1
Di Indonesia kasus-kasus politik lokal menjadi sebuah “laboratorium” untuk
teori demokrasi. Berbagai temuan dan kesimpulan telah diajukan oleh Ilmuwan
politik dalam mengkaji demokrasi lokal di Indonesia, seperti defective democracy,
deficit democracy, politicizing democracy, changing continuities dan patronage- based
democracy ( Croissant, 2004; Priyono et. al., 2007; Harris et.al., 2005; Nordholt,
2005; 2007; Palmer, 2010). Subbab dari analisis ini berawal model demokrasi pada
Nagari yang berujung terjadinya proses konsolidasi demokrasi Nagari.
2
Menurut Sangguno Diradjo (1954) dan A.A. Navis (2015: 45−46) Tambo
berasal dari bahasa Sanskerta, tambay atau tambe yang artinya bermula. Tambo
merupakan warisan budaya Minangkabau, Tambo terbagi atas dua yaitu tambo alam
yang mengisahkan asal-usul bangunan Kerajaan Minangkabau Pagaruyung, dan
Tambo Adat yang mengisahkan adat, sistem dan aturan pemerintahan nagari di
Minangkabau. Dalam menyampaikan kisah tambo tidak ada sistematika tertentu,
cara mengisahkannya disesuaikan dengan keperluan dan keadaan. Sepenggal kisah
Tambo dapat saja dikisahkan merentang panjang. Adakalanya dikaitkan dengan adat
monografi suatu Nagari, tempat Tambo itu sedang disampaikan. Kadang dikaitkan
dengan sejarah bangsa, seperti sejarah Melayu, Majapahit, dan Islam. Kisah pada
Tambo juga melukiskan kedatangan raja-raja asing yang mencoba menaklukkan
Minangkabau, menariknya nama-nama raja itu dilukiskan dengan sindiran sebagai
hewan, seperti rusa dari laut yang tanduknya bercabang-cabang dan anggang dari laut
yang telurnya jatuh di tanah Minangkabau atau nama-nama lain yang dikisahkan
dengan nama samaran. Berdasarkan penelusuran peneliti terhadap Tambo, hampir
dikatakan seluruh kisah raja-raja dan keturunannya dilukiskan dengan warna yang
55
oleh Mohd. Yamin (1951), Sagguno Diradjo (1954), Mid Jamal (1995),
Edison dan Nasrun Dt, Marajo Sungut (2010), dan A.A. Navis (2015)
menguraikan ada tiga periodesasi sejarah Minangkabau yaitu (i) zaman
pra-sejarah, bangsa pertama yang datang ke Minangkabau adalah
bangsa yang serumpun dengan bangsa Austronesia yang datang secara
bergelombang dari daratan Asia Tenggara, merupakan pendukung dari
kebudayaan neolitikum yang mendiami daerah selingkar Bukit Barisan
(Gunung Marapi), merupakan percampuran bangsa Proto Melayu dan
Deutro Melayu yang datang bergelombang antara ± 2000 Sebelum
Masehi (SM) dan menganut adat matrilinial (garis keturanan ibu).3
Menurut Zuber Usman (1970) mengutip pernyataan George Peter
Murdock dalam bukunya yang berjudul Africa its People and Their Culture
History, diperkirakan semenjak 1.000 tahun SM pelaut-pelaut Nusantara
telah menghubungkan pesisir Asia, seperti Tiongkok, India, Persia dan
Arabia dengan pantai-pantai Afrika, bahkan sampai ke Afrika bagian
barat. Selain itu, gelombang kedatangan orang dengan perahu dari Pulau
Sumatera telah banyak memengaruhi kebudayaan dan bahasa penduduk
Madagaskar. Seperti yang dikatakan oleh Zuber Usman (1970) bahwa
bahasa Malagasi di Madagaskar banyak sekali persamaannya dengan
gelap (kiasan) bahkan tokoh yang dianggap peletak sejarah politik Minangkabau
yaitu Datuk Perpatih Nan Sabatang (peletak dasar sistem politik yang aristokrasi)
dan Datuk Ketemanggungan (peletak dasar sistem politik yang egaliter) serta
Cindur Mato dilukiskan dengan warna gelap (kiasan).
Berdasarkan wawancara dengan PR, pada 27 September 2016 di Padang
menjelaskan:
….peristiwa-peristiwa pada masa lampau dalam bentuk yang disampaikan
secara lisan, turun-temurun, berupa cerita dan kiasan semuanya bersumber
dari Tambo. Tetapi, pada permulaan abad ke-15 sejak masuknya Islam di
Minangkabau maka mulai dilakukan penulisan Tambo dengan aksara Arab-
Melayu atau yang disebut sebagai Tambo Usali.
3
Penjelasan dari Tambo Usali yang uraikan oleh Mohd. Yamin (1951), Sagguno
Diradjo (1954), Mid Jamal (1995), dan A.A. Navis (2015) kedatangan nenek
moyang ras Melayu Tua dan ras Melayu Muda, yakni mempergunakan perahu
bercadik ke Pulau Perca atau Warnadwipa. Ras Melayu Tua membawa kebudayaan
neo-litikum bercampur dengan ras Melayu Muda yang membawa kebudayaan
perunggu, kemudian mengembangkan kembali kebudayaan megalitikum yang
menghasilkan bangunan dari batu-batu besar yang dianggap keramat. Kebudayaan
neo-litikum mempunyai ciri utama yang terlihat pada kepandaian bertani dan
beternak secara sederhana, dikerjakan oleh kaum wanita. Wanita menjadi lambang
dari kesuburan dan produksi serta tetap tinggal di rumah mengatur keluarga atau
memegang peranan dalam ikatan kekeluargaan dari kampung (cikal bakal lahirnya
sistem kekerabatan matrilineal).
4
Menurut Nooteboom (1972) , terdapat berbagai pendapat di mana lokasi
Jawadwipa, yang sering pula ditulis sebagai Jabadicu. Ada yang mengatakan di
Jawa, bahkan ada juga menunjukkan lokasinya di Sumatera. Seperti J.L. Moens
(dalam Nooteboom, 1972) dengan bukunya yang berjudul Sriwijaya, Java en Kataha
mengatakan bahwa lokasinya berada di Banda Aceh, Ibu Kota Jawadwipa itu adalah
Agryre.
5
Kutipan wawancara ini, kemudian peneliti bandingkan dengan pernyataan yang
ditulis ulang oleh Slamet Muljana (1981), Mid Jamal (1995), dan A.A. Navis (2015)
dan penelusuran peneliti pada salah satu locus penelitian (Luhak Limapuluh Koto), di
mana menurut catatan sejarah, Kuntala diperkirakan merupakan kerajaan pertama
di Sumatera. Kuntala diidentifikasi sebagai Kandali (menurut lafal Cina disebut
sebagai Kantali). Berdasarkan catatan Tiongkok, para sejarawan berusaha mencoba
mencari lokasinya, antara lain di Muangthai Selatan, karena di sana ditemukan tempat
yang bernama Kantoli, ada yang mengatakan di Aceh Timur (tempat yang sekarang
bernama Singkil Kandari), bahkan ada juga yang mengatakan lokasinya di Muara
Tembesi. Alasannya, karena dalam catatan Tiongkok ada Kerajaan San-fo-si dahulunya
bernama Kantali dan diidentifikasikan sebagai Tembesi (Che-li-fochc menurut catatan
Tiongkok dan dalam bahasa Indonesia bernama Sriwijaya) dan berada di Palembang.
Tidak diketahui secara pasti apa sebab Kerajaan Kuntala hanya dikenal selama satu
abad saja, yang kemudian berdasarkan catatan Tiongkok ada nama Melayu dengan
pusat pemerintahan di Batang hari. Menariknya, berdasarkan catatan Tiongkok
yang peneliti baca dalam Tambo Usali, dan penelusuran peneliti di locus penelitian
(Luhak Lima Puluh Koto), Melayu itu adalah Sriwijaya, yang berasal dari Kelantan
di Semenanjung bagian timur, lalu berpindah ke Sumatera dan mendirikan pusat
kerajaan di tepi Batang Kampar dan mendirikan candi yang bernama Muara Takus
serta membuka perkampungan yang sampai sekarang terkenal dengan perkampungan
Mahat (terletak tidak jauh dari Candi Muara Takus dan merupakan suatu Nagari
terpencil di utara kabupaten Lima Puluh Kota (baca: Luhak Limapuluh Koto).
6
Selain penjelasan dari Mid Jamal (1999), Hoadley (1998: 155) dalam
tulisannya yang berjudul Southeast Asian History 800-1800 Parochial v. Cosmopolitan
juga menyebutkan kata Fo-Shih (Srivijaya) yaitu:: …Just how extensive was the religious
life of the kingdom is attested to by I-Ching, a Buddhist monk who visited Fo-Shih (Srivijaya)
in 671 AD on this way to India to obtain copies of the Tripitaka, or Buddhist scriptures.
7
Menurut Mid Jamal (1995) dan A.A Navis (2015: 7) isi dari Prasasti Kedukan
Bukit adalah:
….pada hari ketujuh bulan terang, bulan jyestha, Dapunta Hyang berangkat dari Minang
Tamwan (Kamwar). Dapunta Hyang membawa tentara dua laksa dan dua ratus koli di
perahu; yang berjalan seribu tigaratus dua belas banyaknya;datang di Mikha Upang dengan
senang hati; pada hari kelima di bulan terang, bulan (Asada) dengan lega gembira datang
untuk membuat wanua…..
Selain itu, A.A. Navis (2015: 7-8) juga menjelaskan bahwa, Prasasti Kedukan
Bukit menimbulkan banyak tafsir oleh sejarawan misalnya Ph.S. Rongkel, N.J.Krom,
J.L. Moens dan Purbatjaraka sejak prasasti tersebut ditemukan. Umpamanya, N.J. Krom
berpendapat bahwa prasasti ini dimaksudkan untuk memperingati penguasaan atau
penaklukan Sriwijaya atas Kerajaan Melayu di Palembang, dalam Prasasti Kedukan
Bukit disebut kata “Minanga Tamwan”, sedangkan Purbatjaraka membaca “Minanga
Kamwar” yang artinya menceritakan keberangkatan pasukan dari Minanga Kamwar,
yang terletak di antara sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan, dan dari kata Minanga
Kamwar ini lahirlah kata Minang Kabau. Rujuk A.A. Navis (2015) untuk penjelasan
lebih lanjut mengenai sejarah Minangkabau.
8
Mengapa Raja Wisnu menanggalkan nama Sriwijaya dan menggantikannya
dengan nama Sailendra setelah pusat kerajaan berpindah ke Jawa Timur? Menggunakan
penggalan sejarah yang ditulis dalam Tambo Usali yang dikutip ulang oleh Mid Jamal
(1995) dan A.A. Navis (2015) serta mengomparasikannya dengan temuan sejarah dari
Slamet Muljana (1981) dan Hoadley (1998), secara teori dasar asal usul nama Sailendra
berasal dari nama Suku Saila yang mendiami wilayah sekitar Gunung Mahendragiri di
India Selatan. Nama Sailendra sebagai kerajaan di Jawa muncul dalam berita Tiongkok,
di mana pada tahun 742 Masehi yang mengirim utusan ke Tiongkok tidak lagi Sriwijaya,
melainkan Sailendra. Jika dilihat dari berbagai prasasti di zaman Sailendra, tampaknya
Sailendra bukanlah nama kerajaan melainkan nama suatu bangsa yang berkuasa pada
wilayah yang sama dengan wilayah Kerajaan Sriwijaya. Ketika di lihat nama raja yang
berkuasa pada penghujung masa Sriwijaya dengan nama raja di awal sejarah Sailendra,
jelas ada persamaan dengan nama raja, yakni Wisnu. Rujuk Mid Jamal (1995), A.A.
Navis (2015) untuk penjelasan lebih lanjut. Bandingkan dengan Hoadley (1998).
9
Menurut Slamet Muljana (1981) dan A.A.Navis (2015) Suwarnabhumi
artinya adalah tanah emas dan diidentikkan dengan Sriwijaya.
10
Raja Suwarnabhumi yaitu Sri Maharaja Sanggaramawijaya kemudian di
tawan oleh Raja Cola dan sebagian pengikutnya kemudian menyingkir ke sekitar
Candi Muaratakus dan memindahkan kerajaan Suwarnabhumi (Sriwijaya) ke
Jambi (A.A. Navis 2015: 10).10) dan Soekmono (1979) kemudian memperkuat
peristiwa sejarah ini dengan mengatakan bahwa bangunan Candi Muaratakus
dibangun pada dua zaman yaitu dilihat dari bahan-bahannya Candi Muaratakus
berasal dari abad ke-7 dan ke-12.
11
Menurut Slamet Muljana (1981) penggunaan nama Mauliwarman/
Mauliawarmadewa dengan gelar Sri Maharaja Diraja merupakan kekhasan raja-raja
Melayu sebagaimana yang dicatat dalam Prasasti Kamboja.
12
Penjelasan ini dapat dilihat dalam Subbab 4.3 Nagari dan Sengketa Tiada
Akhir: Pergerakan Politik di Minangkabau (Masa Kerajaan Hindu-Budha Pariangan
dan Dharmasraya).