Anda di halaman 1dari 18

KOMBONGAN SEBAGAI PERADILAN ADAT PADA MASYARAKAT

HUKUM ADAT SUKU TORAJA

Jayanto Timbang
225214905
Sejarah Hukum
Abstrak: Hukum adat dalam suku Toraja diatur oleh lembaga yang dikenal sebagai
Kombongan, yang diakui dan dipercayai oleh masyarakat Toraja. Kombongan berperan
sebagai pilar demokrasi dan wadah yang mengawal perubahan adat sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Semboyan Kombongan, yaitu "untesse batu mapipang" memiliki
makna bahwa melalui kesepakatan dalam Kombongan, segala sesuatu dapat diubah,
dihapus, atau dibuat menjadi aturan adat yang baru. Kombongan mempunyai dua fungsi
bagi masyarakat Toraja, pertama sebagai peradilan Adat untuk menyelesaikan sengketa
maupun pelanggaran adat yang terjadi, kedua sebagai lembaga musyawarah bagi masyakat
hukum adat suku Toraja yang mengandung nilai-nilai demokratis didalamnya. Kombongan
dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh Agama Kristen hingga saat ini dan sanksi
yang diberlakukan haruslah sanksi yang tidak melanggar Hak Asasi Manusia, UUD, dan
Etika keKristenan.
Kata Kunci: Aluk, Kombongan, Peradilan Umum.

I. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman dan perbedaan, hal ini
diimplementasikan ke dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, artinya berbeda-beda
tetapi tetap satu. Masyarakat Indonesia yang memiliki keberagaman dan perbedaan
terdapat pula pada Hukum Adat masing-masing daerah, untuk melegitimasi masyarakat
Hukum Adat maka Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia dalam Pasal
18B ayat (2) yaitu:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang”.

Suku Toraja merupakan salah satu masyarakat Hukum Adat Suku Toraja, suku
Toraja berada di Selatan Pulau Sulawesi atau Provinsi Sulawesi selatan, pada saat
sekarang ini suku Toraja disematkan kepada mereka yang mendiami Kabupaten Tana
Toraja dan Kabupaten Toraja. Menurut A.C. Kruyt masyarakat suku Toraja sebagai satu
etnis sesungguhnya lebih luas daripada yang tinggal dan mendiami Kabupaten Tana
Toraja dan Toraja Utara1. A.C. Kruyt menyatakan, bahwa gugusan golongan etnis
Toraja kedalam tiga kelompok besar, yaitu:

1
Ellyne Dwi Poespasari, (2019), Hukum Adat Suku Toraja, Surabaya: Jakad Publishing, hlm 10.
a) “Orang Toraja Timur, tinggal disekitar Poso (Sulawesi Tengah), yang disebut
Toraja bare’e, karena kata yang digunakan untuk “tidak adalah bare’e.
b) Orang Toraja Barat, mendiami daerah sekitar Palu Sulawesi Tengah. Menurut
Kruyt, suku-suku Toraja Timur menunjukkan lebih banyak sifat-sifat
keseragaman dari pada orang Toraja Barat. Diduga orang-orang Toraja Barat
terlalu lama saling terpisah, sehingga walaaupun tadinya merupakan suatu
golongan yang homogen, namun dalam kurun waktu yang terisolasi itu
berkembanglah sifat-sifat yang berbeda.
c) Orang Toraja Selatan, mendiami daerah yang kini disebut Kabupaten Tana Toraja
dan Toraja Utara (Provinsi Sulawesi Selatan), A.C. Kruyt menyebutnya dengan
nama Toraja Tae’, karena kata yang digunakan untuk meniadakan adalah tae’,
juga sering disebut Toraja Sa’dan sebab wilayah ini dialiri sungai Sa’dan”.2

A.C. Kruyt menganggap ini satu golongan etnis yang sangat besar, ia
menyebutnya dengan “orang Toraja sesuai dengan pengelompokan etnis, budaya, dan
bahasa di Sulawesi Selatan. Meskipun terjadi perkembangan zaman, hukum adat yang
ada di suku Toraja tetap terjaga dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat mereka.
Kebiasaan-kebiasaan dari leluhur mereka, seperti dalam perkawinan, upacara kematian,
pengangkatan anak, pembagian warisan, penyelesaian masalah, dan banyak aspek
lainnya, masih dipertahankan sesuai dengan hukum adat mereka. (Poespasari, 2019: 49)
Bahkan berdasarkan konsideran menimbang huruf b Peraturan Daerah Kabupaten
Toraja Utara Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pengakuan Dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat menyatakan bahwa:
“bahwa masyarakat hukum adat Toraja pada kenyataannya masih eksis dan memiliki
lembaga adat tertentu, sistem penggantian kepemimpinan, kekayaan berupa sumber
daya alam, nilai dan norma budaya, kearifan lokal aturan hukum adat yang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Berdasarkan Perda Kabupaten Toraja Utara Nomor 1 Tahun 2019 tentang


Pengakuan Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat diatas juga memberikan
pengertian mengenai pengadilan adat yang terdapat pada Pasal 1 angka 23 yaitu:

“Pengadilan Adat adalah yang lembaga dibentuk untuk menyelesaikan sengketa


antara anggota masyarakat hukum adat dan sengketa yang terjadi dalam wilayah
adatnya, dengan pihak luar/pihak lain”.

Pemaparan Perda diatas hanya menyangkut mengenai masyarakat hukum adat


di Toraja Utara, sehingga disinilah peran Kombongan sebagai peradilan adat yang
berlaku universal pada seluruh masyarakat hukum adat suku Toraja. Hukum adat dalam
suku Toraja diatur oleh lembaga yang dikenal sebagai Kombongan, yang diakui dan
dipercayai oleh masyarakat Toraja. Kombongan berperan sebagai pilar demokrasi dan

2
Ibid, hlm 11.
wadah yang mengawal perubahan adat sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Semboyan Kombongan, yaitu "untesse batu mapipang" memiliki makna bahwa melalui
kesepakatan dalam Kombongan, segala sesuatu dapat diubah, dihapus, atau dibuat
menjadi aturan adat yang baru. Keputusan yang dihasilkan oleh Kombongan setelah
disahkan menjadi bagian dari adat, dan prinsip ini telah menjadi budaya yang dipegang
oleh setiap individu Toraja, di mana pun mereka berada di seluruh Nusantara, hidup
berkelompok dan menjalankan musyawarah tetap dipertahankan.3
Pemukiman warga di Toraja Utara, Sulawesi Selatan, mengalami tanah longsor
pada Sabtu, 4 Februari 2023. Akibatnya, enam rumah warga dan 1 lumbung padi rusak
parah. Diduga, longsor tersebut disebabkan oleh tindakan melanggar hukum adat Toraja
yang dilakukan oleh 15 warga. Oleh karena itu, warga mengadakan Ma'kombongan
atau musyawarah. Dalam Ma'kombongan tersebut, para tokoh adat, tokoh masyarakat,
dan Kepala Lembang meminta 15 warga yang terlibat untuk segera bertaubat dan tidak
mengulangi perbuatan mereka. Ritual adat dilakukan dengan memotong seekor babi,
kemudian darah babi tersebut diambil dan dipersembahkan sebagai upaya untuk
mencegah terjadinya musibah longsor kembali. Kepala Dusun Kurra, Lembang To'Yasa
Akung, Andarias Tappi, menjelaskan bahwa memotong seekor babi merupakan simbol
persembahan kepada yang kuasa, sedangkan darah babi digunakan dalam ritual adat
untuk membersihkan dusun tersebut agar terhindar dari bencana longsor. Selain itu,
dengan adanya ritual ini, diharapkan masyarakat di sana tidak akan mengulangi
perbuatan yang sama. "Namun, jika masih ada yang melanggar hukum adat, maka
mereka akan diusir dari kampung ini," tambahnya.4
Melalui pemaparan mengenai kombongan dan sanksi adat yang dipaparkan
diatas, maka perlu untuk mengetahui, menggambarkan dan menganalisis kombongan
sebagai peradilan adat pada masyarakat hukum adat Suku Toraja.
II. A. Sejarah Hukum
Dalam lingkungan budaya tradisional, Hukum adat merupakan sistem hukum
yang memiliki akar pada warisan budaya, yang hidup, berkembang, dan tumbuh karena
mencerminkan perasaan hukum yang dirasakan oleh rakyat. Hukum adat, sebagai
hukum asli yang menjadi bagian dari identitas Bangsa Indonesia, memiliki nilai-nilai
yang tinggi yang harus dijaga seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban.

3
Ibid, hlm 50.
4
https://kumparan.com/kumparannews/longsor-di-toraja-utara-diduga-dipicu-15-warga-langgar-adat-ritual-
digelar-1zmIgsFlFTd/full diakses pada tanggal 2 Juni 2023, pukul 13.49.
Beberapa nilai tersebut meliputi corak atau sifat tradisional, magis religius, konkret dan
visual, terbuka, dinamis, komunal, serta musyawarah dan mufakat. Hukum adat
memberikan prioritas pada penyelesaian yang damai dan harmonis melalui musyawarah
dan mufakat ketika menyelesaikan perselisihan di antara anggota masyarakat hukum
adat. Pihak-pihak yang terlibat saling memaafkan dan tidak tergesa-gesa membawa
perselisihan ke pengadilan negara, dengan tujuan menjaga hubungan yang baik dan
harmonis di antara mereka. Hal ini karena pada dasarnya keseimbangan dalam
masyarakat yang terganggu akibat sengketa atau perselisihan dapat dipulihkan sehingga
keadaan kembali seperti semula.5
Berdasarkan catatan sejarah, masyarakat Toraja berasal dari selatan dan
mereka datang menggunakan perahu, diikuti oleh pengikut-pengikut mereka melalui
sungai. Ketika perahu mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan karena sungai yang
dangkal dan berbatu, sebagian dari mereka merapatkan perahu mereka, sementara yang
lain membongkar perahu dan membawa kerangkanya ke pegunungan tempat mereka
akan tinggal bersama pengikut-pengikut mereka. Hal ini disebabkan karena pada saat
itu belum ada tempat berteduh yang sesuai, sehingga mereka membangun rumah dari
kerangka perahu yang telah mereka bongkar. Dalam sejarah Toraja, tempat pemukiman
ini disebut sebagai pemukiman pertama dari Puang, yang juga dikenal sebagai Puang
Lembang atau Bamba Puang (Bamba berarti pangkalan/pusat, sedangkan Puang berarti
pemilik).6 Suku Toraja adalah kelompok etnis yang tinggal di daerah pegunungan di
bagian utara Sulawesi Selatan. Mereka juga bermukim di beberapa daerah dataran
Luwu dan Sulawesi Barat. Suku Toraja yang tinggal di wilayah pegunungan
mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih mempertunjukkan budaya
Austronesia asli yang mirip dengan Budaya Nias. Setelah mengalami proses akulturasi
dan asimilasi budaya, di Tanah Toraja terdapat beragam agama, seperti Kristen
Protestan, Katolik, Islam, dan Hindu Toraja, dengan mayoritas penduduk menganut
Kristen Protestan. Wilayah Toraja juga terkenal dengan sebutan Tondok Lili'na
Lapongan Bulan Tana Matari'allo, yang memiliki arti "negeri yang berbentuk bulat
seperti bulan dan matahari".7

5
https://eprints.unmer.ac.id/id/eprint/2378/1/Eksistensi%20mediasi%20dalam%20penyelesaian%20sengketa
%20pada%20masyarakat%20adat%20Tana%20Toraja.pdf diakses pada tgl 9 Juni 2023, pukul 05.00 WIB.
6
Yudha F. Fernando, 2018, Pengakuan Lembang Sebagai Desa Adat Di Tana Toraja Oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Tana Toraja, Tesis, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm 3.
7
Debyani Embon, 2019, “Sistem Simbol Dalam Upacara Adat Toraja Rambu Solo: Kajian Semiotik”, Jurnal
Bahasa dan Sastra, Vol.4/No.2/2019, FKIP Universitas Tadulako, hlm 3.
Sejarah hukum dalam masyarakat adat suku Toraja memiliki keterkaitan yang
kuat dengan Agama atau kepercayaan mereka pada masa lalu yang dikenal sebagai
Aluk Todolo. Aluk merujuk kepada agama atau peraturan, sedangkan kata todolo
mengacu pada leluhur. Oleh karena itu, Aluk Todolo dapat diartikan sebagai agama
leluhur atau agama purba. Aluk Todolo dinamakan demikian karena setiap kegiatan
upacara dimulai dengan upacara persaksian yang melibatkan kurban persembahan
kepada leluhur yang disebut Ma’ Todolo atau Ma’ pakande to matua (todolo).8
Aluk Todolo merupakan kepercayaan animisme kuno yang dalam
perkembangannya terpengaruh oleh ajaran hidup Konfusius dan agama Hindu. Oleh
karena itu, pemerintah Republik Indonesia mengklasifikasikan Aluk Todolo sebagai
bagian dari Sekte Agama Hindu Dharma.9 Dalam Surat Keputusan Direktorat Jenderal
Bimas Hindu-Buddha nomor Dd/H/200-VII/69 tanggal 15 November 1969 memuat
keputusan tersebut. Meskipun Aluk Todolo memiliki perbedaan praktik dengan agama
Hindu di Bali, para pengikutnya menerima keputusan tersebut. Keanggotaan mereka
dalam agama resmi membuat mereka terlindungi dari tuduhan tidak beragama atau
tidak beriman. Namun, agama yang memiliki pengaruh yang sangat signifikan
terhadap Aluk Todolo dalam penerapan nilai-nilai agama dan sanksi adat adalah agama
Kristen, terutama Kristen Protestan, hingga saat ini.
Aluk Todolo memiliki serangkaian aturan yang harus diikuti oleh para
pengikutnya yang dikenal sebagai Pemali. Beberapa contoh Pemali dalam Aluk Todolo
antara lain:
a. “Pemali urrusak pote dibolong, yang berarti tidak boleh mengganggu upacara
penguburan orang mati.
b. Pemali ma’pangngan buni, yang berarti tidak boleh melakukan perzinahan.
c. Pemali Unromok tatanan pasak, yang berarti tidak boleh mengacau di pasar.
d. Pemali unteka’ palanduan, yang berarti golongan budak dilarang kawin dengan
golongan Tomakaka dan golongan Tokapua atau golongan bangsawan
e. Pemali messape-ao’, yang berarti tidak boleh berangkat meninggalkan rumah
pada hari yang sama dengan arah yang berbeda.
f. Pemali boko, yang berarti tidak boleh mencuri”.10

Hukuman yang dijatuhkan pada Aluk Todolo dapat terjadi karena dua sebab
yaitu pelanggaran pemali, dan hukuman karena peradilan adat, yang dikarenakan

8
L.T. Tangdilintin, (1981), Toraja dan Kebudayanannya, Cetakan IV, Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan
(YALBU), hlm 72.
9
Ibid.
10
Ibid, hlm 89.
adanya pihak-pihak yang bersengketa sehingga perlunya diadakan peradilan adat.
Hukuman karena pelanggaran pemali yaitu:
1) “Hukumannya yang nampaknya mengaku-aku (Pengakuan dosa yaitu
hukuman yang diatur dan diawasi oleh penghulu Aluk Todolo namanya adalah
Tominaa, dalam pelaksanaannya dan yang bersalah melanggar pemali itu
diharuskan mengadakan Upacara Pengakuan Dosa dengan Kurban
Persembahan apakah kerbau, Babi atau Ayam, ha itu ditentukan oleh besarnya
pelanggaran serta ketentuan dari penghulu atau Ketua Adat, makanya
Pengakuan Dosa itu terbagi atas:
a) Mangngaku-Aku dengan Kurban Babi atau Ayam sebagai hukuman dari
pelanggaran yang ringan.
b) Mangrambu Langi’ dengan Kurban persembahan Kerbau dan Babi sebagai
hukuman pelanggaran/perbuatan yang besar.
2) Hukuman yang namanya di Dosa (denda) yang biasa juga dikatakan dipakalao
yaitu hukuman yang diatur dan diawasi oleh Penguasa Adat dengan menyuruh
yang melanggar Pemali membayar sejumlah harta benda (biasa Kerbau,
sawah, atau harta lain).
3) Hukuman yang namanya di sisarakan/dirampanan yaitu yang melanggar atau
yang bersalah umumnya pelanggaran pemali yang besar serta perbuatan
terkutuk karena melanggar norma-norma kemanusiaan, maka yang bersalah
dapat dihukum dalam beberapa cara umpamanya:
a) Disisarakan (pemutusan hubungan keluarga).
b) Diali’ (diusir dari dalam negeri).
c) Ditunu (dibakar hidup-hidup)”.11

Hukuman karena adanya keputusan Peradilan Adat atau adanya pertentangan


atau adanya perselisihan dua pihak. Peradilan adat masa ini dikenal dengan Tarian Pitu
(tujuh cara peradilan Adat Toraja). Tarian Pitu yang dimaksudkan tersebut di atas
adalah masing-masing:
1. Si Pentetean Tampo/Siba’ta Tungga’ (pertarungan satu lawan satu), yaitu satu
cara peradilan dari tarian pitu yang paling berat karena perkelahian atau
pertarungan seorang demi seorang dengan mempergunakan tombak atau pedang
yang tajam, sebelum melakukan perkelahian keduanya disumpah oleh Penghulu
Aluk Todolo atau Tominaa dengan doa bahwa barangsiapa yang tidak benar akan
hancur dan kalah dan pertarungan ini disaksikan oleh kedua belah pihak keluarga.
Hasil dari pertarungan itu setelah selesai segera diumumkan oleh Dewan Adat,
siapa yang kalah dan siapa yang menang, dimana seluruh keluarga menerima
sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak, karena didasarkan atas keyakinan
mereka bahwa kebenaran yang berbicara, yang dalam masyarakat Toraja disebut
Ma’ Pesalu atau sesuai kebenaran.
2. Siukkunan, yaitu satu cara peradilan dimana kedua belah pihak yang berselisih
diperintahkan untuk menyelam bersama-sama kedalam air sungai, tetapi sebelum
itu mereka akan disumpah oleh Penghulu Aluk Todolo atau Tominaa dan barang
siapa yang muncul ke permukaan terlebih dahulu maka dialah yang kalah.
3. Sipakoko, yaitu suatu cara peradilan dimana dua orang bersengketa/berselisih
diperintahkan untuk mencelupkan kedua tangan kedalam air panas yang
11
Ibid, hlm 92-93.
mendidih, juga didahului dengan doa dan kutuk dari Penghulu Aluk Todolo atau
Tominaa, kemudian secara serentak keduanya mencelupkan tangannya kedalam
air panas, dan barangsiapa yang terlebih dahulu menarik tangannya dari dalam air
panas, maka dialah yang dinyatakan kalah dalam perselisihan itu yang hasilkan
segera diumumkan oleh Dewan Adat sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan
berkekuatan tetap.
4. Silondongan, yaitu suatu cara peradilan dari dua orang atau pihak yang selisih
dimana kedua belah pihak yang berselisih satu ayam jantan masing-masing
kemudian diserahkan kepada penghulu Aluk Todolo untuk dikutuk dan dibacakan
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kedua ayam itu dipakaikan taji atau pisau,
dan dipertarungkan pada saat itu juga dihadapan Dewan Adat dimana kedua belah
pihak yang bersengketa itu berada. Menurut keyakinan mereka bahwa orang yang
benar ayamnya akan menang dan orang yang salah Ayamnya akan kalah atau
mati, dan hasil pertarungan ayam ini segera diumumkan oleh Dewan Adat yang
menghadirinya yang oleh kedua belah pihak mentaatinya sebagai keputusan yang
berlaku mutlak dan berkekuatan tetap.
5. Sibiangan atau Sire’Tek, yaitu suatu cara peradilan yang sama dengan cara loterei
dengan mempergunakan dua bila Biang (semacam bambu) yang diberi Tanda
sebagai pilihan dari orang yang bersengketa yaitu seorang memilih belakangnya
dan seorang memilih mukanya, dan kedua pihak berselisih duduk berhadapan
didepan Penghulu Aluk Todolo untuk menerima kata-kata sumpah dan doa bahwa
orang barangsiapa yang salah akan kalah dan barang siapa yang benar akan
menang atau selalu terbuka pilihannya, Dewan Adat kemudian akan
mengumumkan pemenangnya dan keputusan tersebut berlaku mutlak atau
berkekuatan tetap.
6. Sitempoan yang biasa disebut “Sisumpah”, yaitu dua orang yang berselisih
disuruh mengucapkan Sumpah di hadapan Dewan Adat, dimana Doa diucapkan
oleh Penghulu Aluk Todolo lebih dahulu kemudian diulangi dengan tidak salah-
salah oleh orang yang bersengketa bergantian. Dalam mengucapkan sumpah, juga
menyebut jangka waktu berlakunya sumpah sebagai waktu tempat menunggu
akibat-akibat dari sumpah seperti orang tersebut akan meninggal atau suatu
malapetaka yang menimpa dirinya.
7. Sirari Sangmelambi’, yaitu satu cara peradilan dalam bentuk perang kelompok
yang hanya dilakukan pada subuh dan pagi hari (sirari= perangan;
sangmelambi’=sepagi). Sirari sangmelambi’ adalah bentuk peradilan yang paling
akhir terjadi dari Tarian Pitu. Sirari Sangmelambi’ biasanya dilakukan oleh satu
Rumpun Keluarga atau oleh satu Penguasa Adat yang lain, terhadap Penguasa
Adat yang lain, pihak yang pasukannya banyak yang luka akan dinyatakan kalah
oleh Dewan Adat.12

Seperti yang telah penulis sampaikan bahwa eksistensi Aluk Todolo dan
hukum serta Peradilan Adatnya sangat dipengaruhi oleh Agama Kristen yang dibawa
masuk oleh Belanda. Belanda menganggap suku Toraja, yang menganut animisme atau
Aluk Todolo, sebagai sasaran yang potensial untuk dijadikan umat Kristen. Pada tahun
1909, Belanda menggunakan nama "Toraja" untuk merujuk suku ini, yang pada saat itu
juga membenarkan nama yang telah diberikan oleh Suku Bugis. Menurut Bigalke, baru

12
Ibid, 262-275
pada tahun 1934 orang-orang Toraja pertama kali menggunakan bentuk tertulis kata
"Toraja" untuk mengidentifikasi (suku) dan wilayah mereka sendiri, sehingga nama
"Toraja" semakin terkait dengan suku Toraja.13
Sebelum nomen-clature "Toraja", wilayah ini sebenarnya dikenal dengan nama
Tondok Lepongan Bulan - Tana Matari' Allo, yang memiliki makna sebagai sebuah
negara dengan bentuk pemerintahan dan masyarakat yang menyatu secara bulat seperti
bulan dan matahari.14 Nama Tondok Lepongan Bulan – Tana Matari’ Allo, mempunyai
latar belakang yang bermakna menjadi sebuah kesatuan yang bulat dari berbagai
wilayah adat, akibatnya Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa
tunggal (raja). Sebaliknya, setiap wilayah kekuasaan adat (distrik) memiliki pemangku
adatnya sendiri dan memiliki otonomi di wilayah kekuasaan adat tersebut.15
Sejak Tahun 1937, zending telah membahas tentang perkembangan dewasa
Gereja Toraja, bahkan telah memilih nama "Gereja Toraja" sebagai awal dari gereja
yang mandiri. Pada tahun 1947, nama "Gereja Toraja" secara resmi disetujui dalam
Sidang Sinode I yang berlangsung pada tanggal 25-28 Maret 1947 di Rantepao, Toraja
Utara. Menurut Bigakle, nama "Toraja" muncul dalam upaya Penyebaran Injil di
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah yang bertujuan untuk mengkristenkan seluruh
wilayah Sulawesi Tengah, termasuk daerah Toraja Selatan.16
Penulis melakukan wawancara langsung dengan narasumber yaitu Bapak Pdt.
Daud Nompi, S.Th., M.Th pada tanggal 2 Juni 2023 yang merupakan Pendeta Gereja
Toraja sekaligus Mahasiswa Strata 3 pada jurusan Teologi, Universitas Kristen Duta
Wacana (UKDW), mengatakan bahwa:
“Pengaruh Agama Kristen khususnya Gereja Toraja terhadap eksistensi Aluk Todolo,
serta Hukum Adat dan Peradilan Adat pada Masyarakat Hukum Adat Toraja adalah
masyarakat Toraja sudah banyak yang tidak menganut Aluk Todolo dan berpindah
keyakinan ke Agama Kristen khususnya Gereja Toraja sehingga banyak sanksi-
sanksi adat Aluk Todolo khususnya yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia
yang sudah tidak diberlakukan lagi, karena bertentangan dengan nilai-nilai ke-
Kristenan, tetapi ada juga yang masih dipraktekkan seperti ketika terjadi
pelanggaran Adat maka Pelanggar akan diberikan sanksi untuk memotong Kerbau,
Babi, atau Ayam” sesuai dengan hasil Kombongan yang dilakukan oleh Dewan Adat
pada suatu daerah”. Tarian Pitu yang merupakan peradilan adat pada Aluk Todolo
tidak dikenal lagi melainkan sanksi-sanksinya dimasukkan kedalam Kombongan
khususnya sanksi yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia dan hukum
positif yang berlaku di Indonesia”.
13
Ellyne Dwi Poespasari, Op.Cit., hlm 12
14
Ibid, hlm 13-14.
15
Ibid, hlm 14-15.
16
Ibid, hlm 13.
Hasil wawancara dengan narasumber, maka dapat diketahui bahwa pengaruh
Agama Kristen terhadap Aluk Todolo dan pemberlakukan hukum serta sanksi Adat
sangat besar bahkan pengaruhnya merubah hal yang fundamental.
B. Kombongan Sebagai Peradilan Adat
Dalam struktur institusi suku Toraja, mereka hidup dalam satu komunitas yang
mengatur kehidupan mereka. Komunitas ini menganut hukum adat, sehingga apabila
terjadi perselisihan antara warga, Dewan Adat yang disebut To Parenge' memiliki
kewajiban dan tanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan melalui sidang adat
yang diadakan di Tongkonan. Tongkonan adalah tempat di mana nilai-nilai demokratis
yang tinggi dilaksanakan melalui penyelesaian sengketa atau mediasi yang disebut
Kombongan.17
Kombongan sebagai peradilan adat maupun fungsinya sebagai musyawarah
mengenai hierarki pada pelaksanannya dalam Suku Toraja, hierarki dari kombongan
terdiri dari:
1. Kombongan Kalua' Sang Lepongan Bulan, yang juga dikenal sebagai
Musyawarah Agung, adalah forum di mana seluruh suku Toraja berkumpul untuk
merumuskan dan membahas aturan-aturan yang berkaitan dengan hubungan antar
Lembang atau desa. Kombongan ini dapat dihadiri oleh semua suku Toraja, baik
yang tinggal di daerah Tana Toraja maupun Toraja Utara, serta mereka yang
berasal dari luar daerah Toraja. Untuk efisiensi, kombongan ini dihadiri oleh
perwakilan atau utusan dari setiap kelompok, sehingga berlaku prinsip demokrasi
perwakilan;
2. Kombongan Kalua' Sang Lembangan, merupakan pertemuan yang diadakan
setiap tahun atau saat ada hal-hal khusus. Pertemuan ini dihadiri oleh semua
pemuka adat dan masyarakat. Mekanisme persidangan yang digunakan sangat
terbuka dan bebas, di mana setiap peserta memiliki kebebasan untuk
menyampaikan pendapatnya. Namun, pengambilan keputusan dilakukan melalui
musyawarah dan mufakat oleh semua pihak yang terlibat. Setelah keputusan-
keputusan tersebut disepakati, mereka dibacakan kembali dan ditutup dengan
acara memotong babi dan memakan dagingnya secara bersama-sama. Tindakan
ini melambangkan konsekuensi dari mengingkari hasil kombongan, di mana
tulang babi akan menjadi ancaman bagi pelanggar dan bulu babi akan menusuk.

17
Ellyne Dwi Poespasari, Op.Cit., 50
Hal ini meningkatkan kekuatan kombongan tersebut menjadi Basse atau sumpah
yang lebih kuat;
3. Kombongan Karopi adalah pertemuan yang diadakan setiap tahun atau dalam
situasi khusus, seperti pelanggaran adat. Pertemuan ini dihadiri oleh seluruh
warga dan dilakukan dengan prinsip demokratis. Di dalam Kombongan ini, tidak
ada perbedaan tingkatan atau golongan, sehingga semua orang bebas berbicara,
terkadang menyebabkan perdebatan sengit. Di sini, masyarakat cenderung
meminta pertanggungjawaban dari pemuka adat atau To Parenge' terkait
pelaksanaan adat di wilayah mereka. Pemuka adat menjadi pengadilan di mana
aturan adat yang berlaku dapat dibahas, diubah, atau dicabut berdasarkan usulan
masyarakat. Namun, jika tidak ada penyelesaian, masalah tersebut diajukan ke
Kombongan Kalua' sebagai lembaga perdamaian dan peradilan adat; dan
4. Kombongan Soroan adalah sebuah pertemuan yang melibatkan aturan lokal di
dalam wilayah kecil, seperti kelompok keluarga, organisasi kemasyarakatan,
organisasi jemaat gereja, koperasi kelompok, atau wilayah RT. Pertemuan ini
bertujuan untuk membuat dan mengevaluasi kesepakatan, terutama yang terkait
dengan gotong royong atau penyelesaian kasus-kasus seperti kepemilikan
bersama tanah atau hutan.18
Jadi, dari hierarki kombongan maka dapat diketahui kombongan dengan
tingkat hierarki paling tinggi adalah Kombongan Kalua’ Sang Lepongan Bulan yang
merupakan peradilan maupun musyawarah yang memiliki bentuk keputusan yang
bersifat final dan tetap, lalu tingkatan hierarki kombongan dibawahnya adalah
Kombongan Kalua’ Sang Lembangan, dimana ciri khas dari kombongan ini adalah
diselenggarakan setiap tahunnya, dan tidak hanya fokus sebagai fungsinya dalam
peradilan tetapi juga mengevaluasi kegiatan dan aturan adat yang berlaku dalam
Lembang atau Desa tersebut. Kombongan Karopi adalah kombongan yang
dilaksanakan yang mana pada umumnya ketika terjadi tindakan pelanggaran adat,
contoh dari hal ini adalah kasus yang dipaparkan oleh Penulis pada bagian pendahuluan
yang kemudian dikenakan sanksi adat. Kombongan Saroan adalah kombongan dengan
hierarki terendah dimana fokusnya menyelesaikan sengketa yang timbul antara dua
pihak yang bersengketa baik karena permasalahan tanah adat maupun pewarisan.
C. Struktur dan Perkembangan Kombongan Sebagai Peradilan Adat

18
Ibid, hlm 51-52.
Struktur kombongan sebagai sistem peradilan adat merupakan bagian tak
terpisahkan dari kepemimpinan adat di setiap desa di Toraja. Setiap daerah adat di
Toraja berdiri secara mandiri atau otonom, tetapi mereka semua terikat oleh sebuah
perhimpunan adat besar yang disebut Kombongan Ada' dan Kombongan Ada' yang
paling tinggi otoritasnya adalah Kombongan Ada' Basse Lepongan Bulan Limbu
Kalua'na Tana Matari' Allo (badan musyawarah federasi Lepongan Bulan atau Tana
Toraja).19 Tana Matarik Allo, juga dikenal sebagai Tana Toraja, terdiri dari tiga Daerah
Adat besar yang telah ada sejak zaman dahulu, sejak Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu'
Pitung Pulo Pitu (Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777) dari Banua Puan Merinding
terbentuk. Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu (Aluk 7777) adalah sistem
agama dan aturan yang didasarkan pada ajaran Sukaran Aluk. Ajaran ini mencakup
prinsip-prinsip dan ajaran dari Tallu Oto'na (tiga dasar agama) dan Ada' A'pa' Oto'na
(empat dasar adat kehidupan). Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu (Aluk
7777) bertugas mengatur dan membentuk pemerintahan serta memperkuat
kekuasaannya melalui Istana/Tongkonan, dan menetapkan wilayah kekuasaan yang
disebut Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo. 20 Pembagian Tondok Lepongan
Bulan Tana Matarik Allo terdiri dari:
a. Daerah Adat Timur yang disebut Daerah Adat Padang di Ambe'i atau Daerah Adat
Pekamberan.
b. Daerah Adat Tengah yang disebut Daerah Adat Padang di Puangngi atau Daerah
Adat Kapuangan.
c. Daerah Adat Barat yang disebut Daerah Adat Padang di Ma'dikai atau Daerah Adat
Kama'dikaan.21
Setiap kombongan memiliki pemerintahan lokal yang berdaulat di dalamnya
yang disebut Lembang (yang berasal dari kata "Lembang" yang berarti "Perahu").
Lembang ini merupakan entitas yang memiliki kesatuan dan tanggung jawab sendiri
dalam suatu wilayah tertentu. Setiap Daerah Adat memiliki seorang Penguasa Lembang
yang menggunakan gelar sesuai dengan pembagian awal, yaitu:
- Puang Lembang untuk Daerah Adat Kapuangan.
- Ambe' Lembang untuk Daerah Adat Pekamberan.
- Ma’dika Lembang untuk Daerah Adat Kama’dikaan.

19
L.T. Tangdilintin, Op.Cit., hlm 247
20
Ibid, hlm 15-17
21
Ibid, hlm 248
Setiap Daerah Lembang yang disebutkan di atas juga memiliki sebuah badan
musyawarah yang membantu Penguasa Adat Lembang, yang disebut Kombongan
Lembang-Lembang untuk setiap Daerah Adat. Namun, dalam konteks Lembang, badan
musyawarah tersebut disebut Kombongan Lembang. Keputusan musyawarah Lembang
merupakan garis pemerintahan yang berada di bawah kepemimpinan Penguasa Adat
Lembang di setiap Daerah Adat atau Kelompok Adat.22
Terdapat beberapa daerah kerja yang bertindak sebagai pembantu dalam
pelaksanaan tugas dari lembang. Wilayah ini disebut daerah Bua', yang dikuasai oleh
seorang Penguasa Adat Bua' dan bertanggung jawab langsung kepada lembang. Setiap
lembang terdiri dari beberapa daerah Bua' sesuai dengan kepentingannya. Kadang-
kadang ada 2 atau 3 daerah Bua' yang melayani satu daerah lembang. Pemerintahan di
daerah Bua' tersebut dijalankan oleh penguasa Bua' yang bertanggung jawab atas
Daerah Adat yang masing-masing sebagai berikut:
- “daerah Bua' dari daerah Lembang kapuangan dikuasai oleh penguasa adat bergelar
Puang Bua’
- daerah Bua' dari daerah Lembang pekamberan dikuasai oleh penguasa adat bergelar
Ambe’ Bua’
- daerah Bua' dari daerah Lembang Kama’dikaan dikuasai oleh penguasa adat bergelar
Ma’dika Bua”.

Di dalam daerah Bua', terdapat beberapa daerah dengan pemerintahan wilayah


kecil yang mirip dengan desa saat ini. Daerah ini dikoordinasikan oleh Bua' dan dikenal
sebagai daerah penanian. Setiap Bua' terdiri dari beberapa penanian yang diperintah
oleh badan pemerintahan adat yang umumnya terdiri dari empat anggota yang disebut
Toparengnge'. Salah satu anggota Toparengnge' menjabat sebagai ketua. Dewan
pemerintahan adat ini telah berlaku di seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan sejak
zaman dahulu, dan gelar Tongkonan Parengnge' digunakan di semua Daerah Adat.
Gelar Toparengnge' ini diperkenalkan oleh penguasa Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu'
Pitung Pulo Pitu dari Banua Puang Marinding saat pembagian Daerah Adat dilakukan.23
To Parengnge; artinya pemikul tanggung jawab.
Di dalam satu daerah penanian, terdapat juga pembantu-pembantu
pemerintahan adat yang diberi nama sesuai dengan kepentingan dan kondisi setempat.
Beberapa di antaranya dinamai To Bara', sementara yang lain dinamai Anak patalo
(to=orang; bara'=angin ribut yang tak dapat ditahan; anak=anak; patalo=menang

22
Ibid, hlm 249
23
Ibid, hlm 250
sendiri). Orang-orang ini bekerja sama dengan To Parengnge' dalam membangun
masyarakat dan pemerintahan adat di daerah Penanian. Setiap daerah adat dalam daerah
Penanian juga memiliki ketua dewan adat dengan nama atau gelar sesuai dengan daerah
adatnya, seperti daerah adat Lembang, Bua', dan daerah Penanian antara lain:
- “daerah adat Kapuangan memakai pula gelar untuk ketua dewan adat Penanian
- daerah adat Kama’dikaan memakai pula gelar Ma’dika untuk ketua dewan adat
Penanian
- daerah adat Pekamberan memakai pula gelar To Parengnge’ dan Sokkong Bayu untuk
ketua dewan adat penanian”.24

Semua masalah yang terjadi di daerah Penanian harus diketahui oleh ketua
dewan adat Penanian, kemudian diteruskan kepada penguasa Bua' dan selanjutnya
kepada penguasa adat Lembang sebagai pemerintahan adat tertinggi, yaitu penguasa
lembang yang disebut Puang lembang, Ambe' Lembang, dan Ma'dika Lembang. Setelah
kolonial Belanda masuk ke Tana Toraja, mereka tetap menggunakan pemerintahan adat
yang tertinggi, yaitu pemerintahan lembang, meskipun namanya diubah tetapi statusnya
tetap sama sebelum kedatangan pemerintah Belanda. Daerah Penanian yang disebutkan
sebelumnya masih terbagi menjadi empat daerah kelompok kerja atau kesatuan abdi
yang disebut Tepo Padang (tepo=seperempat; padang=tanah), ada juga yang
menyebutnya Tepo Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Jadi, seluruh daerah
penanian harus terbagi menjadi empat Tepo Padang, dan Tepo Padang ini dikoordinir
oleh seseorang yang terkemuka di daerah tersebut yang memimpin seluruh anggota
masyarakat dalam melakukan pekerjaan desa secara gotong-royong. Oleh karena itu,
Tepo Padang dianggap sebagai kesatuan gotong-royong.
Koordinator Tepo Padang bukanlah jabatan adat tetapi dipilih secara langsung
oleh dewan Pemerintahan adat dan dapat diganti sewaktu-waktu. Jabatan ini tidak
terpusat di Tongkonan dan berbeda dengan jabatan adat lainnya seperti Toparengnge',
Tobara', dll. Jabatan ini berasal dari masing-masing Tongkonan dengan dukungan dari
semua keluarga yang berasal dari Tongkonan tersebut. Meskipun jabatan ini hanya
dipegang oleh satu anggota keluarga, tanggung jawabnya merupakan tanggung jawab
bersama keluarga dan sulit untuk dipatahkan. Tepo Padang yang disebutkan
sebelumnya hanya merupakan satu kesatuan abdi yang dipimpin atau dikoordinir oleh
seseorang yang terkemuka dalam daerah Tepo Padang tersebut. Orang ini tidak terikat
oleh adat dan disebut Ambe' Saroan (ambe' = bapa; saroan = abdi).Pemerintahan adat
Toraja yang tersebut di atas sampai datangnya pemerintah Belanda masih tetap berlaku
24
Ibid, hlm 251
dan terpelihara yaitu dengan memberikan tugas kepada masing-masing Tongkonan,
namun telah disesuaikan dengan susunan pemerintahan dari pemerintah Belanda
dimana kelihatannya sangat serasi terutama yang menyangkut pembinaan masyarakat
tetap memegang paranan penguasa-penguasa adat.
Dalam konteks pemerintahan adat, penggunaan gelar jabatan penguasa
Lembang, Bua', dan Penanian disusun dalam 3 tingkatan yang seragam, menciptakan
kesan yang baik dan harmonis dalam struktur pemerintahan adat yaitu:
1. Daerah Lembang telah diubah namanya menjadi distrik atau kecamatan. Gelar
jabatan "lembang" yang sekarang diganti dengan jabatan "parengnge'". Gelar
Parengnge' berasal dari kata/gelar "To Parengnge'" yang memiliki arti sebagai
pemikul tanggung jawab. Pemerintah Belanda menggunakan gelar ini sesuai dengan
tugas yang diemban oleh penguasa distrik sebagai pemerintah yang bertanggung
jawab, meskipun tidak sepenuhnya sebagai penguasa adat seperti sebelum
pemerintahan Belanda.
2. Daerah Bua' tetap menggunakan nama "Bua'" meskipun oleh pemerintah Belanda
disebut sebagai "Onder Distrik" (distrik bawahan). Daerah Bua' tetap diperintah oleh
seorang penguasa distrik bawahan yang disebut kepala distrik muda, dan status
daerah Bua' tetap sama seperti sebelum kedatangan pemerintah Belanda.
3. Daerah Penanian telah diganti namanya menjadi desa atau kampung. Namun, dewan
pemerintahan adat Penanian tetap ada dan melaksanakan tugas dan kewajibannya,
karena To Parengnge'-To Parengnge' memiliki status otonom dalam pembinaan
masyarakat.Jadi hanya nama jabatan dan penguasa adat Penanian yaitu To
Parengnge’ dan To Bara’ tetap ada namun oleh pemerintah Belanda mengangkat pula
seorang kepala desa atau kepala kampung sebagai aparat langsung dari pemerintah
Belanda yang bersama-sama dengan dwan adat penanian melaksanakan pembinaan
masyarakat dalam satu-satu daerah Penanian atau kampung tersebut. Kepala Bua’
membawahi 2 (dua) badan pemerintahan kampung atau desa masing-masing dewan
pemerintahan To Parengnge’, To Bara’/Anak Patalo dan pemerintah kepala kampung
atau kepala desa.
Jadi, meskipun hanya nama jabatan dan penguasa adat Penanian seperti To
Parenge' dan To bara' yang tetap ada, pemerintah Belanda juga menunjuk seorang
kepala desa atau kepala kampung sebagai aparat pemerintah langsung yang bekerja
sama dengan Dewan Adat Penanian untuk melaksanakan pembinaan masyarakat di
setiap daerah Penanian atau kampung tersebut. Kepala Bua' memiliki tanggung jawab
atas dua badan pemerintahan kampung atau desa, yaitu Dewan Pemerintahan To
Parengnge', To Bara'/Anak Patalo, dan kepala kampung atau kepala desa.
III. Keberlakuan Kombongan Sebagai Peradilan Adat Pada Masyarakat Hukum Adat
Suku Toraja
Keberlakuan Kombongan sebagai Peradilan Adat pada masyarakat Hukum
Adat Suku Toraja sampai saat ini masih diberlakukan pada masyarakat Toraja namun
seperti pemaparan diatas kombongan sebagai peradilan adat mengalami perkembangan
hingga saat ini. Kombongan sebagai Peradilan Adat pada Masyarakat Toraja
keberlakuannya tidak diatur pada UU otonomi khusus seperti Aceh dan Papua, namun
penyelesaian sengketa adat tetap memberlakukan Kombongan sebagai peradilan adat.
Namun pada peradilan Adat Suku Toraja legitimasinya tidak diatur pada peraturan,
tetapi masyarakat Toraja percaya bahwa keputusan yang telah diputuskan oleh
kombongan bersifat tetap dan final, berbeda dengan peradilan di Indonesia bahwa
keputusan Peradilan bersifat final dan tetap diatur pada UU. Kombongan sebagai
peradilan adat mengenal sumber hukum materill dan formill, sumber hukum materill
dari kombongan adalah Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu (Aluk 7777)
adalah sistem agama dan aturan yang didasarkan pada ajaran Sukaran Aluk, sedangkan
sumber hukum formil dari kombongan adalah bersumber dari Pemali dan kebijakan
dari Dewan Adat, sedangkan pada Peradilan Umum yang menjadi sumber hukum
materill adalah Pancasila dan UUD 1945, sedangkan sumber hukum formil adalah
Peraturan PerUndangan-Undangan, Hukum Kebiasaan, Yurisprudensi, Perjanjian
Internasional, Doktrin dan Perjanjian Para Pihak. Persamaan dari Kombongan dan
Pengadilan Umum yaitu kedua lembaga ini tidak dapat menolak, memeriksa,
mengadili, dan memutuskan suatu perkara dengan alasan bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan harus melakukan pemeriksaan dan pengadilan terhadapnya hal
ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1) ) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya akan disebut sebagai UU Kekuasaan
Kehakiman.
Peradilan Umum mengatur mengenai penyelesaian sengketa harus dilakukan
dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan hal ini terdapat pada Pasal 2 ayat (4) UU
Kekuasaan Kehakiman, sedangkan pada Kombongan tidak mengharuskan hal ini
karena pada prinsipnya sengketa harus diselesaikan meskipun memerlukan waktu yang
lebih lama. Kombongan bersifat dwifungsi, artinya selain berfungsi sebagai Peradilat
Adat, juga berfungsi sebagai lembaga musyawarah, tergantung pada tingkatan yang
akan dimusyawarahkan. Peradilan Umum yang berlaku di seluruh Indonesia karena
Peradilan juga berfungsi sebagai lembaga yang yang menyelesaikan suatu perkara yang
terjadi di masyarakat dan berfungsi sebagai lembaga musyawarah dengan penerapan
restorative justice. Pasal 3 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa:
“Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Kombongan sangat bertolak belakang dengan isi dari Pasal 3 ayat (2) UU Kekuasaan
Kehakiman, justru pada kombongan mengijinkan campur tangan dari masyarakat yang
ingin hadir pada kombongan khusunya pada kombongan kalua’ sang lembangan yang
merupakan kombongan yang diadakan setiap tahun dengan tujuan mengananalisis suatu
aturan pada lembang (desa) dan mengevaluasinya kombongan karopi adalah
kombongan yang diadakan pada suatu lembang (desa) jika terjadi pelanggaran adat.
Berdasarkan Pasal 14 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa putusan
yang diambil dimusyawarahkan oleh hakim dengan bersifat rahasia, sedangkan pada
kombongan Dewan Adat melaksanakan pengambilan keputusan berdasarkan
musyawarah dan tidak dirahasiakan.
Pasal 4 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa “Pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”, Kombongan
berbeda dengan isi pasal ini, karena Kombongan justru membeda-bedakan seseorang
ketika mengadili, contoh dari hal ini adalah Pemimpin atau Dewan Adat ketika
melakukan pelanggaran adat maka justru akan mendapatkan sanksi yang lebih berat,
dibandingkan dengan masyarakat Adat yang melakukan pelanggaran Adat.
Pasal 18 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Ini berarti pada Peradilan Umum terdapat pembedaan ketika perkara atau sengketa
terjadi, dimana sengketa atau perkara tersebut menentukan dimana nantinya perkara
atau sengketa disidangkan, sedangkan kombongan hanya mengenal tingkatan atau
hierarki yaitu kombongan kalua sang lepongan bulan (musyawarah agung), kombongan
kalua sang lembangan, kombongan karopi, dan kombongan saroan, yang berarti bahwa
hanya membedakan skala sengketa dari pihak-pihak apakah sengketa skalanya hanya
kecil atau justru luas yaitu yang melibatkan banyak orang.
UU Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai pemberhentian seorang hakim
ketika melakukan suatu tindakan yang melanggar peraturan perundang-undangan
maupun pelanggaran kode etik berat melalui prosedur-prosedur yang berlaku,
sedangkan pada kombongan Dewan Adat hanya dapat diberhentikan ketika melakukan
pelanggaran adat yang sangat berat. Putusan dari Peradilan Umum dilaksanakan secara
tertulis, sedangkan pada kombongan secara lisan.
Perbedaan yang paling terlihat dari kombongan dan peradilan umum adalah,
pada peradilan umum sarat akan prosedur-prosedur dan langkah-langkah yang dapat
diterapkan, sedangkan pada kombongan tidak memiliki prosedur dan langkah-langkah
sekonkrit peradilan umum yang berlaku di Indonesia.
IV. Penutup
A. Kesimpulan
Kombongan mempunyai dua fungsi bagi masyarakat Toraja, pertama sebagai
peradilan Adat untuk menyelesaikan sengketa maupun pelanggaran adat yang terjadi,
kedua sebagai lembaga musyawarah bagi masyakat hukum adat suku Toraja yang
mengandung nilai-nilai demokratis didalamnya. Kombongan tidak diakui secara Yuridis
oleh Negara seperti pada daerah Papua dan Aceh tetapi masyarakat hukum adat suku
Toraja tetap memberlakukan Kombongan sebagai Peradilan Adat yang mempunyai
putusan yang final dan tetap. Kombongan dalam perkembangannya sangat dipengaruhi
oleh Agama Kristen hingga saat ini dan sanksi yang diberlakukan haruslah sanksi yang
tidak melanggar Hak Asasi Manusia, UUD, dan Etika keKristenan. Kombongan
mempunyai satu ciri khas utama yaitu Kombongan tidak hanya berlaku bagi Kabupaten
Tana Toraja dan Toraja Utara tetapi juga berlaku bagi suku Toraja yang berada di luar
dua kabupaten tersebut dan menjunjung tinggi kesepakatan yang telah disepakati oleh
Kombongan khususnya Kombongan Kalua’ Sang Lepongan Bulan (Musyawarah
Agung).
B. Saran
Kombongan harus dilegitimasi secara jelas oleh Pemerintah Daerah akan
keberlakuannya, Perda Kabupaten Toraja Utara Nomor 1 Tahun 2019 tentang
Pengakuan Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat belum mengatur secara
jelas akan hal ini, sehingga hal tersebut bisa mengakibatkan ketidakpastian hukum dan
harus ada pemisahan tegas antara Pelanggaran Adat seperti apa yang benar-benar
mendahulukan berlakunya kombongan sebagai Peradilan Adat, dan kombongan harus
diperkenalkan khususnya kepada generasi muda suku Toraja bahwa ia memiliki dua
fungsi yaitu sebagai lembaga musyawarah dan Peradilan Adat sebab Penulis menemui
hambatan pada awalnya ketika melakukan penulisan, karena kurangnya pemahaman
akan hal tersebut, nantinya yang akan meneruskan keberlangsungan Suku Toraja untuk
kedepannya adalah generasi muda, sehingga perlu untuk diberikan pemahaman secara
teoritis akan kombongan, yang dapat dilakukan melalui seminar ataupun bentuk
lainnya, dan menambah literatur mengenai kombongan, karena masih sangat kurang
literatur yang menuliskan mengenai kombongan.
V. Daftar Pustaka
Buku:
L..T. Tangdilintin, (1981), Toraja dan Kebudayanannya, Cetakan IV, Tana Toraja:
Yayasan Lepongan Bulan (YALBU)
Ellyne Dwi Poespasari, (2019), Hukum Adat Suku Toraja, Surabaya: Jakad Publishing
Tesis:
Yudha F. Fernando, 2018, Pengakuan Lembang Sebagai Desa Adat Di Tana Toraja
Oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tana Toraja, Tesis, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta.
Jurnal:
Debyani Embon, 2019, “Sistem Simbol Dalam Upacara Adat Toraja Rambu Solo:
Kajian Semiotik”, Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol.4/No.2/2019, FKIP Universitas
Tadulako
Peraturan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Peraturan Daerah Kabupaten Toraja Utara Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pengakuan
Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat
Penelitian:
https://eprints.unmer.ac.id/id/eprint/2378/1/Eksistensi%20mediasi%20dalam
%20penyelesaian%20sengketa%20pada%20masyarakat%20adat%20Tana%20Toraja.pdf
Internet:
https://kumparan.com/kumparannews/longsor-di-toraja-utara-diduga-dipicu-15-warga-
langgar-adat-ritual-digelar-1zmIgsFlFTd/full

Anda mungkin juga menyukai