Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Budaya Kalosara Pada Suku Tolaki

Kalo Sara adalah lambang pemersatu dan perdamaian yang sangat sakral

dalam kehidupan Suku Tolaki. Kalo Sara atau biasa disebut juga dengan kalo

merupakan sebuah simbol hukum adat pada kebudayaan Tolaki di Sulawesi

Tenggara. Kalo Sara digunakan upacara perkawinan adat, pelantikan raja-raja,

penyambutan tamu agung, upacara perdamaian suatu konflik, sebagai alat untuk

menyampaikan suatu pendapat, dan undangan pesta keluarga.1

1. Pengertian Kalosara

Secara fisik, Kalo Sara ini diwujudkan dengan seutas rotan berbentuk

lingkaran yang kedua ujungnya disimpul lalu diletakkan di atas selembar anyaman

kain berbentuk bujur sangkar. Tradisi yang tetap lestari ini biasa digelar dalam

menyelesaikan suatu pertikaian atau perselisihan dalam kehidupan masyarakat

Suku Tolaki yang saat ini tersebar di Wilayah Kabupaten Kolaka, Kabupaten

Konawe, Kabupaten Konawe Selatan dan Kota Kendari.

Kalo atau Kalo Sara adalah sebuah benda yang berbentuk lingkaran yang

terbuat dari tiga utas rotan yang kemudian dililit ke arah kiri berlawanan dengan

arah jarum jam. Ujung lilitannya kemudian disimpul atau diikat, dimana dua

ujung dari rotan tersebut tersembunyi dalam simpulnya, sedangkan ujung rotan

yang satunya dibiarkan mencuat keluar. Tiga ujung rotan, dimana yang dua

tersembunyi dalam simpul dan ujung yang satunya dibiarkan mencuat keluar

1
Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 211.

12
13

memiliki makna bahwa jika dalam menjalankan adat terdapat berbagai

kekurangan, maka kekurangan itu tidak boleh dibeberkan kepada umum atau

orang banyak, sehingga pada Orang Tolaki terdapat kata-kata bijak: Kenota

Kaduki Osara Mokonggadu’i, Toono Meohai Mokonggoa’i, Pamarenda

Mokombono’i. Arti bila dalam menjalankan sesuatu adat terdapat kekurangan,

maka adat, para kerabat, dan pemerintahlah yang akan mencukupkan semua itu

atau dapat pula dimaknai kekurangan apapun yang terjadi dalam suatu proses

adat, maka hal itu harus dapat diterima sebagai bagian dari adat orang Tolaki.2

Lilitan tiga utas rotan mempunyai makna sebagai kesatuan dari stratifikasi

sosial orang Tolaki yang terdiri dari Anakia (bangsawan), Towonua (penduduk

asli atau pemilik negeri) yang juga bisa disebut Toono Mo Tuo (orang-orang yang

dituakan) atau toono dadio (penduduk atau orang kebanyakan), dan O Ata (budak)

Selain itu, tiga lilitan rotan juga memiliki makna sebagai satuan dari keluarga,

yakni bapak, ibu, dan anak sebagai unit terkecil jika digabungkan atas beberapa

keluarga akan membentuk suatu masyarakat. 3

Stratifikasi sosial tersebut mempengaruhi ukuran kalo sara yang

dipergunakan, yaitu: 1) Kalo Sara dengan ukuran lingkaran yang dapat masuk

dalam tubuh manusia dewasa diperuntukkan untuk urusan golongan bangsawan.

2) Kalo Sara dengan ukuran lingkaran dapat masuk pada bahu manusia

diperuntukkan untuk urusan-urusan golongan Toono Motuo yani para pemangku

adat. 3) Kalo Sara dengan ukuran lingkaran dapat masuk pada kepala atau lutut

manusia dewasa diperuntukkan untuk urusan-urusan golongan Toono Dadio atau


2
Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, h. 223.
3
Amiruddin dkk., “Kalosara di Kalangan Masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara”,
MUDRA Jurnal Seni Budaya 32, no. 1 (2017): h. 209-2017.
14

orang kebanyakan. Meskipun begitu, stratifikasi sosial yang disebutkan

sebelumnya merupakan stratifikasi sosial lama, karena terdapat perubahan dalam

kebudayaan Orang Tolaki, terutama karena saat ini tidak dikenal lagi golongan O

Ata atau budak.4

Terkait dengan pergeseran stratifikasi tersebut, maka ukuran Kalo Sara

yang dipakai juga mengalami perubahan. Jika dahulu Orang Tolaki mengenal tiga

jenis Kalo, yang penggunaannya diperuntukkan untuk tiga status sosial, maka saat

ini Orang Tolaki hanya mengenal dua ukuran Kalo Sara sesuai peruntukannya,

yaitu: 1. Kalo Sara dengan diameter 45 cm yang diperuntukkan untuk golongan

anakia dan jabatan Bupati ke atas (Bupati, Gubernur, dan seterusnya) 2. Kalo Sara

dengan diameter 40 cm yang diperuntukkan bagi golongan toono motuo (orang-

orang yang dituakan) toono dadio (penduduk atau masyarakat kebanyakan).

Pandangan dalam masyarakat Tolaki di Konawe/Mekongga terhadap

keberadaan Kalo Sara tersebut, terungkap dalam suatu motto filosofis yang

berbunyi sebagai berikut; Inae Konosara Ieto Pinesara, Ina Lia sara Ieto

Pinekasara, Artinya; Barang siapa yang mentaati/menjunjung tinggi hukum (adat)

akan diperlakukan dengan baik/adil, barang siapa yang melanggar hukum (adat)

akan diberi ganjaran atau hukuman. Meskipun Kalo Sara terbilang usianya

seumur dengan kehadiran Kerajaan Konawe di Kendari dan Mekongga di Kolaka,

namun sebagai suatu hasil produk nenek moyang mereka, sampai saat ini masih

tetap dipergunakan dan dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya.5

4
Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, h. 278.
5
Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, h. 309.
15

Bahkan berdasarkan hasil penelitian Tarimana beberapa tahun lalu,

menunjukkan bahwa ada sekitar 86% dari 384 orang responden, yang menilai

Kalo Sara itu masih sangat berperanan sebagai lambang integrasi dan solidaritas

masyarakat Tolaki. Kalaupun terjadi adanya perubahan Kalo Sara tersebut, maka

tidaklah terlalu signifikan dalam penggunaannya.

2. Unsur-unsur Kalosara

Kalosara adalah simbol tertinggi dalam masyarakat Konawe Selatan, sejak

dahulu hingga saat ini tetap digunakan oleh masyarakat Tolaki, dahulu Kalosara

digunakan sebagai alat perdamaian dalam menyelesaikan selisih paham antara

kelompok masyarakat dalam soal politik, dan seiring perkembangan zaman oleh

para keturunan raja, Kalosara tidak hanya digunakan sebagai alat perdamaian

tetapi telah mengalami perluasan fungsi sebagai alat dalam upacara pelantikan

raja dan alat komunikasi antara raja dengan rakyat.6

Kemudian oleh tokoh masyarakat, Kalosara diperlakukan sebagai alat

komunikasi antara satu golongan dengan golongan lain, antara satu keluarga

dengan keluarga lain dan individu dengan individu lainnya, hingga kegunaan

Kalosara sampai pada unsur-unsur perdukunan dimana oleh para dukun pertanian

dan dukun penyakit dalam melakukan prakteknya menggunakan Kalosara dan

akhirnya Kalosara terus mengalami perluasan makna hingga digunakan dibidang

teknologi, keagamaan, dan kesenian. Dalam wujud Kalosara terdapat tiga

komponen utama sebagai perangkatnya yaitu:

a. Lingkaran Rotan

6
Ahmad Faidi, Suku Tolaki Suku Seribu Kearifan (Makassar: Arus Timur, 2015),h. 23-24.
16

Digunakannya rotan sebagai bahan Kalosara, mempunyai makna

pelambang, yakni memperingatkan kepada seseorang agar didalam hidupnya

selalu berguna, baik bagi kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kepentingan

orang lain. Manusia harus hidup rukun dan bekerja sama dengan orang lain,

tolong menolong, terjalin suatu persekutuan hidup yang damai dan tenteram,

terhindar dari perselisihan. Lingkaran yang berbahan rotan kecil bulat berwarna

krem tua yang dipilin, rotan yang melingkar berjumlah tiga dengan simpul kait

mengkait dalam satu ikatan simpul dengan satu ikatan kedua ujung rotan

berbentuk seperti dasi kupu kupu. Lingkaran memiliki makna sebagai

pencerminan jiwa persatuan dan kesatuan dari 3 unsur dalam sebuah keluarga inti

yaitu:

1) Lilitan pertama ialah unsur pemimpin

2) Lilitan kedua ialah unsur pelaksana atau penyelenggara kekuasaan (ibu).

3) Lilitan ketiga ialah unsur kedaulatan rakyat (anak).7

Bentuk lingkaran (bulatan) bersimpul tunggal, artinya bahwa dalam suatu

keluarga harus berusaha terus menerus menciptakan suatu kesatuan yang

mempunyai tekad bulat membina persatuan dan kesatuan dalam kekeluargaan,

serta taat dan patuh kepada pimpinan.

b. Kain Putih

Alas Kalosara dari sehelai kain berwarna putih segi empat sama sisi,

memiliki makna sebagai simbol kejujuran, kesucian, keadilan, ketulus-ikhlasan

hati dan kebenaran. Di dalam makna tersebut tergambar jiwa religius yang

menyemangati kehidupan masyarakat Tolaki. Penggunaan kalo bersama dengan


7
Ahmad Faidi, Suku Tolaki Suku Seribu Kearifan, h. 45-46.
17

sehelai kain putih sebagai alas Kain putih merupakan simbol adat dalam

kehidupan berumah tangga sebagai media pengikat hubungan keluarga inti secara

timbal-balik.

Dalam bahasa Tolaki, istilah adat disebut o sara. Simbol adat Tolaki ialah

Kalosara. Falsafah hukum Tolaki mengungkapkan “inae kosara ie pinesara, inae

lia sara ke pinekasara” artinya siapa yang tahu adat ialah yang dihormati, siapa

yang melanggar adat ia pasti dikasari. Falsafah ini lebih menegaskan lagi, bahwa

siapa yang melawan ketentuan adat, menolak atau tidak menghargai Kalosara, ia

patut dihukum berat yaitu diusir meninggalkan wilayah adat untuk selama-

lamanya.8

c. Talam Anyaman

Alas bawah Kalosara, yang disebut juga siwole (talam anyam) yaitu

wadah berbentuk segi empat yang terbuat dari anyaman daun palem hutan atau

daun pohon kelapa yang melambangkan unsur kesucian terhadap air dan sumber

mata angin sebagai lambang kehidupan kepada setiap manusia, memiliki simbol

sebagai pencerminan dari jiwa kerakyatan, keadilan sosial, dan kesejahteraan

umum bagi seluruh warga masyarakat Tolaki. Wadah dimaksud adalah tanah

Konawe (Kerajaan Konawe), negeri leluhur orang Tolaki. Ia juga merupakan

simbolisasi dari rumah tangga itu sendiri, dimana manusia hidup dan berjuang.9

3. Peran dan Fungsi Kalosara

Kalosara memiliki empat fungsi antara lain:

8
Ahmad Faidi, Suku Tolaki Suku Seribu Kearifan, h. 50-51.
9
Ahmad Faidi, Suku Tolaki Suku Seribu Kearifan, h. 88.
18

a. Kalo sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam kehidupan

etnik Tolaki.

b. kalo sebagai fokus dan pengintegrasi unsur-unsur kebudayaan Tolaki.

c. kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral

dalam kehidupan etnik Tolaki.

d. kalo sebagai pemersatu untuk pertentangan-pertentangan konseptual dan

sosial dalam kebudayaan dan kehidupan etnik Tolaki.10

Kalo Sebagai Ide Dalam Kebudayaan dan Sebagai Kenyataan dalam

Kehidupan Etnik Tolaki, bahwa wujud ideal dari suatu kebudayaan adalah salah

satu dari tiga wujud kebudayaan. Dua wujud lainnya adalah wujud kelakuan dan

wujud fisik. Wujud ideal dari suatu kebudayaan adalah adat, atau lebih

lengkapnya disebut adat tata kelakuan, karena adat berfungsi sebagai pengatur

kelakuan. Adat dapat dibagi dalam empat tingkatan antara lain. tingkat nilai

budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum, dan tingkat aturan khusus. Maka

kalo dalam tinjauan sebagai adat memiliki empat tingkatan antara lain sebagai

berikut.

Pada tingkat nilai budaya, kalo merupakan sistem nilai budaya yang

berfungsi mewujudkan ide-ide dan mengkonsepsikan hal-hal paling bernilai bagi

masyarakat Tolaki dalam hidupannya dikenal dengan sebutan medulu mepoko’aso

(persatuan dan kesatuan), ate pute penao moroha (kesucian dan keadilan), dan

morini mbu’mbundi monapa mbu’undawaro (kemakmuran dan kesejahteraan).

Ide medulu mepoko’aso (persatuan dan kesatuan) diwujudkan dalam apa yang

10
Ahmad Faidi, Suku Tolaki Suku Seribu Kearifan, h. 14-23.
19

disebut mete’alo-alo (bantumembantu) antara keluarga inti atau antara kerabat

luas dengan kerabat luas dalam hal mendirikan rumah, sumbangan berupa

makanan dan minuman, pada acara-acara, terutama dalam acara perkawinan, dan

acara kematian.11

Ide Ate Pute Penao Moroha (kesucian dan keadilan) diwijudkan dalam

rangkaian aktifitas lingkaran hidup seseorang, seperti permandian bayi pertama,

pemotongan rambut bayi, penyunatan, pembayatan calon pengantin, mandi masal

untuk memasuki bulan puasa, dan permandian mayat. Sedangkan ide keadilan

diwujudkan dalam pengambilan keputusan terhadap pembagian warisan kepada

anak-anak yang dilakukan orang tua dalam pengambilan keputusan peradilan adat

yang dilakukan oleh hakim adat. Ide morini mbu’mbundi (kemakmuran)

diwujudkan dalam usaha mereka untuk merealisasikan dengan apa yang disebut

mondaweako (jutaan ikat padi), tepohiu o’epe (bertebaran bidang kebun sagu).

Sejalan dengan itu, Melamba,12 menyatakan bahwa tanaman sagu memiliki

kedudukan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Tolaki karena pada

masa lalu dijadikan sebagai harta warisan (hapo-hapo/tiari) dan sebagai simbol

bagi kesejahteraan masyarakat Tolaki, kiniku banggona (kerbau berombongan),

lua-luano wawo raha (kebun kelapa yang luas). Monapa Mbu’undawaro

(Kesejahteraan) diwujudkan dengan apa yang disebut mombekapona pona’ako

(saling hormat menghormati), mombekamei-meiri’ako (saling kasih mengasihi),

ndudu karandu (suasana ketenangan batin yang diliputi dengan alunan bunyi gong

11
Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, h. 311.
12
Basrin Melamba, Tolaki: Sejarah, Identitas, dan Kebudayaan (Yogyakarta: Lukita,
2013), h. 236.
20

yang merdu di tengah malam), dan tumotapa rarai (suasana kegembiraan yang

diliputi dengan suara hura-hura, tawa dan tepuk tangan yang meriah).

Pada tingkat norma-norma, kalo merupakan nilai-nilai budaya yang

berfungsi mengaitkan peranan-peranan tertentu dari orang Tolaki dalam

masyarakatnya. Kalo berfungsi sebagai pedoman bagi tingkah laku masyarakat

Tolaki dalam kehidupannya baik dalam kehidupan keluarga, sosial, politik, dan

keagamaan. Pada tingkat sistem hukum, kalo merupakan hukum adat orang Tolaki

yang berfungsi mengatur bermacam-macam sektor kehidupan orang Tolaki. Kalo

sebagai hukum adat tampak pada gejala dimana kalo berfungsi sebagai alat

komunikasi antar keluarga, antar golongan, bahkan sebagai alat yang dipakai

dalam penyelenggaraan perkawinan, juga dipakai untuk menyumpa seorang raja,

selain itu digunakan dalam upacara tolak bala dan meminta berkah. Penggunaan

kalo dalam beberapa sektor kehidupan orang Tolaki tersebut merupakan

ketentuan-ketentuan hukum adat yang harus ditaati. Pelanggaran terhadap segala

aturan adat akan mendapatkan sanksi baik berupa sanksi batin maupun sanksi

fisik.13

Pada tingkat aturan khusus, kalo merupakan aturan-aturan khusus yang

mengatur aktifitas-aktifitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam

kehidupan masyarakat Tolaki. Kalo sebagai aturanaturan khusus tertuang dalam

apa yang disebut merou (aturan khusus dalam berbahasa yang menunjukan sopan

santun), atora (aturan khusus dalam komunikasi sosial), o wua (aturan khusus

dalam bercocok tanam pada umumnya), o lawi (aturan khusus dalam bercocok

tanam padi khususnya), o sapa (aturan khusus dalam berburu, beternak, dan
13
Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, h. 287.
21

menangkap ikan), dan mepori (aturan khusus dalam membuat dan memakai

peralatan).

Kalo sebagai fokus dan pengintegrasi unsur-unsur kebudayaan Tolaki

bahwa kalo ada hubungannya dengan bahasa sebagai lambang komunikasi,

demikian dengan unsur-unsur ekonomi melalui fungsi kalo sebagai penjaga

tanaman dan pusat ladang padi, dan melalui makna simbolik kalo sebagai asas

ditribusi barang-barang ekonomi. Kalo juga ada hubungannya dengan sistem

teknologi melalui bentuknya sebagai model dari teknik mengikat dan bentuk alat-

peralatan, demikian juga ada hubungannya dengan organisasi sosial melalui

makna simboliknya sebagai asas organisasi tradisional, asas organisasi kerajaan,

dan sebagai asas politik dan pemerintahan.14

Makna simbolik dari unsur-unsur upacara terintegrasi didalam makna

simbolik dari kalo. Ide medulu mepoko’aso (persatuan dan kesatuan) tercermin di

dalam makna simbolik dari lingkaran rotan, demikian juga ide-ide ate pute penao

moroha (keikhlasan dan kesucian) tercermin didalam makna simbolik dari kain

putih, dan ideide kemakmuran dan kesejahteraan tercermin didalam makna

simbolik dari wadah anyaman dimana lingkaran rotan diletahkan.

Dengan peranan kalo dalam fungsinya sebagai pengintegrasi unsurunsur

kebudayaan Tolaki, baik dalam hungannya dengan beberapa sub unsur dari tiap

unsur kebudayaan Tolaki maupun fungsinya sebagai unsur utama dalam upacara,

maka kalo sangat erat kaitannya dengan aktifitas orang Tolaki dalam memenuhi

dan memuaskan banyak kebutuhan dasar.15

14
Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, h. 290.
15
Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, h. 295.
22

Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral

orang Tolaki, menggunakan ajaran-ajaran kalo sebagai pedoman hidup, hal

tersebut tampak dalam usaha memulihkan suasana kelaparan karena panen tidak

jadi, suasana kecelakaan karena bencana alam, suasana kematian yang disebabkan

oleh wabah penyakit, suasana penganiayaan karena permusuhan, dan suasana

keretakan dan kesalapahaman bak antar individu, keluarga, maupun antar

golongan, sehingga orang Tolaki menganggap bahwa timbulnya suasana tidak

baik disebabkan oleh manusia yang telah melanggar adat dan norma-norma

agama, sehingga untuk memulihkan suasana tersebut, maka diadakan upacara

yang disebut mosehe wonua (upacara besar dan diikuti oleh sebagian besar

masyarakat Tolaki).16

Kalo sebagai pemersatu dalam pertentangan konseptual dan sosial

kebudayaan Tolaki, tercermin pada peranan kalo dalam menyelesaikan berbagai

masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan orang Tolaki antara lain.

Pertama, kalosara digunakan dalam mendamaikan serta mempersatukan antara

golongan bagsawan dan golongan budak disebut kalosara mbutobu, yakni kalo

yang digunakan untuk menghadap kepada putobu (kepala wilayah) agar kepala

wilayah turun tangan dalam memulihkan perselisihan tersebut. Kedua, kalosara

digunakan dalam mendamaikan dan mempersatukan antara golongan pemerintah

dan golongan rakyat disebut sara mokole, yakni kalosara yang digunakan untuk

menghadap mokole (raja) agar raja turun tangan dalam memulihkan perselisihan

tersebut. Ketiga, kalosara digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan

dua pihak keluarga yang berselisih karena masalah kawin lari disebut kalosara
16
Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, h. 343.
23

sokei yakni kalo yang berfungsi untuk membentengi diri dari pihak keluarga yang

melarikan gadis dari serangan pihak keluarga yang anak gadisnya dilarikan.

Keempat, kalosara digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan orang

dengan seorang yang berselisih disebut kalosara mekindoroa, yakni kalosara

yang berfungsi untuk menyelamatkan hidup seseorang yang berselisih karena

keduanya saling mengancam untuk membunuh lawannya.17

Agar setiap orang terhindar dari pelanggaran dan menyebabkan kehadiran

kalo, maka dikembangkanlah kata-kata falsafah yang dapat memberikan sugesti

kepada anggota masyarakat pada umumnya dan kehidupan orang Tolaki pada

khususnya untuk bertingkah laku dengan baik. keseluruhan aturan kalo memiliki

nilai filosofi yang dikenal dengan ungkapan Inae Kona Sara Ie Pinesara, Inae

Liasara, Ie Pinekasara. Falsafah tersebut mengandung arti bahwa barang siapa

yang menghormati adat, maka akan diperlakukan secara baik, dan barang siapa

yang tidak menghormati adat, maka akan diperlakukan secara kasar (dihukum).

B. Perjumpaan Islam dan Budaya Kalosara

1. Islam Sebagai Agama

Sebelum masuk dalam pembahasan Islam sebagai agama, ada ungkapan

yang cukup menarik dari seorang Ahmad Wahib yang merupakan salah-satu

aktivis Mahasiswa Yogyakarta yang hidup pada tahun 1942-1973-an. Dengan

kegelisahannya dia melahirkan pemikiranp-pemikiran bebas tantang Islam.

17
Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, h. 370.
24

Aku belum tahu apakah Islam itu sebenarnya. Aku baru tahu Islam itu
menurut HAMKA, Islam menurut Natsir, Islam menurut Abduh, Islam
menurut ulama-ulama kuno, Islam menurut Djohan, Islam menurut Subki,
Islam menurut yang lain-lain dan terus terang aku tidak puas. Yang kucari
belum ketemu, dan belum terdapat yaitu Islam menurut Allah, pembuatnya.
Bagaimana? Langsung studi dari Qur‟an dan Sunnah? Akan kucoba. Tapi
orang-orang lainpun akan beranggapan bahwa yang kudapat itu adalah Islam
menurut aku sendiri. Tapi biar yang terpenting adalah keyakinan di dalam
akal sehatku bahwa yang kupahami itu adalah Islam menurut Allah. Aku
harus yakin itu.18

Dari ungkapan kegelisahan seorang Ahmad Wahib diatas, maka dapat

ditarik pemahaman bahwasanya Islam adalah Agama kitab suci yang berdasarkan

pada al-Qur‟an dan al-hadits (Sunnah). Sedangkan untuk memahami Islam perlu

adanya penafsiran-penafsiran dari keduanya (al-Qur’an dan al-Hadits). Sehingga

hasil dari penafsiran tersebut pada perkembangannya akhirnya melahirkan dua

konsep yaitu Islam sebagai agama dan Islam sebagai Budaya.

Islam sebagai agama adalah merupakan produk Allah Swt. yang mencakup

syari‟ah dan fiqh dimana keduanya tersebut sama-sama bersumber dari al-Qur‟an

dan al-Hadits. Syari‟ah dan fiqh yang di ajarkan Islam telah memainkan

peranannya di dalam mengisi kehidupan umat manusia di muka bumi ini.

Syari‟ah mencerminkan Islam sebagai agama sedangkan fiqh mencerminkan

Islam sebagai Budaya. Menurut Kunawi Basyir yang dikutip dari pendapat

Khaled Abu El-Fadl bahwa “syari‟ah adalah merupakan kehendak Tuhan dalam

bentuk yang abstrak dan ideal, sedangkan fiqh merupakan hasil dari upaya

manusia memahami kehendak Tuhan”.19

18
Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam (Jakarta: Democracy Project Yayasan
Abad Demokrasi, 2012), h. 11-12.
19
Kunawi Basyir, Islam dan Budaya Lokal (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), h.
15.
25

Al-Qur`an sebagai wahyu Allah yang merupakan kitab suci umat muslim,

dalam pandangan dan keyakinan umat Islam adalah sumber kebenaran yang

mutlak. Namun, walaupun demikian, kebenaran mutlak itu tidak akan tampak

manakala al-Quran tidak berinteraksi dengan realitas sosial, atau menurut Qurasih

Shihab, dibumikan: dibaca, dipahami, dan diamalkan. Ketika kebenaran mutlak

itu disikapi oleh para pemeluknya dengan latar belakang kultural atau tingkat

pengetahuan yang berbeda, maka akan muncul kebenaran-kebenaran parsial,

sehingga kebenaran mutlak tetap milik Tuhan.20

Kebenaran dalam Islam bersumber dari Allah Swt. (Kunawi menyebutnya

syari‟ah), sedangkan kebenaran parsial hadir pada realitas sosial suatu masyarakat

yang kebenarannya akan relatif (Kunawi menyebutnya fiqh). Kebenaran parsial

gampang berubah tergantung situasi dan kondisi zaman. Dalam hal ini Ahmad

Wahib mengatakan bahwasanya perubahan pemahaman itu berubah, bukan karena

obyeknya berubah tapi karena subyeknya atau otak di kepala itu yang lain atau

karena otak yang mengamati obyek itu yang berbeda. Secara sosiologis, Islam

adalah sebuah fenomena sosio-kultural. Di dalam dinamika ruang dan waktu,

Islam yang semula berfungsi sebagai subyek pada tingkat kehidupan nyata

berlaku sebagai obyek dan sekaligus berlaku baginya berbagai hukum sosial.

Eksistensi Islam antara lain sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dimana ia

tumbuh dan berkembang.21 Di berbagai belahan dunia, Islam pernah mengalami

puncak kejayaan peradaban, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di beberapa

tempat lain, Islam justru mengalami kemunduran dan bahkan tenggelam ditelan
20
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Rosdakarya, 2000), h. 172.
21
Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Komtemporer, ter. Imam
Khoiri (Yogyakarta: AK Group, 2003), h. 393.
26

oleh perubahan zaman. Dinamika Islam dalam sejarah peradaban umat manusia

dengan demikian sangat ditentukan oleh pergumulan sosial yang pada akhirnya

akan sangat berpengaruh dalam memberi warna, corak, dan karakter Islam. 22 Jika

menilik sejarah awal perkembangan Islam di Indonesia, ajaran-ajaran

Islam yang hadir telah banyak menerima akomodasi budaya lokal.23

Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan

tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain yang datang

sebelumnya. Bila dilihat hubungan antara Islam dengan budaya, paling tidak ada

dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam

sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering

disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas

budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi

lokal) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi

Islam.24

Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen,

atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran

dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi

keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola

bertindak umat Islam. Tradisi kecil (tradisi lokal, Islamicate) adalah realm of

influencekawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great

22
Moeslim Abdurrahman, “Ber-Islam Secara Kultural”, Islam Sebagai Kritik Sosial
(Jakarta: Erlangga, 2003), h. 150.
23
Syarifuddin Jurdi, Sejarah Wahdah Islam: Sebuah Geliat Ormas Islam di Era Transisi
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), h. 6.
24
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta:
Paramadina, 1999), h. 13.
27

tradition). Tradisi lokal ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam

pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan

manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat. Membicarakan

Islam, lebih khusus lagi tentang warna, corak, dan karakter Islam di dalam

dinamika ruang dan waktu tertentu pada hakekatnya adalah berbicara tentang

bagaimana Islam direproduksi oleh lingkungan sosialnya. Kenyataan

membuktikan bahwa dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan banyak pakar,

ditemukan berbagai corak dan karakter Islam pada berbagai tempat dengan

berbagai macam coraknya.

Clifford Geertz,25 menemukan perbedaan corak Islam Maroko yang

puritanis dan Islam Indonesia yang sinkretis. Lebih lanjut Geertz secara lebih

khusus lagi membagi dalam beberapa varian: Abangan, Santri, dan Priyayi.

Selain Geertz, ada juga Mark R. Woodward yang meneliti tentang Islam Jawa di

Yogyakarta. Berdasarkan temuannya, Woodward membuat klalifikasi agama

rakyat di Jawa, pada abangan dan priyayi sebagai Islam Jawa, pengikut kebatinan

sebagai kejawen, dan pemegang ortodoksi Islam sebagai Islam normatif, serta

mistisisme yang direpresentasikan oleh raja. Tentang gerakan Islam di Indonesia,

Deliar Noer juga membagi Islam dalam kategori Islam tradisional dan Islam

modernis.26

25
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, ter. Aswab Mahasin
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), h. 6.
26
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), h.
67.
28

Demikian pula Azyumardi Azra,27 ketika memetakan gerakan Islam, ia

mengenalkan konsep Islam fundamentalisme, modernisme, dan post-

tradisionalisme. Berbagai kategori dan variasi Islam yang telah dikenalkan oleh

para pakar tersebut membenarkan proposisi bahwa fenomena sosio-kultural yang

bernama Islam adalah fenomena yang eksistensinya sangat dipengaruhi

lingkungan sosial. Berbagai kategori dan variasi Islam yang telah dikenalkan oleh

para pakar tersebut membenarkan proposisi bahwa fenomena sosio-kultural yang

bernama Islam adalah fenomena yang eksistensinya sangat dipengaruhi

lingkungan sosial. Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas

masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam

konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat

Indonesia.

Di sisi lain budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak otomatis

hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian terus

dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan tersebut

kemudian yang menurut Mark Woodward melahirkan yang dinamakan “akulturasi

budaya”, antara budaya lokal dan Islam. Dari penjelasan di atas dapat diambil

pemahaman bahwasanya Islam sama sekali tidak menolak tradisi atau budaya
28
yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Konawe. Dalam penetapan

hukum Islam dikenal salah satu cara melakukan ijtihad yang disebut „urf, yakni

penetapan hukum dengan mendasarkan pada tradisi yang berkembang dalam

masyarakat. Dengan cara ini berarti tradisi dapat dijadikan dasar penetapan hukum
27
Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan Antar
Umat (Jakarta: Kompas, 2002), h. 98.
28
Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 286-291.
29

Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang tertuang dalam

al-Quran dan hadits Nabi Saw.

2. Budaya Kalosara dalam Perspektif Islam

Agama (Islam) dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak bisa

dipisahkan, keduanya saling melengkapi satu sama lain. Ketika berbicara agama

dan kebudayaan, bisa dilihat lewat aplikasi fungsinya dalam wujud sistem budaya

dan juga dalam bentuk tradisi ritual atau upacara keagamaan yang nyata-nyata

bisa mengandung nilai agama dan kebudayaan secara bersamaan. Berbicara

agama Islam dengan kebudayaan, tentu merupakan pembahasan yang sangat

menarik. Dimana Islam sebagai agama universal merupakan rahmat bagi semesta

alam dan dalam kehadirannya di muka bumi, Islam berbaur dengan budaya lokal

suatu masyarakat (local culture).

Sehingga antara Islam dengan budaya lokal tidak bisa dipisahkan,

melainkan keduanya merupakan bagian yang saling mendukung dan melengkapi.

Secara bahasa kata Islam berasal dari bahasa Arab yang di ambil dari kata

“salima” yang mempunyai arti “selamat”. Dari kata “salima” tersebut maka

terbetuk kata “aslama” yang memiliki arti “menyerah, tunduk, patuh, dan taat”.

Kata “aslama” menjadi pokok kata Islam, mengandung segala arti yang

terkandung dalam arti pokoknya, sebab itu orang yang melakukan “aslama” atau

masuk Islam dinamakan muslim. Berarti orang itu telah menyatakan dirinya taat,

menyerahkan diri, dan patuh kepada Allah Swt. dengan melakukan “aslama”

maka orang terjamin keselamatannya di dunia dan di akhirat. Selanjutnya darikata

“aslama” juga terbentuk kata “silmun” dan “salamun” yang berarti “damai”. Maka
30

Islam dipahami sebagai ajaran yang cinta damai. Karenanya seorang yang

menyatakan dirinya muslim adalah harus damai dengan Allah dan dengan sesama

manusia.29

Agama Islam dalam maknanya adalah berintikan sebagai kepatuhan yang

total kepada Tuhan, menuntut sikap pasrah yang total pula kepada-Nya. Inilah

sesungguhnya makna firman Allah dalam Q.S. Al-Imran/3: 19.

           
           
    
Terjemahnya:

Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada


berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka
Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.30

Quraish Shihab, dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan Agama yang

benar dan diterima di sisi Allah adalah agama yang membawa ajaran tauhid dan

tunduk kepada Allah dengan penuh keikhlasan. Masing-masing umat Yahudi dan

Nasrani saling berselisih tentang agama yang dimaksud itu, hingga

mengakibatkan mereka melakukan penyimpangan dan penyelewengan.

Perselisihan yang terjadi di antara mereka itu bukan disebabkan oleh

ketidaktahuan mereka--karena mereka sebenarnya sudah tahu--tetapi lebih

disebabkan oleh rasa saling iri dan dengki mereka. Biarkan orang yang

29
Didiek Ahmad Supadie, dan Sarjuni (ed), Pengantar Studi Islam (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2011), h. 71-72.
30
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2019), h. 232.
31

mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah menanti perhitungan Allah yang cepat

itu.31

Adapun pengertian Islam dari segi istilah adalah mengacu kepada agama

yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah Swt. bukan berasal dari

manusia dan bukan pula berasal dari Nabi Muhammad Saw. Atau dengan kata

lain, agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta.

Ajaran-ajaran-Nya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di

dunia ini. Allah Swt. sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut

dalam Q.S. Thaha/20: 2.

     

Terjemahnya:

Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah.32

Quraish Shihab menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa dikatakan kepada

Rasulullah Saw, sesungguhnya kami tidak menurunkan al-Qur’an untuk

menyusahkan dirimu karena ditinggalkan oleh orang-orang yang berpaling

darimu.33 Harun Nasution,34 mengatakan bahwasanya Islam adalah agama yang

ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada ummat manusia melalui Nabi

Muhammad Saw. Dalam Kamus Bahasa Indonesia juga dijelaskan bahwasanya

Islam adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. berpedoman pada

31
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 3
(Jakarta: Lentera Hati, 1999), h. 59.
32
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 476.
33
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol.
3., h. 90.
34
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya Jilid 1 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974), h. 17.
32

kitab suci al-Quran yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah Swt. Islam

lahir di kota Makkah dengan dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul

Tuhan untuk membimbing manusia ke jalan yang lurus. Setelah Nabi wafat maka

istafet kepemimpinan Islam di teruskan oleh para sahabat-sahabatnya yang di

juluki “Khulafaur-Rasyidin”, pada waktu itu Islam mulai berkembang pesat

akibat ekspansi yang dilakukan oleh para daulah Islam setelahnya, seperti Bani

Abbasiyah dan Umayyah. Ajaran Islam yang kemudian menyebar luas ke daerah-

daerah luar jazirah Arab.

Maka ajaran Islam tersebut segera bertemu dengan berbagai peradaban dan

budaya lokal yang sudah mengakar selama berabad-abad. Daerah-daerah yang di

datangi oleh para penyebar Islam seperti Mesir, Siria dan daerah-daerah yang lain

sudah lama mengenal filsafat Yunani, ajaran Hindu Buddha, Majusi, dan Nasrani.

Dengan demikian Islam yang tersebar senantiasa mengalami penyesuaian dengan

lingkungan dan peradaban dan kebudayaan setempat, begitu pula yang terjadi di

Indonesia khususnya di tanah Jawa.35

Islam dengan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Adalah

agama yang mengandung pengertian yang mendasar. Agama Islam bukanlah

hanya milik pembawanya yang bersifat individual ataupun milik dan

diperuntukkan suatu golongan atau negara tertentu. Islam adalah agama universal

yang merupakan wujud realisasi dari konsep “Rahmatan lil Alamin” (rahmat bagi

seluruh umat).36

35
Hariwijaya M, Islam Kejawen (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006), h. 165-166.
36
Amin Syukur, Pengantar Studi Islam (Semarang: Pustaka Nuun, 2010), h. 30.
33

Lebih lanjut Nurcholish Madjid mengatakan bahwasanya ajaran Islam

adalah dimaksudkan untuk seluruh umat manusia, karena Nabi Muhammad Saw.

adalah utusan Tuhan untuk seluruh umat manusia. Ini berarti bahwa ajaran Islam

itu berlaku bagi seluruh manusia yang ada dimuka bumi ini tidak hanya tertentu

pada bangsa Arab saja, namun juga kepada seluruh bangsa dalam tingkatan yang

sama.37

Jadi jelas bahwasanya nilai-nilai ajaran Islam yang universal adalah dapat

berlaku disembarang waktu dan tempat dan sah untuk semua golongan atau

kelompok manusia, tidak bisa dibatasi oleh suatu formalisme, seperti formalisme

“menghadap ke timur atau ke barat” (yakni, formalisme ritualistik pada

umumnya).

Adapun ciri-ciri Islam dapat dilihat dalam berbagai konsep yang

dibawanya, yakni:

Pertama, Konsep teologi Islam yang di dasarkan pada prinsip tawhid

sebagai konsep monotheisme dengan kadar paling tinggi. Konsep tauhid ini

melahirkan wawasan kesatuan moral, kesatuan sosial, kesatuan ritual bahkan

malah memberikan kesatuan identitas kultular.

Kedua, Konsep kedudukan manusia, dalam hubunganya dengan tuhan

(hablumminallah), hubunganya dengan sesama manusia (hablumminannas),

bahkan sesama makhluk, juga hubunganya dengan alam semesta. Hubungan-

hubungan tersebut berada dalam jaringan kerja peribadatan dan kekhilafahan,

yaitu fungsi ibadah dan fungsi khilafah.


37
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadinah,
1992), h. 41.
34

Ketiga, konsep keilmuan sebagai bagian integratif dari kehidupan manusia.

Wahyu perdana dari al-Qur‟an di samping membuat deklarasi khalaqal insan (Dia

telah menciptakan manusia) juga mendeklarasikan alamal insan (Dia

mengajarkan kepada manusia). Manusia ini selain di ciptakan oleh Allah, juga di

beri kecerdasan ilmiah. Konsep ini ada kaitanya dengan janji Allah tentang “apa

yang ada di langit dan di bumi di peruntukan bagi manusia”.

Keempat, Konsep ibadah dalam Islam. Disamping menyentuh aspek-aspek

ritual, juga menyentuh aspek-aspek sosial dan juga aspek kultural.38

Dari berbagai konsep ini maka Harun Nasution menganggap bahwa agama

(Islam) pada hakikatnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok pertama,

yang meyakini bahwa wahyu dari Tuhan, bersifat absolut, mutlak, kekal, tidak

berubah dan tidak bisa di ubah. Sedangkan kelompok kedua, mereka yang

meyakini bahwa wahyu dari Tuhan memerlukan penjelasan tentang arti dan

pelaksanaannya. Oleh karenanya penjelasan itu pada hakikatnya tidaklah absolut,

tidak mutlak, bersifat relatif, nisbi dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan

zaman atau budaya.39

Dalam hal ini Nurcholish Madjid salah-satu tokoh intelektual muslim

Indonesia mengungkapkan bahwasanya antara agama (Islam) dan budaya adalah

dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai

mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi berbeda

dengan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu
38
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perpektif Sosio Kultural (Jakarta: Lantabora
Press, 2004), h. 4-5.
39
Parsudi Suparlan (ed), Pengetahuan Budaya, Ilmu-Ilmu sosial dan Pengkajian Masalah-
Masalah Agama (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama Badan Litbang
Agama, 1982), h. 18.
35

dan dari tempat ke tempat. Kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak

pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan budaya. Oleh karena itu, agama

adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya dapat berupa ekspresi hidup

keagamaan, karena ia sub-kordinat terhadap agama.40

Adapun kebudayaan yang mengiringi tumbuhnya dan menyebarnya Islam

keberbagai penjuru dunia. Dengan watak, keadaan geografis dan tatanan sosial

yang ada maka melahirkan sejumlah definisi dari budaya atau kebudayaan itu

sendiri. Secara bahasa kata kebudayaan adalah merupakan serapan dari kata

Sansekerta, “Budayah” yang merupakan jamak dari kata “buddi” yang memiliki

arti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan dengan

hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Kebudayaan adalah hal-hal yang

merupakan hasil dari keseluruhan system gagasan, tindakan, cipta, rasa dan karsa

manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang semua itu tersusun dalam

kehaidupan masyarakat.41

Secara istilah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Budaya memiliki arti

pikiran; akal budi, adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah

berkembang (beradab, maju), sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah

sukar diubah. Sedangkan Kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan

penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat

istiadat, keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang

digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi

40
Yustion dkk., Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok (Jakarta: Yayasan
Festival Istiqlal, 1993), h. 172.
41
Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-qur‟an dan hadis (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada , 1996), h. 22.
36

pedoman tingkah lakunya. Berbicara masalah kebudayaan tidaklah mudah, sebab

ada banyak perbedaan pendapat dari masing-masing tokoh dalam mendefinisikan

kebudayaan. Berikut ini definisi-definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh

beberapa ahli. Menurut Edward B. Taylor Kebudayaan merupakan keseluruhan

yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan,

kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang

didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

Menurut M. Jacobs dan B.J. Stern Kebudayaan mencakup keseluruhan

yang meliputi bentuk teknologi sosial, ideologi, religi, dan kesenian serta benda,

yang kesemuanya merupakan warisan sosial. Menurut Koentjaraningrat

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya

manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia

dengan belajar.

Menurut Clifford Geertz yang dikutip Nur Syam dalam bukunya

menjelaskan bahwasanya pengertian kebudayaan memiliki dua elemen, yaitu

kebudayaan sebagai sistem kognitif serta sistem makna dan kebudayaan sebagai

sistem nilai. Dalam hal ini Geertz memberikan contoh bahwasanya upacara

keagamaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat itu adalah merupakan sistem

kognitif dan sistem makna, sedangkan sistem nilainya adalah ajaran yang diyakini

kebenarannya sebagai dasar atau acuan dalam melakukan upacara keagamaan.

Dari berbagai gambaran para tokoh terkait kebudayaan, dapat dipahami

bahwasanya kebudayaan itu adalah sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide

gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan


37

sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan wujud dari kebudayaan

tersebut adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang

berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-

pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi seni dan

lainlainnya. Dari keseluruhan wujud kebudaya tersebut semuanya bertujuan untuk

membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Dalam antropologi budaya, dikenal macam-macam suku dan budaya dari

berbagai daerah, salah satu dari suku tersebut adalah masyarakat suku Tolaki.

Masyarakat Tolaki adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya

menggunakan bahasa Tolaki dengan ragam dialeknya secara turun temurun.

Suku Tolaki adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Tolaki. Secara

geografis suku Tolaki adalah merupakan bagian dari Konawe, namun masyarakat

suku Tolaki memiliki ciri khas yang sangat berbeda dari pada masyarakat Konawe

pada umumnya, hal ini tanpak pada bahasa yang digunakan dalam kesehariannya.

Yang dikatakan suku Tolaki adalah masyarakat yang mendiami tanah Tolaki

yang meliputi Kendari, Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara.42

Kebudayaan Tolaki adalah kebudayaan masyarakat asli Unaha yang

telah berkembang semenjak masa prasejarah. Sebagai halnya suku-suku sederhana

lainnya, budaya asli Tolaki ini bertumpu pada kepercayaan animisme dan

dinamisme. Dasar pikiran dalam kepercayaan animisme dan dinamisme bahwa

42
Kodiran, Kebudayaan dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta:
Jambatan, 1976), h. 322.
38

dunia ini juga didiami oleh roh-roh halus termasuk roh nenek moyang dan juga

kekuatan-kekuatan (daya-daya) ghaib.43

Sebagai sebuah kenyataan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling

memengaruhi karena keduanya memiliki nilai dan simbol. Agama adalah

merupakan simbol yang menjadi lambang nilai ketaatan kepada Tuhan.

Kebudayaan juga memiliki nilai dan simbol agar supaya manusia bisa hidup di

dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol. Dengan kata lain, agama

memerlukan kebudayaan. Namun keduanya perlu dibedakan. Agama adalah

sesuatu yang final, universal, abadi, dan tidak mengenal perubahan (absolut).

Kebudayaan bersifat partikular, relatif, dan temporer. Agama tanpa kebudayaan

memang dapat berkembang sebagai agama pribadi. Namun, tanpa kebudayaan,

agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat. Di Konawe, Khususnya

Unaha, agama (Islam) dan budaya yang ada di Unaha adalah merupakan

ajaran Islam yang berkembang dan berjalan selaras dengan kebudayaaan

masyarakat Tolaki.

C. Nilai-nilai Keislaman dalam Kalosara

1. Nilai dalam Islam

Nilai merupakan tema baru dalam filsafat: aksiologi, cabang filsafat yang

mempelajarinya, muncul yang pertama kalinya pada paruh kedua abad ke-19. 44

Menurut Riseri Frondizi, nilai itu merupakan kualitas yang tidak tergantung pada

benda; benda adalah sesuatu yang bernilai. Ketidak tergantungan ini mencakup

43
Iskandar Zulkarnain, dkk., Sejarah Sumenep (Sumenep: Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan, 2003), h. 23-28.
44
Riseri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, terj. Cuk Ananta Wijaya (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), h. 1.
39

setiap bentuk empiris, nilai adalah kualitas apriori. 45 W.J.S. Purwadarminto dalam

kamus umum bahasa Indonesia mendefinsikan nilai dengan sifat-sifat (hal-hal)

yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Menurut Louis O. Kattsof nilai

diartikan sebagai berikut:

a. Nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan,

tetapi kita dapat emngalami dan memahami secara langsung

kualitas yang terdapat dalam objek itu. Dengan demikian, nilai

tidak sematamata subyektif melainkan ada tolok ukur yang pasti

yang terletak pada esensi obyek itu.

b. Nilai sebagai obyek dari seuatu kepentingan, yakni suatu obyek

yang berada dalam kenyataan maupun pikiran dapat emmperoleh

nilai jika suatu ketika berhubungan dengan subyek-subyek yang

memiliki kepentingan.

c. Nilai sebagai esensi nilai adalah hasil ciptaan yang tahu, nilai

sudah ada sejak semula, terdapat dalam setiap kenyataan namun

tidak bereksistensi, nilai itu bersifat obyektif dan tetap.46

2. Nilai dalam Ajaran Islam

Dari segi normatif nilai-nilai dalam islam mengandung dua kategori, yaitu

pertimbangan baik dan buruk, salah dan benar, hak dan batal, diridhoi dan

dimurkai oleh Allah. Nilai-nilai agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam

kehidupan social, bahkan tanpa nilai tersebut manusia akan turun ketingkat

kehidupan hewan yang amat rendah karena agama mengandung unsur kuratif
45
Riseri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, terj. Cuk Ananta, h. 2.
46
Louis Kattsof, Pengantar Filsafat, terj.Soejono Soemargono (Yogyaklarta: Tiara
Wacana,1996), h. 333.
40

terhadap penyakit social. Sebagaimana firman Allah dalam Al Quran surat Al-

Anam/6 : 110.

           

 

Terjemahnya :

Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang


benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya
dan Dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha mengetahui.47

Yang kedua nilai insani atau duniawi, yaitu nilai yang tumbuh atas

kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dalam peradaban manusia. 48

Modal yang pertama bersumber dari ra’yu atau pikiran yang memberikan

penafsiran dan penjelasan terhadap Al Qur‟an dan sunnah. Yang kedua bersumber

dari adat istiadat seperti tata cara berkomunikasi, interaksi antar sesama manusia

dan sebagainya. Yang ketiga bersumber dari kenyataan alam seperti tata cara

makan dan sebagainya. Dalam bahasa arab, agama berasal dari kata ad-din yang

artinya sejumlah aturan yang disyariatkan Allah SWT bagi hambanya yang

menyembah kepada NYA, baik aturan-aturan yang menyangkut kehidupan

duniawi dan berkenaan dengan ukhrowi.49 agama memiliki peran yang sangat

penting bagi tata kehidupan pribadi manusia maupun masyarakat, maka dalam

rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya haruslah bertumpu diatas

landasan keagamaan yang kokoh. Agama yang berdimensi dalam kehidupan

manusia yang berbentuk daya tahan untuk menghadapi sikap dan tingkah laku
47
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 578.
48
H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 111.
49
Abdul Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyah (Jakarta: Aneka Bahagia, 1993), h. 11.
41

yang tidak sesuai dengan hatinya. Pendidikan anak dimulai sejak dini agar ia

menjadi muslim atau mukmin yang baik bagi dirinya, keluarga dan umat islam,

bahkan bagi seluruh umat manusia. Pendidikan pertama adalah ibu kemudian ayah

selanjutnya sekolah dan terakhir lingkungan.50Islam menuntut agar anak diberikan

pendidikan yang ideal agar mereka menjadi manusia yang idealis, meneladani

kepribadian Rasulullah yang mulia. Merujuk pada Al Quran dan Hadits serta

pendapat para ulama, bahwa ajaran pokok islam meliputi ajaran tentang iman

(aqidah), ibadah dan akhlak.51 Ketiga ajaran pokok islam ini selengkapnya

diungkapkan sebagai berikut:

a. Nilai keimanan (Aqidah)

Secara harfiah, iman berasal dari bahasa arab yang mengandung arti faith

(kepercayaan) dan belief (keyakinan). Iman juga berarti kepercayaan(yang

berkenaan dengan agama) yakni kepada Allah, keteguhan hati, keteguhan batin. 52

Zainuddin Bin Abdul Aziz menjelaskan, islam itu perbuatan anggota luar (dzohir)

dan islam tidak sah kecuali disertai dengan iman. Iman itu membenarkan hati, dan

iman tidak sah kecuali disertai pengucapan dua kalimat syahadat. Jelasnya bahwa

pengertian iman disini meliputi tiga aspek: pertama, ucapan lidah atau mulut

karena lidah adalah penerjemah hati. kedua, pembenaran hati. Ketiga, amal

perbuatan yang dihitung dari sebagian iman karena ia melengkapi dan

menyempurnakan iman, sehingga bertambah dan berkurangnya iman seseorang

50
Muhamad faiz Al-Math, Keistimewaan-keistimewaan Islam (Jakarta, Gema insani Press:
1994), h. 86.
51
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2005),
h. 115.
52
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif (Jakarta, Kencana; 2011), h. 128.
42

adalah dari amal perbuatan. Akidah mengajarkan manusia untuk percaya akan

adanya Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa sebagai sang pencipta alam

semesta, yang akan senantiasa mengawasi dan menghitung segala perbuatan

manusia di dunia. Manusia akan lebih taat untuk menjalankan segala sesuatu yang

diperintahkan oleh Allah dan takut untuk berbuat dhalim atau kerusakan dimuka

bumi ketika memiliki rasa sepenuh hati bahwa Allah itu ada dan Maha Kuasa.

b. Nilai Ibadah

Ibadah berasal dari kata “abada” yang berarti patuh, tunduk,

menghambakan diri, dan amal yang diridhoi Allah. Ibadah selanjutnya sudah

masuk kedalam bahasa Indonesia yang diartikan perbuatan yang menyatakan bakti

kepada Tuhan, seperti shalat, berdoa, dan berbuat baik. Ibadah selanjutnya

menjadi pilar ajaran islam yang bersifat lahiriah yang tampak sebagai refleksi atau

manifestasi keimanan kepada Allah. Ibadah lebih lanjut merupakan salah satu

aspek dari ajaran pada seluruh agama yang ada di dunia, aspek inilah yang

membedakan atau mencirikan antara satu agama dengan agama lainnya.


53
Pengalaman nilai-nilai ibadah akan melahirkan manusia-manusia yang adil, jujur

dan suka membantu sesama.

c. Nilai Akhlak

Al-Ghazali memberi pengertian tentang akhlak Al-Khuluq ialah ibarat

(sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa,

daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah tanpa


53
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, h. 139.
43

memerlukan pikiran dan pertimbangan.54 Akhlak adalah suatu kondisi atau sifat

yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian. Dari sini timbullah

berbagai macam perbuatan dengan cara spontan tanpa dibuatbuat dan tanpa

memerlukan pikiran.55 Ajaran Akidah, Ibadan dan Akhlak merupakan kesatuan

yang erat. Ketiganya adalah unsur yang saling mengisi dan menyokong. Akidah

akan berjalan dengan ibadah dan akhlak, begitupun ibadah, akidah dan akhlak

yang saling terpaut. Dari sumber nilai agama tersebut, maka dapat diambil suatu

kesimpulan bahkan setiap tingkah laku manusia haruslah mengandung nilai-nilai

islami yang pada dasarnya bersumber dari Alquran dan sunah yang harus

senantiasa dicerminkan oleh setiap manusia dalam tingkah lakunya dalam

kehidupan seharihari. Dari uraian tersebut dapat diambil pengertian bahwa nilai

agama islam adalah sejumlah tata aturan yang terjadi pedoman manusia agar

setiap tingkah lakunya sesuai dengan ajaran agama islam sehingga dalam

kehidupannya dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan lahir dan batin dunia

akhirat.

3. Nilai-nilai Islam dalam Kalosara

Pada tingkat nilai Islam, kalo merupakan sistem nilai yang berfungsi

mewujudkan ide-ide dan mengkonsepsikan hal-hal paling bernilai bagi

masyarakat Tolaki dalam hidupannya dikenal dengan sebutan medulu mepoko’aso

(persatuan dan kesatuan), ate pute penao moroha (kesucian dan keadilan), dan

morini mbu’mbundi monapa mbu’undawaro (kemakmuran dan kesejahteraan).

54
Zainuddin, dkk, Seluk beluk Pendidikan dari Al-Ghazali (Jakarta, Bumi Aksara:1991),
h. 102.
55
M Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Quran (Jakarta: Amzah 2007),
h. 4.
44

Ide medulu mepoko’aso (persatuan dan kesatuan) diwujudkan dalam apa yang

disebut mete’alo-alo (bantumembantu) antara keluarga inti atau antara kerabat

luas dengan kerabat luas dalam hal mendirikan rumah, sumbangan berupa

makanan dan minuman, pada acara-acara, terutama dalam acara perkawinan, dan

acara kematian.56

a. Ate Pute Penao Moroha (kesucian dan keadilan) diwijudkan dalam

rangkaian aktifitas lingkaran hidup seseorang, seperti permandian bayi

pertama, pemotongan rambut bayi, penyunatan, pembayatan calon

pengantin, mandi masal untuk memasuki bulan puasa, dan permandian

mayat. Sedangkan ide keadilan diwujudkan dalam pengambilan

keputusan terhadap pembagian warisan kepada anak-anak yang

dilakukan orang tua dalam pengambilan keputusan peradilan adat yang

dilakukan oleh hakim adat.

b. Morini mbu’mbundi (kemakmuran) diwujudkan dalam usaha mereka

untuk merealisasikan dengan apa yang disebut mondaweako (jutaan

ikat padi), tepohiu o’epe (bertebaran bidang kebun sagu). Sejalan

dengan itu, Melamba,57 menyatakan bahwa tanaman sagu memiliki

kedudukan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Tolaki

karena pada masa lalu dijadikan sebagai harta warisan

(hapo-hapo/tiari) dan sebagai simbol bagi kesejahteraan masyarakat

Tolaki, kiniku banggona (kerbau berombongan), lua-luano wawo raha

(kebun kelapa yang luas).


56
Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, h. 311.
57
Basrin Melamba, Tolaki: Sejarah, Identitas, dan Kebudayaan (Yogyakarta: Lukita,
2013), h. 236.
45

c. Monapa Mbu’undawaro (Kesejahteraan) diwujudkan dengan apa yang

disebut mombekapona pona’ako (saling hormat menghormati),

mombekamei-meiri’ako (saling kasih mengasihi), ndudu karandu

(suasana ketenangan batin yang diliputi dengan alunan bunyi gong

yang merdu di tengah malam), dan tumotapa rarai (suasana

kegembiraan yang diliputi dengan suara hura-hura, tawa dan tepuk

tangan yang meriah).

Anda mungkin juga menyukai