Anda di halaman 1dari 10

To Manurung dalam Perspektif Sejarah

Latar Belakang

Sejarah kerajaan di Sulawesi Selatan tidak bisa dipisahkan dari

sejarah kerajaan di daerah lain, karena di Sulawesi Selatan saling

berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain. Kerajaan-kerajaan yang

ada di Sulawesi Selatan, akan tertuju pada salah satu kerajaan yang besar

dan memiliki pengaruh besar yang pernah ada, seperti Kerajaan Gowa,

Kerajaan Bone, Kerajaan Tallo, dan Kerajaan Luwu. Hampir semua wilayah di

Sulawesi Selatan pernah berdiri suatu kerajaan dan menampakkan

eksistensinya dengan latar belakang historis yang sangat menarik. To

Manurung adalah sebuah cerita yang mengawali seluruh kerajaan yang berada

di Sulawesi Selatan dan menjadi raja pertama dari semua kerajaan kecuali

kerajaan Wajo.

Pada historiografi tradisional yang ada di masyarakat Sulawesi Selatan

sering kita mendengar munculnya kerajaan-kerajaan kuno yang sangat

dikaitkan dengan kehadiran To Manurung. To Manurung merupakan unsur

yang menguatkan nilai kebudayaan Bugis. Ia diyakini sebagai cerita-cerita

yang mengandung peristiwa–peristwa dan makna-makna yang aktual. Mitos

Galigo tertulis di dalam Sure’ Galigo. Dimana Sure’ Galigo merupakan

kumpulan kitab sastra lisan yang merupakan tradisi lisan masyarakat Bugis.

Mitologi yang terkandung dalam kitab ini mengisahkan tentang penciptaan

alam semesta, kehadiran dewa-dewa, serta kisah-kisah kepahlawanan dan

perjuangan bangsa Bugis.


Bermacam-macam penilaian pada naskah Sure’ Galigo yang seringkali

memunculkan beragam versi , Kisah To Manurung yang terkenal adalah

pertama kali turun di Tana Luwu yang merupakan kerajaan tertua dan menjadi

cikalbakal pembentukan kerajaan-kerajaan lainnya yang ada di Sulawesi

Selatan, walaupun berbagai versi, tetapi tetap tokoh sentral di dalamnya adalah

Sawerigading yang berkeinginan mempersunting adik kandung

perempuannya, tetapi karena dicegah, akhirnya berhasil memindahkan

perasaan cinta-asmaranya kepada seorang gadis Cina yang bernama We

Cudai. Ini jugalah yang menjadikan Luwu dikenal sebagai negeri Bugis tertua

yang ditempati. Pada Buku Mattulada menegaskan bahwa To Manurung di

Sulawesi Selatan muncul dalam dua tahap, pertama yaitu pada zaman I

Lagaligo sedangakan tahap kedua pada masa kehadiran raja-raja di Sulawesi

Selatan.

Mitos To Manurung merupakan salah satu faktor yang memperkuat nilai

budaya masyarakat Bugis. Mereka dikatakan sebagai cerita yang mengandung

peristiwa dan makna yang sebenarnya. Dia mengerti, seperti yang dikatakan

antropolog Bronislaw Malinowski, bahwa mitos adalah bagian penting dari

peradaban manusia, itu bukan cerita konyol, tetapi dinamika yang sangat

besar, itu bukan penjelasan intelektual atau fantasi artistik, yang merupakan

kelebihan dari iman dan kebijaksanaan moral yang bermanfaat. Serta

kebutuhan analisis Struktur dan Motif bagi para ahli sejarah akan menganalisis

struktur dan motif di balik mitos untuk memahami pola naratif yang mendasari

cerita tersebut. Hal ini dapat membantu masyarakat Sulawesi Selatan

mengenali tema atau pesan yang ingin disampaikan melalui mitos tersebut.
Sejarawan menganggap mitos sebagai cerita tradisional atau cerita

yang berkembang dalam masyarakat selama beberapa generasi. Biasanya,

mitos berisi cerita tentang peristiwa atau tokoh yang penting bagi orang yang

menceritakannya. Meskipun mitos sering dikaitkan dengan peristiwa sejarah

atau tokoh sejarah, para sejarawan memperlakukan mitos dengan hati-hati dan

mengenali perbedaan antara mitos dan fakta sejarah

Hal diatas jugalah yang mendorong para ahli sejarah dalam melusuri

asal usul legenda tersebut dan lihat bagaimana ceritanya berkembang dari

waktu ke waktu. Mencari sumber tertulis atau lisan yang lebih tua dapat

membantu mengidentifikasi perubahan atau penambahan yang terjadi dalam

mitos tersebut

A. Kehidupan Masyarakat Sebelum Dan Setelah Munculnya To

Manurung Di Sulawesi Selatan

Mitos tentang To Manurung merupakan salah satu dari anasir yang ikut

menguatkan nilai kebudayaan Bugis. Hal itu dipercaya sebagai cerita-cerita

yang mengandung peristiwa-peristiwa dan makna-makna aktual. Ia

mempunyai pengertian sebagaimana yang dikemukakan antropologi Bronislaw

Malinowski, bahwa mitos adalah suatu unsur terpenting dari peradaban umat

manusia, ia bukan cerita omong kosong, tetapi sesuatu kekuatan aktif yang

tangguh, ia bukan suatu penjelasan intelektual atau suatu khayalan seni, tetapi

ia suatu perjanjian tentang kepercayaan dan kebijaksanaan moral yang

mempunyai manfaat.

Ini bermula ketika muncul sosok “seorang” yang kemudian dikenal

sebagai To Manurung, yang selalu diawali dengan Susana kekacauan. Dalam


catatan beberapa naskah kuno keadaaan yang demikian itu digambarkan

kekacauan yang terjadi cukup lama dan sering juga dikenal yaitu “sianre bale

taue” keadaan ini akhirnya mereda setelah seorang yang tidak ketahui

Namanya muncul sebagai sosok yang dapat mengatasi kekacauan besar ini,

mereka menyebutnya dengan To Manurung karena sosok ini dianggap oleh

masyarakat sebagai sosok dari kayangan atau langit. (Hafid, 1988:5-7) Hal

yang menarik untuk direnungkan adalah keberadaan "sosok" bernama To

Manurung yang berbeda-beda di setiap daerah. Misalnya di kerajaan Gowa,

tokoh To Manurung adalah seorang perempuan. Berbeda dengan To Manurung

di Kerajaan Bones, dimana To Manurung adalah seorang laki-laki.

Perbedaannya tidak hanya pada jenis kelamin To Manurung tetapi juga pada

cara pengucapannya yang berbeda. Misalnya di kerajaan Soppeng,

keberadaan To Manurung dikenal dengan keberadaan kakatua. Selain cerita

dan sosok To Manurung, satu hal yang pasti belum banyak diketahui orang

adalah bahwa kehadiran sosok To Manurung berawal dari situasi yang sangat

sulit. (Macknight,2005:85)

To Manurung di Sulawesi Selatan yang diceriterakan dalam Lontara

Attoriolong sebagai orang yang dipercaya berasal atau turun dari langit/tidak

diketahui asal-usulnya, kemunculannya selalu bertepatan dengan adanya

konflik-konflik internal kerajaan yang bersangkutan, dan tokoh inilah yang

dianggap sebagai juru selamat yang membawa keamanan, ketentraman dan

kemakmuran kerajaan dan terbukti memang demikian. To Manurung di

kebanyakan kerajaan di Sulawesi Selatan banyak di beritakan muncul sekitar

abad ke-13 dan 14.


Dalam Kitab I La Galigo, dikisahkan bahwa ketika para pemimpin

keturunan Langit dan Pertiwi (dunia bawah) yang diperani oleh tokoh

Legendaris Sawerigading bersama keluarganya kembali ke asalnya di Dunia

Bawah, maka bumi ketiadaan penguasa. Pada saat itu, kelompok-kelompok

masyarakat bebas untuk saling menyerang, dalam istilah pada Kitab I La Galigo

keadaan kehidupan kaum bagaikan “sianre bale taue” (ikan yang saling

memakan/hukum rimba yang berlaku, di mana yang kuat yang akan berkuasa).

dalam keadaan ini mengakibatkan keadaan mencekam dan menakutkan,

lahirlah konsep To Manurung (dalam Bahasa Bugis) atau Tu Manurung (dalam

Bahasa Makassar). konsep ini seolah-olah menjadi kunci yang membuka

peradaban baru bagi masyarakat yang terpecah-pecah pada saat itu, menuju

tatanan yang baru. Konsepsi kepemimpinan To Manurung juga disusul oleh

terbentuknya konsepsi kenegaraan dengan wilayah teritorial yang lebih luas

dan meliputi sejumlah kelompok kaum yang mengikat perdamaian dan

menyepakati dengan menerima kepemimpinan To Manurung yang menjadi

pemimpin tertinggi untuk mereka. Mitos To Manurung menjelaskan tentang

kepercayaan masyarakat pada masa itu, mereka mempercayai adanya dewa-

dewa dan kepercayaan terhadap To Manurung menjadi dasar pembentukan

stratifikasi sosial. Pada fase inilah secara sadar atau tidak sadar terbangun

suatu relasi yang biasa disebut Patron-Klien. Setiap bangsawan (patronus)

memiliki sejumlah orang kelas bawah (klien) yang mengharapkan perlindungan

darinya.Patron berkewajiban melindungi kliennya dari musuh dan

melindunginya dari tindakan hukum. Selain itu, Patron juga membantu ekonomi

keluarga klien, menyerahkan tanah kepada pengikut untuk dapat menafkahi

anggota keluarga.
Orang yang mampu mengakhiri krisis yang terjadi di Kerajaan-kerjaan

yang ada di Sulawesi Selatan. Jika ditelaah secara seksama reinterpretasi To

Manurung, maka To Manurung (orang yang berarti turun dari atas) yang

dimaksud orang Bugis-Makassar adalah orang yang berwawasan lebih luas,

lebih maju, dan menguasai segala aspek kepemimpinan yang dimiliki

masyarakat. kebutuhan di masa depan. Pada zaman kepemimpinan To

Manurung inilah Sulawesi Selatan mengalami perubahan perkembangan

kemasyarakatan, kenegaraan, dan kepemimpinan bidang kehidupan politik,

ekonomi, dan sosial yang mulai cenderung dengan fungsi dan peranannya.

Dalam sistem sosial Sulawesi Selatan, pelapisan msyarakat itu menunjukkan

status yang erat dengan tanah (lahan). Arung dan Anakarung (bangsawan)

keturunan To Manurung ditempatkan pada status mulia, dihormati dan taati

dalam batasan tertentu. Arung atau Anakarung sebagai lapisan yang

dimuliakan dan dihormati, kepada mereka diberikan tanah/sawah/lahan untuk

menghidupinya. Itulah disebut tana kalompoang, atau tana arajang.

Selain mitos terkait asal usul To Manurung, pada dasarnya ada kontrak

politik untuk membangun negara dengan sistem hukum, sistem sosial dan

budaya yang dipersatukan oleh kedua belah pihak, dipimpin oleh seorang pria

yang konon cakap yaitu To Manurung. Sistem sosial politik kerajaan-kerajaan

Bugis memiliki persekutuan sistem pemerintahan. Kedudukan tertinggi atau

kepala keluarga kerajaan adalah Arung Mangkau (raja yang berdaulat).

Pengambilan keputusan dalam pemerintahan didukung oleh dewan tujuh orang

yang terkenal yang dikenal sebagai Arung Pitu' atau Matoa-Pitue.


B. Intelektualitas To Manurung Dalam Menyelesaikan Konflik-Konflik Di

Masing-Masing Kerajaan

Dalam buku Mattulada disebutkan bahwa Perjanjian antara To

Manurung dengan rakyat yang diwakili oleh ketua-ketua kaum, menjamin

adanya batas-batas hak kewajiban penguasa dan rakyat secara timbal-balik.

Prinsipprinsip semacam perjanjian penyerahan kekuasaan pemerintahan telah

membentuk kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, dalam periode lontara'.

Penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan dari para ketua kaum atas nama

kaumnya kepada To Manurung,:

"Anginlah engkau, dan kami daun kayu, kemana engkau

berhembus, ke sana kita serta, kehendakmu, menjadi

kehendak kami pula, apa nian titahmu, kami junjung,

perintahkanlah, kami penuhi, mintalah dari kami, dan kami

akan memberimu, engkau menyeru, kami datang, terhadap

anak-isteri kami, yang engkau cela, kami pun mencelanya,

akan tetapi, pimpinlah kami ke arah ketentraman,

kesejahteraan dan perdamaian,”

Satu hal yang menarik dari To Manurung adalah munculnya pengalaman

dan ajaran baru dengan bentuk-bentuk kekuasaan yang melompat dari bentuk-

bentuk kekuasaaan pada tngkat kaum matoa ke bentuk kekuasaan baru yang

lebih tinggi dan terpusat di antara tangan-tangan. seseorang, yaitu To

Manurung, yang diangkat menjadi raja. Lahirnya suatu kerajaan dengan

datangnya To Manurung, bukan dengan penaklukan atau paksaan atau


penindasan secara fisik terhadap golongan atau kelas manapun dalam

masyarakat.

To Manurung juga sebagai Antropologi politik orang Bugis untuk

membentuk sebuah negara, sebagai solusi dari kemujudan masyarakat

Sulawesi Selatan pada saat itu, ketika masyarakat sangat terbelakang

perkembangannya dari berbagai hal. Kemampuan raja menyusun berbagai

sistem kenegaraan sesuai sikap hidup dan nilainilai ideal dari wujud

kebudayaannya, seperti hukum, kaidah kehidupan dan sebagainya. Sehingga

anggapan masyarakat mengenai To Manurung (orang yang turun dari langit)

suatu reprentasi dari kemampuan To Manurung secara rohani dan jasmani

yang mampu menghimpun dan mempersatukan masyarakat dari sebuah

periode keterpurukan dan kesulitan atau krisis yang terjadi sebelum

kedatangannya dan mampu mengatasi kesulitan dan krisis yang terjadi

sebelumnya, maka wajar. dan layak mendapatkan gelar yang mulia To

Manurung.

Konsep Demokrasi To Manurung sebagian nilai budaya politik ini

merupakan nilai-nilai budaya dalam sistem politik yang demokratis seperti

misalnya nilai budaya perwakilan, kesepakatan, dan kerja sama. Nilai budaya

kepemimpinan di Sulawesi Selatan juga menunjukkan bahwa pemimpin yang

baik adalah yang menghargai proses pengambilan keputusan secara

musyawarah yang melibatkan semua pihak dan hasil yang dicapai dapat

disepakati bersama serta dilaksanakan bersama pula. Ciri sistem politik

tradisional di Sulawesi Selatan ini sangat mirip dengan ciri sistem politik

demokrasi di masa kini, yaitu demokrasi perwakilan dengan kepemimpinan

yang demokratis.
bagi masyarakat Sulawesi Selatan adalah konsep yang menganggap

bahwa “raja adalah titisan dewa di atas permukaan bumi”. Orang yang mampu

mengakhiri periode keterpurukan yang terjadi. Kalau kita melakukan

reinterpretasi secara analisis mendalam mengenai To Manurung, maka To

Manurung disini dimaksud adalah orang yang memiliki pandangan lebih luas

dan maju serta menguasai semua aspek-aspek kepemimpinan yang

diperlukan masyarakat pada masa itu.

Paparan di atas membawa kita pada kesimpulan bahwa basis kekuasaan

seorang pemimpin di Sulawesi Selatan pada masa lampau tidak hanya datang

dari bawah––yaitu dukungan para wakil masyarakat yang memilihnya––tetapi

juga datang dari atas, yakni restu para nenek-moyang, yang dibuktikan dengan

kepemilikan benda-benda pusaka dari mereka. Basis kepemimpinan seperti ini

tidak terdapat dalam sistem politik yang demokratis di Barat atau di masa kini.

Oleh karena itu, sistem politik tradisional masyarakat Sulawesi Selatan,

sebagaimana tecermin pada mitos To manurung di atas bukanlah sebuah

sistem politik yang demokratis terlepas dari kehadiran dan restu tokoh mitologis

yang dianggap sebagai nenek-moyang dari penguasa, yaitu To-manurung.

Sistem politik seperti ini serta falsafah politik yang mendasarinya dapat kita

sebut sistem demokrasi To-manurung. Inilah sistem politik tradisional Sulawesi

Selatan
Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, H.S. 1993 : Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan:


Sebuah Kajian Fungsional-Struktural. Yogyakarta: Kepel
Press.
Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan
Abad Ke-17. Makassar : Ininnawa

Ha d, Husain. 1988. Pranata Bugis-Makassar. Ujung Pandang: Fakultas


Sastra Universitas Hasanuddin

Lévi-Strauss, C. 1963. Structural Anthropology. New York: Basic Books.

Mattulada. 1995. Latoa. Suatu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik


Orang Bugis. Ujung Pandang: Lembaga Penerbitan
Universitas Hasanuddin

Mattulada. 2010. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam


Sejarah.Yogyakarta: Ombak.

Paeni, Muhklis. 2014. Membaca Menulis Bugis-Makassar. Makassar: Cv


Gisna Multi Mandiri.

Perlas. Cristian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta-Paris: Nalar.

Kwett, Mary Crisez dan Robrrt W. Kweet. 1986. Konsep dan Metode
Analisis Politik.Teremahan Ratnawaty. Jakarta: Bina Aksara.

Anda mungkin juga menyukai