BUTON[1]
1
Oleh:
Sumiman Udu2[2]
ABSTRAK
Tradisi lisan menyimpan berbagai ingatan kolektif masyarakatnya,
termasuk jejak kebudayan yang berkembang di dalam masyarakat itu.
Sebagai tradisi lisan, Betena Tombula merupakan tradisi lisan masyarakat
Buton yang mengisahkan tentang jejak kebudayaan masyarakat Tionghoa
dalam dunia Melayu Buton. Oleh karena itu, penelusuran jejak Tionghoa
dalam tradisi lisan betena tombola merupakan ruang pertautan
kebudayaan Tionghoa dan Melayu Buton dalam ingatan kolektif
masyarakat Buton.
Penelitian mengenai Betena Tombula untuk menemukan jejak
Tionghoa dalam masyarakat Buton ini dilakukan dengan pendekatan
etnografi. Dengan demikian, baik data pustaka mapun data lapangan dalam
penelitian ini akan dianalisis berdasarkan sudut pandang masyarakat
pemilik tradisi lisan tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Buton
memiliki pandangan bahwa Ratu pertama Wakaa kaa merupakan keturunan
Tionghoa yang berasal dari Mongol. Hal ini dapat dilihat dari deskripsi fisik
Wakaa kaa yang memiliki leher panjang, rambut lurus, serta kulit yang
putih. Masyarakat Buton menganggap bahwa betena tombula dapat
interprestasikan sebagai keturunan China yang disebut negeri tirai bambu.
Di samping itu, di dalam masyarakat Buton ditemukan beberapa ornament
yang menggunakan simbol-simbol naga dalam kebudayaannya, yaitu
adanya patung naga di pantai kamali Kota Bau-Bau, serta penggunaan
simbol naga di atas hampir setiap atap rumah tradisional masyarakat
Buton. Selain itu, hasil penelitian ini juga menemukan bahwa masyarakat
Binongko memiliki ingatan kelektif tentang perkawinan orang sakti dari
Binongko dengan putri nakhoda kapal China.
Kata kunci: betena tombola, jejak Tionghoa, tradisi lisan, Buton
A. Pengatar
Menjelang akhir abad ke-18 mulai timbul reaksi terhadap pemikiran
rasionalisme dari zaman Pencerahan. Artinya perasaan dalam kehidupan
manusia
keterlibatannya
secara
lalunya.
Kesadaran
mengenai
hubungan
kekerabatannya,
3[3] Kuliah kebudayaan yang di CDkan, sebagai rangkaian kuliah kebudayaan yang dibawakan oleh Prof. Dr.
Irwan Abdullah.
4[4] Merupakan nyanyian masyarat Jawa yang mengenang perjalanan kehidupan Patih Gajah Mada (Riana,
2010).
5[5] Syair kepahlawanan yang menjadi fondasi bangsa Mongolia, ini juga menjelaskan tentang perjalanan
seorang Jengis Khan (Man, 2010: 5).
6[6] Syair yang pada akhirnya menjelaskan tentang kenangan, impian dan proyeksi Muhamad Idrus Kaimuddin
tentang masa lalu dan masa depan masyarakat Buton, Sultan Buton 29 (Zahari, 1977: 28).
7[7] Berisi tentang nasihat Syeh Haji Abdul Gani, kepada dirinya, pemerintah, guru dan masyarakat Buton dan
dunia tentang tata cara dan pegangan hidup(Naskah Anjonga Yinda Malusa).
8[8] Merupakan Hikayat Melayu yang memuat tentang pandangan dunia Melayu, yang menurut Nesther Hikayat
Hang Tuah merupakan roman yang amat penting untuk mengetahui tatacara hidup Melayu beberapa abad yang
lalu (Nestcher dalam Sutrisno, 1983: 22). Dan sutrisno memandang bahwa pandangan Nestcher merupakan
pandangan yang tepat untuk hikayat Hang Tuah.
kepercayaannya,
prinsip
hidupnya,
serta
berbagai
emosi
dan
Sedangkan nama Wolio sendiri memiliki arti yang berbeda, sebagaian mengacu pada kata welia atau
menebas, dan ada juga yang mengacu pada kata wo artinya saya dalam bahasa China, dan liong yang artinya
di sini. Yang kemudian berubah pelafalannya menjadi wolio (Nabbai, ? : 18).
emosi
orang
Buton,
tentang
masa
lalunya,
terutama
dalam
Dalam tradisi lisan Buton, mereka mengatakan bahwa Wakakaa berasal dari negeri peri yang tidak
diketahui asal-usulnya, sama dengan Dungkuncangia yang merupakan raja Toe-toe yang kemudian bergabung
dengan Wolio. Dungkuncangia merupakan ayah Waeloncugi yang merupakan istri dari Sibatara cucu Wakakaa.
Namun beberapa sumber yang dikumpulkan oleh (Nabbai, 39-39) mengatakan bahwa dalam penulisan sejarah
Buton terdapat beberapa perbedaan soal keberadaan Wakaaka, yaitu (1) Wakaaka itu anak raja Jayakatwang yang
sudah dewasa yang sempat dibawa lari oleh Cho Cha Ching atau Kao Shing atau Dungkucangia untuk
dipersembahkan kepada Kubulai Khan dalam buku Wolio Morikana oleh La ode Madu); (2) Wakaaka, dari negeri
Iraq yang kawin dengan raja Sang Hai dari kerajaan Kubilai Khan. Nama Wakaaka setelah dewasa di Sanghai
disebut Sri Malwi Mahrama Dewa (dalam buku Riwayat Nenek Moyang Kita, oleh La Ode Aumane); (3) Wakaaka
yang terlahir dari bambu 11[11]. Cerita ini masih tetap hidup dan berkembang
di dalam masyarakat Buton, walaupun telah ditulis dalam bentuk naskah
yang kemudian di dalam Katalog Naskah Buton (2001), naskah yang berisi
cerita asal-asul Wakaaka atau Betena Tombula ini diberi judul Hikayat
Negeri Buton12[12] atau banyak juga orang Buton menyebutnya Hikayat Si
Panjongan.
Baik cerita yang ada di dalam naskah maupun yang ada di dalam
tradisi lisan masyarakat Buton, Ratu Wakaaka dikisahkan terlahir dari
bambu tumbila13[13]. Namun di dalam tradisi lisan, masyarakat Buton
sampai sekarang percaya bahwa Wakaaka merupakan putri raja China. Hal
ini sebagaimana dikatakan oleh La Ode Sirajuddin Djarudju bahwa jika
dilihat dari ciri-ciri fisiknya, maka secara antropologis khususnya
somatologis, orang-orang Buton yang keturunan Wakaaka itu berasal dari
ras Mongoloid14[14] dan sebagian masyarakat Buton berasal ras Papua
Melanesoid.
Ras-ras
tersebut
memasuki
wilayah
Buton
secara
14[14] Dalam kehidupan masyarakat Buton dewasa ini, etnis Buton yang memiliki wajah dan kulit sebagaimana
dikatakan oleh Siradjudin Djarudju di atas, masih ditemukan pada etnis Wabula di Pasar Wajo atau Daoa Wajo.
kemudian
Bataraguru.
melahirkan,
Bataraguru
beristri
seorang
dengan
laki-laki
Wa
Bancapatola
Eloncugi
yaitu
atau
anak
tidak banyak
Si Panjongan adalah kepala rombongan masyarakat Buton yang berasal dari Johor bersama anggota
keluarga dan handitolannya mereka mendarat di Buton dan sudah disambut oleh masyarakat di beberapa kerajaan
yang telah ada sebelum kerajaan Buton.
16[16] Ini disebabkan oleh memori si pencerita, atau bisa jadi karena di dalam tradisi lisan, ruang komposisi
dapat saja di pengaruhi oleh konteks penceritaan, sehingga variasi cerita betena tombula lebih kaya di dalam
tradisi lisan.
17[17] Tokoh Dungkucangia, menurut cerita orang-orang tua Buton berasal dari China, yaitu sama dengan asalusul Wakaakaa yang terlahir dari dunia peri yang menjelma di dalam pohon bambu (Naskah silsilah Buton dengan
nomor di KTLV 178/Jawi/19/43 R. 3.25).
18[18] Diposting tanggal 9 April 2011, pada blog Buton Raya, hal ini dibenarkan juga oleh Agus Risdianto yang
mengatakan bahwa Dungnchangia adalah panglima perang bangsa Mongol.
19[19] Sehubungan dengan nama ini, (Nabbai hal. 22) mengatakan bahwa Dungkuncangia merupakan satu satu
dari tiga jenderal yang diutus oleh Kubilai Khan, yaitu Sihpi, Ikamase, Kau Hsing (dalam sejarah Buton ditulis
Kao Cing atau Khun Khan Ching) atau Dungku Cangia atau dalam juga di tulis dengan nama Dung Kung Sang
Hiang artinya panglima perang.
yang
merupakan
wilayah
kerajaan
Dungkuncangia.
dalam
penelitian
mengenai
silsilah
masyarakat
Wakatobi,
Harimudin
mengatakan
bahwa
beberapa
gagasan
penting
23[23]
Tentunya, ini sangat bertentangan dengan sejarah Majapahit yang melakukan pembunuhan terhadap
tentara Tar-Tar pada acara perjamuan penerimaan hadiah berupa putri Tumapel tersebut (Muljana, 2005: 200).
Namun, jika melihat kesadaran dan memori orang Buton, maka jelaslah tergambar bagaimana mereka memiliki
pandangan dunia bahwa ada hubungan kekerabatan yang erat antara Buton dengan etnis Tionghoa.
anak
dari
Dungkuncangia.
Perkawinan
ini
melahirkan
direspon
dan
diketahui
generasi
dewasa
ini.
Naskah-naskah
itu
Falsafah ini merupakan ruang kesadaran dan emosi orang Buton yang
merupakan bukti tentang adanya jejak Tionghoa terutama keturunan
Dungkuncangia dan Wakaaka. Dalam sistem politik Buton, keturunan
bangsawan
ini
dikenal
bangsawan
Buton
yang
dengan
paling
keturunan
banyak
Tanailandu 30[30].
memegang
jabatan
Yaitu
sultan
itu memandikan kapal China itu. Maka berhasillah kapal itu melewati pasi
atau karang Binongko, dan atas rasa terima kasihnya, maka berkatalah
bahwa silahkan Anda memilih apa saja yang ada di kapal ini sebagai oleholeh, maka berkatalah orang sakti itu bahwa saya mau memilih sebutir
telur, dan ternyata ia tuju adalah istri dari kapten kapal itu. Maka
dinikahkanlah istri kapten kapal China itu dengan orang sakti dari
Binongko dan kemudian melahirkan etnis dengan campuran wajah China
dan Binongko yang mendiami daerah kekuasaan Kapitan Waloindi 31[31]
yaitu Binongko bagian selatan yang meliputi Wali, Haka, Waloindi sekarang
(Wawancara, dengan La Karim, 23 Januari 2007).
Dalam versi yang lain, mitos yang berkembang di dalam masyarakat
Binongko, kedatangan kapal China ini dihubungkan dengan orang sakti
dari Benteng Watiwa.
sebuah kapal China yang lewat, tetapi akhirnya dikerjain oleh seorang
pelaut yang berasal dari benteng Fatiwa. Dalam penuturan lisan
masyarakat Binongko, kapal China tersebut tidak dapat meninggalkan
selat Tomia walaupun kapal melaju dengan cepat selama beberapa hari.
Kemudian orang itu dipanggil ke kapal untuk membacakan mantra agar
kapal itu dapat bergeser dari selat Tomia. Tetapi orang tersebut
memberikan syarat bahwa ia harus memilih sesuka hatinya di atas kapal
tersebut dan yang dipilihnya adalah istri kapten (nakhoda kapal) yang
cantik jelita dengan berdarah China.
Sirajuddin Djarudju mengatakan bahwa kedatangan pasukan Mongol
melalui Sulawesi Utara32[32] terus ke selatan (Buton) adalah usaha Mongol
untuk menghambat laju perluasan pasukan Majapahit di bawah pimpinan
Gajah Mada. Pengetahuan bangsa Mongol pada kelemahan pembesarpembesar Majapahit pada perempuan cantik. Memungkinkan mereka
31[31] Kapitan Waloindi merupakan salah seorang tokoh yang berkuasa di Binongko dan melakukan peperangan
terhadap Wolio. Konon kabarnya, Waloindi merupakan turunan dari orang sakti itu, dan kemudian diyakini oleh
orang Binongko sebagai tokoh sejarah nasional yang dikenal sebagai Patimura di Maluku.
32[32] Dalam tradisi lisan masyarakat Minahasa, nenek moyang orang Minahasa adalah Toar Lumimuut juga
lahir di dalam bambu. Namun dalam tradisi yang lain, masyarakat Minahasa juga mengatakan bahwa mereka juga
adalah turunan Marinir Kubilai Khan (Djarudju dalam Yusran, 2005: 136).
demikian,
berdasarkan
tradisi-tradisi
lisan
tersebut,
Wakaaka adalah seorang gadis cantik yang berasal dari pasukan Kubilai
yang dikirim untuk menghambat kekuasaan Gajah Mada, yang mendarat di
Buton melalui bagian timur yaitu desa Wabula sekarang. Sehingga dapat
diketahui bahwa masyarakat Buton memiliki kesadaran dan emosi bahwa
nenek moyang (Wakaaka Raja Buton I dan Dungkincangia atau Dungkung
Cang Yang) adalah pasukan Kubilai Khan yang datang melawan laju
pergerakan ekspansi Majapahit di timur Nusantara.
33[33]
Tahun 2004 yang lalu bersama rombongan, saya menuju kuburan Gajah Mada dengan dituntun oleh
masyarakat Lokal dan kuburan itu berada di tengah hutan yang hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki.
Sirajuddin Djarudju menambahkan bahwa di dalam buku IPS Sejarah Penlok P3G di Pandaan Jawa Timur tahun
1901, ada yang pernah mengatakan bahwa Gajah Mada meninggalkan tiga amanah di tiga tempat yaitu Surakarta,
Surabaya, dan satunya berada di luar pulau Jawa yang hingga sekarang belum diketahui, maka menurut
Sirajuddin, bahwa itu adalah Surawolio, sura artinya amanah (Djarudju dalam Yusran, 2009: 137).
Buton
memungkinkan
Tionghoa
ruang
merupakan
interprestasi
yang
ruang
pemaknaan
yang
dapat
menuntun
kedua
karena
itu,
penelusuran
mengenai
simbol-simbol
yang
digunakan oleh masyarakat Buton dan Tionghoa, akan membawa kita pada
ruang pertemuan di dalam memori kolektif kebudayaan bangsa Buton,
khususnya mengenai etnis Tionghoa di daratan China. Simbol-simbol
tersebut, tentunya tidak hadir dengan sendirinya, tetapi dibentuk oleh
realitas sejarah di zamannya, atau dapat juga bahwa semua itu adalah
ruang seni dan tradisi masyarakat Buton yang melampaui realitas sejarah
zamannya. Sehubungan dengan itu, Irwan Abdullah 34[34] mengatakan
bahwa kesenian jauh melampaui kesadaran kita (termasuk di dalamnya
sastra (cerita rakyat) dan kesenian seperti kaanti) merupakan ruang
kreativitas masyarakat yang dapat merekonstruksi suatu realitas sosial
budaya masyarakatnya.
Di dalam masyarakat Buton, ditemukan beberapa penggunaan
simbol yang memiliki keterkaitan dengan etnis Tionghoa. Beberapa simbol
tersebut, yaitu simbol naga, nenas, bambu dan dunia kahyangan (negeri
34[34] Materi kuliah Umum Kebudayaan yang berhasil di CDkan. Pada bagian ketiga dengan judul Konstruksi
Budaya atas Realitas mengatakan bahwa kesenian merupakan ruang konstruksi budaya dalam suatu masyarakat.
pada orang Eskimo di selat Bering, orang Carib, orang Indian Amerika
Utara dan Selatan dan orang Afrika. Tentunya, perlu dipahami semangat
zaman pada waktu itu. Pertanyaan yang paling penting adalah, pada zaman
itu (sekitar tahun 1300) seberapa besar pengaruh kerajaan Mongol di
dunia? Sehingga mampu mempengaruhi pola pikir beberapa kerajaan di
Nusantara. Untuk menjawab pertanyaan ini, John Man mengatakan bahwa
kekuasaan Kubilai Khan adalah lebih dari seperlima wilayah dunia yang
hanya dilakukan dalam tiga generasi (Man, 2010b: 2), yaitu dari Jengis
Khan sampai cucunya Kubilai Khan.
Di samping itu, masyarakat Buton sampai saat ini masih dipercaya
bahwa topi dan pedang Dungkuncangia tersimpan di kraton Buton.
Sedangkan di dalam masyarakat Binongko Wakatobi masih percaya
bahwa keterampilan mereka sebagai pandai besi diyakini merupakan jasa
bangsa China yang mengajari mereka menjadi tukang besi. Di sisi yang
lain, La Ode Abu Bakar (dalam Zuhdi 2010: 61-62) mengatakan bahwa
sebutan nama Kepulauan Tukang Besi merupakan sebutan dari seorang
tentara Hitu Maluku yang ditawan oleh kesultanan Buton di kepulauan
tukang besi yang bernama Toluka besi bersama kira-kira tiga ratus anak
buahnya.
Beberapa simbol seperti naga yang ada pada masyarakat Buton baik
yang ada di bumbungan rumah tradisional mereka, maupun yang dibangun
belakangan di pantai Kamali merupakan bukti betapa kuatnya pengaruh
Tionghoa di dalam kesadaran dan emosi masyarakat Buton. Dan ini
merupakan jejak etnis Tionghoa yang masih tetap ada dalam kesadaran
masyarakat Buton, karena di samping dalam bentuk artefak seperti itu,
juga tumbuh berbagai cerita tentang hubungan dengan bumbungan
tersebut dalam masyarakat Buton.
Berbagai bentuk cerita dan simbol di atas, di samping berhubungan
dengan sejarah, tetapi yang lebih penting adalah pembentukan citra
mengenai masa lalu bangsa Buton yang berasal dari berbagai etnis
bangsa-bangsa di dunia. Ini kemudian melahirkan hukum yang kuat
37