Anda di halaman 1dari 6

Judul Buku : Sejarah BUTON yang terabaikan Labu Rope Labu Wana

Penulis : Susanto Zuhdi


Pengkaji : Elis Triance Damanik (207260037)
Heri Saputra Silalahi (207260025)
ISBN : 978-979-769-229-2
Penerbit : PT RajaGrafndo Persada, Jakarta

Tahun Terbit : 2010


Cetakan : Pertama
Dimensi buku : 21cm
Tebal buku : xlii, 350 halaman

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang dan Pokok Permasalahan
Buku yang berjudul Sejarah BUTON yang terabaikan yang ditulis oleh Susanto Zuhdi
pada tahun 2010 diterbitkan oleh Pt Raja Grafindo Persada. Buku ini setebal 350 halaman
memiliki dimensi 21 cm, dan buku ini terdiri dari 6 bab. Biodata penulis buku ini di lahirkan di
Banyumas, pada tahun 1953. Pendidikan tinggi yang di masukinya adalah Fakultas Sastra
Universitas Indonesia (FSUI) Jurusan Ilmu Sejarah pada tahun 1972.
Gelar sarjana (SS)atau program strata-I ilmu sejarah diraih pada tahun 1979. Dua tahun
setelah itu ia diangkat menjadi staf pengajar di Jurusan FSUI. Kemudian ia mendapat
kesempatan melanjutkan studinya di vrije Universitiet, Amsterdam pada tahun 1988-990 dalam
sandwich program yang dirancang oleh kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah
Kerajaan Belanda. Pada tahun1991, ia mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum) atau srata-
2 dalam program Ilmu Studi Sejarah Program Pascasarjana UI. Pada tahun 1993, ia mengikuti
Program strata-3 dan meaih gelar Doktor (Dr) Setelah mempertahankan disertasi yang Berjudul
“Labu Rope labu Wana Sejarah Buton Dalam Abad XVII-XVIII” pada thaun 1999. Pada bulan
juli 2005 diangkat sebgai Guru Besar Tetap Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya UI.
2. Kajian Teori dan Metode Penelitian
Berdasarkan buku yang ditulis oleh Susanto Zuhdi ini sebetulnya penyebutan Butun,
sebagaimana sumber mengenai asal usulnya adalah untuk kesultanan yang dimaksud. Artinya
nama itu lebih dahulu ada atau dikenal pada masanya dari pada nama yang sekarang,
Buton.Mereka diami, dari para pelaut di Kepulauan Nusantara yang sering menyinggahi pulau
itu.
Banyaknya pohon Butu (Barringtonia Asiatica,lihat Anceaux 987:25) di sana, yang
membuat para pelaut menyebut Butun sebagai penanda untuk pulau itu. Penyebutan nama Butun
untuk pulau itu sudah ada sebelum orang Majapahit menorehkan nama Butun di dalam
Negarakertagama (1365) dalam kerangka daerah “pembayar upeti”.

Sesudah masa itu, ketika telah berdiri kesultanan , penamaan Butun tetap digunakan .
Dalam surat-suat perjanjian dengan VOC, sultan menyebut Butun ini untuk wilayah
kekuasannya. Orang Bugis/Makassar menyebut Butun dengan Butung. Dengan pertimbangan
bahwa dalam perkembangannya, Buton lebih dikenal secara luas hingga kini, maka tanpa
mengurangi makna historisnya, buku ini menggunakan nama itu. Namun demikian, penyebutan
Butun di dalam sumber primer atau sezaman, sepeti dalam dokumen arsip dan naskah, tetap di
tulis sebagai mana yang tertera.

B. PEMBAHAASAN
Labu rope labu wana adalah ungkapan dalam bahasa Wolio (bahasa penguasa di
kesultanan Buton) yang berarti “ berlabuh haluan, berlabuh buritan”. Ungkapan ini diangkat dari
historiografi tradisional berbentuk kabanti, berjudul Ajonga Inda Malusa (harfiah berarti
‘pakaian yang tidak luntur’) karya Haji Abdul Ganiyu, yang diperkirakan ditulis pertengahan
abad ke-19. Yang dimaksud “ berlabuh buritan” adalah akhir dari proses panjang yang di alami
Buton untuk melepaskan diri dari ancaman Ternate, sedangkan “ berlabuh haluan” adalah akhir
dari upaya untuk melepaskan diri dari ancaman Gowa.
Buton terletak di bagian tenggara Pulau Sulawesi, berada dalam jalur pelayaran yang
menghubungkan Makassar dengan Maluku.Kesultanan Buton memperlihatkan pola
ketidakstabilan yang tetap. Corak ini di sebabkan ole faktor ancaman baik yang dari luar
maupun dari dalma negeri. Keberadaan Buton di tengah kedaulatan-kedaulatn besar
Gowa,Ternate, dan VOC mengakibatkan dirinya memilih secara bergantian antara sekutu dan
seteru .

Oleh karena itu ancaman Gowa, Buton bersekutu dengan VOC, Pihak yang juga
berlawanan kepentingan dengan Gowa. Dalam menghadapi Gowa itu pula Buton, VOC, dan
Ternate secara bersama-sama menggalang kekuatan mereka . Bahkan untuk menghadapi Gowa
itu pula, Buton bersekutu dengan Bone kerajaan yang berusaha lepas dari tekanan Gowa.
Dalam hubungan Buton dengan Gowa tampaknya lebih merupakan soal peerluasan
kekuasaan dan ekonomi. Bagi Gowa, Buton harus dikuasai atau setidaknya dipengaruhi agar
dapat memudahkan orang Makassar berayar ke kepulauan Maluku. Beberapa kali pasukan Gowa
menyerang Buton dan mengambil “tupeti” serta merampas penduduknya. Bagi Buton, Gowa
dalah ancaman yang dating dari arah haluan.
Tidak sebagaimana terhadap Gowa, yag merupakan ancaman dari arah haluan, dalam
hubungannya dengan Ternate, Buton menempatkan dirinya secara politik dan Kultural berada di
bawah Ternate. Meskipun selalu ada upaya Buton untuk berdiri sejajar dengan Ternate, tetaoi
setiap kali hal itu dilakukan setiap kali itu pula ia harus mengakui hegemoni kultural Ternate.
Hal itu berkaitan dengan latar belakang mitos “dunia Maluku” dan masuknya islam ke Buton
dari Ternate. Meskipun demikian, dalam kenyataan politik, Buton mencoba beberapa kali
menentang Ternate untuk memperthankan daerahnya dari aneksasi dan perampasan warganya
oleh Ternate. Bagi Buton, Ternate merupakan ancaman yang datang dari arah Buritan.
Di antara dua ancaman di atas, VOC merupakan bentuk ancaman yang lain dan
mempunyai karakteristik tersendiri. Pola hubungan Buton dengan VOC terlihat dalam kontrak
pertama tahun 1613, yang menunjukka bentuk aliansi militer. Pola hubungan berikutnya
tercermin dalam kontrak tahun 1667, yang memperlihatkan peneguhan kekuasan tunggal Sultan
Buton terutama untuk menghadapi perebutan kekuasaan dari para bangsawan dan tindakan
membangkang dari para barata. Dalam kerangka hubungan itu VOC berkepentingan
mempraktikkan kapitalisme, prinsip yang harus dijalankan oleh suatu kongsi dagang.
Kepentingan ekonomi VOC terlihat dalam perolehan budak dan upaya untuk menghancurkan
bajak laut dan penyeludupan.
Analisis sekutu dan seteru dalam kajian ini dapat dikatakan, sebagai pembenaran atas
bertambahnya pengetahuan. Selain itu, buku ini juga mengangkat suatu problematic penelitian
yakni mengenai kerangka konseptual sejarah, tentan keterabaian pulau-pualu sejarah.
Keterabaian itu dapat ditelusuri sejak Taufik Abdulla mengangkat problematik “ ketidakstabilan
yang tetap” pada kerajaan-kerajaan di Indonesia pada abad XVII dan XVIII.
Dalam perspektif yang lain Parry dan Furber memperkenalkan konsep “the age of
partnership” antara pedagang Eropa dengan penguasa pribumi di India. Dalam karya yang ain di
Jawa, kehadiran VOC di Mataram telah mengukuhkan kerajaan itu.
Jadi berbicara tentang kedaulatan yang dimaksud dalam kajian ini adalah kedaulatan raja.
Itulah sebabnya yang terlihat pada kontrak antara Buton dengan VOC 1667 pada dasarnya adalah
pengakuan kekuasaan tunggal Sultan Buton. VOC dalam hal ini memberi legitimasi pada Sultan
Buton. Kajian Andaya tentang “Dunia Maluku” secara konseptual memberi rangsangan kepada
penelitian baru bagi suatu perumusan “dunia-dunia” yang lain, khususnya untuk bagian-bagian
kawasan di Indonesia timur yang belum dibuat petanya.
Dalam konteks dunia pandang, dari titik mana pandangan etnosentris berangkat, kajian
tentang Buton juga memberi nuansa adanya “Dunia Buton” yang dinamik diantara “Dunia
Maluku” dan “Dunia Bugis”. Tarikan ke “Dunia Maluku”merupakan akar sejarah yang
mendalam bagi Buton jika dilihat dari mitos “Bikusigara”. Demikian Pula, Dengan fakta historis
masuknya islam ke Buton yang dating dari Ternate.
Tetapi di lain pihak terlihat juga tarikan ke “Dunia Bugis” seperti yang terlihat dalam
mitos “kepala Gowa’ atau “dunia Melayu” dalam arti yang luas. Fungsi mitos dalam sejarah
tidak dapat dipungkiri jika kita berbicara mengenai masyarakat arkais yang begitu kuat memiliki
kesadaran kolektif mengenai dunia dan alam semesta. Mereka membentuk suatu pandangan
dunia kosmosentris ysng menentukan gambaran-gambaran mereka tentang waktu, ruang, dan
masyarakat. Keyakinan bahwa Buton adalah termasuk “satu dari empat pusat dunia (islam)”
merupakan pemebentukan mitos tersebut.
Dalam berbagai upacara Festival Kraton Buton, kabanti yang merupakan bentuk tradisi
lisan dapat bercerita tentang mitos kosmoenik maupun asal usul nenek moyang.Adanya gejala
dari sultan-sufi dalam abad yang dibicarakan ini tampaknya tidak dapat dipisahkan dari jaringan
transmisi ajarn islam di Nusantara.
Pengaruh “Martabat Tujuh” di Aceh terlihat bahkan dalam penerapannya di dalam
struktur kesultanan Buton. Di Mataram, sesudah Sultan Agung (Sayidin Panatagama
Khslifstullsh) yang bercorak islam baru pada perempat kedua abad XVIII, muncul gejala
menghidupkan lagi suatu model sultan-sufi yang pada Pakubowono II (Ricklefs, 1998).
Ajaran pokok sufi Jawa model raja adalah kesatuan hamba dengan tuan dalam pengertian
dua tingkatan: tentang mistik kesatuan manusia (kawula) dengan Tuhan (gusti) dan kesatuan
pribadi secara temporal dengan sulta (gusti).
Kurun niaga memperlihatkan kemampuan Asia Tenggara memainkan peranan memimpin
dalam perdagangan global. Negeri-negeri “di bawah angin” sangat berpotensi baik untuk
mengambil keuntungan ekspansi yang bear dan perdagangan global yang ditandai dalam abad
XVII yang panjang yaitu cengkeh pala, dan lada merupakan factor uama perdagangan jarak
jauh. Gografik Asia Tenggara mendukung perniagaan maritim, sistem-sistem politik yang
terbuka bagi pengaruh luar.
Kurun niaga berakhir dengan krisis pada abad XVII, ketika penguasaan Eropa menguasai
kota-kota dagang, sedangkan penguasa pribumi semakin kehilangan tempat dalam dunia
perdagangan. Peranan Asia dalam perdagangan antarbenua jarak jauh (long distance
intercontinental trade) jatuh pada abad XVII dan XVIII, sementara Eropa hanya berhenti
sebentar dalam abad XVIII.
Ciri kesinambungan di Asia Tenggara adalah tidak terjadinya kumulasi modal dalam arti
kapitalisme. Sementara itu, aspek-aspek yang berubah adalah lebih besarnya komersialisasi,
urbanisasi, pemustan Negara, dan moralistik. Tentu saja ini merupakan gejala dalam skala umum
yang cocok hanya dalam waktu berjangka panjang (longue dure), tetapi sering berbeda sari
peristiwa-peristiwa unik.
Oleh karena karakteristik dan potensi geografi, demografi serta social-ekonominya,
Buton tidak memperlihatkan menguatnya aspek-aspek komersialisasi dari urbanisasi. Gejala
yang lebih tampak adalah pada pemusatan Negara dan moralistik. Perkembangan itu dapat lebih
jelas dilihat dalam abad XIX, ketika Negara colonial semakin nyata, sejajar dengan mantapnya
kekuasaan tradisional yang di dukung oleh kuasa yang disebut pertama. Dalam kaitan it
Kesultanan Buton memang dibangun dengan landasan ajaran agama dan tasawuf yang kuat,
seperti telah dipaparkan dalam bagian-bagian tertentu.
C. PENUTUP
Sebagai sejarawan yang ahli dalam bidang sejarah maritim, Susanto Zuhdi  mampu menuliskan
sejarah buton selama ini terbaiakan dengan komperhensif dan padat dengan fakta-fakta yang selama ini tidak
kita ketahui. Penulis berhasil memberi gambaran mengenai Sejarah Buton yang benar-benar baru dan lepas
dari perspektif Gowa dan Ternate sehingga kita bisa membaca sejarah Buton secara utuh dan independen.

Membaca buku ini melengkapi pemahaman kita tentang sejarah daerah Indonesia bagian timur
khususnya Buton dan melengkapi puzzle tentang sejarah kesulatanan daerah Indonesia yang selama ini
pembahasan dalam buku-buku sejarah hanya didominasi Gowa, Ternate dann Tidore. Salah satu bagian yang
menarik dalam buku ini adalah dicantumkanya potret-potret tentang kemaritiman Buton dan Budaya asli
Buton.

Anda mungkin juga menyukai