Anda di halaman 1dari 4

NAMA : PUNTA RIZKY

NIM/KELAS : C0514048 / B

PRODI/SEMESTER : ILMU SEJARAH / V

Resume Buku

“Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa: Kerajaan dan Pedesaan (P. M. Laksono)”

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Permasalahan

Pemahaman mengenai struktur masyarakat Jawa dirasakan sangat perlu bagi penelitian tentang
pengaruh terobosan unsur-unsur sosial budaya Barat terhadap Jawa. Berkenaan dengan hal ini,
maka abad XIX merupakan periode yang sangat penting diperhatikan. Sebab pada masa ini
berlangsung perubahan-perubahan di dalam masyarakat Jawa yang digerakkan oleh
penumpangan kekuasaan langsung kolonial Belanda di Jawa. Baik disini dari lingkungan
kerajaan ataupun pedesaan yang sama-sama ada unsur kejawen.

Konsep dan Metode

Judul buku ini menyatakan, bahwa penulis bermaksud untuk menganalisis tradisi dalam
kerangka suatu struktur masyarakat. Disini posisi tradisi ditempatkan sebagai bagian dinamis
dalam struktur itu. Pendekatan serupa ini tentu saja belu jelas, karena struktur masyarakat yang
merupakan medan bagi berlakunya tradisi sering ditafsirkan secara berlainan. Dinamika yang
ada dalam masyarakat itu bisa dijelaskan dengan menggunakan model. Untuk mendapatkan
model yang sesuai dengan penulis, maka penulis berusaha untuk memperhatikan tingkat-
tingkat analisis, baik yang tingkat statistik, normatif, maupun kognitif.

Sumber dan Jalannya Penelitian

Ketika penulis mencari sumber data untuk menulis buku ini, penulis mendapatkan data yang
amat luas. Ini diartikan oleh penulis bahwa bidang studi yang mengenai masyarakt Jawa sangat
luas dan sudah banyak ditangani oleh para ahli yang menulis karangan-karangan yang
berbobot. Jalannya penelitian pun penulis menggunakan karangan-karangan para ahli tersebut
sebagai acuan.
BAB 2

KERAJAWIAN JAWA

Pendekatan

Banyak ahli telah berusaha menjelaskan kerajawian Jawa, termasuk kerajawian dalam masa
zaman Mataram Baru. Ada dua masalah pokok berkenaan dengan kerajawian Mataram
dibedakan Soemarsaid Moertono, yaitu masalah hubungan-hubungan dalam rangka otoritas
raja dan dalam rangka implementasi serta material. Menurut transenden, kerajawian harus
mencirikan sesuatu yang mengawang mutlak di atas situasi aktual dan seolah-olah bebas di luar
jangkauan panca indera manusia. Dengan kata lain model yang transenden ini akan membawa
pikiran manusia pada suatu pandangan bahwa otoritas para dewa adalah satu-satunya model
yang paling benar bagi kelestarian tata alam semesta, atau satu-satunya jalan untuk hidup atau
mati.

Kerajawian dalam Wayang

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam mengani kerajawian Jawa, ada baiknya
jika disini juga dibicara kerajawian dalam wayang. Karena wayang digunakan oleh orang Jawa
dalam berbagai konsep serta model untuk menginterpretasikan dunianya. Wayang bagi orang
Jawa merupakan mitologi keagamaan yang diterima secara hampir universal. Untuk memahai
hal ini secara lengkap, rasanya tidak ada jalan lain kecuali mengikuti setiap lakon wayang yang
dipertunjukkan. Kemudian berusaha untuk menemukan struktur yang mendasari pemikiran
orang Jawa.

Raja Idaman

Orang Jawa juga menggunakan konsep jumbuhing kawula Gusti untuk menginterpretasi dan
mengorganisasi jalan hidup dalam masyarakatnya. Melalui identifikasi-identifikasi di atas
orang Jawa secara tersirat mengidam-idamkan suatu keadaan yang tatatentrem, karena
jumbuhinh kawula Gusti adalah satu-satunya jalan menuju tatatentrem. Seandainya seorang
raja berhasil menduduki posisi ini, maka ia berhasil memenuhi idaman-idaman orang Jawa dan
menjadi raja yang manunggal dengan Gustinya. Dalam keadaan seperti yang diidam-idamkan,
yaitu manunggal dengan Gusti, seorang raja meiliki kekuasaan dan kebenaran mutlak “yang
bisa diterangkan”, atau ada bidang “0” atau kosong. Namun seorang raja tidak bisa mencapai
idam-idaman itu tanpa dukungan dan rakyatnya, sebab dalam hubungan dengan mereka inilah
merupakan tolok ukut pembenaran posisi raja.
Kerajawian dalam Praktek

Disini penulis akan menunjukkan secara ringkas indikasi hubungan antara konsep kerajawian
idaman dengan peristiwa sejarah. Indikasi seperti mungkin akan lebih mudah ditemukan jika
kita memperhatikan suatu peristiwa sejarah yang berhubungan dengan usaha atau gerakan
politik untuk mewujudkan cita-cita tertentu, misalnya pada perebutan mahkota kerajaan dan
gerakan Ratu Adil. Dari situ dilihat bahwa selama berabad-abad orang Jawa sibuk dengan
perang-perang untuk menegakkan raja idaman yang secara tunggal menguasai seluruh Jawa.
Sebagai contoh adalah setelah meninggalnya Sultan Agung (1645) pemberontakan dan perang
terjadi lagi dan silih berganti hingga pertengahan abad ke-18. Namun sesungguhnya semuanya
itu hanya basa-basi untuk menyangkal adanya menyangkal adanya pendangan tradisi yang
tersembunyi bahwa Jawa harus bersatu di bawah kekuasaan raja yang manunggal dengan Gusti.

BAB 3

MASYARAKAT DESA

Posisi Bagelen dalam Tata Ruang Mataram

Bagelen pada tahun 1830 merupakan karesidenan baru yang dibentuk pemerintah kolonial
Hindia-Belanda. Wilayah ini adalah bekas milik Kasunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta yang jatuh ke tangan Belanda melalui perjanjian antara sunan dan sultan pada
tanggal 22 Juni 1830, yaitu setelah berakhirnya Perang Diponegoro 28 Maret 1830. Memang
benar kalau pembagian wilayah Mataram dikatakan secara konseptual mengikuti pola
lingkaran-lingkaran konsentris, terutama jika dilihat dari segi administrasi kerajaan. Bagelen
ternyata merupakan salah satu wilayah yang memiliki cara pembagian wilayah menurut konsep
mancapat yaitu suatu konsep yang menggambarkan adanya kerukunan antara sebuah desa
dengan keempat desa yang masing-masing terletak kira-kira di keempat penjuru mata angin.
Sampai pada tahun 1950-an di daerah Bagelen asih ditemukan adanya kesatuan-kesatuan
administrasi terdiri dari lima desa yang disebut glondongan.

Masyarakat Desa di Bagelen

Sebagai wilayah negaragung. Bagelen banyak berisi tanah jabatan atau lungguh para kerajaan
yang tinggal di dalam negara. Orang tidak mungkin mudah memandang masyarakat Bagelen
pra kolonial sebagai masyarakat yang terintegrasi di bawah satu pemerintahan yang mencakup
seluruh Bagelen. Itu karena dua hal yaitu, pertama karena ada dua kekuasaan raja yang
menjangkau daerah Bagelen. Kedua karena wilayah kekuasaan kedua raja itu tergelar berselang
seling seperti mosaik. Keitga adalah karena para itu telah mendelegasikan kekuasaannya ke
Bagelen lebih dari satu orang dan dalam keadaan yang terpecah-pecah. Menurut Kollman,
masyarakat desa Bagelen, jika para kepala desa tidak disertakan, maka terbagi ke dalam
lapisan-lapisan seperti tercantum di bawah ini:

1. Kuli baku, yaitu orang yang memiliki pekarangan dan sawah, dan wajib kerja penuh
untuk penguasa tanah diatasnya (para kepala).
2. Lindung, adalah orang yang punya rumah dan pekarangan tanpa tanah garapan.
3. Pondok atau numpang, yaitu orang yang tidak punya bagian di sawah dan tidak punya
pekarangan sendiri. Biasanya mereka tinggal pada kuli baku dan hanya wajib kerja bagi
kerja umum.
4. Rayat, adalah orang yang tinggal pada kuli baku dan diberi makan oleh kuli baku.
Mereka ini mendukung kekuatan kuli baku.

BAB 4

RINGKASAN DAN PENUTUP

Jika seluruh bab di muka diperhatikan, maka akan tampak bahwa dalam diskripsi ini secara
khusus dijelaskan alam pikiran orang Jawa mengenai tata masyarakatnya. Disitu digambarkan
secara lebih terperinci bahwa orang Jawa sendiri melihat masyarakatnya memiliki keteraturan-
keteraturan yang berstruktur. Kemudian juga dijelaskan dalam bab-bab itu mengenai dinamika
atau tradisi yang ada di dalam struktur masyarakat Jawa. Dari penjelasan yang sudah diberikan,
ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik. Pertama bisa dikatakan bahwa ada keteraturan
yang tercermin di dalam berbagai tradisi masyarakat Jawa, baik dalam lingkup kerajaan
maupun lingkup pedesaan. Kesimpulan kedua adalah bahwa meskipun model itu mungkin saja
bukan hal yang khas ada pada masyarakat Jawa, model itu mampu menjelaskan dinamika
masyarakat Jawa yang cukup kompleks. Kesimpulan ketiga adalah bahwa struktur masyarakat
Jawa tidak dapat disamakan dengan struktur masyarakat Jawa tidak dapat disamakan dengan
struktur masyarakat kasta ataupun dengan masyarakat kelas. Akhirnya sebagai suatu catatan
perlu ditambahkan di sini bahwa dalam studi mengenai struktur masyarakat Jawa perlu
diperhatikan adanya proses-proses dinamika yang ada di dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai