Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya memiliki pemahaman yang berbeda akan sesuatu, yang dapat didasarkan pada pengalaman maupun pengetahuan dan ilmu yang dimiliki. Namun, jika pemahaman ini menjadi sesuatu yang universal maka sesuatu itu dapat dimaknai bersama. Pemahaman ini disebut sebagai presepsi, dimana presepsi merupakan inti dari komunikasi. Namun demikian, presepsi itu terikat oleh suatu budaya. Presepsi seseorang akan suatu pesan, objek maupun lingkungan akan bergantung pada apa yang dikatakan oleh nilai yang dianut seseorang. Manusia dapat saling pengaruh-mempengaruhi, baik antara individu maupun dalam kelompok. (Bungin, 2006;43) Naluri berkelompok itu juga yang mendorong manusia untuk menyatukan dirinya dengan kelompok yang lebih besar dalam kehidupan manusia lain disekelilingnya bahkan mendorong manusia menyatu dengan alam fisiknya. Sebagaimana suku Tolaki pada akhirnya berkelompok dalam masyarakatnya. Suku Tolaki mempunyai banyak sejarah yang tidak tertuang dalam kertas ataupun alat komunikasi lainnya. Sebagian besar dari sejarah itu pada masa kini telah hilang disapu zaman modern. Mengenai asal-muasal suku ini terdapat beberapa kisah rakyat yang beredar dimasyarakat. Kisah-kisah ini menceritakan lahirnya dua kerajaan besar di tanah Kendari hingga Kolaka, yaitu kerajaan Konawe dan kerajaan Mekongga yang dipercaya sebagai nenek moyang asli dari suku Tolaki.

Cerita rakyat yang paling terkenal ada empat diantaranya kisah Oheo, dimana dikatakan bahwa nenek moyang suku Tolaki berasal dari jawa khususnya daerah kaki gunung Arjuna, pada kisah ini Oheo menikah dengan Anawai Ngguluri yang merupakan salah satu dari tujuh bidadari, serta kisah wekoila dan Larumbalangi, dua bersaudara yang turun kebumi dengan menumpang pada sehelai kain sarung. Berdasarkan kisah-kisah ini maka terbentuklah dua kerajaan besar pada masa itu yang dikatakan bersaudara yaitu kerajaan Mekongga dengan raja Larumbalangi dan kerajaan Konawe dibawah pimpinan ratu Wekoila. Namun, menurut Abdurauf Tarimana (1993; 51-52) ada kemungkinan orang Tolaki memiliki hubungan darah dengan orang Cina sebagaimana dikatakannya orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolahianga (orang dari langit). Mungkinkah yang dimaksudkan disini dengan istilah langit adalah kerajaan langit, yakni Cina seperti yang dimaksudkan oleh M. Granat (Needhan, 1973;53). Kalau demikian mungkinkah kata hiu yang dalam bahasa Cina berarti langit dihubungkan dengan kata heo (Tolaki) yang berarti ikut pergi kelangit. Selain itu, orang Tolaki sebelum jaman penjajahan Belanda telah memiliki hubungan dengan orang dari luar daerah seperti kiasan yang biasa disampaikan oleh orang-orang tua dulu yang berbunyi, ulu no oGoa, woroko no oBone, wotolu no Konawe, hule no Wolio, kare no Tarinate, pondu no oLuwu, pani no Mandara. Adapun arti dari kiasan tersebut adalah kepalanya Goa, lehernya Bone, tubuhnya Konawe, jantungnya Wolio (Buton), kakinya Ternate, mulutnya Luwu, sayapnya Mandar. Adapun makna dari kiasan ini konon menggambarkan

pembagian ayam jantan keemasan oleh Sawerigading kepada putra-putranya. Hal ini menunjukkan adanya ikatan yang kuat antara orang Tolaki dan keenam wilayah tersebut. Meskipun terdapat hubungan diantara wilayah-wilayah tersebut namun setiap wilayah dan masyarakatnya memiliki adat yang berbeda, pengalaman, kepercayaan, nilai maupun dalam mempersepsikan sesuatu. Suku Tolaki memulai kemasyarakatannya dengan menggunakan Kalosara. Sebuah simbol yang lahir dari interaksi dan persepsi suku Tolaki pada hubungan pengaruh-mempengaruhi sesama manusia ataupun dengan alam semesta dan Tuhan. Adapun bentuk dari Kalosara adalah benda yang terbuat dari tiga utas rotan yang masing-masing sama besarnya dipilin melingkar dalam satu simpul yang beralaskan kain putih dan anyaman. Bagi orang Tolaki Kalosara dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan. Dimana hal ini telah menjadi kesepakatan bersama sejak nenek moyang untuk dipatuhi dan dihargai. Bagi suku Tolaki, Kalosara menjadi penghubung ditiap ikatan yang terjalin, baik antara manusia dan manusia, maupun antara manusia dengan Tuhan yang satu ataupun hubungan manusia dengan alam semesta. Untuk dapat melihat Kalosara sebgai alat penghubung ditiap ikatan dan sebagai wujud ekspresi dan alat komunikasi tergambarkan pada peristiwa dimana seseorang berseteru dengan seorang lainnya maka untuk mendamaikannya digunakanlah Kalosara agar orang-orang yang berseteru itu mengingat kembali bahwa mereka adalah satu-kesatuan yang tidak semestinya bertikai. Selain itu,

misalnya pada kegiatan mengundang seseorang untuk menghadiri acara pernikahan atau upacara kematian, digunakan pula Kalosara. Sesungguhnya tanpa mengatakan apapun, orang yang menerima undangan menggunakan Kalosara sudah dapat memahami undangan apa yang hendak disampaikan. Apakah undangan pesta pernikahan atau undangan peringatan kematian. Namun untuk menghindari adanya kesalahpahaman pengundang biasanya tetap meyampaikan secara lisan maksud kedatangannya. Sehingga pada kehidupan sehari-hari Kalosara selalu hadir, baik didalam acara duka maupun perayaan atau hanya sekedar silaturahmi. Kalosara memberikan ikatan kekeluargaaan, kepercayaan dan penghormatan. Pada suku Tolaki masa kini, wujud ekspresi dan penggunaan Kalosara sebagai alat komunikasi yang penuh makna tidak lagi selalu hadir dalam kehidupan bermasyarakatnya. Kalosara tidak lagi dipahami dan digunakan sebagaimana penggunaannya dahulu kala. Kalosara tidak lagi memilik arti atau makna yang khusus bagi pemuda pada derah-daerah yang telah dimasuki oleh teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini sangat memiriskan terutama seperti masyarakat muda seperti daerah Kolaka dan Konawe, karena kedua tempat iniadalah pusat kerajaan Tolaki zaman dulu. Namun, pada daerah-daerah pedalaman yang jauh dari jangkauan teknologi informasi dan komunikasi, Kalosara masih memegang peranan penting dan dianggap sangat sakral. Orang Tolaki daerah pedalaman masih memegang erat adat istiadat suku Tolaki sebagaimana yang diajarkan oleh nenek moyang mereka.

Perubahan ini merupakan salah satu dampak modernisasi, diantaranya terdapat pensubstitusian Kalosara kedalam bentuk-bentuk yang berbeda dari yang sebenarnya. Misalnya, dalam undangan modern yang ditampilkan adalah gambar dari Kalosara yang semestinya adalah undangan secara langsung dengan cara membawa Kalosara kepada orang yang hendak diundang. Meskipun demikian Kalosara sebagai inti dari adat suku Tolaki dan sebagai warisan nenek moyang sepatutnya untuk dipertahankan dan menjadi warisan budaya yang akan menambah khasanah keberagaman bangsa Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan Geertz (dalam Sobur, 2004;178) mengenai kebudayaan sebagai sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbolsimbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini. Sebagaimana pandangan Geertz tersebut mengenai kebudayaan dan bentuk-bentuk simbolik yang selalu diwariskan maka demikian pula halnya dengan suku Tolaki yang menjadikan Kalosara sebagai salah satu warisan simboliknya. Abdurauf Tarimana (1993;72) memberikan penjelasan seperti berikut ...tetapi yang khusus dalam bahasa Tolaki adalah bahas lambang Kalo, yaitu bahasa isyarat dengan menggunakan Kalo sebagai alat ekspresi dan komunikasi. Tanpa berkata-kata, penerima bahasa lambang Kalo telah dapat memahami maksud dan tujuan dari pemakai bahasa lambang Kalo, karena Kalo itu sendiri mengandung makna tertentu. Disini Abdurauf Tarimana manggunakan

bahasa lambang untuk menyatakan Kalosara sebagai salah satu bentuk simbolik dari komunikasi nonverbal yang digunakan orang Tolaki. Ada makna dalam Kalosara yang tidak perlu penjelasan verbal namun dapat dipahami oleh masyarakatnya. Fungsi yang paling penting dari Kalosara adalah penggunannya sebagai pedoman hidup bagi masyarakat suku Tolaki. Sebagai pedoman hidup Kalosara tertuang bahasa Tolaki, stratifikasi sosial, upacara-upacara adat, penyelesaian konflik, mata pencaharian, kesenian dan keagamaan. Semua itu, dirumuskan dan diterapkan menggunakan Kalosara. Akan tetapi saat ini yang tampak dalam kehidupan keseharian masyarakat Tolaki, Kalosara hanyalah benda yang akan digunakan didalam acara-acara atau ritual-ritual tertentu. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan diadakannya Kalosara tidak lagi sesuai dengan maksud dan niat nenek moyang suku Tolaki yang menggunakan Kalosara sebagai pedoman hidup. Hal ini sangat menarik menurut penulis untuk diteliti dan dikembangkan kepada akademisi dan masyarakat umum lainnya untuk mengetahui keberagaman bangsanya dan menjadi sebuah bukti pembelajaran baru komunikasi nonverbal dari segi artefak. Tentu saja, hal ini yang menarik perhatian bagi penulis untuk melakukan penelitian dengan judul Kalosara sebagai Representasi Pedoman Hidup masyarakat suku Tolaki di Sulawesi Teggara (Studi Komunikasi Nonverbal).

B. RumusanMasalah 1. Bagaimana Kalosara sebagai representasi pedoman hidup masyarakat suku Tolaki di Sulawesi Tenggara? 2. Bagaimana penggunaan Kalosara sebagai simbol komunikasi nonverbal bagi masyarakat suku Tolaki di Sulawesi Tenggara? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk : a. Mengetahui Kalosara sebagai representasi pedoman hidup masyarakat suku Tolaki di Sulawesi Tenggara? b. Mengetahui penggunaan Kalosara sebagai simbol komunikasi nonverbal bagi masyarakat suku Tolaki di Sulawesi Tenggara? 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini dapat dijelaskan secara teoretis dan praktis. a. Kegunaan Teoretis. Sebagai sebuah karya ilmiah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu komunikasi khususnya Studi Komunikasi Nonverbal yang berkaitan dengan artifak sekaligus sebagai tambahan referensi bagi penelitian yang berkaitan dengan kebudayaan Suku Tolaki. b. Kegunaan Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan pada masyarakat Indonesia mengenai Suku Tolaki,

khususnya mengenai Inti adat suku Tolaki atau Kalosara. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai representasi Kalosara sebagai pedoman hidup masyarakat suku Tolaki di Sulawesi Tenggara pada saat ini. D. KerangkaKonseptual Kebudayaan mengawali semua perilaku manusia dalam berinteraksi dengan manusia lainnya. Ketika interaksi memasuki ranah antarbudaya maka persepsi-persepsi awal dari pengetahuan umum akan menjadi kendala dalam berkomunikasi ketika orang-orang yang berinteraksi tersebut tidak dapat memahami budaya diluar budayanya. Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (dalam Mulyana, 2005;197) mengemukakan beberapa unsur budaya yang mempengaruhi persepsi seseorang ketika berkomunikasi dalam budaya yang berbeda. Unsur budaya yang dimaksud yaitu, Kepercayaan (beliefs) dimana terdapat nilai (values) dan sikap (attitudes) tertentu dari suatu budaya, pandangan dunia (worldview), organisasi sosial (social organization), tabiat manusia (human nature), orientasi kegiatan (activity orientation) serta presepsi tentang diri dan orang lain (perception of self and others). Komunikasi merupakan sarana utama dari segala aktivitas yang dijalani manusia. Komunikasi adalah proses berbagi makna melalui perilaku verbal dan nonverbal (dalam Mulyana, 2005;5). Tampak bahwa dalam komunikasi terdapat sesuatu yang hendak diberikan atau disampaikan dari pemberi pesan kepada penerima pesan dengan melalui perilaku atau sesuatu. Dikatakan sesuatu sebab

ada perilaku nonverbal dari definisi komunikasi di atas. Hal ini menandakan akan adanya hal selain kata-kata dalam penyampaian pesan tersebut. Pada dasarnya seseorang melakukan komunikasi karena adanya kebutuhan untuk berinteraksi dalam masyarakat, adanya sebuah keinginan akan pengakuan keberadaan dan keinginan untuk mempengaruhi manusia lainnya. Sebenarnya dalam beberapa karakteristik komunikasi yang paling menarik perhatian penulis adalah kalimat yang menyatakan bahwa pada dasarnya komunikasi adalah suatu proses simbolik (Mulyana, 2005;83). Manusia tidak dapat untuk tidak berkomunikasi adalah pendapat seorang ahli komunikasi. Pernyataan ini disampaikan dengan alasan yang kuat seperti dikatakan bahwa dalam diam sekalipun manusia masih dalam tahap atau proses atau bagian dari komunikasi. Dimana, diamnya seseorang akan dimakna oleh orang lain. Komunikasi seperti itu disebut komunikasi nonverbal atau komunikasi tanpa kata-kata melainkan dengan tanda atau simbol. Komunikasi nonverbal mencakup banyak simbol yang juga digunakan oleh suku Tolaki. Salah satu dari simbol yang dimaksud yaitu sebuah benda yang disebut Kalosara. Abdurauf Tarimana, dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Tolaki, memberikan penjelasan mengenai penggunaan Kalosara sebagai sebuah simbol bagi orang Tolaki, dimaknai sebagai sesuatu yang mengekspresikan manusia, alam semesta baik alam nyata maupun alam gaib serta dengan masyarakat dengan unsur-unsurnya. Mengenai persatuan dan kesatuan, kesucian dan kebaikan, kemakmuran dan kesejahteraan, kekekalan dan keabadian. Dan

10

komunikasi timbal-balik antarmanusia dengan sesamanya maupun antara manusia dengan alam sekitarnya, baik nyata maupun gaib. Menurut Ronald Adler dan George Rodman, komunikasi nonverbal memiliki empat karakteristik yaitu keberadaannya, kemampuannya

menyampaikan pesan tanpa bahasa verbal, sifat ambiguitasnya dan keterikatannya dalam suatu kultur tertentu (Sendjaja, 2002;6.16-6.17). Hal ini sebagaimana Kalosara yang terikat khusus dalam kultur suku Tolaki yang menjadikannya sebagai sesuatu yang sakral. Kalosara mampu menyampaikan pesan-pesan tanpa bahasa verbal yang mana psean-pesan ini dapat dipahami oleh masyarakat suku Tolaki, meskipun didalam pesan-pesan tersebut terdapat keambiguisitas makna. Namun hanya dengan keberadaannya saja sudah mampu menyampaikan pesan yang langsung dapat dipahami masyarakat suku Tolaki. Pada interaksi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat suku Tolaki, Kalosara menjadi sarana penyampai pesan dalam konteks budaya suku Tolaki. Dimana sebagai sarana penyampai pesan Kalosara dapat dengan baik menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan kepada sipenerima pesan. Seperti yang disampaikan Alex Sobur (2004;177-178) bahwa setiap orang, dalam arti tertentu, membutuhkan sarana atau media untuk berkomunikasi. Media ini terutama ada dalam bentuk-bentuk simbolis sebagai pembawa atau pelaksana makna yang akan dikomunikasikan. Makna atau pesan sesuai dengan maksud pihak komunikator dan (diharapkan) ditangkap dengan baik oleh pihak lain. Hanya, perlu diingat bahwa simbol-simbol komunikasi tersebut adalah kontekstual dalam suatu masyrakat dan kebudayaannya.

11

Kalosara merupakan benda artifak atau hasil dari kebudayaan suku Tolaki yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, yang dapat dikatakan sebagai seni yang digunakan untuk kepentingan umum masyarakat suku Tolaki dan mengandung makna-makna khusus. Seperti penjelasan Mulyana, (2005;380) bahwa artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan manusia. Bendabenda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia, sering mengandung makna-makna tertentu. Sebagai sebuah sarana penyampai pesan nonverbal, Kalosara merupakan artefak yang kompleks. Kompleks yang dimaksud adalah kemampuannya untuk menyesuaikan situasi yang ada pada saat mneyampaikan pesan dengan pesan yang harus disampaikan. Disini, Kalosara memberikan pilihan bagi si pemakna untuk memilih maksud dari pesan yang disampaikan. Dalam penyampaian makna Kalosara dapat dilihat pada teori makna yang disampaikan oleh Brodbeck (dalam Sobur, 2004;262) yang menyampaikannya secara sederhana dibandingkan teori-teori makna yang terus menjadi perdebatan para ahli, dibedakan ke dalam tiga corak. Yang pertama adalah makna inferensial, dimana satu kata (lambang) adalah objek, pikiran, gagasan dan konsep yang dirujuk oleh kata tersebut. Makna yang kedua menunjukkan arti (significance) suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain. Lalu, makna intensional dimana makna yang dimaksud adalah makna yang menekankan maksud si pembicara.

12

Pada

penelitian

ini

teori

yang

akan

digunakan

adalah

teori

interaksionalisme Blumer. Penggunaan teori ini sebagai bahan acuan karena dianggap lebih tepat untuk menjelaskan pemaknaan masyarakat Tolaki terhadap Kalosara. Sebagaimana yang dikutip dari Suprapto (dalam Sobur, 2002;120-121) Teori Interaksionisme Simbolis yang dimaksud Blumer bertumpu pada tiga premis utama : 1. Manusia bertindak pada sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. 2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain. 3. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial sedang berlangsung. Pada premis pertama tampak bahwa manusia akan melakukan sesuatu, berinteraksi atau berkomunikasi, berdasarkan pada makna yang ada pada sesuatu itu hanya bagi mereka. Disini tampak bahwa sesuatu yag dimaksud itu dapat bermacam-macam, dapat berupa ide-ide atau gagasan, manusia ataupun hasil karya berbentuk lebih artistik seperti artefak atau lainnya. Pemberian pemaknaan pada sesuatu itu sekali lagi hanya didasarkan pada apa yang sejak awal telah ada padanya dan disepakati bersama. Selanjutnya, pemaknaan ini akan lebih mudah dipahami ketika manusia satu dan lainnya melakukan kodrat hidupnya yaitu interaksi. Dalam interaksi

13

inilah pemaknaan dapat berkembang atau berubah sesuai kepentingan orang-orang yang berinteraksi didalamnya. Perbedaan persepsi sekalipun dapat menjadi sesuatu yang dipahami ketika interaksi telah dapat dilaksanakan sesuai harapan dengan semua pihak. Ini adalah premis yang kedua, dimana makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain. Premis ketiga pun mempertegas apa yang sebenarnya hendak disampaikan dari awal oleh Blumer, bahwa antara interaksi, komunikasi dan pemaknaan adalah hal yang tidak terpisahkan. Melainkan satu-kesatuan yang akan terus mengikuti yang lainnya. Makna-makna tersebut akan disempurnakan disaat proses interaksi sosial sedang berlangsung, bunyi dari premis ketiga. Satu kesatuan itu akan lebih sempurna tanpa ada yang terpisahkan. Orang-orang akan lebih mudah memahami suatu tindakan atau tanda atau komunikasi ketika semua itu dihadirkan dalam proses komunikasi. Mark Knapp (dalam Cangara, 2006;100) menyebutkan beberapa fungsi komunikasi nonverbal, yaitu; untuk meyakinkan apa yang diucapkannya (repetition), untuk menunjukkan perasaan dan emosi yang tidak bisa diutarakan dengan kata-kata (substitution), untuk menunjukkan jati diri sehingga orang lain bisa mengenalnya (identity) serta untuk menambah atau melengkapi ucapanucapan yang dirasakan belum sempurna. Fungsi komunikasi nonverbal yang dikatakan Mark Knapp ini dapat ditemukan dalam Kalosara. Selain itu, Patterson (dalam Sendjaja, 2002;6.32) dengan teori fungsionalnya memberikan beberapa batasan fungsi dari komunikasi nonverbal. Yang pertama dikatakan bahwa komunikasi noverbal digunakan untuk

14

memberikan informasi. Informasi yang diberikan dapat berupa pengertian seseorang akan perasaan orang lainnya. Lalu, untuk mengekspresikan keintiman, dimana dapat dilakukan melalui sentuhan. Mengatur interaksi seperti pengaturan berbicara dalam percakapan serta sebagai sebuah pengontrol sosial dimana seseorang dapat menyampaikan pandangannya. Pendapat Patterson yang terakhir yaitu untuk membantu dalam penyampaian tujuan. Dapat dikatakan bahwa Kalosara sebagai pengontrol sosial akan tampak ketika digunakan dalam interaksi masyarakatnya. Sebagai contoh, misalnya dalam penyelesaian konflik dan penerimaan orang asing. Adapun bagan dari kerangka konseptual penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut :

15

E. Definisi Operasional Definisi operasional digunakan sebagai penjelas istilah-istilah yang digunakan peneliti agar dapat dipahami serta untuk menyamakan persepsi dengan pembaca, atas isi dari tulisan ini. Adapun istilah-istilah yang digunakan seperti : 1. Kalosara. Merupakan benda adat suku tolaki yang terbuat dari rotan yang dipilin tiga melingkar beralaskan kain putih dan anyaman. Ataupun ide, gagasan dan nilai kehidupan suku Tolaki yang tertuang didalamnya. 2. Representasi. Gambaran mengenai Kalosara dalam masyarakat Tolaki sebagai pedoman hidupnya. Dalam hal ini adalah penggambaran masyarakat suku Tolaki terhadap Kalosara akan nilai-nilai, ide-ide dan gagasan yang terkandung didalamnya terkait dengan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. 3. Pedoman Hidup. Yaitu sebagai dasar dari keseluruhan tindakan sosial masyarakat suku Tolaki. Untuk membatasi pembahasan agar tidak terlalu luas maka penelitian dikhususkan pada pemaknaan Kalosara bagi masyarakat Tolaki dalam hubungannya dengan kehidupan keseharian mereka. 4. Suku Tolaki. Suku yang tinggal di Provinsi Sulawesi Tenggara yang awalmulanya merupakan rakyat dari dua kerajaan yaitu Kerajaan Konawe dan Kerajaan Mekongga, yang kini bertempat dibeberapa kabupaten seperti kab. Konawe, Kab. Konawe Selatan, Kab. Konawe Utara, Kab. Kolaka dan Kota Kendari. Namun Penelitian hanya akan dilakukan pada kab. Kolaka karena daerah ini dianggap telah mampu mewakili daerah lainnya.

16

5. Komunikasi Nonverbal. Segala tindakan atau pun tanda yang dapat diberikan makna atau pun dimaknai. Pada penelitian ini yaitu pemahaman dan pemberian makna masyarakat suku Tolaki atas benda yang disebut Kalosara. F. Metode Penelitian 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kab. Kolaka di Sulawesi Tenggara. Penelitian direncanakan berlangsung mulai dari bulan September 2010 dengan batas waktu akhir tidak ditentukan (selama waktu yang dibutuhkan peneliti) hingga mendapatkan hasil yang diharapkan. 2. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yang bertujuan untuk memberikan gambaran kehidupan masyarakat suku Tolaki dalam kaitannya dengan Kalosara. 3. Informan Pada penelitian ini, dipilih teknik Non-Probability Sampling yakni Purposive Sampling. Dimana informan dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu yang dianggap mampu untuk menjawab dan menjelaskan dengan baik pertanyaan-pertanyaan dari peneliti. Informan yang ditetapkan yaitu ; seorang dari tokoh adat, seorang budayawan, seorang tokoh agama dan dua orang masyarakat biasa.

17

4. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data peneliti melakukan teknik : a. Wawancara Wawancara yang dimaksud adalah wawancara secara mendalam antara peneliti dan informan dalam rangka memahami pandangan dan pemahaman informan mengenai Kalosara. b. Observasi Observasi disini adalah pengamatan terhadap lingkungan informan dan segala sesuatu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang dapat menjadi bahan perbandingan ataupun rujukan terhadap permasalahan yang diangkat. c. Studi Pustaka Informasi didapatkan dengan cara membaca buku atau pun literatur lainnya yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang diangkat peneliti dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan penelitian. G. TeknikAnalisis Data Pada penelitian ini, peneliti menggunakan model Miles dan Huberman untuk menganalisis data kualitatif yang dikumpulkan. Analisis data ini dilakukan selama penelitian berlangsung. Adapun langkah analisis selama pengumpulan data berdasarkan Miles dan Huberman, yaitu :

18

1. Meringkas data, yaitu meringkas data dengan kontak langsung berdasarkan orang, kejadian dan lokasi serta dokumen yang relevan. 2. Pengkodean data, yaitu memperhatikan ringkasan, membangun suatu struktur yang rinci dimana keseluruhannya dibangun dalam suatu sistem yang integratif. 3. Pembuatan catatan, yaitu membuat catatan yang objektif, reflektif dan marginal. Disini peneliti perlu mengklasifikasikan dan mengedit jawaban atau situasi sebagaimana adanya, faktual atau objektif-deskriptif. 4. Penyimpanan data dan pembuatan ringkasan sementara antar lokasi penelitian. Hal selanjutnya yaitu penarikan kesimpulan deskriptif mengenai penelitian setelah memperhatikan dan menyeleksi data yang diperoleh selama dilokasi penelitian.

Anda mungkin juga menyukai