Anda di halaman 1dari 4

KEABSAHAN PERKAWINAN ADAT SUKU TOLAKI

SULAWESI TENGGARA
SUL HENDRAWAN
JALAN JALAN SERU BARRU (JJS BARRU)
EMAIL : sulhendrawan7@gmail.com
Latar belakang masalah
Pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan pada
umumnya sejalan dengan perkawinan dalam syariat Islam dan secara khusus ada
sebagian yang sering kontradiksi dalam pelaksanaan perkawinan menurut Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu masyarakat Tolaki lebih
mementingkan perkawinan di bawah tangan dari pada perkawinan yang tercatat di
PPN. Proses pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan
apabila diurut dari rangkaian perkawinan adat mereka yaitu meliputi (a) Kesiapan
benda-benda mas kawin dari pihak laki-laki untuk segera diserahkan kepada pihak
perempuan, (b) Permohonan pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk
menerima mas kawin yang telah diperhadapkan dengan rasa kekeluargaan yang
dalam, (c) Pernyataan pihak perempuan akan kesungguhan pihak laki-laki dalam
usahanya menyambung tali persaudaraan dan memperluas hubungan kekeluargaan
(d) Serangkaian ungkapan-ungkapan yang menggambarkan suasana gembira dan
lucu sebagai rasa syukur atas lancarnya proses pelaksanaan.
Dalam pelaksanaan pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe
Selatan ditemukan beberpa kendala antara lain faktor ekonomi keluarga, faktor adat
dan budaya suku Tolaki, faktor dijodohkan orang tua.Salah satu solusi untuk
mengatasi hal tersebut antara lain adalah memberikan pemahaman kepada
masyarakat khususnya yang akan melaksanakan perkawinan adat Tolaki. Implikasi
dalam penelitian ini adalah diharapkan agar masyarakat suku Tolaki khususnya
yang bermukim di Kabupaten Konawe Selatan dapat mengikuti prosesi perkawinan
berdasarkan hukum Islam dengan mengintegrasikannya dengan nilai-nilai budaya
yang memiliki relevansi dengan syari’at Islam. Agar tesis ini dapat menjadi bahan
rujukan dan referensi bagi pelaksanaan adat perkawinan masyarakat suku Tolaki,
sehingga dalam pelaksanaan perkawinan mereka dapat sejalan dengan hukum
Islam, adat istiadat dan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam suatu perkawinan,masyarakat tolaki tidak hanya berpedoman pada
undang -undang nomor 1 tahun 1974,tetapi juga berpedoman hukum adat dan
hukum islam ,karena bagi masyarakat adat suku tolaki, sah nya perkawinan apabila
telah memenuhi aturan adat dan perundang undangan.
Metode penelitian
Metode penelitian ini menggunakan penelitian normatif empiris, yakni penelitian
yang dilakukan dengan pendekatan pada norma atau substansi hukum, dan
perbandingan hukum. Penelitian hukum yang memadukan antara penelitian hukum
normatif dan penelitian hukum sosial/empiris. Pada jenis penelitian semacam ini
peneliti melakukan penelitian dengan mengkombain kedua tipe penelitian
sebagaimana disebutkan diatas dalam sebuah penelitian. ketiga Pendekatan yang
digunakan yakni pendekatan konseptualyangmerupakan pendekatan yang memberi
sudut pandang analisa terhadap penyelesaian permasalahan dalam penelitian
hukum, yang dilihat dari aspek dan konsep-konsep hukum yang
melatarbelakanginya, bahkan bisa juga dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam
penormaan sebuah peraturan yang sekaitan dengan konsep-konsep yang
digunakan.Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis yaitu
menggambarkan, menganalisis, menyimpulkan masalah-masalah yang menjadi
objek penelitian.(muhammad akbar fhad syahril, 10-03-2021 : 4)
Analisis dan pembahasan
Melosoako dalam proses perkawinan adat suku tolaki
Di Indonesia terdapat ± 500 satuan etnik suku bangsa yang masing-masing
suku tersebut mempunyai kebiasaan, budaya, bahasa yang berbeda-beda. Budaya
tersebut mengisyaratkan sebagai jati diri suku tersebut dan luasnya yakni jati diri
bangsa Indonesia. Budaya merupakan kekuatan pembanggunan yang diharapkan
dapat menggali potensi kearifan lokal dalam arti budaya tradisoanal agar dapat
dilestarikan dan dikembangkan seperti bahasa daerah, seni, kepercayaan dan lain
sebagainya. Salah satu suku yang mempunyai kebudayaan yang bernilai dan
mengandung kearifal lokal adalah suku Tolaki yang mendiami Sulawesi Tenggara
secara umum dan khusunya terdapat di Kabupaten Konawe, Konawe Utara,
Konawe Selatan, Kolaka, dan di kota Kendari.
Suku Tolaki adalah salah satu suku yang mendiami Sulawesi Tenggara yang
mempunyai kebudayaan yang unik dan menarik untuk diketahui. Sejarah suku
Tolaki sangat panjang mulai dari zaman kerajaan, penajajahan, kemerdekaan
hingga sampai sekarang. Kebudayaan suku Tolaki merupakan suatu kearifan lokal
yang menjadi jati diri Sulawesi Tenggara secara khusus dan umumnya yakni
Indonesia. Budaya suku Tolaki yang dianggap sakral dan supranatural adalah
budaya Kalosara.Kalosara merupakan lambang atau simbol yang mengespresikan
konsepsi suku Tolaki, baik itu mengenai manusia,alam semesta serta hubungan
antara manusia dan manusia lainnya.
Menurut Rauf Tarimana (dalam Basuala Tamburaka 2012 : 21) bahwa
“Kalosara sebagai bahasa simbolik yang menyimpulkan segala aspek hakikat
kehidupan sosial masyarakat Tolaki”. Oleh karena itu Kalosara disimbolkan sebagai
fokus kebudayaan suku Tolaki. Tidak satupun masalah adat istiadat atau yang
berurusan kebiasaan suku Tolaki tanpa dilibatkannya Kalosara.
Bentuk fisik dari Kalosara adalah sebuah benda yang terbuat dari rotan kecil
yang dalam bahasa Tolaki dikenal sebagai Uewai, Uewatu, Uendatu. Dalam urusan
adat, ukuran untuk tingkat Bupati ke atas maka garis tengahnya berukuran 45 cm,
dan untuk Camat ke bawah maka ukurannya adalah 40 cm. Kalosara terbagi atas
dua model. Yang pertama, jika dalam masalah konflik maka ujung simpul dari rotan
berbentuk angka 8. Kedua, jika masalah adat istiadat atau penikahan maka,
rotan yang telah dipertautkan pada simpul satunya akan keluar dan menonjol.
Rotan yang telah dipilin akan diletakkan di atas kain putih lalu dilatekkan lagi di
dalam sebuah wadah Kalo. Hal ini mengandung tiga arti, yang pertama lingkaran
rotan atau Kalo berarti lambang persatuan dan kesatuan, kedua kain putih yang
menjadi alas dari rotan artinya kesucian dan keikhlasan, dan ketiga adalah wadah
dari Kalo yang artinya kemakmuran dan kesejahteraan dalam suku Tolaki. Begitu
pula tiga makna fisik Kalo sebagai benda yang terdiri dari tiga lilitan rotan yang
menjadi satu. Menurut Basaula Tamburakan (2012 : 21) mengatakan bahwa
“tiga lilitan rotan yang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, diaktualisasikan
dalam sistem pemerintahan Negara. Pertama, kelompok penjabat/penguasa, kedua
masyarakat menengah, dan ketiga masyarakat kecil atau rakyat jelata. Ini semua
sebagai wujud perlakuan, “oleh yang memerintah dan yang diperintah”.
Masyarakat Tolaki memandang Kalosara sebagai media yang adil dalam
menyelesaikan masalah adat istiadat maupun konflik sosial. Kalosara dianggap
sakral oleh suku Tolaki karena Kalosara tersimpul dalam motto yang dalam
bahasa Tolaki ”Inae Konasara Ieto Penesara, Inae Lia Sara Ieto Penekasara”,
artinya siapa yang taat pada hukum adat maka akan diperlakukan dengan baik dan
barang siapa yang melanggar akan dikasari dan diberikan hukum sesuai keputusan
Sara. Dalam memutuskan suatu hukum adat maka para perangkat adat
mengadakan musyawarah secara mufakat dalam memutuskan sesuatu sesuai
dengan kegunaan dari Kalosara tersebut.
Kalosara dalam hal ini hukum adat berbeda dengan hukum positif yang
mengatur segala perkara berlandaskan pada UU dan Pancasila, akan tetapi beda
halnya dengan hukum adat yang berlandaskan pada kesepakatan. Kesepakatan ini
dibangun pada masa tercetusnya hukum tersebut. Kalosara dalam hal ini hukum
adat suku Tolaki lahir pada masa pemerintahan raja Dewi Wekoila yang mana raja
inilah yang pertama kali membentuk kerajaan Konawe serta aturan-aturan adat
atau Kalosara. Kalosara diciptakan untuk mempersatukan suku Tolaki dalam
berbagai hal karena pada saat itu masyarakat Tolaki jauh dari kata akur. Maka raja
Dewi Wekoila menciptakan suatu aturan adat yang mampu melakukan hal itu.
Dengan dasar inilah Kalosara dianggap sakral dan keramat.
Kalosara pada awal kemunculannya pada tahun 1150 yakni masa raja Wekoila
sampai masa pemerintahan raja Tebawo yakni pada tahun 1601 tata cara
pelaksanaannya masih sama, akan tetapi setelah raja Tebawo meninggal kerajaan
Konawe kosong akan pemerintahan selama 12 tahun. Hal inipun berdampak pada
pelaksanaan Kalosara yang pada setiap daerah berbeda tata cara pelaksaannya.
Perbedaan yang dimaksudkan bukanlah dalam skala besar akan tetapi pada
skala kecil, seperti dimasukannya kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di daerah
tertentu kedalam prosesi kalosara. Ketidak seragaman ini bukan hanya dipengaruhi
oleh fakumnya pemerintahan akan tetapi dipengaruhi masuknya ajaran agama
Islam.
Kedudukan Kalosara dalam prosesi perkawinan suku Tolaki sebagaimana yang
akan menjadi judul penelitian ini, menegaskan bahwa tidak sah atau tidak diakui
perkawinan tersebut tanpa adanya prosesi adat Kalosara. Dalam prosesi tersebut
terdapat lima tahapan yang harus dilaksanakan. Pertama,Metitiro atau Menggolupe
artinya mengintip atau menyelidiki calon isteri. Kedua, Mondutudu artinya melamar
jejakan. Ketiga, Melosoako artinya melamar sungguhan. Keempat Mondongo
Niwule artinya meminang. Kelima Mowindahako artinya penyerahan pokok adat.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yaitu Kalosara diciptakan oleh raja Wekoila dengan tujuan
menyatuhkan seluruh perbedaan yang terdapat pada masyarakat Tolaki, baik
pada masalah konflik, perkawinan maupun seluruh permasalahan yang biasa
terjadi di dalam kehidupan suku Tolaki. Pada perkembangan Kalosara terjadi
perubahan yang sangat signifikan yakni masuknya ajaran agama Islam di
dalam tradisi Kalosara, sehingga dalam pelaksanaannya disesuaikan pula
dengan ajaran agama Islam agar tidak mendapatkan kemurkaan pada Allah.
Kalosara menuntun suatu perkawinan dalam suku Tolaki dengan
mengedepankan musyawarah mufakat agar dalam pelaksanaannya tidak
terdapat pihak yang merasa dirugikan. Namun jika terdapat masalah yang tidak
diinginkan, maka Kalosara akan menyelesaikannya pula dengan musyawarah
mufakat. Kalosara menuntun suatu perkawinan dengan lima tahapan yakni Metitiro
artinya mengintip, Mondutudu artinya meminang jejakan, Melosoako artinya tahap
untuk meyakinkan dalam tahapan berikutnya, Mondongo Niwule artinya meminang
sungguhan dan Mowindahako artinya penyerahan isi adat. Isi adat ini adalah mas
kawin dan mahar yang telah disepakati pada tahapan-tahapan sebelumnya.
Kalosara menyelesaikan perkawinan yang tidak normal dengan sangat baik
dan selalu mempertimbangkan baik buruknya, dalam penyelesaian adat
perkawinan yang tidak normal selalu ada denda adat, ini dilakukan guna
menggantikan harga diri dari pihak yang dipermalukan.
Kedudukan perangkat adat seperti pemangku adat, hakim adat dan juru bicara
dalam perkawinan suku Tolaki merupakan posisi yang tidak tergantikan, karena
Kalosara tidak akan bisa berjalan tanpa perangkat adat yang menjalankannya,
sehingga ini merupakan msalah yang sangat besar jika pada suatu daerah
tidak terdapat perangkat adat.
Daftar pustaka
Maruf, L. M. A. (2013). Membedah Pelaksanaan Perkawinan Adat Tolaki di
Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara (Perspektif Hukum Islam) (Doctoral
dissertation, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar).
Wagerudin.(2014) “Kalosara Dalam Prosesi Perkawinan Suku Tolaki” (Studi
Hukum Adat).

Anda mungkin juga menyukai