Anda di halaman 1dari 4

Misteri Prasasti Dolok Tolong

Tidak banyak literatur yang membahas eksistensi prasasti Dolok Tolong di Balige,

Kabupaten Toba Samosir ini. Seperti prasasti dan inskripsi lain yang berada di Tanah
Batak di Tapanuli, prasasti Dolok Tolong seakan tenggelam dengan eksistensi ribuan

prasasti di Indonesia. Walaupun prasasti ini tidak akan berpengaruh besar terhadap
sejarah Indonesia secara keseluruhan, namun diyakini keanehan tetap ada karena

prasasti ini tepat berada di sekitar jantung Tanah Batak. Bahkan Balige merupakan pusat
perdagangan kerajaan Batak sejak dahulu kala dengan istilahnya; ‘Onan Bolon’.

Di Onan Bolon inilah berbagai bentuk hukum dan konstitusi diamandemen dengan
keterlibatan langsung rakyat dan masyarakat yang juga memanfaatkan onan sebagai

pusat transaksi dagang yang memang menjadi tujuan utama.

Prasasti Dolok Tolong ini seakan menjelaskan sekali lagi pluralisme masyarakat Tapanuli

dan Batak yang menjadi cikal bakal budaya toleransi dan tenggang rasa yang tinggi
yang dianut oleh setiap orang Tapanuli sampai sekarang ini. Sikap itu tampak dari

bentuk pemikiran yang terbuka atas segala bentuk ide dan konsep. Tentunya, terdapat
juga kemungkinan adanya bagian kecil orang Batak yang berpikiran picik seperti halnya
di berbagai tempat lainnya di Indonesia.

Tapanuli, seperti halnya daerah lain di Indonesia, merupakan daerah yang juga banyak

mendapat pengaruh dari dunia luar. Beberapa manuskrip kuno seperti Sejarah Raja-jara
Barus, Hikayat Raja Tuktung dan Hikayat Hamparan Perak dan lain sebagainya, banyak

menceritakan struktur masyarakat dan sosial Batak di zaman dahulu. Baik itu penjelasan
mengenai saat-saat pembentukan sistem hukum dan perundangan-undangan maupun

penjelasan mengenai peran orang Batak sebagai penyebar agama Islam di sekitar
daerah yang sekarang menjadi bagian dari Sumatera Utara.
Dari berbagai manuskrip itu didapat sejarah Kerajaan Balige di tahun 1500-an yang saat

itu diperintah oleh putra bungsu dari Si Raja Hita, putera Sisingamangaraja I yang
menghilang dari Bakkara. Abang sulung dari Raja Balige tersebut bernama Guru

Patimpus, seorang Raja dan Ulama, yang kemudian bermigrasi ke pesisir Timur
Sumatera. Dia, yang memiliki anak-anak yang hafizd al-Qur’an, dikenal sebagai pendiri

Kota Medan di tahun 1590.

Selain bukti sejarah tersebut, eksistensi prasasti Dolok Tolong diyakini merupakan bukti

utama atas persinggungan budaya Batak dengan peradaban Hindu dan Buddha di
Indonesia.

Menurut berbagai literatur yang secara terpecah-pecah menyinggung bukti sejarah ini,
prasati ini merupakan prasasti atas eksistensi orang Majapahit di Tanah Batak. Saat itu,

pasukan marinir Majapahit mengalami kekalahan pahit di Selat Malaka. Melalui sungai
Barumun mereka menyelamatkan diri ke daratan Sumatera sampai ke suatu daerah di

Portibi. Di sana, mereka dicegat masyarakat sehingga membuat mereka terpaksa


melanjutkan pelarian sampai ke Bukit Dolok Tolong di Balige. Di Gunung inilah mereka

meminta suaka politik kepada seorang Raja di tempat dari sub-rumpun marga Sumba
(Isumbaon) yang saat itu menguasai wilayah tersebut.

Dolok Tolong, yang juga dikenal dengan nama Tombak Longo-longo Sisumbaon, ini
merupakan sebuah pegunungan yang lumayan tinggi, dari puncaknya pandangan dapat

di arahkan ke tanah Asahan, Labuhan Batu dan Angkola Sipirok dengan pemandangan
yang sangat mempesona.

Diceritakan, seorang Pangeran yang mempimpin pelarian tersebut akhirnya


memerintahkan untuk membuat prasasti tersebut sebagai sebuah hasil penjanjian

dengan Raja dari marga Sumba tersebut dimana mereka diijinkan untuk tinggal di
wilayah itu.
Pendapat lain mengatakan bahwa Pangeran tersebut juga menikahkan seorang putri

yang ikut dalam rombongan pelarian kepada seorang raja Batak di tempat. Putri
tersebut bernama Si Boru Baso Paet. Ada yang menafsirkan bahwa Si Boru Paso Paet

sebenarnya merupakan perusakan kata dari Si Boru Majapahit yang artinya Srikandi
Majapahit.

Lebih jauh lagi ada pula yang mengatakan bahwa Si Boru Baso Paet itulah yang menjadi
nenek moyang orang Batak. Namun keterangan ini menjadi membingungkan karena

eksistensi orang Batak di berbagai literatur telah ada berabad-abad sebelumnya dan
bahkan ada pada ke-2 M telah berinteraksi dengan pelaut asing seperti yang diceritakan

oleh Ptolemeus, tapi dengan nada negatif.

Tapi bila dilihat dari nama penamaan tempat itu oleh orang setempat, Tombak Longo-

longo Sisumbaon, ada kemungkinan bahwa bukit tersebut merupakan pusat religi kaum
animisme dan paganisme Batak dahulu kala. Arti harfiah dari kalimat tersebut adalah

Hutan Rimba Yang Menjadi Tempat Persembahan. Eskistensi nama tempat ini sepertinya
mirip dengan nama Dolok Partangisan di sebuah daerah antara Dolok Sanggul dan Tele

yang merupakan tempat tradisional untuk memberikan sesajen berupa manusia


(korban) untuk memuja roh atau dikenal dengan istilah mamele begu.

Yang sangat disayangkan adalah tidak adanya sebuah penelitian yang menyeluruh atas
apa isi dan arti sebenarnya dari tulisan atau tanda yang terdapat di prasasti tersebut.

Bukan tidak mungkin, selain dari dugaan kedatangan orang Majapahit, sebenarnya
terdapat bentuk kebudayaan di Balige yang selama ini tidak dikenal. Atau kemungkinan-

kemungkinan lainnya.

Tentu yang paling disayangkan lagi adalah rendahnya peran pemerintah daerah dalam

menghormati eksistensi bukti-bukti sejarah ini. Padahal tidak sedikit dana APBD
dikucurkan untuk membangun objek-objek wisata, konvensional maupun rohani, yang
tampaknya sangat berlebihan dan terkesan mubazzir serta tidak produktif. Pemerintah
seharusnya tidak terjebak dalam sebuah kebijakan yang malah menghilangkan nilai-nilai

pluralisme budaya dan adat.

Bukan tidak mungkin apabila prasasti ini dapat diungkap lebih mendalam lagi, banyak

kearifan lokal yang banyak diambil hikmahnya oleh generasi muda sekarang ini.

Anda mungkin juga menyukai