungsi

66
seremonialnya, maka penghormatan dan kepatuhan atau kesetiaan
rakyat terhadapnya akan menjadi kurang,57) dan itu berbahaya.
Motivasi pemerintah kolonial itu antara lain terlihat pada
instruksi kepada para bupati. Mereka harus mengawasi urusan-urusan
pertanian, peternakan. keamanan, irigasi, pemeliharaan jalan,
pengumpulan pajak, mengamati sikap dan kegiatan para kiyai serta
perkembangan agama Islam, dan lain-lain.58) Namun hak-hak, kekuasaan,
dan tanggungjawab bupati tidak dirumuskan dengan jelas.
Pandangan Van der Capellen tentang bupati sejalan dengan
gagasan Van den Bosch yang ingin menjalankan politik eksploitasi
dengan mendapat dukungan kepala-kepala pribumi, seperti pada
zaman Kompeni. Pemerintah Belanda–yang waktu itu sedang meng-
alami kesulitan di bidang keuangan – menyambut baik gagasan J. van
den Bosch dan mengangkatnya sebagai gubernur jenderal Hindia
Belanda (1830 – 1833), menggantikan Van der Capellen. Tugas
utama Van den Bosch ialah meningkatkan produksi tanaman ekspor
– yang tidak terjadi selama sistim pajak tanah berlangsung di Pulau
Jawa–dengan target memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.
Kegagalan sistim pajak tanah gagasan Raffles, telah meyakin-
kan J. van den Bosch, bahwa untuk memperoleh keuntungan besar
dari hasil tanaman ekspor, maka penyerahan hasil tanaman wajib
seperti dalam Preangerstelsel harus dijalankan di seluruh Pulau Jawa di
luar daerah Priangan. Pelaksanaan gagasan Van den Bosch ini

67
dikenal dengan sebutan Kultuurstelsel 59) (Sistem Tanam Paksa). Sistim
ini diharapkan dapat meningkatkan hasil tanaman ekspor di seluruh
Pulau Jawa sampai pada tingkat yang dicapai di daerah Priangan,
yaitu setiap cacah rata-rata menghasilkan 5 gulden untuk
pemerintah.60)
Untuk mencapai tujuan itu, ikatan feodal–tradisional antara
kepala-kepala pribumi dengan rakyat harus dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya, agar tidak terjadi kegagalan seperti sistim pajak
tanah. Berarti Pemerintah Hindia Belanda harus mendekati bupati
dengan menunjukkan sikap dan perlakuan yang dapat menghapus
ketidakpuasan mereka atas tindakan pemerintah sebelumnya.
Politik yang akan dijalankan oleh Gubernur Jenderal van
den Bosch ditentang oleh sebagian pejabat Belanda (Binnenlandsch
Bestuur), terutama para residen. Mereka menghendaki agar jabatan
bupati dihapuskan. Mereka menganggap bupati mengganggu
jalannya pemerintahan yang efisien, dan pemeras rakyat. Bupati
bagaikan “gigi yang tak berguna bagi roda pemerintahan”.61) Sikap
para pejabat Belanda yang tidak sejalan dengan pemikiran van den
Bosch, menunjukkan ambisi mereka untuk menjalankan sistim
pemerintahan langsung.
Namun demikian, pemerintah (Departement Binnenlands
Bestuur/Departemen Dalam Negeri) di Batavia tetap pada pendirian-
nya. Pemerintah akan merangkul kembali bupati, bahkan mengikatnya

68
secara lebih erat lagi ke dalam jaringan politik eksploitasi kolonial atas
dasar beberapa pertimbangan. Pertama, pemerintah Hindia Belanda
akan menggunakan sistim eksploitasi tradisional yang sudah biasa
dilakukan oleh para bupati secara lebih ketat, untuk mendapat
keuntungan dari hasil bumi sebanyak mungkin. Kedua, pemerintah
melihat bahwa rakyat akan lebih taat kepada bupati daripada bila
diperintah langsung oleh pejabat-pejabat orang Belanda. Hal itu
dimaksudkan pula agar pelawanan rakyat seperti yang pernah terjadi
(antara lain Perang Diponegoro, 1825–1830) tidak terulang kembali.
Ketiga, untuk menghemat anggaran belanja negara. Keadaan
keuangan dan personalia administrasi pemerintah Hindia Belanda
tidak memungkinkan untuk mengurus seluruh wilayah jajahan,
tanpa bantuan bupati dan kepala-kepala pribumi lainnya.62)
Untuk menjamin kesetiaan dan loyalitas para bupati kepada
pemerintah, Van den Bosch mengembalikan kedudukan bupati seperti
pada awal kekuasaan Kompeni. Berarti prestise bupati naik lagi, mereka
kembali berkuasa secara semi otonom.63)
Sebagai realisasi dari sikap pemerintah tersebut, pemerintah
pusat di Batavia mengeluarkan surat-surat edaran berisi nasihat
kepada para residen agar bersikap sopan dan hormat kepada para
bupati, dan mengikutsertakannya secara sungguh-sungguh dalam
kegiatan pemerintahan. Pejabat yang tidak mematuhi seruan itu
akan dipindahkan.64)

69
Kebijakan tersebut mengandung arti sistim pemerintahan
tak langsung bersifat ganda (dual system), yaitu adanya korps Pangreh-
praja Belanda (Binnenlands Bestuur) yang didampingi oleh Pangreh-
praja Pribumi, yaitu para penguasa lokal di bawah pimpinan bupati.65)
Dengan kata lain, kebijakan itu menjadikan bupati sebagai pejabat
resmi pemerintah, tetapi bukan pegawai biasa, melainkan bupati
sebagai kepala daerah, pemimpin rakyat. Para bupati menerima
kembali hak untuk mewariskan jabatan.66)
Dalam kenyaataannya hak mewariskan jabatan pada dasar-
nya tak pernah lepas dari bupati. Walaupun pemerintah kolonial
sebelumnya tidak mengakui hak itu, dan pergantian bupati ditunjuk
atau diangkat oleh pemerintah, tetapi karena bupati telah membuat
jaringan berupa perkawinan antar keluarga (“perkawinan politik”),
maka jabatan bupati tetap jatuh kepada keturunan bupati (lihat
Daftar Bupati, Lampiran 4).
Politik J. van den Bosch ternyata berhasil. Para bupati giat
menggerakkan rakyat untuk meningkatkan produksi tanaman yang
diperlukan pemerintah. Misal, Bupati Bandung Radén Adipati Wiranata-
kusumah IV (1846–1874) sangat berhasil dalam meningkatkan
produksi kopi. Dari keberhasilannya itu ia mendapat persentase
tidak kurang dari 800.00 gulden per tahun, sehingga pada masa itu ia
adalah bupati terkaya di Priangan. Sewaktu meninggal, kekayaannya
bernilai lebih-kurang empat milyun gulden, termasuk uang sejumlah

70
560.000 gulden. Bupati-bupati Priangan lainnya yang juga berhasil
meningkatkan produksi tanaman wajib dan mendapat penghasilan
cukup besar adalah bupati-bupati Sumedang, Cianjur, dan
Sukapura. Dalam menjalankan kewajibannya, para bupati cukup
bijaksana. Bupati Bandung dan Bupati Sukapura misalnya, berhasil
pula memajukan pertanian rakyat dan menaruh perhatian besar
terhadap kehidupan rakyat umumnya. 67)
Keberhasilan para bupati itu diketahui oleh Gubernur
Jenderal J.C. Baud (1833-1836), pengganti Gubernur Jenderal J. Van
den Bosch. Ia pun mengakui, bahwa rakyat sepenuhnya berada di
bawah kekuasaan bupati. Pengakuan itu bahkan dinyatakan dalam
Peraturan Pemerintah (Regeeringsreglement/RR) tahun 1836. Sejalan
dengan pengakuan itu, Gubernur Jenderal Baud mengukuhkan hak
68)
bupati untuk mewariskan jabatan . Hal yang disebut terakhir
mengandung arti, pemerintah kolonial menempatkan kembali
bupati pada kedudukan sebagai kepala daerah.
Bupati yang dianggap “saudara muda” asisten residen, sejak
pertengahan abad ke-19, kedudukannya dalam struktur
pemerintahan kolonial, sejajar dengan asisten residen (lihat Lampiran
6). Namun demikian, tidak berarti bupati memiliki wewenang untuk
memerintah pejabat bawahan asisten residen, yaitu kontrolir.
Tak dapat dipungkiri bahwa di antara bupati di Priangan
waktu itu, ada juga bupati yang mabuk kekuasaan. Ia bertindak tegas

71
tanpa kebijaksanaan. Terdorong ingin menunjukkan loyalitas tinggi
– mungkin ingin mendapatkan imbalan jasa besar – ia bertindak
sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang menderita. Hal itu
tercermin dari surat perintah bupati Limbangan (berbahasa Jawa)
tertanggal 7 Januari 1848. Melalui surat itu, bupati Limbangan
memerintahkan para kepala cutak (wedana) untuk memeriksa
sawah-sawah desa dan menghukum rakyat yang membangkang.
Dalam surat perintah itu antara dinyatakan :
“..... Seoempama ana sawah kang doeroeng dén samboet, ikoe
wang doewé sawah koedoe dén pentrang belok ing galangan sawahé
sedino.....” 69)
(“..... Kalau ada orang yang belum mengerjakan
sawahnya, maka pemiliknya harus diikat kaki dan tangannya di
antara dua papan kayu selama satu hari di sawahnya.....”).

Apabila dianalisa lebih jauh, mungkin faktor penyebab


bupati bertindak sewenang-wenang itu bukan hanya motivasi ingin
menunjukkan loyalitas tinggi terhadap pemerintah kolonial, tetapi
karena banyak faktor. Tindakan bupati itu mungkin pula merupakan
kompensasi dari perasaannya yang tertekan oleh pejabat-pejabat
kolonial. Seperti telah disebutkan, para residen menghendaki agar
jabatan bupati dihilangkan dan mereka memperlakukan bupati
dengan pandangan hina. Hal ini sudah tentu menyakitkan hati
bupati, tetapi mereka tidak kuasa membalasnya. Terlepas dari

72
motivasi apapun, tindakan itu menyebabkan berkurangnya wibawa
bupati yang bersangkutan di mata masyarakat, bahkan menimbul-
kan kebencian rakyat kepadanya.
Masalah lain yang menimbulkan citra jelek pada bupati
adalah terjadinya pemerasan uang yang dilakukan oleh pejabat
pribumi terhadap rakyat melalui tradisi penyerahan wajib.70) Akibat
tindakan-tindakan seperti itulah maka timbul pembertonakan
rakyat, seperti yang terjadi di Cilegon (Banten) pada tahun 1888.
Sementara itu di negeri Belanda bangkit gerakan liberalisme
dengan ide-ide humaniter yang menentang Kultuurstelsel. Akibatnya,
sejak tahun 1860 pelaksanaan sistem penanaman wajib/paksa itu
bersangusr-angsru dihapuskan (lada tahun 1860, tebu tahun 1861,
merica tahun 1862, pala dan cengkeh tahun 1863, nila, teh dan
tembakau tahun 1865/1866). Akan tetapi penanaman wajib kopi di
Priangan tetap dipertahankan sampai tahun 1917.71) Hal ini menunjuk-
kan bahwa produksi kopi memiliki arti penting bagi pemerintah
kolonial, karena mendatangkan keuntungan finansial sangat besar.
Opisisi kaum borjuis liberal terhadap Kultuurstelsel semakin
santer dengan terbitnya tulisan Multatuli berjudul Max Havelar dan
tulisan Frans van de Putte, berjudul Suiker Contracten. Tulisan itu
membeberkan penderitaan rakyat serta penyalahagunaan kekuasaan
dalam pelaksanaan Kultuurstelsel.72)
Akibat santernya gerakan golongan liberal, akhirnya

73
Kultuurstelsel dihapuskan (1870). Tahun berikutnya Preangerstelsel,
kecuali penanaman kopi, juga berakhir. Di daerah Priangan lahir
peraturan baru melalui Preanger Reorganisatie (Reorganisasi Priangan)
yang dilaksanakan mulai 1 Juni 1871.73)
Salah satu realisasi dari reorganisasi itu, wilayah Priangan
dibagi ke dalam sembilan afdeling*. Pada umumnya afdeling diperintah
oleh assiten residen. Akan tetapi, ada pula afdeling yang diperintah
oleh patih afdeling (zelfstandige-patih). Kesembilan afdeling dimaksud
adalah :
1. Afdeling/Kabupaten Bandung, ibukota Bandung, bupati Radén
Adipati Wiranatakusumah IV, patih Radén Rangga Kusumadilaga.
2. Afdeling Cicalengka, ibukota Cicalengka dengan patih Radén
Demang Wiradikusuma.
3. Afdeling/Kabupaten Cianjur, ibukota Cianjur, bupati Radén
Tumenggung Prawiradireja, patih Radén Aria Wiradireja.
4. Afdeling/Kabupaten Sumedang, ibukota Sumedang, bupati
Pangéran Suria Kusumadinata, patih Radén Demang Sacadipraja.
5. Afdeling/Kabupaten Limbangan, ibukota Garut, bupati Radén
Adipati Surianatakusuma, patih Radén Rangga Angga-
adiwijaya.
6. Afdeling/Kabupaten Sukapura, ibukota Manonjaya, bupati
Radén Tumenggung Wiratanubaya IV, patih, Radén Rangga
Danukusuma.

74
7. Afdeling Sukapura Kolot, ibukota Mangunreja dengan patih
Radén Prawirakusuma.
8. Afdeling Tasikmalaya, ibukota Tasikmalaya dengan patih,
Radén Rangga Somanagara.
9. Afdeling Sukabumi, ibukota Sukabumi dengan patih Radén
Rangga Wangsareja.74)
Terjadinya reorganisasi di Priangan mengakibatkan kekuasaan
para bupati dalam pemerintahan merosot. Wilayah kekuasaannya pun
berkurang, karena dalam kenyataanya patih afdeling berkuasa penuh
di daerahnya, dan kekuasaan memerintah beralih ketangan residen.75)
Bupati tidak memiliki tugas-tugas pemerintahan yang berarti.
Mereka dipojokkan ke dalam status figur semata yang tidak mem-
punyai kekuatan di dalam sistim administrasi pemerintahan Hindia
Belanda.76)
Sejalan dengan kondisi tersebut – berdasarkan Peraturan
Pemerintah tanggal 10 Septemeber 1870 yang diberlakukan mulai 1
Januari 1871 – hak bupati untuk menarik pajak dalam bentuk uang,
hasil bumi, tenaga kerja, dan kerja wajib dari rakyat dihapuskan.77)
Akan tetapi, khusus di Priangan, hak bupati memperpoleh tenaga
kerja wajib (ngawula), terus berlangsung. Bupati di Priangan setiap
hari memiliki tenaga kerja wajib sebanyak 40 orang.78) Hal yang
disebut terakhir merupakan salah satu faktor yang membedakan
posisi bupati di Priangan dengan bupati di daerah lain.

75
Sebagai ganti atas hak-hak bupati yang dicabut, para bupati
kembali menerima surat pengangkatan sebagai pegawai pemerintah
dari gubernur jenderal (Besluit tanggal 5 Mei dan 20 Juni 1871).
Berdasarkan besluit itu para bupati Priangan menerima gaji cukup
tinggi dengan tunjangan cukup besar menurut ukuran zamannya,
ditambah pula oleh pendapatan dari persentase setiap kali menyerah-
kan hasil panen kopi. Waktu itu, jumlah uang gaji dan tunjangan
bupati di Priangan tiap tahun adalah sebagai berikut.
Dalam realisasinya, bupati menerima gaji tiap bulan. Setiap
kali menyerahan produksi kopi, bupati mendapat persen sebesar 1
Penerima Gaji Tunjangan Jumlah
Bupati Cianjur F 20.000 F 24.000 f 44.000
Bupati Bandung F 20.000 F 100.000 f 120.000
Bupati Sumedang F 20.000 F 24.000 f 44.000
Bupati Limbangan F 20.000 - f 20.000
Bupati Sukapura F 20.000 - f 20.000

gulden per pikul (± 62 kilogram), dengan ketentuan tidak lebih dari


30.000 gulden untuk bupati Cianjur, 82.000 gulden untuk bupati
Bandung, 30.000 gulden untuk bupati Sumedang, 10.000 gulden untuk
bupati Limbangan, dan 6000 gulden untuk bupati Sukapura.79)
Pendapatan para bupati itu bertambah lagi dari hasil sawah-lungguh
(kalungguhan) atau sawah carik, yang luasnya ratusan bahkan ribuan
bau.80)

76
Pendapatan para bupati di Priangan cukup mencolok bila
dibandingkan dengan pendapatan bupati-bupati di daerah lain.
Bupati Semarang dan Surabaya misalnya, masing-masing hanya
menerima gaji 14.000 gulden dan tunjangan 2.400 gulden per tahun.81)
Data tentang penghasilan bupati di Priangan, menunjukkan
bahwa para bupati di daerah itu – walaupun kedudukan mereka
dipojokkan menjadi pegawai yang tidak memiliki kekuatan dalam
sistim administrasi pemerintah – tetap memiliki fungsi dan peran
penting sebagai pengatur produksi agraria dalam eksploitasi kolonial.
Hal ini merupakan faktor lain yang menyebabkan posisi bupati di
Priangan berbeda dengan bupati di luar daerah Priangan.
Walaupun para bupati di Priangan umumnya memiliki
tanggungan keluarga dalam jumlah besar, tetapi karena penghasilan
tinggi dan kaya akan harta benda, mereka dapat hidup berkecukupan.82)
Pemilikan kekayaan, simbol-simbol status dan kebesaran, serta
kharisma pribadi, merupakan faktor-faktor pendorong bagi bupati
dalam upaya mempertahankan prestise dan wibawanya, bila mungkin
meningkatkannya. Keberadaan faktor-faktor itu berarti kekuasaan
atau paling tidak pengaruh bupati terhadap rakyat, tetap ada.
Pengaruh, walaupun merupakan bentuk lunak dari
kekuasaan dan sering kurang efektip daripada kekuasaan, tetapi
mengandung unsur psikologis dan menyentuh hati, sehingga
seringkali cukup membawa hasil.83) Rupanya hal itu disadari oleh

77
para bupati di Priangan waktu itu.
Dengan pengaruh yang masih ada pada dirinya, para bupati
berusaha untuk menjalankan fungsi kepemimpinan tradisionalnya.
Di samping mengatur penanaman kopi untuk kepentingan pemerinah,
mereka pun berusaha mem-perhatikan aspek-aspek kehidupan sosial,
baik bidang ekonomi dan pembangunan daerah maupun bidang
kebudayaan, dan lain-lain.
Usaha-usaha para bupati itu tidak bertentangan dengan
instruksi pemerintah kepada meraka.84) Oleh karena itu pemerintah

Bupati Galuh
R.A.A. Kusumadiningrat (1839 - 1886)

78
tidak ragu-ragu memberikan tanda jasa dan kehormatan kepada
para bupati. Misal, Bupati Galuh Radén Adipati Aria Kusumadiningrat
atau Kangjeng Prebu (1839-1886) memperoleh payung kebesaran,
Songsong Kuning (Besluit Tahun 1874 No.1 ) dan bintang Ridder in de
Orde van den Nederlanschen Leeuw (Besluit 18 Februari 1878 No. 7) atas
jasanya mendirikan tiga buah pabrik penggilingan kopi, membuat
jalan antara Panjalu–Kawali, membangun beberapa irigasi, mem-
buka sawah beribu-ribu bau, dan mendirikan Sakola Sunda di Ciamis
dan Kawali (1876).85)
Bupati Bandung, Radém Adipati Wiranatakusumah IV
(1846-1874) selain berhasil meningkatkan produksi kopi, ia berjasa

Bupati Bandung (1846-1874)


R.A.A. Wiranatakusumah IV (Dalem Bintang)

79
dalam memajukan pertanian antara lain melalui perluasan areal
sawah, dan pembangunan daerah. Atas jasanya ia mendapat Bintang
Ridder in de Orde van den Nederlanschen Leuw, sehingga ia terkenal
dengan julukan “Dalem Bintang”.86) Pengganti-nya, Radén Adipati
Kusumadilaga (1874–1893) berhasil memajukan kehidupan
ekonomi rakyat melalui koperasi.87)
Bupati Limbangan/Garut, Radén Adipati Wiratanudatar
(1871-1915) memajukan rakyatnya dalam urusan perdagangan dan

Bupati Bandung (1874-1893)


R.A. Kusumahdilaga

80
bidang pendidikan. Atas jasanya, kedua bupati yang disebut terakhir
mendapat penghargaan berupa Bintang Officier in de Orde van
Oranje Nassau dan Bintang Mas.88)
Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja (1882-1919)
mendapat Bintang Mas atas jasanya menanggulangi wabah penyakit
dan memajukan daerahnya. Pada tahun 1906 ia menerima Songsong
Kuning.89)
Bupati seangkatannya, yaitu Bupati Bandung Radén Adipati
Aria Martanagara (1893-1918) berhasil meningkatkan produksi kopi,

Bupati Sumedang (1882 - 1919)


R.Pangeran Suriaatmaja

81
Bupati Bandung (1893 – 1918)
R.A.A Martanagara
memproduksi genteng untuk rumah-rumah penduduk, membangun
sejumlah irigasi dan jembatan, mengadakan gerakan penanaman
ketela pohon, membuka dan memperluas daerah pesawahan, dan
lain-lain. Atas jasanya ia memperoleh penghargaan berupa Bintang
Mas (Besluit 27 Agustus 1900 No. 2) dan gelar adipati (Besluit 29
Agustus 1906). Dalam bulan yang sama tahun 1909 ia mendapat
Songsong Kuning (Besluit 26 Agustus 1909 No. 30). Dari raja Siam
yang berkunjung ke kota Bandung, Radén Adipati Aria Martanagara

82
menerima tanda kehormatan Officier Kroon Orde van Siam.90) Bupati
ini terkenal pula sebagai bupati pujangga. Karyanya antara lain
Babad Sumedang, Wawacan Batara Rama, Wawacan Angling Darma,
dan Babad Radén Adipati Aria Martanagara (otobiografi).
Bidang kebudayaan/kesenian juga mendapat perhatian para
bupati. Misal, Bupati Bandung, R.A.A. Wiranatakusumah V (1918-
1930/31) menghidupkan kesenian wayang (wayang golek, wayang
kulit, dan wayang wong).
Bupati lainnya yang mendapat tanda penghargaan dari pemerintah
kolonial ialah Bupati Cianjur, Radén Prawiradireja (1863-1910)

Bupati Bandung (1918 – 1930/31)


R.A.A. Wiranatakusumah V

83
mendapat gelar adipati. Bupati Sukapura, Radén Wirahadiningrat
(1874-1906) juga memperoleh gelar yang sama dan Bintang Oranye
Nassau.91) Atas jasanya mengembangkan Kabupaten Tasikmalaya ter-
masuk kehidupan masyarakatnya, Bupati Tasikmalaya, R.A.A.
Wiratanuningrat (1908-1937) memperoleh tanda jasa berupa Bintang
Offisier der Orde van Oranje Nassau (Besluit 24 Agustus 1922 No.
39).
Kinerja para bupati tersebut menunjukkan, bahwa bupati di
Priangan umumnya – walaupun mereka menjadi aparat pemerintah

Bupati Cianjur (1863 - 1910)


R.A.A. Prawiradiredja II dan keluarga
kolonial – tetap melaksanakan fungsi sebagai pelindung rakyat. Hal
itu memang sudah pada tempatnya, karena bila tidak, mereka akan
kehilangan kedudukan, khususnya kedudukan dan otoritas sebagai

84
pemimpin tradisional. Keberhasilan para bupati tersebut menunjuk-
kan, bahwa mereka–sekalipun menjadi objek kekuasaan kolonial–tetap
memiliki kekuasaan untuk menggerakkan rakyat sebagai objek kekuasaan
bupati.
Dalam bidang pendidikan, Bupati Sumedang, Pangéran
Suriakusumah Adinata (1836 – 1882) adalah salah seorang pelopor
pendiri sekolah di Priangan, bahkan ada sekolah yang dibangun atas
biaya sendiri (1867). Salah seorang gurunya adalah orang Belanda
bernama G. Warnaar..92) Hal yang disebut terakhir, pada satu sisi menunjuk-
kan bupati memiliki hubungan baik dengan orang Belanda yang
bukan pejabat pemerintah. Pada sisi lain, orang Belanda dimaksud
memiliki perhatian besar terhadap pendidikan pribumi. Namun boleh
jadi sikap orang Belanda itu mengandung tujuan politik, yaitu agar
bupati dan rakyat pribumi loyal terhadap orang Belanda. Hubungan
bupati dan pejabat pribumi lainnya dengan pejabat pemerintah
kolonial dan orang Belanda/Eropa sipil menyebab-kan unsur tertentu
budaya Barat masuk ke dalam kehidupan pejabat pribumi. Unsur
budaya Barat juga masuk ke dalam kehidupan kalangan masyarakat
pribumi antara lain melalui pendidikan formal yang diselenggarakan
oleh pemerintah kolonial.
Munculnya sekolah-sekolah, baik yang didirikan oleh
pemerintah maupun swasta, justru mengakibatkan kedudukan bupati
menjadi tergeser oleh munculnya elit baru karena pendidikan. Sejak

85
awal abad ke-20, pergantian bupati tidak lagi didasarkan pada
kelahiran, melainkan atas dasar pendidikan. Hal ini sejalan dengan
dihapuskannya hak bupati untuk mewariskan jabatan.93) Sementara
itu, fungsi dan peranan bupati sebagai pengatur produksi agraria
cenderung beralih ke tangan para pengusaha swasta Belanda/Eropa.
Namun demikian, sampai dengan akhir abad ke-19, bupati
tetap memiliki kharisma pribadi dan pengaruh di masyarakat–karena
struktur sosial setempat–, walaupun tidak sekuat seperti waktu
ia/mereka sedang jaya. Hal itu berarti, bupati – meskipun kedudukan-
nya terdesak oleh elit baru karena pendidikan–tetap memiliki
kekuasaan, karena pengaruh adalah bentuk lunak dari kekuasaan.

86
CATATAN BAB III

1) de Graaf, 1987: 49, 140.


2)
Schrieke, 1974 : hal. 58-60. Penguasa Mataram meminta Kompeni mem-
bantu mengatasi konflik di antara putera-putera Sunan Amamgkurat I serta
gangguan orang-orang Makasar dan Madura di Jawa Timur dan Pantai
Utara Pulau Jawa.
3)
Soeria Nata Atmadja, 1940 : hal. 7 dan de Haan, II, 1911 : 261, cf. Raffles,
1982 : hal. 192.
4)
Schrieke, 1974 : hal. 59-60, cf. Encyclopaedie van Nederlandsch Oost
Indie, I, 1977 : 411 dan Alisjahbana, 1954 : hal. 7.
5
de Klein, 1931 : hal. 13-14 dan Natanegara dalam Volks Almanak Soenda,
1936 : hal. 73-74, cf. de Jonge, 1875 : 166-172 dan de Haan, III, 1912 : hal.
52. Dalam pemberian cacah kepada kepala-kepala daerah di Priangan
waktu itu, bupati Bandung tidak disebut.
6)
de Klein, 1931 : hal. 30, van Rees, 1880 : hal. 89, dan Kern, 1898 : hal. 15.
Mengenai peranan Pangéran Aria Cirebon sebagai Bupati Kompeni, lihat
tulisan Sukmana (1984).
7)
Sutherland, 1975 : hal. 69-70.
8)
Kartodirdjo, 1980 : hal. 15, cf. Schrieke, 1974 : hal. 58.
9)
Kartodirdjo, 1982 : hal. 232.
10)
Menurut van Hogendorp, waktu itu bupati memiliki lebih-kurang 500
orang hamba sahaya (Burger, I, 1962 : hal. 113).
11)
Sutherland, 1979 : hal. 7.
12)
Semula hasil panen kopi dari Priangan diserahkan kepada Kompeni
melalui “Bupati Kompeni” (Pangéran Aria Cirebon) yang berkedudukan
di Cirebon. Setelah Pangéran Aria Cirebon meninggal (1723), penyerahan
kopi dibagi dua jalur. Bupati Sumedang, Bandung, dan Parakanmuncang
menyerahkan kopi langsung ke Batavia, tetapi bupati Limbangan,
Sukapura, dan Galuh tetap menyerahkannya ke Cirebon (Kern, 1898 :31-
32).

87
13)
Kern, 1898 : hal. 30-31, Volks Almanak Soenda, 1922 : hal. 158, Mayer,
1889 : hal. 33, dan Koesoemahatmadja, 1978 : hal. 45.
14)
de Klein, 1931 : hal. 39, cf. Kern, 1898 : hal. 31 f.
15)
Alisjahbana, 1954 : hal. 8.
16)
Soeria Nata Atmadja, 1940 : hal 7.
17)
de Klein, 1931 : hal. 4-5 dan Koesoemahatmadja, 1978 : hal. 43.
Satu pikul sama dengan ± 62 kilogram.
18)
Di daerah Priangan Timur disebut pundut-pundén.
19)
van Meerten, 1887 : hal. 17-22 dan Burger, I, 1962 : 201.
20)
Holle, 1869 : hal. 318.
21)
Kartodirdjo, 1980 : hal. 24, Soeria Nata Atmadja, 1940 : hal. 160-161 dan
Natanegara, 1937 : hal. 278-281.
22)
Koesoemahatmadja, 1978 : 45. Bupati Sumedang R.Adipati Tanubaya II
(1775-1789) memiliki hutang kepada pejabat Kompeni (Komisaris W.v.
Helvetius) sebesar 65.154 ringgit. Hutang itu dibayar secara diangsur dari
presentase penyerahan hasil tanaman wajib, tetapi tidak sampai lunas.
Akibatnya R.Adipati Tanubaya II dipecat dari jabatannya, kemudian
diasingkan ke Batavia (de Haan, IV, 1912 : 328-329 dan Natangera, ., cf.
Vlekke, 1961 : hal. 199).
23)
Soeria Nata Atmadja, 1940 : hal. 18, 160-161.
24)
VOC bangkrut kemudian bubar disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain kalah bersaing dengan pedagang Perancis dan Inggris dalam kekuatan
ekonomi dan militer, pegawai-pegawai VOC melakukan korupsi dan
kecurangan lain, VOC selalu rugi karena pengeluaran biaya lebih besar
dari pendapatan (Koesoemahatmadja, 1978 : hal. 46).
25)
Waktu itu Negeri Belanda dikuasai oleh pemerintah Perancis. Akibatnya,
sejak tahun 1806 pemerintahan Bataafsche Republiek berubah menjadi
Koninkrijk Holland (Kerajaan Belanda), diperintah oleh Lodewijk
Napoleon. Tanggal 18 Januari 1807 H.W. Daendels diangkat menjadi
gubernur jenderal di Nusantara yang disebut Hindia Belanda (Coolsma,
1881 : hal. 42 dan Bastin, 1957 : hal.15). Daendels tiba di Anyer (Jawa
Barat) tanggal 1 januari 1808 (Kleyn, 1889 : hal. 30 dan Kern, 1898 : hal.

88
33).
26)
de Klein, 1931 : 52-53, de Haan, IV, 1912 : 332, Schrieke, 1974 : 71 dan
Soeria Nata Atmadja, 1940 : hal. 161-162.
27) Daendels, 1814: 39-40; van Rees, 1880: 100.
28) Day, 1966: 164-167, cf. van der Kroef, 1954: 4)
29)
Sehubungan dengan pembangunan Jalan Raya Pos di daerah Bandung,
ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak (Dayeuhkolot
sekarang) ke kota Bandung yang didirikan di tepi Barat Sungai
Cikapundung, bagian tengah daerah Bandung. Kota itu diresmikan dengan
besluit tanggal 25 September 1810 (Volks Almanak Soenda, 1939 : hal. 96,
cf. van der Chijs, 1897 : hal. 210).
30)
Di daerah Sumedang, pembangunan Jalan Raya Pos melewati tebing
bercadas dipimpin oleh Bupati Sumedang Pangéran Kusumadinata yang
mendapat jukulan Pangeran Kornel. Atas peranan dan jasanya, maka jalan
di lokasi itu disebut “Cadas Pangéran”.
31)
Soeria Nata Atmadja, 1940 : hal. 162.
32)
Natanegara, 1938 : hal. 91.
33)
de Klein, 1931 : hal. 56.
34)
de Klein, 1931: hal. 52,54,56 dan Natanegara, 1939 : hal. 86, cf. van
Rees, 1880 : hal.110-111. Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang,
dan Parakanmuncang kemudian menjadi wilayah keresidenan yang
disebut Preangerlanden (1815). Sejak tahun 1818 sebutannya
diubah menjadi Preanger-Regentschappen.
35)
Natanegara, 1939 : hal. 86, cf. Hoofdcommitte, 1932 : hal. 24.
36)
Sastrahadiprawira, 1931 : hal. 746.
37)
Sumber sama dengan catatan nomor 30.
38)
de Haan, IV, 1912 : hal. 335.
39)
Basoeni, 1956 : hal. 149, cf. Affandie, 1969 : hal. 5 dan Pikiran Rakyat, 27,
XIV, 20 April 1979 : hal. 5. Kampung Balubur Hilir kemudian berganti
nama menjadi Kampung Merdika.
40)
Mangunhardjana SJ., 1976 : hal. 12.
41)
Arsip Collectie J. van Bosch, Inv. No. 380. ARA, Den Haag, cf. van Rees,
1867 : hal. 117 dan Soeria Nata Atmadja, 1940 : hal. 20.

89
42)
Volks Almanak Soenda, 1922 : hal. 227 dan Encyclopaedi van
Nederlandsch Indie, 1927 : hal. 357. Sebutan “Kornel” berasal dari kata
kolonel.
43)
Raffles, I, 1978 : hal. xxvi-xxvii, Ricklefs, 1981 : hal. 108-109, dan
Koesoemahatmadja, 1978 : hal. 48, cf. de Graaf, 1949 : hal. 372.
44)
Raffles, I, 1978 : hal. 267 dan de Klein, 1931 : hal. 68.
45)
de Klein, 1931 : hal. 69-70 dan Schrieke, 1974 : hal. 73-74.
46)
de Klein, 1931: hal. 69 dan van Rees, 1880 : hal. 130.
47)
Soeria Nata Atmadja, 1940 : hal. 154.
48)
Natanegara, 1939 : hal. 88, cf. Ekadjati et al. 1982 : hal. 120-121.
49)
VBG, XXXIX, 1880 : hal. 10.
50)
Alisjahbana, 1954 ; hal. 9, cf. Kartodirdjo, IV, 1975 : hal. 61 dan
Kartodirdjo, 1982 : hal. 232, cf. Sastrahadiprawira, III, 46, 1931 : 791.
51)
Arsip Priangan, Bundel No. 36.7, cf. Natanegara 1939 : hal. 97 dan
Alisjahbana, 1954 : hal. 9.
52)
Alisjahbana, 1954 : hal. 9-10.

53)
Pernyataan Heyting tertuang dalam tulisannya berjudul “Staat de
adel op Java nog steeds aan de spits van het volk?”, Indische Gids,
37, 1925 : hal.770. Pandangan seperti itu diungkapkan pula dalam
tulisan M.F Winkler, “Zijn de Regenten op Java Volkshoofden?”,
Koloniale Studien, llde jrg., 2de deel, 1927 : hal. 153-173.
54)
Alisjahbana, 1954 : hal. 10, cf. Winkler, 1927 : hal. 158.
55)
Sutherland, 1979 : hal. 10.
56)
Ibid. dan Alisjahbana, 1954 : hal. 10. Payung kebesaran (songsong)
diberikan pula kepada putera-putera bupati. Warna simbolik payung
disesuaikan dengan tingkatan pangkat bupati dan status putera-puteranya
(lihat Lampiran 4).
57)
Alisjahbana, 1954 : hal. 10.
58)
Sutherland, 1979 : hal. 10, cf. Mayer, I, 1889 : hal. 30-37.
59)
Pembahasan mengenai Kultuurstelsel, lihat C. Faseur, Kultuurstelsel en
Koloniale Baten; De Nederlandse Exploitatie van Java 1840-1860. Leiden

90
: Universitaire Press, 1978.
60)
Kartodirdjo, et al., 1975 : hal. 68, cf. Schrieke (ed.), 1929 : hal. 109.
61)
Sutherland, 1979 : hal. 10, cf. Koesoemahatmadja, 1978 : hal. 71.
62)
Soeria Nata Atmadja, 1940 : hal. 154.
Jumlah personil Pemerintah Hindia Belanda waktu itu masih sangat
sedikit. Sampai tahun tahun 1865 pejabat Eropa di Pulau Jawa tidak lebih
dari 175 orang (Fasseur, 1978 : hal 9). Untuk mendatangkan tenaga dari
Belanda dalam jumlah banyak tidak mungkin, karena biayanya jauh lebih
mahal dibandingkan dengan biaya pemakaian elit pribumi (Onghokham,
1984 : hal. 5)
63)
Day, 1966 : hal. 297.
64)
Soeria Nata Atmadja, 1940 : hal. 154.
65)
Onghokham, 1984 : hal. 5.
66)
Schrieke ed.), 1929 : hal. 109, cf. Faseur, 1978 : hal. 9.
67)
Sastrahadiprawira, 1932 : 28f., cf. Gehiem Politiek Verslag der Residentie
Preanger-Regentschappen over het Jaar 1869, No. Kode 2.10.10.
68)
Soeria Nata Atmadja, 1940 : hal. 29-33, 55 dan Scrieke, ed. : 1954 : hal.
109.
69)
Termuat dalam tulisan K.F. Hole dalam TBB,1890, terbaca dalam
Sosrodihardjo, 1968 : hal.14. Surat perintah itu dibuat karena gagalnya
tanaman padi, dan hal itu diketahui oleh residen. Surat perintah berbahasa
Jawa menunjukkan meresapnya pengaruh Mataram di kalangan pejabat
pribumi di Priangan.
70)
Gehiem Politiek Verslag der Residentie Preanger-Regentschappen over
het Jaar 1869, No. Kode 2.10.10.
71)
Kartodirdjo et al., 1975 : hal. 86, cf. Sosrodihardjo, 1968 : hal.15 dan
Vlekke, 1961 : hal. 306.
72)
Kartodirdjo et al., 1975 : hal. 85, cf. Sosrodihardjo, 1968 : hal.15.
73)
de Klein, 1931 : hal. 119-124 cf. Martanagara, 1923: 20).
74)
Natanegara, 1939 : hal. 115-118, cf. TNI, 3,1, 1871 : hal. 440-441 dan
Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie 1871 : hal. 147-149.
75)
Asik Natanegara, 1939 : hal. 115-118, cf. Onghokham, 1984 : hal. 5.
76)
Benda, 1980 : hal.54-55.

91
77) TNI, 3,1, 1871 : hal. 442 dan de Klein, 1931 : hal. 124.
78)
Martanagara, 1923 : hal. 23.
79)
Ibid. : hal. 21, cf. Mayer, 1889 : hal. 43 dan de Klein, 1931 : hal. 125.
80)
Martanagara, 1923 : hal. 22-23 dan Wiraadikoesoema, tth : hal. 40.
81)
Mayer, 1889 : hal. 43.
82)
Sutherland, 1979 : hal. 22.
83)
Budiardjo (peny.), 1984 : hal. 11.
84)
Mayer, 1889 : hal. 32-37.
85)
Volks Almanak Soenda, 1921 : hal. 246 dan Sesjarah Galuh (Naskah), tth.
86)
Natanegara, 1939 : 115 dan Sastrahadiprawira, 1932 : hal. 28.
87)
Pemda Kabupaten Bandung, 1974 : hal. 145.
88)
Volksalmanak, I, 1919 : hal. 130.
89)
Martanagara, 1923 : hal. 27-30 dan Martanagara, 1941 : 81-83.
90)
Martanagara, 1923 : hal. 37-41.
91
Sastrahadiprwawira, 1932 : hal. 791.
92)
TNI, I, 1871 : hal. 369-370, cf. Sedjarah Galuh, tth. : hal. 81.
93)
Staatsblad 1913 No. 459.

92
BAB IV
KESIMPULAN

Di bawah kekuasaan Mataram, bupati di Priangan merupakan


elit penguasa yang memiliki otoritas penuh untuk memerintah di
daerah kekuasaannya. Kondisi itu dimungkinkan oleh sistim
pemerintahan Kerajaan Mataram dan letak geografi Priangan yang
jauh dari pusat kerajaan tersebut. Kedudukan bupati di Priangan baru
cenderung menurun pada bagian akhir kekuasaan Kompeni. Akan
tetapi, penurunan itu hanya terjadi pada kedudukan bupati sebagai
kepala daerah, akibat kekuasaannya dalam bidang pemerintahan
dibatasi.
Pada abad ke-19, kedudukan bupati sebagai kepala daerah
mengalami masa turun-naik, diawali oleh perubahan drastis, dari
bupati sebagai kepala daerah menjadi bupati sebagai aparat pemerintah
kolonial (pemerintah Hindia Belanda). Perubahan itu terjadi akibat
kebijakan pemerintah kolonial berupaya untuk menjalankan pemerintahan
langsung kepada rakyat tanpa perantaraan bupati.
Upaya pemerintah kolonial itu ternyata gagal, akibat kuat-
nya kedudukan dan peranan bupati sebagai pemimpin tradisional
serta ikatan feodal antara bupati dengan rakyat. Namun, struktur

93
pemerintahan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial,
mengakibatkan kekuasaan bupati menjadi berkurang. Kedudukan
dan kekuasaan bupati sebagai kepala daerah merosot akibat proses
birokrasi pemerintah kolonial.
Sistim pemerintahan tak langsung yang terpaksa dijalankan
oleh pemerintah kolonial, menyebabkan bupati berperan sebagai
perantara pihak kolonial dengan lembaga tradisional (komunitas
desa). Hal ini menyebabkan bupati memiliki peran ganda. Selaku
pemimpin tradisional, bupati harus bersikap dan bertindak dalam
ikatan feodal-tradisional. Sebagai aparat pemerintah kolonial bupati
harus menjalankan fungsi dan peranan sesuai dengan status tersebut.
Di sinilah letak keunikan posisi bupati pada masa kekuasaan kolonial,
khususnya pada abad ke-19.
Adanya fungsi dan peran ganda bupati menyebabkan para
bupati memegang peranan penting, baik di bidang politik pemerintahan
maupun dalam bidang ekonomi dan sosial budaya. Dalam bidang
politik, bupati berperan sebagai basis kekuasaan pemerintah kolonial.
Di bidang ekonomi, bupati di Priangan memegang peranan penting
dalam mekanisme produksi hasil bumi, terutama kopi, karena
pemerintah kolonial mempertahankan Preangerstelsel (Sistim Priangan).
Dalam bidang sosial budaya, bupati berperan sebagai inovator dalam
proses akulturasi kebudayaan antara budaya tradisional Sunda di
satu pihak dengan budaya Barat di pihak lain.

94
Dipertahankannya Preangerstelsel, pada satu sisi menyebab-
kan kedudukan bupati di Priangan berbeda dengan bupati di daerah
lain. Pada sisi lain, berlangsungnya Preangerstelsel menyebabkan
bupati dapat mempertahankan prestise, gaya hidup, dan pengaruh-
nya terhadap rakyat sebagai bentuk otoritas yang sah, paling tidak
otoritas sebagai pemimpin tradisional
Meskipun kedudukan bupati pada abad ke-19 mengalami masa
turun-naik, sejalan dengan silih bergantinya pimpinan pemerintahan
(gubernur jenderal) dengan politik yang berbeda-beda, tetapi prestise
dan pengaruh bupati terhadap rakyat tidak berubah, bahkan bertambah
besar. Simbol-simbol berupa gelar kepangkatan dan atribut-atribut
kebesaran lain yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada para
bupati, secara politis justru menambah prestise dan memperbesar
wibawa atau pengaruh bupati terhadap rakyat. Pemberian simbol-
simbol kebesaran itu berarti pemerintah kolonial justru mem-
perkuat feodalisme di kalangan bupati.
Sesungguhnya kebijakan pemerintah kolonial itu memiliki
dua tujuan. Pertama, untuk memperbesar loyalitas para bupati
kepada pemerintah. Kedua, agar bupati berperan lebih aktif dalam
proses produksi hasil tanaman wajib. Dalam proses itu, bupati men-
duduki posisi dan memegang peranan penting sebagai “kunci”
keberhasilan eksploitasi kolonial. Bagi bupati, hal itu justru menyebab-
kan ia/mereka mampu memelihara dan mempertahankan konsensus

95
masyarakat akan status bupati. Dalam pandangan masyarakat
tradisional, kedudukan bupati bersifat “sakral”. Pandangan itu
diperkuat oleh kenyataan, bahwa jabatan bupati berlangsung secara
turun-temurun, meskipun pemerintah kolonial tidak mengakuinya,
bahkan berupaya untuk menghapuskan hak istimewa bupati
mewariskan jabatan.
Hal itu menunjukkan keunikan posisi bupati dan peranan
pentingnya dalam hubungan kekuasaan dan kepentingan antara
pemerintah kolonial – bupati – rakyat. Dalam hubungan itu terjadi
ketergantungan antara satu pihak pada pihak lain. Berhasil-tidaknya
kehendak pemerintah kolonial, sangat tergantung pada bupati. Sebalik-
nya, kewajiban dan kehidupan bupati banyak tergantung pada
kebijakan pemerintah kolonial. Pada sisi lain, berhasil-tidaknya bupati
merealisasikan kehendak pemerintah kolonial, tergantung pada
kepatuhan rakyat. Sebaliknya, kehidupan rakyat banyak tergantung
pada kepemimpinan dan kebijakan bupati.
Posisi dan peranan bupati dalam hubungan yang mengandung
sifat ketergantungan itu, dapat digambarkan sebagai berikut.

96
Dalam hubungan saling ketergantungan itulah makna
pentingnya kedudukan (posisi) dan peranan bupati di Priangan pada
masa kolonial, khususnya sampai akhir abad ke-19, baik bagi
pemerintah kolonial maupun bagi masyarakat tradisional. Pada dasar-
nya, hal itu pula yang menyebabkan pemerintah kolonial tidak kuasa
menghapuskan kedudukan bupati sebagai kepala daerah, apalagi
sebagai pemimpin tradisional yang kharismatis.
Hal-hal tersebut menunjukkan, bahwa kedudukan bupati
yang mengalami perubahan, baik pada zaman kekuasaan Kompeni
maupun pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, hanya kedudukan
bupati sebagai kepala daerah. Kedudukan bupati sebagai pemimpin
tradisional tetap kuat, karena berakar pada struktur sosial. Sebagai

97
pemimpin tradisional, bupati menduduki status tertinggi dalam
struktur sosial tradisional. Kedudukan itu diperkuat oleh ikatan
feodal antara bupati dengan rakyat yang melembaga menjadi tradisi,
bahkan diperkuat lagi oleh kebijakan tertentu pemerintah kolonial.
Faktor-faktor tersebut menyebabkan jabatan bupati secara turun-
temurun terus berlangsung, paling tidak sampai akhir abad ke-19.
Apakah bupati di bawah kekuasaan kolonial lebih cenderung
berfungsi dan berperan sebagai aparat kolonial daripada sebagai
pemimpin tradisional, pelindung rakyat, atau sebaliknya, tergantung
dari sudut mana kita menilainya. Namun, anggapan yang menyata-
kan bahwa bupati zaman kolonial adalah antek kolonial semata-mata
dan pemeras rakyat, adalah anggapan secara generalisasi yang keliru,
karena tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Peranan bupati zaman colonial, khususnya peranannya sebagai
kepala daerah, pengayom rakyat, layak untuk dipetik maknanya
sebagai pembelajaran. Hal itu sesuai dengan fungsi sejarah. Sejarah
tidak hanya memiliki fungsi informatif, tetapi juga memiliki fungsi
edukatif, bahkan fungsi pragmatis.

98
BIBLIOGRAFI

Arsip, Dokumen, dan Naskah :

“Berkas-Berkas Besluit dari Gubernur General NI Daerah


Priangan”. Arsip Priangan, No. 36.7. (Arsip Nasional,
Jakarta).
Bupati2 di Sumedang Tedak Kandjeng Pangeran Santri. (Dokumen Rukun
Wargi Sumedang ).
Geheim Politik Verslag der Residentie Preanger-Regentschappen Over 1860.
No. Kode 2.10.10 (?). ARA Den Haag.
Geheim Politiek Verslag der Residentie Preanger Regentschappen Over Jaar
1869. No. 2.10.10 (?) ARA Den Haag.
Regeerings Almanak van Nederlandsch-Indie. 1870-1907. Batavia :
Landsdrukkerij.
Sedjarah Galuh. Naskah ( Arsip Kabupaten Ciamis, t.th.).
Staatsblad 1820 No. 22
Staatsblad 1913, No. 459.

Buku :

Affandie, R. Moch. 1969.


Bandung Baheula. Djil. 2. Bandung : Guna Utama
Alfian, T. Ibrahim. 1985.
Sedjarah dan Permasalahan Masa Kini. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas
Gadjah Mada, 12 Agustus 1985.
Alisjahbana, Samiati. 1954.
A Preliminary Study of Class Structures Among the Sundanese in
the Prijangan. Thesis. Cornell University.

99
Basoeni. 1956.
Peringatan Kota bandung Setengah Abad. Bandung : Kotapraja
Bandung.
Bastin, John. 1957.
The Native Policies of Sir Stamford Raffles in Java and Sumatra; An
Economic Interpretation. Oxford : The Clarendon Press.
Benda, Harry J. 1980.
Bulan Sabit dan Matahari Terbit; Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang. Terj. Daniel Dhaikade. Jakarta : Pustaka
Jaya.
van den Berg, L.W.C. 1902.
De Inlandsch Rangen en Titels op Java en Madoera. 2de druk. 's-
Gravenhage : Martinus Nijhoff.
Berkhofer Jr., Robert F. 1969.
A Behavioral Approach to Historical Analysis. New York : The
Free Press.
Budiardjo, Miriam (peny.). 1984.
Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta : Sinar
Harapan.
Burger, D.H. 1962.
Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Djil. I, Tjet. 3. Saduran
Prayudi Atmosudiro. Djakarta : Pradnjaparamita.
van der Chijs, J.A. 1897.
Nederlandsch-Indisch Plakaatboek 1602-1811. Batavia :
Landsdrukerij.
Coban, J.L. 1970.
The City of Java; An Essays in Historical Geography. (Disertasi).
Berkeley : University of California.
Coolsma, S. 1881.
West Java. Rotterdam : Dunk.
Daendels, H.W. 1814.
Staats der Nederlandsche Oostindische Bezittingen Onder het Bestuur

100
van de Gouverneur Generaal Herman Willem Daendels. The
Hague.
Day, Clive. 1966.
The Policy and Administration of the Dutch in Java. Kuala
Lumpur : Oxford University Press.
Deenik, A.C. 1929.
Aanvullingen op Babad Pasoendan Djeung Ringkesan Babad
Hindia. Groningen : Wolters.
Djajadiningrat, Hoesein. 1983.
Tunjauan Kritis Tentang Sedjarah Banten; Sumbangan Bagi
Pengenalan Sifat Sifat Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta :
Djambatan.
Ekadjati, Edi S., 1982.
Cerita Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah Sunda. Jakarta :
Pustaka Jaya.
-------- et al. 1982.
Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme di Daerah Jawa Barat.
Jakarta : Depdikbud. Proyek IDSN.
Encyclopaedie van Nederlandesch-Indie. 1919. 2de druk, 3de deel. 's-
Gravenhage : Martinus Nijhoff.
Encyclopaedie van Nederlandesch-Indie. 1927. 2de druk, 5de deel. 's-
Gravenhage : Martinus Nijhoff.
Faseur, C. 1978.
Kultuurstelsel en Koloniale Baten; De Nederlandse Exploitatie van
Java 1840 – 1860. 2de druk. Leiden : Universitaire Press.
Gonggrijp, G. 1938.
Schets eener Economische Geschiedenis van Nederlandsch-Indie. 2de
druk. Haarlem : De Erven F. Bohn.
de Graaf, H.J. 1949.
Geschiedenis van Indonesie. 's-Gravenhage : W.van Hoeve.
--------. 1986.
Puncak Kekuasaan Matara;, Politik Ekspansi Sultan Agung.

101
Jakarta: Pustaka grafitispers.
Haan, F. de. 1910-1912.
Priangan; De Preanger Regentschappen Onder het Nederlandsch
Bestuur Tot 1811. Deel I – IV. Batavia : Kolff.
Hatmosuprobo, Suhardjo, 1970.
Bupati-Bupati di Djawa; Peran Sosial Mereka Pada Abad Ke-19.
Makalah Seminar Sedjarah Nasional II, 26-29 Agustus 1970
di Jogjakarta.
Holt, Claire, ed. 1972.
Culture and Politics in Indonesia. Ithaca, N.Y. : Cornell
University.
Indonesia. Depdikbud. 1981/1982.
Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Barat. Jakarta :
Depdikbud. Proyek IDKD.
de Jong, J.K.J. 1875.
De Opkomst van het Nederlandsch Gezag Over Java. 5de deel. 's-
Graven-hage : Martinus Nijhoff.
Kartodirdjo, Sartono. 1966.
Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial.
Jogjakarta : Seksi Penlitian Djurusan Sedjarah Fakultas
Sastra & Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.
--------- et al. 1975.
Sedjarah Nasional Indonesia. Jil. IV. Jakarta : Depdikbud.
---------. 1980.
The Regents in Java as Middlemen; A Symbolic Action Approach.
Papers of the Dutch – Indonesia Historical Conference.
The Netherlands.
---------. 1982.
Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia; Suatu
Alternatif. Jakarta : Gramedia.
---------, peny. 1984.
Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial. Jakarta : LP3ES.

102
Keller, Suzanne. 1984.
Penguasa dan Kelompok Elit Penentu Dalam Masyarakat Modern.
Terj. Zakaria D. Noor. Jakarta : Rajawali.
Kern, R.A. 1898.
Geschiedenis der Preanger-Regentschappen; Kort Overzigt. Bandung
: De Vries & Fabricius.
Kertinegara. (t.th.).
Sedjarah Dipati Ukur dan Kabupaten Sukapura. Cod. Or. 7858.
Leiden : Universiteit Leiden.
de Klein, J.W. 1931.
Het Preangerstelsel (1677 – 1871) en zijn Nawerking.
Proefschrift. Leiden : Rijks Universiteit.
Kleyn, R.H. 1889.
Het Gewestelijk Bestuur op Java. Proefschrift. Leiden :
Somerwil.
Koesoemahatmadja, Djenal Hoesen. 1978.
Peranan Kota Dalam Pemabngunan Ditinjau Secara Historis,
Yuridis, Komparatif, Sosiologis, Ekonomis dan Politis. Bandung :
Binacipta.
--------. 1978.
Perkembangan Fungsi dan Struktur Pamongpraja Ditinjau dari Segi
Sejarah. Bandung : Alumni.
van der Kroef, J.M. 1954.
Indonesia in the Modern World. Part 1. Bandung: Masa Baru.
Laswell, H.D. and A. Kaplan. 1950.
Power and Society. New Haven : Yale University Press.
Mangunhardjana SJ., A.M. 1976.
Kepemimpinan. Yogyakarta : Yayasan Kanisius.
Martanagara, R.A.A. 1923.
Babad Raden Adipati Aria Martanagara. Sumedang.
--------. 1941.
Babad Sumedang. Sumedang.

103
Mayer, L.Th. 1889.
Soerat Kandoengan Boeat Goenanja Segala Priajie-Priajie jang
Memegang Pekerdjaan di Tanah Gouvernemenan di Poelo Djawa
dan Madoera. I. Semarang : Van Dorp.
van Meertten, H.C. 1887.
Overzight van de Hervorming van het Preangerstelsel. Leiden :
Groen.
Mees, W. Fruin. 1925.
Geschiedenis van Java. II. Weltervreden : Volkslectuur.
Moertono, Soemarsaid. 1968.
State and Statecraft in Old Java; A Study of the Later Mataram
Period, 16th to 19th Century. Itchaca, N.Y. : Cornell University.
Parsons, Talcott. 1967.
Sociological Theory and Modern Society. New York : The Free
Press.
Pemda Kabupaten DT. II Bandung, 1975.
Ringkasan Sejarah Kabupaten Bandung. Bandung.
Poerwadarminta, W.J.S. 1966.
Kamus Umum Bahasa Indonesia. Tjet. ke-4. Djakarta : Balai
Pustaka.
Raffles. Thomas Stamford. 1982.
History of Java. I . Kuala Lumpur : Oxford University Press.
Raksakusumah, Said. 1963.
Ichtisar Perdjalanan Sedjarah Djawa Barat Sampai Tahun 1677.
Bandung : IKIP.
Ricklefs, M.C. 1981.
A History of Modern Indonesia c. 1300 to the Present. London :
Macmillan.
Schrieke, B., ed. 1929.
The Effect of Western Influence on Native Civilisation in the Malay
Archipelago. Batavia : Kolff.
--------. 1974.

104
Penguasa – Penguasa Pribumi. Jakarta : Bhratara.
Sofiani, Yulia. 2012.
R.A.A. Kusumadiningrat & R.A.A. Kusumasubrata; Gaya
Hidup Bupati-Bupati Galuh. Yogyakarta: Ombak.
Sosrodihardjo, Sudjito 1968.
Perubahan Struktur Masjarakat di Djawa. Djogdjakarta :
Karya.
Soejito, Irawan. 1984.
Sejarah Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jilid I. Jakarta :
Pradnya Paramita.
Soeria Nata Atmadja, R.A.A.A. 1940.
De Regenten Positie. Bandung : Nix.
Sukmana, Nina Herlina. 1984.
Peran Pangeran Aria Cirebon Sebagai Perantara Kompeni Dengan
Para Bupati Priangan. Skripsi. Bandung : Fakultas Sastra
Unpad.
Sutherland, Heater. 1970.
The Making of Bureaucratic Elite. Singapore : Heinemann
Books.
Vlekke, Bernard H.M. 1961.
Nusantara; A History of Indonesia. Bruxelles : A. Manteau S.A.
Volksalmanak, I. 1919.
Batavia : Landsdrukkerij.
Volks Almanak Soenda. 1921-1922, 1936-1938.
Batavia : Kolff.
van Vollenhoven, C. 1931.
Adatrecht van Nederlandsch Indie. Deel I. Leiden : Drill.
Widjajakusuma, R.D. Asikin. 1961.
Tina Babad Pasundan; Riwayat Kemerdikaan Bangsa Sunda
Saruntagna Karadjaan Padjadjaran Dina Tahun 1580. Bandung :
Kalawarta Kudjang.
--------- sareng R. Mohamad Saleh. 1960.

105
Rutjatan Sadjarah Sumedang Samemeh Sarta Nepi Ka Tjampurna
Djeung Kumpeni. I, 2. (t.t.) : Dana Guru.
Wilde, A. De. 1830.
De Preanger-Regentschappen op Java Gelegen. Amsterdam.
Wiraadikeosoema. tth.
Babad Galoeh – Imbanagara. (Indentitas penerbitan tidak
diketahui).

Majalah dan Surat Kabar :

Heyting, H.G. 1925.


“Staat de Adel op Java Nog Steeds aan de Spits van het
Volks?” Indische Gids, 37 : 770.
Holle, K.F. 1868.
“Geschiedenis der Preanger-Regenschappen”. TBG, XVII :
34-342.
--------.1869.
“Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-
Regentschappen”. TBG, XVII : 316-367.
Onghokham, 1983.
“Merosotnya Peranan Pribumi Dalam Perdagangan
Komoditi”. Prisma, 8, XII:15-.
--------.1984.
“Sejarah Birokrasi di Indonesia”. Kompas, 223, XIX : 4-5.
“Particulliere Scholen”. 1871. TNI, I : 81ff.
Pikiran Rakyat. 1979, 27, XIV, 20 April : 5.
“De Preanger Hervorming”. 1871. TNI, 3, 1 : 147 – 149.
van Rees, Otto. 1880.
“Overzigcht van de Geschiedenis der Preanger-
Regentschappen”. TBG, XXXI : 89- dan VBG, XXXIX,
1880 : 110-111.

106
Sastrahadiprawira, R. Memed. 1932-1933.
“Manondjaja Dajeuh Narikolot”. Parahiangan, 48- ( berseri).
Soeria di Radja. 1927.
“Dipati Oekoer”. Poesaka Soenda, V, 3-4, Maret – April : 43-
(berseri).
Sutherland, Heather. 1975.
“The Priyayi”. Indonesia, 19, April : 57-77.
Sutjipto, F.A. 1980.
“Struktur Biropkrasi Mataram”. Bacaan Sejarah, 6 Maret : 1-
15.
Winkler, M.F. 1927.
“Zijn de Regenten op Java Volkshoofden?” Koloniale Studien,
11, 2 : 153 – 173.

107
LAMPIRAN

108
Lampiran 1.

PIAGAM PENGANGKATAN
BUPATI SUKAPURA, BANDUNG DAN PRAKANMUNCANG
DARI SULTAN AGUNG

Penget srat piagem *)


Ingsoen soeltan Mataram kagadoeh dening ki-ngabehi Wirawangsa kang
prasatja maring ingsoen, soen djenengaken mantri agoeng toemenggoeng Wira-dadaha
Soekapoera, toemeng goeng W irangoenangoen Bandoeng , Tanoebaja
Prakanmoentjang, kang sami prasatja maring ingsoen.
Angadeg kandjeng soeltan angroewat kang tengen angandika dén pada
soeka wong agoeng sadaja, asoerak pitoeng pangkattan sarta angliliraken gamelan; lan
pasihan ratoe kampoeh belongsong ratna koemambang, doehoeng sampana kinjeng,
lan rasoekan, lan kandaga, lan lantéh, lan pajoeng-bawat, lan titihan, sarta titijang,
kawoelaning ratoe, wedana kalih welas desané wong tigang atoes, dén perdikakaken
déning wong agoeng Mataram, kang kalebetaken ing srat Panembahan Tjirebon,
pangéran Kaloran, pangéran Balitar, pangéran Madioen, panembahan Soeriabaija,
papatih Mataram sekawan, toemenggoeng Wiragoena, toemenggoeng Tanpasisingan,
lan toemenggong Saloran, toemenggoeng Singaranoe.
Kala anoerat ing dina saptoe tanggal ping sanga woelan Moeharam taoen
alip, kang anoerat abdining ratoe, poen tjarik.

Terjemahan :
Piagam dari kami sultan Mataram diberikan kepada Ki Ngabéhi
Wirawangsa yang setia kepada kami, diangkat menjadi Mantri Agung
Tumenggung Wiradadaha (untuk) Sukapura, Tumenggung Wiranagunangun
(untuk) Bandung, Tanubaya (untuk) Parakan-muncang, yang sama-sama
*)
Dikutip dari K.F. Holle, “Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen”, TBG,
XVII, 1869 : 341-343. (Garis bawah dari penulis).

109
setia kepada kami.
Berdirilah kangjeng sultan dan mengangkat tangan kanan (sambil)
bersabda, semua pembesar bergembira lah, bersorak tujuh kali dan
bunyikan gamelan; dan raja memberikan pakaian kebesaran berhiaskan
ratna kumambang, keris berpamor capung, pakaian, kotak kebesaran,
tikar, payung-bawat (payung kebesaran), kuda tunggang, dan abdi dalem,
12 wedana dan desa dengan penduduk 300 orang dibebaskan dari
kewajiban terhadap pembesar Mataram, seperti yang ditetapkan dalam
surat (piagam) Panembahan Cirebon, Pangéran Kaloran, Pangéran
Balitar, Pangéran Madiun, Panembahan Surabaya, empat patih Mataram,
(yaitu) Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Tanpasisingan,
Tumenggung Saloran, dan Tumenggung Singaranu.
Ditulis pada hari Sabtu tanggal 9 bulan Muharam tahun Alip,
yang menulis abdi raja, jurutulis.

110
111
Lampiran 3.

PIAGAM SULTAN AGUNG

UNTUK BUPATI SUKAKERTA

Penget soerat piagem saking ingsoen soeltan Mataram kagadoeh déning ki


wadana tanah Soekakerta, kang setja maring ingsoen, lahiring soerat piagem : ki
wadana soen perdikakaken sarta wewengkon Mandala, Tjipanaha, Bojongeureun,
ikoe kawerat déning ki wadana, ikoe adja ana kang anisikoedi sakarepé, angoelon
wates Banten ngalor ing Tjirebon, pitoeng padjenengan adja temoe maring ingsoen ana
déné tingkahé ki wadana miloe anglakoni gawé loeroeg maring oekoer, ikoe soen sedahi
Priangan kalih welas, sarta soen djenengaken mantri, ana déné patoet ki wadana ikoe
Wirawangsa, kang djeneng toemenggoeng Wiradadaha, nata Priangan wadana kalih
welas.
Titi ing soerat piagem, kala anoerat dina senén tanggal ping sanga sasih
Moeharam taoen djim achir.*)

Terjemahan :
Piagam dari sultan Mataram diberikan kepada wedana Sukakaerta
yang setia kepada kami, piagam ini menyatakan ki wedana dibebaskan dari
kewajibannya serta daerah kekuasaannya (adalah) Mandala, Cipanaha,
Bojongeureun, jangan ada yang menghalang-halangi kehendaknya, batas
sebelah Barat Banten, sebelah Utara Cirebon, tujuh turunan tak usah
menghadap kami, atas jasanya membantu menyerang Ukur, kami berikan
kepadanya 12 orang kepala di Priangan dan kami angkat menjadi mantri
(bupati), dan ki wedana harus memperhatikan (membantu) kakaknya
Wirasangsa yang diangkat menjadi Tumenggung Wiradadaha, yang
*)
Dikutip dari K.F. Holle, “Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen”, TBG,
XVII, 1869 : 343-344. (Garis bawah dari penulis).

112
memerintah 12 wedana Priangan.
Surat piagam ini ditulis pada hari Senin tanggal 9 bulan
Muhamarm tahun Jim Akhir.

113
Lampiran 4.

(Akhir Abad ke-17 – Awal Abad ke-20)*)

1. Galuh-Ciamis
1618-1625 : 1. Adipati Panaekan, putra Cipta Permana raja
Galuh terakhir.
1625-1636 : 2. Adipati Imbanagara, putra nomor 1.
1636-1642 : 3. Adipati Panji Aria Jayanagara, putra nomor 2.
1642-1677 : Kabupaten Galuh dipecah menjadi 4 bagian:
Bojong Lopang, Utama, Kawasen, dan
Banyumas.
1678-1693 4. R.A. Anghganaya, putra nomor 3.
1693-1706 5. R.A. Sutadinata, putra nomor. 4.
1706-1727 6. R.A. Kusumadinata (Kusumadinata I), putra
nomor 5.
1727-1751 7. R.A. Kusumadinata II, putra nomor 6.
1751-1801 8. R.A. Kusumadinata III, keponakan nomor 7.
1801-1806 9. R.A. Natadikusuma, putra nomor 8.
1806-1811 10. R.T. Surapraja, bupati penyelang dari
Limbangan. Pada masa pemerintaha bupati ini,
Kabupaten Galuh masuk ke dalam wilayah
Keresidenan Cirebon.
1811-1812 11. R.T. Jayengpati Kartanagara dari Cibatu.
1812 12. R.T. Natanagara. Dipecat karena tidak mampu
mengatasi pemberontakan di Nusambangan.
*)
Sumber : Regeerings Almanak van Nederlandsch -Indie (1870-1907), Volks Almanak
Soenda (1922, 1937), Dokumen Rukun Wargi Sumedang, Widjajakusumah (1961),
Encyclopaedie van Nedelandsch-Indie (1927), dan Pemda Kabupaten Bandung (1975),
dan Sofiani, 2012.

114
1812-1815 13. Pangeran Sutawijaya dari Cirebon.
1815-1819 14. R. Wiradikusuma. Semula Patih Galuh.
1819-1839 15. R.A. Adikusuma, putra nomor 14.
1839-1886 16. R.A.A. Kusumadiningrat, putra nomor 15.
1886-1914 17. R.A.A. Kusumasubrata, putra nomor 16.

2. Sumedang

1620-1624 : 3. R. Aria Suriadiwangsa (Bupati Sumedang


pertama merangkap
Wedana Bupati Priangan) bergelar Pangéran
Dipati Rangga Gempol Kusumadinata (Rangga
Gempol I).
1624-1633 : 4. Pangéran Dipati Rangga Gedé, anak nomor1.
Dalam kedudukan sebagai Wedana Bupati
Priangan pernah diselingi oleh Dipati Ukur.
1633-1656 : 5. Pangéran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata
II (Rangga Gempol II).
1656-1706 : 6. Pangéran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata
III (Rangga Gempol III) alias Pangéran
Panembahan.
1706-1709 : 7. R. Tumenggung Tanumaja, anak nomor 5.
1709-1744 : 8. Pangéran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata
IV (Rangga Gempol IV), anak nomor 6.
1744-1759 : 9. Dalem Istri Rajaningrat (Regentes)
1759-1761 : 10. R. Kusumadinata, cucu nomor 6.
1761-1765 : 11. R. Adipati Surianegara, kakak nomor 8.
1765-1773 : 12. R. Adipati Kusumadinata (Radén Adipati
Surialaga), adik nomor 9.

115
1773-1775 : 13. R. Adipati Tanubaya (mutasi, semula Bupati
Parakanmuncang).
1775-1789 : 14. R. Adipati Tanubaya II
1789-1791 : 15. R. Aria Sacapati (semula Patih Sumedang, orang
luar).
1791-1828 : 16. R. Tumenggung Surianegara (Adipati
Kusumanegara/Pangéran Kusumadinata alias
“Pangéran Kornél), anak nomor 11.
1828-1833 : 17. R. Adipati Kusumayuda, anak nomor 16.
1833-1836 : 18. R. Suriadilaga II (Dalem Sindangraja).
1836-1882 : 19. Pangéran Suriakusuma Adinata, anak nomor 17.
1882-1919 : 20. Pangéran Suriaatmaja, anak nomor 19.

3. Bandung

1633-1681 : 1. Tumenggung Wiraangunangun


1681-1704 : 2. Tumenggung Ardikusumah
1704-1747 : 3. Tumenggung Anggadireja I, anak nomor 2.
1747-1763 : 4. Tumenggung Anggadireja II (Demang
Natapraja), anak nomor 3.
1763-1794 : 5. Tumenggung Anggadireja III (Radén Adipati
Wiranatakusumah I),
anak nomor 4.
1794-1829 : 6. R. Adipati Wiranatakusumah II (Dalem Kaum),
anak nomor 5.
Ia adalah menantu Bupati Sumedang Pangéran
Kornél dan pendiri kota Bandung.
1829-1846 : 7. R. Adipati Wiranatakusumah III (Dalem
Karanganyar), anak nomor 6.

116
1846-1874 : 8. R. Adipati Wiranatakusumah IV (Dalem
Bintang), anak nomor 7.
1874-1893 : 9. R. Adipati Kusumadilaga (Dalem Marhum),
saudara nomor 8.
1893-1918 : 10. R. Adipati Aria Martanagara, cucu Bupati
Sumedang R. Adipati Kusumayuda.

4. Sukapura
1633- …... :1. Tumenggung Wiradadaha I (Ngabéhi
Wirawangsa)
……-1674 : 2. Tumenggung Wiradadaha II (Dalem Tambela),
anak nomor 1.
1674-1723 : 3. Tumenggung Wiradadaha III (R. Anggadipa),
anak nomor 2.
1723-1745 : 4. Tumenggung Wiradadaha IV (R. Subamenggala),
anak nomor 3.
1745-1747 : 5. Tumenggung Sacapati, cucu nomor 3,
keponakan nomor 4.
1747-1765 : 6. Tumenggung Wiradadaha V (R. Jaya
Anggadireja), anak nomor 5.
1765-1807 : 7. R. Adipati Wiratanubaya/R. Jayamenggala
(Dalem Pasir Tando), anak nomor 6.
1807-1811 : 8. R. Demang Anggadipa, anak nomor 7.
1811-1813 : Kabupaten Sukapura dihapuskan akibat bupati
tidak melaksanakan
perintah untuk menanam nila. Daerah Sukapura
dimaksukkan ke wilayah Limbangan. Masih
dalam tahun 1813 Kabupaten Sukapura dibentuk
kembali.

117
1813-1814 : 9. R. Adipati Surialaga II (mutasi, asal Bupati
Karawang).
1814-1828 : 10. R. Adipati Wiradadaha VI, anak nomor 7.
1828-1835 : 11. R. Tumenggung Wiratanubaya, saudara nomor
10. Manonjaya men-
jadi ibukota kabupaten.
1835-1854 : 12. R. Tumenggung Wiratanubaya III (Dalem
Sumérén), anak nomor 11
1854-1874 : 13. R. Adipati Wiraadegdaha (Dalem Bogor), anak
nomor 12.
1874-1906 : 14. R. Adipati Wirahadiningrat (Dalem Bintang),
saudara nomor 13.
Tahun 1901 ibukota kabupaten pindah ke
Tasikmalaya.
1906-1908 : 15. R. Tumenggung Aria Prawiradiningrat (Dalem
Aria), menantu Bupati Cianjur R. Adipati Aria
Prawiradireja.
1908- …... : 16. R. Adipati Wiratanuningrat, anak nomor 15.

5. Cianjur*)

1677-1691 : 1. R. Aria Wiratanu (Wiratanudatar I)


1691-1707 : 2. R. Aria Wiratanu II (Wiratanudatar II/Ngabéhi
Wiratanu), anak nomor 1.
1707-1726 : 3. R. Aria Wiratanu III (Wiratanudatar
III/Astramenggala/Dalem Di-
condré), anak nomor 2.

*)
Tahun pemerintahan beberapa bupati terdapat perbedaan dengan data dalam Surianingrat
(1982).

118
1727-1761 : 4. R. Adipati Wiratanudatar IV (Aria
Wiramenggala/Adipati Muhidin),
Anak nomor 3.
1761-1776 : 5. R. Adipati Wiratanudatar V (R. Wiranegara),
anak nomor 4.
1776-1813 : 6. R. Adipati AriaWiratanudatar VI, anak nomor 5.
1813-1830 : 7. R. Adipati Prawiradireja (Tumenggung
Wiradireja), saudara sepupu nomor 6.
1830-1834 : 8. R. Tumenggung Wiranegara (Dalem Tonggoh),
anak nomor 7.
1834-1863 : 9. R. Adipati Kusumaningrat (Dalem Pancaniti),
anak nomor 7.
1863-1910 : 10. R. Adipati Aria Prawiradireja II, anak nomor 9.
1912-1920 : 11. R. Tumenggung Wiranatakusumah, menantu
nomor 10, anak Bupati Bandung R. Adipati
Kusumadilaga.

6. Limbangan/Garut

……-1678 : 1. R. Nayawangsa
1678-1726 : 2. Kiyai Mas Martasinga, saudara nomor 1.
1726-1740 : 3. R. Wangsadita (R. Rangga Limbangan), anak
nomor 1.
1740-1744 : 4. R. Wangsadita II, anak nomor 3.
1744-1752 : 5. R. Surapraja, saudara nomor 4.
1752-1763 : 6. R. Tumenggung Wangsareja (R. Surapriya), anak
nomor 5.
1763-1799 : 7. R. Tumenggung Wangsareja II, saudara nomor
6.
April – Des. 8. R. Tumenggung Wangsakusuma, anak nomor 7.
1799

119
1799-1805 : 9. R. Tumenggung Wangsareja II (pengkatan kedua
kali).
1805-1813 : 10. R. Tumenggung Wangsareja III, cucu nomor 9.
1813-…… : 11. R. Tumenggung Adiwijaya (mutasi, asal Bupati
Parakanmuncang),
anak sulung Bupati Sumedang Pangéran Kornél.
……-1836 : 12. Pangéran Suriakusuma Adinata, cucu Pangéran
Kornél. Tahun 1836
dimutasikan menjadi Bupati Sumedang.
1836-1871 : 13. R. Tumenggung Jayaningrat, menantu nomor 12,
anak Bupati Cianjur R. Adipati
AriaWiratanudatar VI.
1871-1915 : 14. R. Adipati AriaWiratanudatar VIII, anak nomor
13.

120
Lampiran 5 a

PAYUNG KEBESARAN (SONGSONG)

Disalin dari Mayer, 1889: 83-84.


Keterangan:
1. Payungt untuk bupati pangkat pangéran (warna belum ditentukan).
2. Sosngsong Kuning sebagai tanda jasa untuk bupati pangkat
adipati.
3. Payung untuk bupati pangkat adipati.
4. Payung untuk putra adipati dari permaisuri.

121
5. Payung untuk putra adipati dari selir.
6. Payung untuk bupati pangkat tumenggung.
7. Payung untuk putra tumenggung dari permaisuri.
8. Payung untuk putra tumenggung dari selir.

122
Lampiran 5 b

Keterangan:
1. Payung untuk bupati pangkat ngabéhi dan rangga.
2. Payung untuk putra ngabéhi dari permaisuri.
3. Payung untuk putra ngabéhi dari selir.
4. Payung untuk patih.
5. Payung untuk penghhulu kabupaten.
6. Payung untuk hoofdwedana (wedana kepala), kliwon, dan mantri
besar.
7. Payung untuk wedana dan hoofddemang.
8. Payung untuk demang dan asisten wedana kelas I.

123
Lampiran 6
STRUKTUR PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA
DAN KABUPATEN ABAD KE-19
GUBERNUR JENDERAL

RAAD VAN INDIE

DIREK. VAN CULTUR DIREK. VAN JUSTITIE DIREK. VAN BINENLAND DIREK. VAN BINENLAND
BESTUUR BESTUUR

R E S IDE N

BUPATI ASIST. RESIDEN

PATIH CONTROLEUR

W EDANA

ASIST. WEDANA

KEPALA DESA

Keterangan:
Garis komando/instruksi

124
INDEKS

A Gladag 4
abdi dalem 41 hak istimewa 30, 41
Adipati 30, 48 istilah/pengertian 3
Adiwijaya, R.T.A. 45, 51 kedudukan 1, 5-6, 7, 23, 25, 30,
Afdeling 60 53, 75, 77, 78
Agung, Sultan: lihat Sultan Agung kekuasaan 5, 7, 26, 30, 61, 75
Negara: lihat Negara kepemimpinan 7, 51
ajeg 22, 32 Kompeni 71, 35, 36, 37
Amangkurat, Sunan 22 otoritas 27, 75
Anggaadiwijaya, R. Rangga 60 pemimpin tradisional 7, 75,76
Anggadipa, R. Demang 46 pengaruh 12
Aria 30, 48 peranan 1, 6, 7, 75, 78
Astamanggala, Ki 21 pergantian 70
vasal 23, 26

B
Bagus Rangin 51 C
Bandung 6, 20, 21, 34, 44, 46-47 cacah 28, 29, 35
Bupati 21, 22, 44, 48, 57, 60, 62, Cadas Pangëran 72
64, 65, 66, 68 Capellen, van der 52, 53, 54
Banjar 23 Ciamis 34
Banten 17, 18, 19, 23 Cianjur 19, 34, 44, 46, 47, 51, 57,
Banyumas 17, 23 60
Batavia 18, 19, 20, 27, 37, 46 Bupati 44, 57, 60. 62, 68
Baud, J.C. 57, 58 Cicalengka 60
Bogor 17 Cihaurbeuti 21
Bojonglopang 22, 35 Cilegon 59
Bosch, van den 54, 55, 57 Cipamali 17
Bupati Cirebon 17, 35, 37, 46
fungsi 8 Pangeran Aria 71
gaji 62 Cisadane 17
Gedong 4 Cutak, Kepala 28, 45

125
D Jansens, Jan Willem 49
Daendels 13
dalem 27
Danukusuma, R. Rangga 60 K
Dayeuhluhur 23 kandaga 27
demang 28 Karawang 19, 22, 51
Dipati Ukur 19, 21, 22, 23, 27 Kawasen 22, 35
Kawali 64
kawula 36
F Kebayan 24
feodal kekuasaan
Ikatan konsep 8, 9
tradisional teori 11
tradisional 70
kepemimpinan
G kharismatik 7, 79
Galuh 17, 20, 22, 34, 35, 46 tradisional 7, 10, 11
Bupati 63, 64 Keresidenan 50
Garut 60 Kliwon 24
Geusan Ulun 17, 18 Komisaris Jenderal 52
Grote Postweg, lihat Jalan Raya Pos Kompeni 1, 5, 18, 19, 21, 31, 34-
38, 39, 41, 42, 75, 79
kopi 1, 37, 39, 41, 46, 64
H Kultuurstelsel 1, 54, 59, 60
hamba sahaya 71 Kusumadilaga, R.A. 64
Harisbaya, Ratu 18, 32 Kusumadilaga, R. Rangga 60
Holle 18 Kusumadinata, Pangeran.44, 49, 60
Kusumanegara, P. Adipati 49
Kusumadiningrat, R.A.A. 63, 64
I Kutamaya 17
Imbanagara 22, 35
L
J Limbangan 19, 34, 46, 47, 58, 60,
Jakarta 17 62, 66
Jalan Raya Pos 44 landdrost 43, 44

126
landdrostambten 43, 50 Pakuan 17
Leiden, Belanda 13 Pajak
Lurah Carik 24 Cuke 39, 40
Pasedekah 40
Pupundutan 40
M Pamanukan 19
Madura 19 Panaékan, Adipati 18
Mancanegara 4, 25, 26, 31 Panatayuda, Tumenggung 22
Mangunreja 61 pangéran 23, 30, 32, 48
Manonjaya 60 Pangeran Kornel 44, 48
Mantri Jajar 24 Panjalu 64
Martanagara, R.A.A. 66-67 panutan 1, 30
Mataram Parakanmuncang 20, 21, 22, 29, 34,
kekuaaan 19, 23, 35, 36, 75 35, 45, 46, 47
kerajaan 17, 18, 20, 22, 25, 34, Bupati 21, 47, 51
75 Papatih 24
Raja 18, 23, 27, 39 Patih 28
ménak 27 Afdeling 61
Patinggi 25
payung kebesaran 53
N piagem 21
Negara pikul 39
Agung 24 Prawiradireja, Radén 60, 68
Gedë 24 Prawirakusuma, R. 61
Kutagara 24 Preangerlanden 72
Ngabehi 24 Preanger Regebtschappen 72
Ngastanagara, Ngab?hi 22 Preanger Reorganisasi 60, 61
ngawula 30 Preangerstelsel 2, 5, 14, 37, 42, 45,
nila 47 54, 75, 76
nyanggrah 30 prefect 43, 44
prefecture 43, 50
pulung 29, 31
P
Pagustën 1, 27
Pajajaran R
Kerajaan 17 Raffles..13, 50, 51

127
Rangga Gede 19, 20
Rangga Gempol 19, 22, 23, 27
Residen 50, 53 T
Asisten 50, 53 Tanubaya, Tumenggung 22, 71
Taraju 29
Tasikmalaya 61
S Timbanganten 35
Sacadipraja, R. Demang 60 Tenaga kerja
Salatiga 49 ngawula 40, 61
Sampang 27 pancendiensten 40
Saptonan 33 Tumenggung 30, 48
sëba 31
Semarang 46
Senenan 30
Senopati, Panembahan 17 U
Sindangkasih 21 Ukur, lihat Dipati Ukur
Somahita, Ki 21 Umbul 21, 37
Somanagara, R. Rangga 61 Undak-usuk 33
songsong 27, 64, 66
Sukabumi 61
Sukapura 19, 20, 22, 29, 34, 35, 46, V
60 vasal 43
Bupati 21, 46, 47, 57, 60, 69 VOC 33, 36, 43, 71
Kolot 61
Sukakerta 30
Sultan Agung 18, 19, 20, 21, 22, 30 W
Sumedang 17, 19, 20, 34, 47 wahyu 28, 29, 31
Bupati 23, 44, 51, 62, 66 Wangsareja, R. 47, 50, 61
Larang 17, 18 Wedana Bupati 4, 19, 20, 23, 25
Surakarta 4 Wedana vasal 18
Suriaatmaja, Pangëran 66 Wira Tanureja 47
Suriadiwangsa, R.A. 18, 19 Wiraangunangun 21, 22
Suriakusuma Adinata, Pangëran 69 Wirabaja 22
Surianatakusuma, R.A. 60 Wiradadaha 21, 22, 46
Surianegara, R.A. 47 Wiradikusuma, R. Demang 60
Sutawijaya..17 Wiradireja, R.A. 60

128
Wirahadiningrat, R. 68
Wiranatakusumah II 44, 48
Wiranatakusumah IV 57, 60, 64
Wiranatakusumah V 67
Wiratanubaya IV 60
Wiratanudatar IV, R.A.A. 37, 44,
66
Wirawangsa, Ki 21

Y
Yogyakarta 4, 6, 13

Z
Zakat fitrah 38

129

Anda mungkin juga menyukai