Anda di halaman 1dari 9

Lambang Sulawesi Tenggara disebut dengan perisai persegi lima adalah lambang Provinsi

Sulawesi Tenggara biasa disingkat "Sultra" yang terdiri dari lukisan


kepala anoa (anuang), mata rantai, dan padi dan kapas serta terdiri dari beberapa warna dasar.
Makna[sunting | sunting sumber]
Lambang tersebut memiliki makna:[1]
 Anoa adalah suatu binatang yang mempunyai ciri khas yaitu ulet, gesit dan militan dan
juga jadi perlambang sebagai ciri spesifik untuk Sulawesi Tenggara.
 Padi dan kapas merupakan cita-cita untuk memakmurkan rakyat
 Mata rantai yang bersambung menjadi satu merupakan simbol persatuan yang kokoh.
Mata rantai yang disambung menjadi satu yang berjumlah 27 mata rantai hal ini
mengingatkan pada hari kelahiran Provinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 27
April 1964.
Makna warna[sunting | sunting sumber]
 Putih, yang menjadi dasar dari kepala anoa (anuang) menunjukkan kesucian dan
kebersihan.
 Hijau, adalah pelambang kesuburan, dan warna ini menunjukkan Kabupaten Kendari.
 Coklat, adalah menunjukkan tanah berwarna coklat yang mengandung nikel dan terdapat
di Kabupaten Kolaka.
 Kuning, adalah menunjukkan warna kayu jati yang terdapat di Kabupaten Muna.
 Hitam, adalah menunjukkan warna aspal yang terdapat cukup banyak di Kabupaten
Buton yang melambangkan kemantapan, keteguhan dan kekekalan.

Arti Logo

1. Logo Kota Kendari berbentuk perisai segilima samasisi (yang menyelimuti seluruh unsur
logo) yang bermakna bahwa pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam menyelenggarakan
pembangunan dijiwai dan bernapaskan asas Pancasila.

2. Pada logo tersebut terdapat bagian-bagian yang merupakan simbol-simbol sebagai berikut:
a. Gong
Gong melambangkan sejarah masa lalu yang bermakna kekeluargaan dan kegotong-
royongan. Bahwa pemerintah dan rakyat selalu seirama dalam menentukan gagasan
kebutuhan hidup masyarakat.

b. Pilar
Pilar melambangkan masa kini/zaman pembangunan yang bermakna kekuatan hidup,
kemasyarakatan melalui pembangunan dalam segala aspeknya.
Tangga berteras enam yang menggambarkan nomor undang-undang pembentukan Kota
Kendari yaitu tahun 1995 nomor 6.
Tiang pilar bagian luar bergerigi sembilan dan dalamnya bergerigi lima yang
menggambarkan tahun pembentukan Kota Kendari yaitu tahun 1995.
c. Kubah
Kubah melambangkan kebudayaan daerah yang bermakna kejayaan yang gilang-gemilang
bagi warga masyarakat.
d. Kalosara
Kalosara melambangkan kebudayaan daerah yang bermakna kejayaan masyarakat
Kotamadya Kendari dijiwai oleh kesatuan dan persatuan.
e. Bintang
Bintang melambangkan keimanan dan ketaqwaan serta wawasan keilmuan bagi masyarakat
yang menjiwai dan memberi semangat bagi segala gerak masyarakat dalam kehidupan yang
jaya itu.
f. Padi Kapas
Padi dan Kapas melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan yang bermakna cukup
makan, cukup sandang, cukup papan sebagai manifestasi potensi alam yang kaya
diaktualisasikan melalui kerja keras dan penggunaan ilmu dan teknologi.

Dalam logo tersebut juga terdapat warna-warna yang merupakan simbol-simbol


sebagai berikut:

a. Biru Laut
Warna biru laut (warna dasar logo) menggambarkan suasana kesejukan dan ketentraman serta
pandangan yang jauh kedepan.
b. Hitam
Warna hitam pada gong menggambarkan suasana kehidupan yang mantap dan stabil tidak
goyah.
c. Putih
Warna putih pada pilar-pilar menggambarkan bahwa pembangunan yang kini dilancarkan
berdasar pada pandangan kesucian, kemurnian dan keadilan sebagai tuntutan kehidupan yang
didasari oleh ajaran-ajaran agama.
d. Kuning Emas
Warna kuning emas pada kubah maupun bintang menggambarkan kekuasaan, kejayaan,
keindahan dan keharuman yang menyelimuti kehidupan masyarakat yang merupakan tujuan
akhir dari kehidupan manusia di bumi ini.
e. Kuning-Putih-Hijau
Warna kuning-putih-hijau pada padi dan kapas bermakna bahwa suasana kehidupan yang
makmur dan sejahtera senantiasa diliputi oleh suasana kehidupan yang lestari, tumbuh
berkembang dan berkesinambungan.
f. Merah
Warna merah pada tulisan Kota Kendari melambangkan semangat keberanian yang
menggelora pemerintah dan masyarakat dalam membangun segala aspek kehidupan
masyarakat Kota Kendari.

KOTA KENDARI
Kendari adalah ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Kendari diresmikan sebagai
kotamadya (kini kota) dengan UU RI No. 6 Tahun 1995 tanggal 27 September 1995. Kota ini
memiliki luas 296,00 km² (29.600 Ha) dan berpenduduk 289.966 jiwa (2010)
Wilayah Kota Kendari berbatasan dengan:
Sebelah Utara: Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe
Sebelah Timur: Laut Banda
Sebelah Selatan: Kecamatan Moramo dan Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe
Selatan
Sebelah Barat: Kecamatan Ranomeeto, Kabupaten Konawe Selatan dan Kecamatan
Sampara, Kabupaten Konawe
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
Kotamadya Daerah Tingkat II Kendari berubah menjadi Kota Kendari. Berdasarkan Perda
Nomor 1 Tahun 2003 telah dimekarkan menjadi 10 kecamatan dengan jumlah kelurahan
setelah pemekaran pada bulan Oktober 2006 sebanyak 64 kelurahan.
Kota Kendari terdiri dari 10 kecamatan dan 64 kelurahan, yaitu:
1. Kecamatan Abeli, ibukotanya Abeli, terdiri dari 13 kelurahan.
2. Kecamatan Baruga, ibukotanya Baruga, terdiri dari 4 kelurahan.
3. Kecamatan Kendari, ibukotanya Kandai, terdiri dari 9 kelurahan.
4. Kecamatan Kendari Barat, ibukotanya Benu-Benua, terdiri dari 9 kelurahan.
5. Kecamatan Mandonga, ibukotanya Mandonga, terdiri dari 6 kelurahan.
6. Kecamatan Poasia, ibukotanya Andounohu, terdiri dari 4 kelurahan.
7. Kecamatan Kadia, ibukotanya Kadia, terdiri dari 5 kelurahan.
8. Kecamatan Wua-Wua, ibukotanya Wua-Wua, terdiri dari 4 kelurahan.
9. Kecamatan Kambu, ibukotanya Kambu, terdiri dari 4 kelurahan.
10. Kecamatan Puwatu, ibukotanya Puwatu, terdiri dari 6 kelurahan.

Dengan jumlah penduduk sekitar 289.468 jiwa(sensus penduduk tahun 2010), mayoritas
penduduk Kota Kendari memeluk agama Islam. Kota Kendari dihuni oleh masyarakat dari
Suku Tolaki, Suku Muna, Suku Buton, dan Suku Bugis. Sedangkan penduduk asli Kendari
berasal dari Suku Tolaki.
Kebudayaan yang dimiliki Kota Kendari mayoritas bersumber dari kebudayaan Suku Tolaki.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Kendari memakai konsep ‘Kalo Sara’ yang berasal
dari kebudayaan Tolaki. ‘Kalo Sara’ adalah nilai-nilai luhur kebudayaan Tolaki yang
dilaksanakan pada setiap unsur kehidupan. Misalnya, dalam interaksi sosial, hukum adat,
ekonomi, agama, budi pekerti, dan kesenian. Bagi masyarakat Kendari ‘Kalo Sara’
merupakan penyelaras dalam kehidupan, baik dalam berinteraksi dengan sesama, maupun
dalam berinteraksi dengan alam dan Tuhan.
CULTURE
Kalosara :
Kalosara sebagai benda yang dianggap bertuah bagi oang Tolaki, berasal dari dua
kata yakni kalo dan sara masing mempunyai arti tersendiri. Kalo dapat berarti suatu benda
yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, atau dapat juga berarti
pertemuan-pertemuan maupun suatu kegiatan bersama dimana para pelakunya membentuk
lingkaran (Tarimana, 1993:20). Oleh Suud (2006:2) menilai bahwa keberadaan kalosara,
sering juga disebut sebagai osara atau sara wonua yang artinya hukum negeri.
orang pertama sebagai pencipta atau penemu atribut kalo adalah Puteri Wekoila yang
juga dikenal sebagai peletak dasar terbentuknya Kerajaan Konawe yang diperkirakan pada
abad ke 11 atau Tahun 1150 M.
Karena pada mulanya orang Tolaki dalam urusan apa saja baik perkawinan maupun
sengketa dan sebagainya, hanya menggunakan gelang kaki sebagai kalonya (hasil wawancara
dengan Arsyamid). Karena benda tersebut ditolak lalu dibuatkan benda lain dari rotan kecil,
dengan membuat lingkaran sebesar bahu kemudian dipilin tiga dimana kedua ujungnya
dipusatkan pada satu simpul, yang diletakkan di atas nyiru dan dialasi dengan bahan yang
terbuat dari kulit kayu berwarna putih bernama kinawo mowila.
Ma s ya r a ka t pa da s a a t i t u t e l a h
masing untuk golongan tingkat atas disebut anakia atau bangsawan, golongan
menengah disebut Toononggapa yang merupakan orang kebanyakan, dan golongan tingkat
bawah disebut O’ata atau buak (Arsyamid, 2006:12). Untuk mengatur tata kehidupan
masyarakat pada saat itu, telah disertai pula dengan seperangkat benda (regalia) yang disebut
dengan nama kalosara.
Pandangan dalam masyarakat Tolaki di Konawe terhadap keberadaan kalosara
tersebut, terungkap dalam suatu motto filosofis yang berbunyi sebagai berikut; Inae
Konosara Ieta Pinesara, Ina Lia sara Ieto Pinekasara, Artinya; Barang siapa yang
mentaati/menjunjung tinggi hukum (adat) akan diperlakukan dengan baik/adil, barang siapa
yang melanggar hukum (adat) akan diberi ganjaran atau hukuman.
Penggunaan kalosara sebagai simbol budaya dalam masyarakat Tolaki yang berdiam
di daratan Mekongga (Kabupaten Kolaka sekarang), diperkirakan telah berlangsung sejak
kehadiran Kerajaan Mekongga. Pada zaman itu kalosara masih berupa ikatan rotan sederhana
yang hanya berlaku secara perorangan sebagai tanda kepemilikan sesuatu barang. Status
kepemilikan itu dapat berupa tanaman maupun hewan peliharaan serta kepemilikan lainnya.
Kepemilikan suatu barang apa saja, manakala telah diberi tanda ikatan rotan yang
disebut kinalo, terutama yang diletakkan pada batang pohon tanaman atau pada leher maupun
hidung binatang peliharaan, maka barang-barang ataupun ternak/hewan tersebut merupakan
pertanda kepemilikan, sehingga tidak boleh lagi diganggu atau dapat diambil oleh orang lain.
Kendati demikian adanya pada suatu ketika telah terjadi suatu kasus, dimana ada seorang
anggota masyarakat atau penduduk wonua (negeri) datang menghadap kepada sang raja.
Orang tersebut mengadukan halnya bahwa barang miliknya telah diberi tanda kinalo telah
diambil oleh orang yang tak dikenalnya. Mendengar pengaduan orang itu, maka sang raja lalu
memerintahkan dan memberitahukan kepada seluruh penduduk wanua (negeri) bahwa tanda
ikatan rotan pada setiap barang apa saja, merupakan suatu tanda hak kepemilikan seseorang
warga masyarakat yang tidak boleh diganggu lagi.

Jenis Bahan Kalo dan Kegunaannya


Sebagaimana benda yang berbentuk lingkaran, kalo tidak saja terbuat dari bahan rotan
melainkan dapat juga terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain
putih, akar, daun pandan, dan sebaginya (Tarimana dalam
Keberadaan kalosara sendiri yang terbuat dari bahan rotan itu, dalam pemanfaatannya
digunakan untuk sejumlah kegiatan. Seperti misalnya upacara perkawinan adat, pelantikan
raja-raja, penyambutan tamu agung, upacara perdamaian suatu konflik, sebagai alat untuk
menyampaikan suatu pendapat, dan undangan pesta keluarga. Kalosara ini terdiri atas tiga
bagian, yakni kalo berupa lilitan tiga rotan yang melingkar, kain putih sebagai pengalas, dan
yang berupa anyaman terbuat daun palem berbentuk segi empat. Ketiganya harus menyatu
dalam sebuah tatanan dengan susunan paling bawah berupa siwoleuwa sebagai pengalas,
kemudian kain putih di atasnya, dan baru kemudian diletakkan kalo di atasnya.
Berdasarkan bahan pembuatan dan tempat penggunaannya,maka selain kalosara
sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya juga dapat dibedakan dalam beberapa
jenis, seperti kalo tusa i tonga yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat tiang tengah rumah,
kalo holunga, yaitu kalo yang dipakai untuk mengikat hulu parang, senjata, dan alat-alat
produksi lainnya, kalo o wongge yaitu kalo sebagai pengikat aneka ragam wadah, kalo
ohotai, o taho, kalo ohopi yaitu macam-macam kalo yang digunakan untuk menangkap ayam
hutan dan aneka ragam burung, kalo o oho yaitu kalo yang digunakan untuk menangkap
kerbau liar, kuda dan anuang, kalo selekeri yaitu kalo yang digunakan sebagai cincin hidung
kerbau.
Kalo yang terbuat dari emas, yang disebut kalo eno-eno, yaitu kalo yang digunakan
sebagai alat upacara sesaji, alat tebusan sebagai pelanggaran janji untuk melangsungkan
upacara peminangan gadis dalam rangkaian perkawinan,sebagai salah satu dari mas kawin,
dan dipakai sebagai kalungperhiasan bagi wanita.
Kalo yang terbuat dari besi, yang disebut juga kalo kalelawu, yaitu kalo yang
digunakan sebagai cincin hidung kerbau, seperti halnya dengan kalo selekeri. Kalo yang
terbuat dari perak disebut kalo sambiala, kalo bolusu, dan kalo o lengge yakni kalo yag
digunakan sebagai perhiasan dada, pergelangan tangan dan kaki.
Kalo yang terbuat dari benang disebut kalo kale-kale, yaitu kalo yang dipakai sebagai
pengikat pergelangan tangan dan kaki bayi; kalo ula-ula, yaitu kalo yang digunakan sebagai
alat berita atau pengkabaran tentang adanya orang meninggal.
Kalo yang terbuat dari akar atau kulit kayu disebut kalo pebo, yaitu kalo yang dipakai
sebagai pengikat pinggang bagi orang dewasa. Ada juga kalo kalepasi, yaitu kalo terbuat dari
akar bahar yang digunakan sebagai perhiasn orang dewasa. Dan kalo parahi atau kalo
mbotiso, yaitu kalo yang digunakan sebagai tanda atau patok pemilikan tanah hutan untuk
selanjutnya diolah menjadi sebuah ladang atau kintal. Adapun kalo yang terbuat dari daun
pandan disebut kalo kalunggalu, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat kepala bagi gadis
remaja. Serta kaloyang terbuat dari bambu disebut kalo kinalo, yaitu kalo yang digunakan
sebagai penjaga kintal dan tanaman yang ada di dalamnya. Dan ada juga kalo yang terbuat
dari kulit kerbau disebut kalo parado, yaitu kalo yang digunakan untuk menangkap kerbau
liar.
Secara umum, kalo meliputi osara (adatistiadat), khususnya sara Owoseno Tolaki
atau
sara mbu’uno tolaki, yaitu adat pokok yang merupakan sumber dari segala adat-istiadat yang
berlaku dalam segala aspek kehidupan suku tolaki. sebagai adat pokok, kalo dapat
digolongkan ke
dalam beberapa bagian yaitu: sara wonua, yaitu adat pokok dalam pemerintahan, sara
mbedulu,
yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya, sara
mbe’ombu,
yakni adat pokok dalam aktifits agama atau kepercayaan, sara mandarahia, yaitu adat pokok
dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan, sara monda’u,
mombopaho, mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti, yaitu adat pokok dalam berladang,
berkebun, berternak, berburu dan menagkap ikan dan sara mberapu, yaitu adat perkawinan
yang mengatur dan menetapkan tatacara melamar, memilih jodoh atau segala sesuatu
yang berhubungan dengan urusan dalam berumah tangga.

TARI LULO
Tarian Molulo atau Lulo (dari Bahasa Tolaki: Molulo), merupakan salah satu
jenis kesenian tari tradisional dari daerah Sulawesi Tenggara, Indonesia.
Di Kendari (Sulawesi Tenggara – Indonesia) terdapat beberapa suku. Suku Tolaki sebagai
salah satu suku yang berada di daerah ini memiliki beberapa tarian tradisional , salah satu
tarian tradisional yang masih sering dilaksanakan hingga saat ini adalah tarian persahabatan
yang disebut tarian Lulo.
Pada zaman dulu, tarian ini dilakukan pada upacara-upacara adat seperti : pernikahan,
pesta panen raya dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh alat musik pukul yaitu gong.
Tarian ini dilakukan oleh pria, wanita, remaja, dan anak-anak yang saling berpegangan
tangan, menari mengikuti irama gong sambil membentuk sebuah lingkaran. Gong yang
digunakan biasanya terdiri dari 2 macam yang berbeda ukuran dan jenis suara. Saat sekarang
utamanaya di daerah perkotaan , gong sebagai alat musik pengiring tarian lulo telah
digantikan dengan alat musik modern yaitu “Electone”.
Adapun filosofi tarian “lulo” adalah persahabatan, yang biasa ditujukan kepada muda-
mudi suku Tolaki sebagai ajang perkenalan, mencari jodoh, dan mempererat tali
persaudaraan. Tarian ini dilakukan dengan posisi saling bergandengan tangan dan
membentuk sebuah lingkaran. Peserta tarian ini tidak dibatasi oleh usia maupun golongan,
siapa saja boleh turut serta dalam tarian lulo, kaya miskin, tua, muda boleh bahkan jika anda
bukan suku Tolaki atau dari negara lain bisa bergabung dalam tarian ini, yang penting adalah
bisa mengikuti gerakan tarian ini. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah posisi tangan saat
bergandengan tangan, untuk pria posisi telapak tangan di bawah menopang tangan wanita.
Posisi tangan ini merupakan simbolisasi dari kedudukan, peran, etika pria dan wanita dalam
kehidupan.
Yang terpenting dari semua itu adalah arti dari tarian Lulo sendiri, yang
mencerminkan bahwa masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang cinta damai dan
mengutamakan persahabatan dan persatuan dalam menjalani kehidupannya. Seperti filosofi
masyarakat Tolaki yang diungkapkan dalam bentuk pepatah samaturu, medulu ronga
mepokoaso, yang berarti masyarakat Tolaki dalam menjalani perannya masing-masing selalu
bersatu, bekerja sama, saling tolong–menolong dan bantu-membantu.
Tarian tradisional salah satu jenis kesenian, setiap suku di daerah ini memiliki tarian
tradisional masing-masing, yang merupakan kekayaan budaya warisan dari nenek moyang
bangsa Indonesia khususnya di daerah Sulawesi Tenggara. Di Kendari (sulawesi tenggara)
terdapat beberapa suku. Suku Tolaki sebagai salah satu suku yang berada di daerah ini
memiliki beberapa tarian tradisional , salah satu tarian tradisional yang masih sering
dilaksanakan hingga saat ini adalah tarian persahabatan yang disebut tarian Lulo.
Jaman dulu, nenek moyang suku tolaki tarian ini dilakukan pada upacara-upacara adat seperti
: pernikahan, pesta panen raya dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh alat musik
pukul yaitu gong, gong yang digunakan biasanya terdiri dari 2 macam yang berbeda ukuran
dan jenis suara. Saat sekarang utamanaya di daerah perkotaan , gong sebagai alat musik
pengiring tarian lulo telah digantikan dengan alat musik modern yaitu “Electone”.
Adapun filosofi tarian “lulo” adalah persahabatan, yang biasa ditujukan kepada muda-mudi
suku Tolaki sebagai ajang perkenalan, mencari jodoh, dan mempererat tali persaudaraan.
Tarian ini dilakukan dengan posisi saling bergandengan tangan dan membentuk sebuah
lingkaran. Peserta tarian ini tidak dibatasi oleh usia maupun golongan, siapa saja boleh turut
serta dalam tarian lulo, kaya miskin, tua, muda boleh bahkan jika anda bukan suku tolaki atau
dari Negara lain bisa bergabung dalam tarian ini, yang penting adalah bisa mengikuti gerakan
tarian ini. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah posisi tangan saat bergandengan tangan,
untuk pria posisi telapak tangan di bawah menopang tangan wanita. Posisi tangan ini
merupakan simbolisasi dari kedudukan, peran, etika pria dan wanita dalam kehidupan ini.
Tetapi saat ini Tarian lulo telah mengalami proses adaptasi terutama dalam hal variasi
gerakan dan juga musik yang mengiringinya, jika dahulu masyarakat suku tolaki
menggunakan alat musik pukul yang dikenal dengan sebutan “Gong” saat ini telah
menggunakan alat musik elektronik yaitu organ tunggal (electone) begitu juga dengan variasi
gerakannya mulai dari lulo yang lambat (santai) sampai gerakan yang cepat.
Yang terpenting dari semua itu adalah arti dari tarian Lulo sendiri, tarian Lulo mencerminkan
bahwa masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan
persahabatan dan persatuan dalam menjalani kehidupannya. Seperti filosofi masyarakat
Tolaki yang diungkapkan dalam bentuk pepatah “samaturu, medulu ronga mepokoaso” yang
berarti masyarakat Tolaki dalam menjalani perannya masing-masing selalu bersatu, bekerja
sama, saling tolong –menolong dan bantu-membantu.

Sejarah munculnya tari lulo, tidak terlepas dari dari sistem mata pencaharian dan sistem
kepercayaan lokal masyarakat Tolaki kuno. Suku Tolaki kuno dikenal sebagai suku yang
menempati wilayah dataran dan pegunungan. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani.
Tari lulo pada mulanya berkembang dari kebiasan masyarakat Tolaki yang menginjak-
injakkan kaki kiri untuk membuka bulir-bulir padi pada saat panen. Tradisi menginjak padi
ini dikenal dalam bahasa Tolaki dengan Molulowi opae. Molulowi berarti menginjak-
injakkankaki, dan opae artinya padi.
Ada pula versi yang menyebutkan bahwa tari lulo pada awalnya lahir ketika masyarakat
Tolaki kuno akan membuka lahan yang dijadikan sebagai tempat bercocok tanam. Pada saat
itulah masyarakat berkumpul pada lahan baru yang akan dibuka itu dan meminta kepada
penguasa alam agar nanti tanaman mereka tidak diganggu oleh serangan hama dan penyakit.
Ketika masyarakat telah berkumpul, kepala suku memberikan perintah untuk membentuk
lingkaran, saling bergandengan tangan dan menginjak-injakkan kaki yang disertai dengan
bunyi alunan musik gong.
Selain dimaksudkan untuk menghibur dewa Sanggolemboe, tari lulo juga digunakan sebagai
instrumen ritual penyembuhan warga yang sakit. Dalam kepercayaan masyarakat Tolaki,
penyakit seseorang biasanya diakibatkan oleh kesalahan orang tersebut yang menyebabkan
Sangia murka dan memberikannya penyakit. Untuk menyembuhkan penyakit tersebut, warga
Tolaki dengan dipandu oleh seorang dukun melakukan tarian lulo.Dengan demikian, tari lulo
merupakan salah satu bentuk instrumen budaya masyarakat Tolaki yang berfungsi untuk
membangun “komunikasi ritual” dengan para dewa. Komunikasi ritual ini dimaksudkan
sebagai upaya untuk menghindarkan manusia dari kehancuran akibat murka para dewa
dengan cara menghibur para dewa tersebut dengan tari lulo. Tari lulo sekaligus menunjukkan
pengakuan manusia yang kehidupannya sangat tergantung kepada keinginan para dewa.
Tari lulo terdiri dari beragam jenis, diantaranya lulo sangia, lulo ngganda, dan lulo anggo.
Beragamnya jenis tarian ini disebabkan oleh banyak faktor seperti instrumen pengiring,
gerak-gerakan dalam tarian, asal daerah, dan bahkan nama penciptanya. Namun, meskipun
terdiri dari jenis-jenis yang relatif banyak, prinsip-prinsip dasar gerakan dari tarian ini adalah
sama, yaitu gerakan kaki, tangan dan bentuk lingkaran. Hal yang membedakan hanya variasi-
variasi gerakannya. Berikut ini beberapa persyaratan umum yang ada dalam tari lulo:
1. Penari-penari bergandengan tangan dan membentuk sebuah lingkaran penuh atau setengah
lingkaran. Jika setengah lingkaran, maka yang bertindak sebagai penari Pondombaki (penari
terujung) harus dari penari laki-laki.
2. Tangan penari lelaki berada di bawah tangan perempuan. Posisi tangan tidak terikat sesuai
dengan selera masing-masing.
3. Penari-penari boleh saling bergandengan antara sesama lelaki, sesama perempuan atau
antara lelaki dan perempuan.
4. Alat musik berada di tengah-tengah lingkaran para penari.
5. Setiap penonton yang akan masuk menari harus masuk di tengah-tengah lingkaran dahulu,
kemudian masuk dari depan penari secara terhormat.
6. Tidak diperbolehkan masuk dari belakang, karena dikhawatirkan dapat menyentuh bagian
tubuh perempuan yang terlarang, kecuali bila penonton mau masuk di antara penari sesama
jenis.
7. Penari yang akan meninggalkan permainan, harus mengundurkan diri ke belakang setelah
meminta izin dari penari-penari yang mengapitnya.
8. Apabila semua penari perempuan sudah diapit oleh penari lelaki, lalu ada penonton yang
mau masuk menari, ia harus mengambil tempat di sebelah kanan si penari laki-laki atau di
sebelah kiri penari perempuan. Sebab tradisi membawa pacar atau pasangan dalam lulo
adalah di sebelah kiri si lelaki. Apabila ada pelanggaran misalnya penonton masuk dari jalur
kiri lelaki akan dapat menimbulkan ketersinggungan karena penari baru tadi bisa dianggap
mau merampas pasangan si penari lelaki tadi.
9. Apabila ada penonton yang masuk menari dan secara kebetulan tidak berkenan di hati
penari yang akan mengapitnya, maka sangat dilarang untuk meninggalkan tempat seketika itu
juga, karena memungkinkan terjadinya ketersinggungan perasaan penari yang baru masuk itu.
Demi penghargaan, harus diantar minimal satu kali putaran baru minta izin untuk
meninggalkan permainan.
10. Seorang penari yang baru saja keluar dari barisan tidak diperbolehkan langsung masuk di
tempat lain, sebab dapat menimbulkan ketersinggungan dari penari yang ditinggalkan. Ia
harus istrahat sejenak lalu kemudian masuk lagi apabila masih ingin meneruskan tarian.
Dalam tari lulo, ada beberapa istilah dalam gerak tari lulo yang perlu diketahui, yaitu:
1. Moese, artinya gerakan tangan ke atas dan ke bawah.
2. Molakoako, artinya bergerak ke arah kanan dan kiri.
3. Nilulo-lulo, artinya gerakan kaki menginjak-injak.
Fungsi Dan Makna Tari Lulo
Seperti yang di jelaskan di atas, Tari Lulo ini merupakan tarian yang sering ditampilkan di
berbagai acara adat masyarakat Suku Tolaki dan menjadi bagian dari acara tersebut. Bagi
masyarakat di sana, tarian ini dimaknai sebagai ungkapan kegembiraan dan rasa syukur akan
kebahagiaan yang mereka dapatkan. Selain itu Tari Lulo ini juga menjadi salah satu media
untuk mempersatukan dan mempererat hubungan diantara masyarakat. Hal ini terlihat dari
bagaimana mereka melakukannya secara bersama-sama dan menjadi satu tanpa memandang
gender, status sosial, dan agama. Sehingga keceriaan dan semangat kebersamaan sangat
terasa dalam tarian ini.
Perkembangan Tari Lulo
Dalam perkembangannya, Tari Molulo masih terus dilestarikan dan dikembangkan hingga
sekarang. Berbagai variasi dan kreasi juga sering ditambahkan dalam setiap penampilannya
baik dalam segi gerak, penari, formasi dan musik pengiring. Hal ini sebagai bagian dalam
pengembangan agar terlihat menarik, namun tidak menghilangkan ciri khas dan nilai-nilai
didalamnya.
Kepopuleran Tari Molulo ini tidak hanya dikalangan masyarakat Suku Tolaki saja, namun
sudah menyebar hampir semua daerah di Sulawesi Tenggara, bahkan daerah sekitarnya.
Tarian ini biasanya ditampilkan di berbagai acara adat, seperti pernikahan adat, pesta adat,
perayaan adat dan lain-lain. Selain itu tarian ini juga sering ditampilkan di berbagai acara
pertunjukan, seperti pertunjukan seni, festival budaya bahkan promosi pariwisata. Hal ini
dilakukan sebagai bagian dari melestarikan dan memperkenalkan kepada masyarakat akan
tradisi dan budaya yang mereka miliki.
Tari lulo telah membuktikan diri sebagai tarian tradisional yang mampu hidup dengan
berbagai derasnya arus modernitas. Dalam banyak kasus, tradisi kesenian lokal biasanya akan
punah jika berhadap-hadapan dengan seni kontemporer. Namun tari lulo merupakan tarian
yang memiliki daya resistensi yang cukup kuat terhadap pengaruh modernitas. Salah satu
faktor yang menyebabkan tari lulo tetap di kenal sepanjang sejarah masyarakat Kendari
adalah kemampuannya untuk menerima perubahan dengan tanpa kehilangan cirinya.

Anda mungkin juga menyukai