PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
sistem kehidupannya. Definisi tersebut semakin rinci dengan pandangan dasar
pada kongres I Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN) tahun 1999.
Sehingga Masyarakat Adat didefinisikan sebagai komunitas-komunitas yang
hidup berdasarkan asal-usul secara turun temurun di atas suatu wilayah adat,
yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, serta kehidupan sosial
budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola
keberlangsungan kehidupan masyarakat.
1. Suku-suku asli yang mempunyai kondisi sosial budaya dan ekonomi yang
berbeda dari kelompok masyarakat lain di sebuah negara, dan yang
statusnya sebagian atau seluruhnya diatur oleh adat kebiasaan atau tradisi
atau oleh hukum atau aturan mereka sendiri yang khusus.
3
Keraf, A.S., Etika Lingkungan Hidup. Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2010
4
Ibid.
2
1. Mereka mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya, baik seluruhnya
atau sebagian.
2. Mereka mempunyai garis keturunan yang sama, yang berasal dari
penduduk asli daerah tersebut.
3. Mereka mempunyai budaya yang khas, yang menyangkut agama, sistem
suku, pakaian, tarian, cara hidup, peralatan hidup sehari-hari, termasuk
untuk mencari nafkah.
4. Mereka mempunyai bahasa sendiri
5. Biasanya hidup terpisah dari kelompok masyarakat lain dan menolak atau
bersikap hati-hati terhadap hal-hal baru yang berasal dari luar
komunitasnya.
3
menjaga identitas kelompok masyarakat tersebut dan untuk menciptakan
hubungan yang harmonis antara masyarakat dengan lingkungan hidup di
sekitarnya.
Secara kuantitatif belum ada jumlah masyarakat adat yang pasti. Tetapi
berbagai lembaga pemerintah mencantumkan angka yang berbeda-beda.
Menurut Departemen Sosial, hingga tahun 2000 kelompok komunitas adat
terpencil (KAT) tercatat sebanyak 242.514 KK atau 1.212.575 jiwa yang
tersebar di 18 propinsi. Populasi kebanyakan terdapat di Irian Jaya (Papua),
Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi6 Pada 2006, Departemen Sosial
melakukan pemetaan lagi dan kemudian dimuktahirkan lagi pada tahun 2008
yang menghasilkan jumlah populasi KAT sebanyak 229,479 KK. Secara
geografis, Bappenas pada tahun 1993 menyebutkan bahwa jumlah penduduk
yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan adalah 12 juta jiwa. Sebagian
besar dari antara mereka adalah kelompok yang seringkali dikategorikan
sebagai masyarakat adat. Sementara sumber lain Owen Lynch dan Kirk Talbott
menyebutkan angka yang lebih tinggi yakni antara 40-60 juta.7 Sama seperti
kategori geografis Bappenas, Kementerian Negara Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal (PDT), menyebut jumlah penduduk yang tinggal di desa
hutan mencapai 33.512.845 jiwa.8
6
http//www.kemsos.go.id
7
Bappenas, Biodiversity Action Plan for Indonesia, 1993, Owen Lynch dan Kirk Talbott, Balancing Acts:
Community-Based Forest Management and National Law in Asia and the Pasifik, Washington: World
Resource Institute, 1995 dikutip oleh Tania Murray Li, Pendahuluan dalam Proses Transformasi Daerah
Pedalaman di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002.
8
www.kabarbisnis.com/aneka-bisnis/2815545-Pembangunan_ekonomi_desa_hutan_tak_sinergis.html
4
Adat Nusantara) bahkan menyebut angka 80 juta jiwa masyarakat adat di
Indonesia.9
10
Kuoni - Far East, A world of difference, Kuoni Travel & JPM Publications, 1999
11
https://www.aman.or.id/538-komunitas-masyarakat-hukum-adat-telah-ditetapkan-pasca-putusan-mk-35/
diakses pada 30 Maret 2017
5
adanya izin dari Kelembagaan adat. Dengan dasar izin yang diberikan oleh
Kementrian Kehutanan, korporasi telah merambah hutan adat sejak tahun
2014.12
Masyarakat Adat Dayak Bahau merupakan salah satu sub suku Dayak
di Propinsi Kalimantan Timur. Masyarakat Adat Dayak Bahau terletak di
Kampung Long Isun Kab. Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Sejak 2014
Hutan Adat Kampung Long Isun dirambah tanpa seizin Kampung. Hal ini
terjadi saat kampung Long Isun dan Kampung Naha Aruq yang juga
merupakan kampung adat sedang menyelesaikan sengketa wilayah adat
kampung. Pemerintah Kabupaten Kutai Barat yang kemudian memekarkan diri
menjadi Kabuaten Mahakam Ulu mengeluarkan Surat Keputusan Bupati
tentang tapal batas kampung di Kabupaten Mahakam Ulu. Hal ini berakibat
pada sebagian kampung menyerahkan sebagian wilayahnya ke PT KBT,
padahal tapal batas ini belum disepakati antar kampung.13
Hutan adat sendiri adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat. Pengertian hutan adat merujuk pada status kawasan hutan. Hal
ini pernah menjadi polemik berkepanjangan karena dalam kerangka hukum di
Indonesia hutan adat dianggap sebagai hutan negara yang hak pengelolaannya
diberikan kepada masyarakat adat. Kemudian terjadi perubahan definisi yang
memberikan status tersendiri.
12
Direktur WALHI KALTIM dalam wawancara pada 3 Maret 2017
13
Lembar kronologis Kampung Long Isun dan PT Kemakmuran Berkah Timber. Dibuat oleh Perkumpulan
Nurani Perempuan(PNP). Salah satu NGO pendamping Masyarakat Adat Dayak Bahau Kampung Long Isun
Kab. Mahakam Ulu.
6
Hingga pada tahun 2012 Mahkamah Konstitusi memenangkan
gugatan judicial review terhadap undang-undang kehutanan yang
termaktub dalam putusan Nomor 35/PUU-X/2012. Mahkamah
menganggap ketentuan hutan adat dalam undang-undang tersebut bertentangan
dengan konstitusi. Kemudian statusnya dikukuhkan sebagai milik masyarakat
adat, bukan hutan negara.
Sebelumnya:
Menjadi:
Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat.
14
Seknas Aliiansi Masyarakat Adat Nasional(AMAN)
7
mempermudah masuknya investas. Pemerintah Propinsi Jambi menargetkan
4,2 Triliun rupiah untuk nilain investasi yang masuk ke jambi pada tahun 2017
yang mayoritas di sektor sumber daya alam.15 Berbagai investasi eksploitasi
SDA banyak yang berada dalam kawasan hutan adat, diantaranya perkebunan
kelapa sawit, pertambangan mineral dan batubara, industri pengolahan kayu,
hingga alih fungsi kawasan hutan menjadi sawah yang diwacanakan di Papua
juga termasuk dalam kawasan masyarakat Adat.16
15
http://dradiojambi.com/index.php/jambi/item/1992-pemprov-jambi-target-nilai-investasi-tahun-ini-rp-4-
2-triliun. diakses pada 2 Maret 2017
16
MASYARAKAT ADAT DALAM MENGELOLA SUMBER DAYA ALAM, KUMPULAN DISKUSI & PRESENTASI
KEDAI (Kelompok Diskusi Adat Indonesia), INTERNATIONAL CENTRE FOR RESEARCH IN AGROFORESTRY,
Cisarua, 2000
17
https://programsetapak.org/setapak-blog/hutan-adat-dalam-penyelesaian-konflik-tenurial/ diakses pada
2 Maret 2017
18
https://www.kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2282 diakses pada 2 Maret 2017
8
pemanfaatannya oleh pihak lain harus memperhatikan dan mendapat
persetujuan dari masyarakat adat itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
9
dilakukan dengan baik, maka penulis telah merumuskan dua rumusan masalah
yang akan menjadi fokus penelitiannya, yaitu:
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, penulis ingin mendapatkan
sebuah tujuan penelitian yang selaras dengan rumusan masalah yang ada.
Tujuan penelitian pada hakekatnya adalah mengungkapkan apa yang
hendak dicapai oleh peneliti dari penelitiannya. Penulisan skripsi ini,
yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Umum dari dilakukannya penelitian ini ialah agar adanya
masukan dan sumbangsih pemikiran bagi perbaikan tata kelola
hukum kehutanan dalam mengakomodir kepentingan masyarakat
hukum adat.
2. Adapun tujua khusus dari penelitian ini yaitu:
a. Untuk mengkaji Kebijakan Pemerintah Daerah Propinsi
Kalimantan Timur yang mengatur tentang masyarakat adat dapat
mempengaruhi adanya pemanfaatan hasil hutan berupa kayu di
dalam kawasan hutan adat berdasarkan UU Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan
b. Untuk menggagas pengakuan secara de facto Masyarakat Adat
sebagai landasan hukum untuk mempertahankan hutan adatnya.
2. Manfaat Penelitian
Atas tujuan penelitian di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan beberapa manfaat dari penelitian yang akan di lakukan.
Yaitu:
10
1. Manfaat secara teoritis, yaitu untuk memperluas perkembangan
penelitian ilmu hukum terutam di bidang kehutanan dan masyarakat
hukum adat.
2. Manfaat Praktis dari penelitisn ini sendiri adalah:
a. Untuk mengembangkan wawasan keilmuan peneliti dalam
kajian pengaruh Peraturan Daerah Propinsi dalam kegiatan
eksploitasi sumber daya alam di sektor pemanfaatan hasil hutan
berupa kayu di dalam kawasan Hutan Adat.
b. Untuk mengembangkan gagasan pengakuan sebagai landasan
hukum keberadaan dan eksistensi bagi masyarakat adat dari
penulis untuk berbagai pihak yang berkepentingan.
c. Sebagai bahan rekomendasi dan bahan kajian bagi pihak lain
yang berkepentingan.
1. Kerangka Teori
11
menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) unsur dalam sistem hukum, yaitu
meliputi struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.19
19
I Gusti Ngurah Dharma Laksana, S.H., M.Kn, dkk., Buku Ajar Sosiologi Hukum, Pustaka Ekspresi, Denpasar,
2017
20
Ibid.
21
Ibid.
12
2. Kerangka Konsep
Sebagai upaya untuk menghindari salah pengertian terhadap
serangkaian definisi yang akan dipergunakan pada penelitian ini, berikut
ini akan diuraikan pengertian dari:
a. Hutan
Hutan adalah suatu wilayah yang memiliki banyak tumbuh-
tumbuhan lebat yang berisi antara lain pohon, semak, paku-pakuan,
rumput, jamur dan lain sebagainya serta menempati daerah yang
cukup luas. Hutan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida
(carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, dan
pelestari tanah serta merupakan salah satu aspek biosfer bumi yang
paling penting. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di
seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis
maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di
pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar.22
Menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan
yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Definisi hutan yang disebutkan
di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi:
a. Suatu kesatuan ekosistem
b. Berupa hamparan lahan
c. Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
d. Mampu memberi manfaat secara lestari
Keempat ciri pokok dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan,
merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling
ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi. Eksistensi hutan
sebagai subekosistem global menenpatikan posisi penting sebagai
paru-paru dunia.
22
Darmawijaya, I., KLasifikasi Tanah. Gajah Mada University Press. Jogjakarta, 1990
13
Di permukaan bumi, kurang lebih terdapat 90% biomassa yang
terdapat di dalam hutan berbentuk kayu, dahan, daun, akar, dan
sampah hutan (serasah), hewan, dan jasad renik. Biomassa ini
merupakan hasil fotosintesis berupa selullosa, lignin, gula bersama
dengan lemak, pati, protein, damar, fenol, dan berbagai unsur lain yg
dibutuhkan tumbuhan melalui perakaran. Biomassa inilah yang
merupakan kebutuhan makhluk di atas bumi melalui mata rantai
antara binatang dan manusia dalam proses kebutuhan CO2 yang diikat
dan O2 yang dilepas.23
Secara sederhana, hutan ahli kehutanan mengartikan hutan
sebagai suatu komunitas biologi yang didominasi oleh pohon-pohonan
tanaman keras. Sedangkan menurut UU No. 5 tahun1967, hutan
diartikan sebagai lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara
menyeluruh merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam
lingkungannya.
Hutan diartikan sebagai suatu asosiasi sehingga antara jenis
pohon yang satu dan jenis pohon lain yang terdapat di dalamnya akan
saling tergantung. Jenis-jenis tanaman yang tidak menyukai sinar
matahari penuh tentu memerlukan perlindungan dari tanaman yang
lebih tinggi dan suka akan sinar matahari penuh. Tanaman yang suka
sinar matahari penuh akan memperoleh keuntungan dari tanaman yang
hidup di bawahnya karena mampu menjaga kelembaban dan suhu
yang diperlukan oleh tanaman tinggi tersebut. Cahaya matahari yang
sampai di lantai hutan tropika secara menyeluruh adalah sebesar
1,0%-1,7% yang dihitung berdasarkan waktu (jam). Pada pukul 12.00
(siang), saat matahari datang tegak lurus sebesar 100%, maka sinar
akan sampai di lantai hutan sebesar 0%-1%. Pada pukul 15.00 saat
sinar matahari condong 450, maka sebesar 67% sinar akan sampai di
lantai hutan adalah 0%-0,5 %. Pada pukul 16.00 sinar matahari
23
Ir. Ariefin Arief, M.P., Hutan dan Kehutanan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001
14
condong 300, kekuatan sebesar 44% sinar matahari yang akan sampai
di lantai hutan adalah sebesar 0%-0,2%.24
Selain terjadi ketergantungan, di dalam hutan akan terjadi pula
persaingan antar anggota-anggota yang hidup saling berdekatan,
misalnya persaingan di dalam penyerapan unsur hara, air, sinar
matahari ataupun tempat tumbuh. Persaingan ini tidak hanya terjadi
pada tumbuhan saja, tetapi juga pada binatang. Hutan merupakan
suatu ekosistem natural yang telah mencapai keseimbangan klimaks
dan merupakan komunitas tumbuhan yang paling besar yang mampu
pulih kembali dari perubahan-perubahan yang dideritanya sejauh tidak
melampaui batas-batas yang dapat ditoleransi.
b. Masyarakat Hukum Adat
Menurut definisi yang diberikan oleh UN Economic and Sosial
Council masyarakat adat atau tradisional adalah suku-suku dan bangsa
yang, karena mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat
sebelum masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap dirinya
berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah
mereka".
24
Sudrajat Martadinata dan Deddy Suprapto, Memahami Arti Laba mlalui “Semak”, Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Sains Humaniora, 2018
15
temurun yang hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki
sistem nilai, ideologi ekonomi, politik, budaya dan sosial yang khas”.
Masyarakat ini masih memegang nilai-nilai tradisi dalam sistem
kehidupannya.25
25
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Gerakan Sosial untuk Berdaulat, Mandiri, dan Bermartabat, bahan
Sosialisasi AMAN untuk Masyarakat Hukum Adat
26
Konvensi ILO Mengenai Masyarakat Hukum Adat, 1969 (No. 169): Sebuah Panduan, Jenewa, 2003
16
dan teritoriyang terpisah dari kelompok masyarakat lain, dan
hidup jauh sebelum terbentuknya negara bangsa modern.
28
Ningrat, A.A., Karakteristik Lanskap Kampung Tradisional Di Halimun Selatan dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya (Sebuah Studi Pada Kampung Kasepuhan di Kesatuan Adat Banten Kidul,
Kampung Sirnaresmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). Skripsi
Sarjana Pada Program Studi Arsitektur Lanskap FP IPB, Bogor, 2004
17
8. Tingginya nilai-nilai sosial.
c. Hutan Adat
18
menganggap ketentuan hutan adat dalam undang-undang
tersebut bertentangan dengan konstitusi. Kemudian statusnya
dikukuhkan sebagai milik masyarakat adat, bukan hutan negara.
E. METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian ini
melakukan kajian terhadap system hukum yang menjadi bahan hukum
primer dan sekunder sebagai kerangka acuan dalam menelaah data primer
yang didapat dari peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat.29
Dalam melakukan hal tersebut maka diperlukan beberapa hal di
dalamnya, yaitu mengidentifikasi masyarakat hukum, subyek hukum, hak
dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan objek hukum
yang ada dala bahan-bahan hukum sekunder, agar mandapat suatu
pengertian dasar dari masing-masing hal tersebut dalm kehidupan hukum
dan kemudian digunakan untuk mengidentifikasi data primer yang ada.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan kasus.30Yang dimaksud dengan pendekaan perundang-
undangan disini adalah hal yang dilakukan peneliti dalam mengkaji dan
menelaah aturan-aturan perundang-undangan yang ada yang terkait
dengan kehutanan dan masyarakat adat. Kehutanan dan masyarakat adat
menjadi isu hukum yang relevan dala penelitia ini. Maka dari itu peneliti
akan menelaah harmonisasi dan dinamika yang ada antar perundang-
undangan yang ada.
Sedangkan pendekatan kasus disini adalah kajian atau telaah
peneliti terhadap kasus-kasus yang telah terjadi terkait dengan isu hukum
dalam pengakuan masyarakat hukum adat dalam mengelola hutan adat.
Kasus yang ada diutamakan pada kasus yang telah mencapai pada putusan
29
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singka, Jakarta, PT
Rajagrafindo Persada, 2014.
30
Peter Mahmud, Penelitian HukumEdisi Revisi, Jakarta, Prenadamedia Group, 2014.
19
tetap pengadilan. Hal ini juga termasuk beberapa putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap Judicial Review UU Kehutanan.
3. Sumber Data
Penelitian ini akan menggunakan dua jenis sumber-sumber data
sekunder. Yaitu:
a. Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan
kepustakaan untuk melengkapi data primer yang meliputi bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.31 Dalam penelitian ini,
data sekunder ini meliputi:
A. Bahan hukum primer, meliputi:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan
dan Perlindungan Lingkungan Hidup
4. Undnag-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria
5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012
B. Bahan Hukum Sekunder yang berupa pendapat atau doktrin
terkait dengan masyarakat hukum adat dalam kehutanan yang
diperoleh baik dari pendapat hukum dalam bahan bacaan,
dokumen seminar, literature, jurnal, hasil penelitian, dan bahan-
bahan bacaan lainnya yang relevan dalam penelitian ini.
4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitia ini yaitu
pengumpulan data dengan studi kepustakaan yang akan mengkaji bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
5. Analisis Data
Peneitian ini akan menggunakan penalaran deduktif dalam
melakukan analisis terhadap data. Penalaran deduktif yaitu proses
bernalar yang bermula dari pernyataan umum untuk menyimpulkan pada
31
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singka, Jakarta, PT
Rajagrafindo Persada, 2014.
20
pernyataan yang khusus pada suatu hal tertentu.32 Dalam penelaran
deduktif ini, akan ditemukan kebenaran formal, yaitu kebenarankonklusi
yang semata-mata ditentukan oleh kebenaran procedural yang secara
formal ditempuh dalam penyususnan silogismenya. Kebenaran ini aalah
kebenaran koherensi yang bersifat legalistis.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bagian, pada bagian
pertama mengenai latar belakang penulisan; pokok permasalahan; tujuan;
kerangka teori dan konsep, metodologi penelitian serta sistematika penulisan.
Pada bagian kedua Peneliti menguraikan pengaturan yang ada
mengenai perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat atas hutan adat
yang diatur dalam hukum nasional Indonesia, serta mengenai konsep-konsep
terkait hutan dan masyarakat adat dan kelembagaan yang memiliki
kewenangan dalam menjamin dan melindungi hak masyarakat hukum adat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pada bagian ketiga akan diulas mengenaibeberapa pendapat para ahli
pakar atas posisi masyarakat adat dalam hukum nasional, dan juga akan
dibahas putusan MK terkait pemaknaaan hutan adat sebagai hutan hak bagi
masyarakat adat untuk kemudian dianalisis menggunakan kerangka teori pada
penelitian ini, yakni mengenai penegakan hukum. Akan dipaparkan juga
sebagai pengantar beberapa kasus hilangnya ha katas hutan adat
masyarakathukum adat di beberapa daerah di Indonesia.
Dan sebagai penutup pada bagian keempat akan dikemukakan
kesimpulan dari hasi penelitian yang akan dilakukan untuk kemudian
dirumuskan saran-saran terkait hal-hal apa saja yang harus menjadi perhatian
Pemerintah dalam menjamin hak dan pengakuan masyarakat hukum adat atas
hutan adatnya.
BAB II
TEORI
1. Masyarakat Hukum Adat
32
Soetandyo Wignjosoebroto dalam Valerine, J.L.K
21
Bangsa Indonesia terdiri dari kebudayaan yang beragam dan majemuk.
Secara suku kebangsaan, berdasarkan ethnolinguistik terdapat 1.128 suku
bangsa yang terbagi dalam ribuan komunitas yang tersebar di 76.655 desa di
kepulauan nusantara, dari jumlah tersebut 9.140 desa dianaranya berada di
sekitar wilayah hutan.33 AMAN memperkirakan masyarakat adat diperkirakan
paling sedikit 30 juta jiwa di antaranya berada di dalam di sekitar hutan.34
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh
Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van
Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat.
Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat
adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu,
mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa
benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan
masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang
wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu
mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang
telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan
itu untuk selama-lamanya.35
Kusumo Pujosewojo memberikan pengertian yang hampir sejalan dengan
Ter Haar, beliau mengartikan masyarakat hukum adat sebagai masyarakat
yang timbul secara spontan diwilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan
atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya,
dengan rasa solidaritas sangat besar di antara anggota, memandang anggota
masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber
kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sebagai sumber kekayaan yang
hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.36 Sedangkan menurut
33
Agung Pambudi, S.Sos., dkk., Hutan Adat Wujud Rakyat Berdaulat Bangsa Bermartabat, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017.
34
Abdon Nababan, PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT ADAT: Antara Konsep dan Realitas,
Makalah dalam Seminar “Hutan Tanaman Rakyat, Untuk Apa dan Siapa”, Pertemuan Mitra Siemenpuu
Foundation, Muara Jambi, 5 Nopember 2008
35
Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas
Tanah, Yogyakarta, LaksBang PRESSindo, 2010
36
Ibid.
22
Hazairin, masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang
mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang
mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan
hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.37
Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan
hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat territorial
dan geneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di
zaman Hindia Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau
persekutuan hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur,
yang anggota anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman
tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam
kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur. 38 Sedangkan,
masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu
kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu
garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena
pertalian perkawinan atau pertalian adat.39
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Yayasan Sejati di 4 propinsi
(Kalimantan Timur, Maluku, Irian Jaya dan Nusan Tenggara Timur)
menunjukkan bahwa walaupun sistem-sistem lokal masyarakat hukum adat
berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-
prinsip kearifan adat yang masih dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok-
kelompok masyarakat adat, yaitu antara lain:40
1. masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme ekosistem di mana
manusia merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga
keseimbangannya;
2. adanya hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas
(comunal tenure/“property” rights) atas suatu kawasan hutan adat masih
37
Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP Regional Centre in
Bangkok, Jakarta, 2006
38
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, CV Mandar Maju, 2003.
39
Ibid.
40
Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, hal 22.
23
bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan
mengamankannya dari kerusakan;
3. adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan (pemerintahan)
adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan
secara bersama masalah-masalah yang mereka hadapi dalam
pemanfaatan sumberdaya hutan;
4. ada sistem pembagian kerja dan penegakan hukum adat untuk
mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan
baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar;
5. ada mekanisme pemerataan distribusi hasil "panen" sumberdaya alam
milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah
masyarakat.
Istilah Hutan Adat telah didengar sebelum istilah resminya terdapat di
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti yang termuat di
dalam UU Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan yang berbunyi “Hutan
Adat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah adat masyarakat
sebagai sumber kehidupan, identitas sosial dan ritual budaya”. Dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, Masyarakat Hukum Adat disebutkan dengan
berbagai konsep seperti Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Adat,
Masyarakat Tradisional, atau Desa Adat. Masayarakat itu sendiri tidak
menyebut dirinya dengan berbagai konsep yang telah disebutkan di atas.
Melainkann dengan istilah yang menunjukkan identitas lokal suatu komunitas
itu sendiri seperti Kasepuhan, Nagari, Kampung, Marga, Hoana, dan atau
sebutan lainnya.41
Dalam buku De Commune Trek in bet Indonesische Rechtsleven, F.D.
Hollenmann mengkonstruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat,
yaitu magis religious, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam
uraian singkat sebagai berikut:42
1. Sifat magis religious diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan
pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral.
41
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, hal. 22
42
Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia
24
Sebelum masyarakat bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas
ini diwujudkan dalam cara berpikir yang prologka, animism, dan
kepercayaan pada alam ghaib. Masyarakat harus menjaga keharmonisan
antara alam nyata dan alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat
mengenal sisitem hukum agama perasaan religious diwujudkan dalam
bentuk kepercayaan kepada Tuhan (Allah). Masyarakat percaya bahwa
setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan dan
hukuman tuhan sesuai dengan derajat perubahannya.
2. Sifat komunal (commuun), masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap
individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat
secara keseluruhan. Diyakini bahwa kepentingan individu harus
sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat
karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakat.
3. Sifat konkrit diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata
menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam
masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar.
4. Sifat kontan (kontane handeling) mengandung arti sebagai kesertamertaan
terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selalu
dengan kontra prestasi yang diberikan secara sertamerta/seketika.
Pada Konstitusi istilah yang digunakan adalah Kesatuan masyarakat
hukum adat seperti yang teruang dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. Dalam
pasal tersebut disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-ha tradisonalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur di dalam UU.
Sementara dalam pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, digunakan istilah Masyarakat
Tradisional. Didalamnya menyebutkan bahwa Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.
Agar suatu kesatuan masyarakat hukum adat dapat menikmati hak atas
hutan ini, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi oleh kesatuan masyarakat
hukum adat tersebut, yakni bahwa keberadaan masyarakat hukum adat yang
25
bersangkutan harus telahdiakui terlebih dahulu dulu.UU No. 41 Tahun 1999
melalui penjelasan pasal 67 ayat (1) mengatur tentang unsur-unsuryang harus
dipenuhi agar sebuah kesatuan masyarakat hukum adat dapat diakui
keberadaannya, yakni:43
b. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap).
c. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.
d. Ada wilayah hukum adat yang jelas.
e. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih
ditaati.
f. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya
untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
43
Safrin Salam, PERLINDUNGAN HUKUM MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS HUTAN ADAT, Jurnal Hukum
Novelty, 2016
44
Ibid.
26
bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak
bertentangan dengan hak-hakasasi manusia.
g. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas NKRI.
h. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
i. Keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya tersebut telah diakui berdasarkan UU ataupun Peraturan
Daerah (Perda).
27
Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus
dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat
merupakan pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan
ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian
teknis yuridis yang menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu
wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki
kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok
(keluar dan kedalam), dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan
pemerintahan.45
45
Taqwaddin, “Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi
Aceh”, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010
46
Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Salemba Humanika, 2010
47
Ibid.
28
Hidup). Masyarakat ini biasanya masih dalam bentuk paguyuban,
kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.48
2. Hutan Adat
Wilayah adat memiliki berbagai karakteriristik di nusantara, mulai dari
wilayah pedesaan, pedalahan, hingga pesisir. Baik di dataran rendan, maupun
di dataran tinggi, dalam lanskap hutan ataupun padang rumput savana.
Keragaman wilayah tersebut mempengaruhi cara hidup masyarakat hukum
adat dalam mempertahankan hiidup seperti berburu, mengumpulkan hasil
hutan, bertani, ataupun berladang.
Hutan Adat merupakan hutan yang berada di wilayah adat. Hal ini
tercantum di dalam Permen LHK Nomor 32/2015 Tentang Hutan Hak. Dalam
wilayah adat masyarakat hukum adat yang telah diakui, ada kalanya memiliki
areal hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam lingkungannya, yang ssatu dengan yang lainnya tidak dapa
dipisahkan. Wilayah hutan yang dimaksud oleh masyarakat hukum adat
setempat disebut sebagai hutan adat. Htan adat yang dimaksud adalah wilayah
hutan yang masih mempunyai fungsi ekologis, ekonomi, sosial budaya, serta
masyarakatnya masih melakukan pemanfaatn dan pemungutan hasil hutan
untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.49
Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan
komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas
masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia
adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga
keseimbangan dan harmoni. Pasca Orde Baru banyak studi yang telah
membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih
memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem
48
Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas
Tanah,
49
Ibid.
29
lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara
evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat.50
Pemnafaatn Hutan Adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat
dilakukan sepanjang tidak menggangu fungsinya. Pemanfaatn hasil hutan adat
berupa hasil hutan kayu di area yang berfungsi produksi. Sedangkan di are
lindung kan konservasi dapat dimanfaatkan untuk tujuan religi, budaya, jasa
lingkungan kompensasi melalui kerjasama hulu hilir, pebagian keuntungan
dari pemanfaatan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik dan
penelitian.51 Pemnafaatan hutan adat ini diaur di dalam UU Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan. Di dalam Pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa
pemanfaatan hutan adat dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang
bersangkautan, sesuai dengan fungsinya. Lebih lanjut dalam ayat (2) pasal
yang sama, dijelaskan bahwa pemanfaatn hutan adat yang berfungsi lindung
dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak menggangu fungsinya.
Pengelolaan dan Pemanfaatan hutan adat dilaksanakan oleh Masyrakat
Hutan Adat berdasarkan kearifan lokal dan hukum adat yang berlaku sesuai
dengan fungsinya. Hutan adat dimiliki, dikelola, dan dimanfaatkan secara
komunal oleh suatu komunitas Masyarakat Hukum Adat.52 Sedangkan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten
menghormati dan melindungi hak Masyarakat Hukum Adat dalam mengelola
dan memnfaatkan hutan adat miliknya.
Hak atas tanah adat termasuk di dalamnya hutan adat merupakan hak
ulaat bagi masyarakat hukum adat. Hak ulayat adalah seperangkat wewenang
dan kewajiban masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang
terletak dalam lingkungan wilayahnya.53 Di dalam hak ulayat terdapat
beberapa unsur. Unsur kepunyaan yang termasuk di dalamnya kewajiban-
50
Mohammad Mulyadi, PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ADAT DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN (Studi
Kasus Komunitas Battang di Kota Palopo, Sulawesi Selatan), JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi
Kehutanan, 2013
51
Ismatul hakim, dkk., Social Forestry Menuju Restorasi Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan KLHK, Jakarta, 2010
52
Ibid.
53
Siti Zumrokhatun dan Darda Syahrizal, Undang-Undang Agraria dan Aplikasinya, Dunia Cerdas, jakarta,
2014
30
kewajiban perdata dan unsur-unsur kewenangan untuk mengatur penguasaan
dan memimmpin penggunnaan tanah bersama.54
Unsur kewenangan, pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat
sendiri atu bersama-sama dengan ketua adat masyarakat hukum adat. Tugas
dan fungsi ini dijalankan bersama dengan fungsi hukum publik lainnya juga. 55
Hal ulayat dalam lingkungan masyarakat hukum adat merupakan hak tertinggi
dalam penguasaan hak atas tanah bagi maasyarakat hukum adat. Hak-hak
lainnya terhadap tanah adat baik secara langsung ataupun tidak langsung bagi
perorangan atas sebagian tanah adat bersumber dari hak ulayat.56
Hak ulayat tercipta dari nenek moyang atau suatu kekuatan gaib
masyarakat hukum adat. Sebagai hubungan hukum yang konkret, nenek
moyang masyarakat hukum adat meninggalkan atau menganugrahkan tanah
yang bersangkutan kepada orang-otang yang merupakan kelompok tertentu.
Keberadaan hak ulayat sebagai lembaga hukum sudah ada sebelumnya karena
masyarakat hukum adat yang bersangkutan bukan satu-satunya yang memiliki
hak ulayat. Bagi masiiyarakat hukum adat, hak ulayat dapat tercipta dari
pemisahan sekelompok masyarakat hukum adat dari msayarakat hukum adat
lainnya sebagai induknya. Pemisahan ini diikuti dengan kewenangan secara
mandiri dengan sebagian wilayah induknya sebagai tanah ulayat.57
Hal ulayat merupakan hak yang melekat bagi masyarakat hukum adat. Ha
ini terjadi karena keberadaan masyarakat hukum adat yang berada di wilayah
ulayat sebagai teritorial lembaga adat.
Konsep tentang hubungan hukum antara Masyarakat Hukum Adat
dengan tanah/wilayah yang bersifat publik sekaligus perdata, dan yang bersifat
perdata belaka. Implikasi pemberian kepastian hukum kepada dua kelompok
masyarakat hukum adat yang mempunyai ciri berbeda ini adalah perbedaan
dalam bentuk pemberian kepastian hukumnya. Terhadap kelompok dengan
ciri aspek publik sekaligus perdata, tanah ulayat selanjutnya didaftar tetapi
54
Ibid.
55
Ibid.
56
Ibid.
57
Ibid.
31
tidak diterbitkan sertifikatnya. Sebaliknya, terhadap tanah ulayat yang
beraspek perdata belaka, terhadap tanah kepunyaan/milik bersama diterbitkan
sertifikat atas nama ketua masyarakat hukum adat atas nama seluruh anggota
masyarakat hukum adat; atau atas nama seluruh anggota masyarakat hukum
adat.58 Sebagai contoh dapat dikemukakan sertifikat Hak Milik (bersama)
yang diterbitkan atas tanah ulayat kaum di Sumatera Barat.
3. Recognisi Masyarakat Hukum Adat
Keberagaman yang dimiliki Indonesia menjadikan masyarakat hidup
dengan berbagai sitem yang berbeda-beda. Sistem dalam masyarakat hukum
adatpun sangat banyak di Indonesia. Hal ini harus sejalan dengan diakuinya
masyarakat hukum adat sebagai masyarakat yang keberadaanya sah di
Indonesia.
Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat merupakan sebuah entitas.
Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Charles Taylor dalam teori Pengakuan
dalam Politik Pengakuan yang diterbitkan pada 1992. Ia memahami rekognisi
dalam dua pengertian:59
1. Politik Universalisme. Yaitu proteksi terhadap otonomi individu,
kelompok atau komunitas dengancara menjamin hak-hak mereka.
2. Politik Perbedaan. Yiatu proteksi terhadap identitas individu, kelompok
atau komunitas dengan cara menghormati dan memperbolehkan mereka
melindungi budayanya.
58
Pluralisme Hukum Sumber Daya Alam dan Keadilan dalam Pemanfaatan Tanah Ulayat. Maria S.W.
Sumardjono
59
Simon Thompson, The Political Theory of Recognition Critical Introduction, United Kingdom: Polity Press,
2006
60
Ibid.
32
masyarakat hukum adat yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan
rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul dan hukum/ adat setempat
sehingga harus diakui keberagamannya dalam berbagai bentuk. Teori rekognisi
secara konsep menempatkan pengakuan dan penghormatan kepada masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dalam posisi penting dan krusial.61
62
Pluralisme Hukum Sumber Daya Alam dan Keadilan dalam Pemanfaatan Tanah Ulayat. Maria S.W.
Sumardjono
33
suatu lembaga. Sementara keyakinan dan cita-cita merupakan unsur dasar dari
suatu lembaga.63
Hukum adat dibentuk dari keberadaan persekutuan hukum atau disebut
juga masyarakat hukum adat (adatrechtsgemeenchap). Kumpulan masyarakat
ini terformulasi dalam masyarakat teratur, bersifat tetap dan memiliki
kekuasaan, kewenangan untuk mengurus kekayaan sendiri baik materil
maupun immateril. Penghalusan dan pengembangannya dilaksanakan melalui
keputusan dari orang-orang atau lembaga-lembaga yang berwenang.64
Masyarakat hukum adat sendiri telah mendapatkan tempat di dalam
berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia. secara hukum pengakuan
terhadap masyarakat hukum adat dimuat di dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria(selanjutnya disebut UUPA), Undang-
Undang Nomor 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan, Undnag-Undang Nomor
41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945(selanjutnya UUD NRI 1945), pengakuan terhadap masyarakat adat tidak
disampaikan dalam definisi secara langsung. Dalam amandemen kedua UUD
NRI 1945 pada tahun 2000 terdapat penambahan beberapa poin terkait
masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 18 misalnya, disebutkan bahwa
keberadaan dan eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya
diakui selama masih masih ada dan perkembangannya sesuai dengan prinsip-
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.65
Selanjutnya di dalam UUD NRI 1945, keberadaan masyarakat hukum
adat juga diakui dalam BAB khusus tentang hak asasi manusia. Hal ini juga
diatur sejak amandemen kedua pada tahun 2000. Hal ini termuat dalam Pasal
281 ayat (3) UUD NRI yang menyebutkan bahwa negara menghormati budaya
63
Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Cet. I, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 51
64
Arifin Abdullah, Teori Terbentuknya Masyarakat Hukum Adat, Pusat jurnal UIN Ar-Raniry, Banda Aceh,
2016
65
Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945 berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undnag-
Undang.”
34
dan hak masyarakat hukum adat selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.66
Pada bagian awal, penulis juga mengatakan bahwa pengakuan terhadap
masyarakat hukum adat tertera dalam UUPA. Dalam UUPA, masyarakat
hukum adat dianggap sebagai pemilik hak ulayat. Hal ini terlihat sebagaimana
Pasal 3 UUPA. Keberadaan masyarakat hukum adat dalam pasat tersebut diaui
oleh negara, tetapi harus selaras deng aturan perundang-undangan lainnya, dan
tidak boleh bertentangn dengan aturan yang lebih tinggi. 67 UUPA juga lebih
dulu menyebutkan masyarakat hukum adat. Pasal ini memandatkan agar
ketentuan tentang masyarakat hukum adat diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.68
Pengaturan dan pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat
juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan. Negara mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dengan
berdasarkan beberap unsur kriteria seperti tergabung dalam sebuah
paguyuban, memiliki kelembagaan adat, memiliki wilayah teritorial, ada
pranata dan perangkat hukum termasuk peradilan adat, dan memanfaatkan
hasil hutan untuk memenuuhi kebutuhan hidup sehari-hari.69
66
Pasal 281 (3) UUD NRI 1945 berbunyi “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisonal dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban”
67
Pasal 3 UUPA berbunyi “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak
Ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang mmenurut kenyataannya
masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yag
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan-
Peraturan lain yang lebih tinggi.”
68
Pasal 2 ayat (4) UUPA berbunyi” (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan
dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah.”
69
Pasal 67 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan berbunyi “Keberadaan masyarakay hukum
adat menurut kenyataannya memenuhi unsur: a) Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban, b) Ada
kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adatnya, c) ada wilayah hukum yang jelas, d) ada
pranata dan perangkat hukum yang khususnya peradilan adat yang masih ditaati, e) mengadakan
pemungutan hasil hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.”
35
BAB III
HUTAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
36
menimbulkan permasalah besar, bukan hanya kerusakan hutan namun juga
memiliki dampak buruk bagi kehidupan manusia dan keragaman hayati.70
70
http://pusatkrisis.kemkes.go.id/fungsi-hutan-sangat-penting-untuk-kehidupan
71
https://wri-indonesia.org/id/blog/5-peta-menunjukkan-pentingnya-masyarakat-adat-dan-masyarakat-
setempat-bagi-lingkungan
37
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN) menyebutkan bahwa
Hutan adat adalah hutan yang ada di wilayah adat. Bagi masyarakat adat,
Hutan adat menjadi kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Hutan menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat adat yang telah menopang kehidupan
sehari-hari, dan juga titipan bagi generasi yang akan datang. Hutan adat
menjadi salah satu kekayaan penting bagi masyarakat adat untuk menjamin
kesejahteraan hidupnya.72
Pada 30 Desember 2016 Presiden RI tela menyerahkann 8 SK
Penetapann Hutan Adat kepada perwakilan Masyarakat Hukum Adat dari
Jambi, Banten, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah. Luas keseluruhan
Hutan Adat yang telah diSKkan tersebut seluas ± 7.949 ha. Terdapat pula 1
Pencadangan Hutan Adat di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi
Sumatera Utara yang memiliki luas sebesar ± 5.172 ha. Hingga Juni 2017,
luas hutan adat tersebut bertambah hingga ± 796,5 ha, yang terdiri dari
Penetapan Hutan Adat Tawang Panyai di Kabupaten Sekadau Provinsi
Kalimantan Barat, dan Hutan Adat Marena di Kabupaten Sigi Provinsi
Sulawesi Tengah.73
Masih terdapat 10 Hutan Adat yang akan ditetapkan hingga saat ini.
Yaitu:74
73
Agung Pambudi, S.Sos., dkk., Hutan Adat Wujud Rakyat Berdaulat Bangsa Bermartabat, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017.
74
Ibid.
38
Provinsi Jambi dalam Peta Kawasan Hutan (SK.6739/MENLHK-
PSKL.KUM.1/12/2016)
4. Penetapan Pencantuman Hutan Adat Marga Sarampas seluas ± 130 ha di
Desa Rantau Kermas Kec. Jangkat Kab. Merangin Provinsi Jambi dalam
peta kawasan hutan (SK.6741/MENNLHK-PSKL/KUM.1/12/2016)
5. Penetapan PencantumanHutan Adat Tigo Luhah Kemantan seluas ± 452
ha di Kec. Air Hangat Kab. Kerinci Provinsi Jambi dalam peta kawasan
hutan (SK.6740/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016)
6. Penetapan Penetapan Pencantuman Hutan Adat Ammatoa Kajang seluas
± 313,99 ha di Kec. Kajang Kab. Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan
dalam peta kawasan hutan (SK.6742/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016)
7. Penetapan Pencantuman Hutan Adat Wana Posangke seluas ± 6.212 ha di
Kec. Bungku Utara Kab. Morowali Utara Provinsi Sulawesi Tengah
dalam peta kawasan hutan (SK.6743/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016)
8. Penetapan Pencantuman Hutan Adat Kesepuhan Karang seluas ± 486 ha
di Desa Jagakarsa Kec. Muncang Kab. Lebak Provinsi Banten dalam
Peta Kawasan Hutan (SK.6744/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016)
9. Penetapan Pencantuman Kawasan Hutan Adat “Tawang Panyai” seluas ±
40,5 ha yang dikelola Masyarakat Hukum Adat Tampang Sambas –
Tapang Kemayau di Desa Tapang Semadak Kec. Sekadau Hilir Kab.
Sekadau Provinsi Kalimantan Barat dalam Peta Kawasan Hutan
(SK.1152/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.0/3/2017 tanggal 16 Maret
2017)
10. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Marena” seluas ± 756 ha yang
dikelola Masyarakat Hukum Adat Kulawi Desa Marena Kec. Kulawi
Kab. Sigi Provinsi Sigi dalam Peta Kawasan Hutan (SK.1156/MENLHK-
PSKL/PKTHA/PSL.0/3/2017 Tanggal 16 Maret 2017)
Pengelolaan hutan adat secara kelembagaan oleh Masyarakat Hukum
Adat telah berlangsung sejak lama dan turun-menurun. Hal ini dapat dilihat
dengan berjalannya sistem yang matang dalam pengelolaan hutan adat untuk
dimanfaatkan secara komunal oleh komunitas.
39
Salah satu contoh pengelolaan hutan adat secara kelembagaan
Masyarakat Hukum Adat adalah Kesepuhan Citorek. Kesepuhan Citorek
meupakan satu kumpulan atau komunitas Masyarakat Hukum Adat yang
berada di Kabupaten Lebak, Banten. Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif,
luas wilayah ulayat Kesepuhan Citorek mencapai 7.416 Ha dengan luas lahan
yang sudah dikelola oleh warga/SPPT untuk sawah, huma, kebun seluas
2.760 Ha.75
Tanah ulayat di Kesepuhan Citorek digunakan diantaranya untuk
lahan pertanian dan pemanfaatan wilayah hutan. Masyarakat Kesepuhan
Citorek hampir seluruhnya hidup bergantung dengan memanfaatkan fungsi
hutan adat sebagai sumber makanan, obat-obatan tradisional, dan bahan-
bahan bangunan.76 Pemanfaatan ini diatur berdasarkan ketentuan adat yang
sudah dinut secara turun-temurun dalam Kelembagaan Adat Kesepuhan
Citorek.
Wilayah adat yang dalam istilah Kesepuhan Citorek disebut dengan
Wewengkon, digunakan oleh Masyarakat Hukum Adat Kesepuhan Citorek
sebagai ruang hiidup. Ruang hidup ini terkait dengan sumber daya alam yang
tersedia di wilayah adat Kesepuhan Citorek yang diperkuat dengan tradisi
atau adat yang mengatur keberlanjutan sumber daya alam dan kehidupan
Masyarakat Hukum Adat Kesepuhan Citorek.77
75
Menuju Penyelesaian Konflik Tenurial Kehutanan, Nia Ramdhaniaty, Perkumpulan HuMa Indonesia, 2013
76
Ibid.
77
Ibid.
78
Ibid.
40
- Di sini terdapat sirah cai (karena keberadaan
sirah cai/ hulu cai inilah maka tidak
diperbolehkan untuk dibuka sebagai lahan
garapan dan dirusak)
Tanah Dimanfaatkan bersama khusus untuk
Panganonan/ penggembalaan, termasuk wilayah tanah adat
Sempalan Ligar (tanah ini tidak boleh diakui sebagai milik
perseorangan, tetapi sekrang tanah ini sudah
tidak ada karena sudah dijadikan pemukiman
dan telah di SPPT-kan
Tanah Adat Merupakan tanah milik bersama. Lahan ini
dipergunakan untuk:
- Permukiman
- Perkuburan
- Sawah Adat
- Perkantoran
- Mesjid
Leuweng Titipan Bisa berwujud hutan, bisa juga tidak
Pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa Masyarakat Hukum Adat Kesepuhan
Citorek membagi tanah ulayat dalam beberapa bagian berdasarkan ruang
hidup sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya seperti tanah garapan
dan hutan adat.
79
Ibid.
41
dan fungsi sosial lainnya
80
Ibid.
42
kegiatan-kegiatan adat dan diikutinya ketentuan Hukum Adat Kesepuhan
Citorek yang telah berlangsung sejak Nenek-Moyang.
81
Lusang Aran, dkk., Riwayat Kehidupan dan Tradisi Warisan Leluhur Dayak Bahau Umaaq Suling Lung Isun,
Perkumpulan Nurani Perempuan dan BAPPEDA Kab. Mahakam Ulu, 2014.
43
UluMuhammad Sfari Ruslan Jaang di lakukan oleh Menteri Dalam Negeri di
Kementerian Dalam Negeri di Jakarta pada tanggal 22 April 2013. Kabupaten
Mahakam Ulu memiliki luas keseluruhan 15.315 kilo meter persegi, dengan
jumlah penduduk 27.923 jiwa, terdiri dari 5 kecamatan dan 49 kampung.82
Kabupaten Mahakam Ulu merupakan bagian hulu Sungai Mahakam
di propinsi Kalimantan Timur, yang menjadi sumber penghidupan
dari sekitar 1,4 juta jiwa penduduk di 3 kabupaten, 1 Kota disepanjang DAS
Mahakam yaitu: Mahakam Ulu; Kutai Barat; Kutai Kartenegara; dan
Samarinda. Kabupaten Mahakam Ulu masih memiliki tutupan hutan, lebih
dari 80% masih merupakan kawasan hutan dan 100% wilayahnya berada
dalam kawasan HoB.83
Tabel 3. Batas Kampung Long Isun
No Sisi Berbatasan
1 Sebelah Utara Kampung Naha Aruq
2 Sebelah Selatan Sungai Mahakam
3 Sebelah Barat Sungai Melaseh
4 Sebelah Timur Kampung Long Pahangai I
82
KRONOLOGIS KASUS KRIMANLISASI MASYARAKAT ADAT KAMPUNG LONG ISUN OLEH PT. KEMAKMURAN
BERKAH TIMBER (KBT), Perkumpulan Nurani Perempuan
83
Ibid.
84
Ibid.
44
hutan, seperti memanfaatkan buah-buahan hutan, mengambil madu hutan,
damar, rotan, sarang walet, serta mencari gaharu dan emas.85
Dalam kehidupan kesehariannya, Masyarakat Dayak Bahau memiliki
kepercayaan yang kuat terhadap roh-roh leluhur yang senantiasa besama
dengan masyarakat termasuk membuat dan menjalani prosesiuUpacara Ritual
Adat. Pengaruh kepercayaan lokal tersebut yang juga disesuaikan dengan
kondisi atau tanda-tanda alam, dalam situasi tertentu juga menjadi penanda
bagi masyarakatnya untuk bermigrasi dari suatu tempat ketempat lain.
Kepercayaan inilah yang sering membuat terjadinya Perpindahan kampung
(Umaq) karena pengambilan suatu tempat pemukiman atau kampung harus
mencari Tandayang baik.86
Berdasarkan tanda-tanda tertentu juga berdampak pada usia atau
lamanya masyarakat menetap pada sebuah kampung baru, misalnya dari
petunjuk yang diperoleh ada yang seusia jagung, dan ada juga seusia para
(sebuah alat tradisional tempat menyimpan persedian makanan seperti babi,
ikan dan lain-lain disimpan diatas api)Dan apabila usia sebuah kampung
dianggap sudah cukup, maka masyarakatnya harus pergi mencari “petunjuk”
lagi untuk mendapat lokasi perkampungan yang baru.87
Berdasarkan petunjuk pula, dari lokasi pertama, kemudian terjadi
perpindahan kedua dari lokasi perkampungan sebelumya di Apau Kayan,
menuju Sungai Gelat (Cabang Sungai Boh sebelah Kiri Mudik), lokasi
perkampungan tua tersebut masih dapat ditemui bukti sejarahnya berupa
situs-situs tua serta hutan tanaman buah-buahan di daerah Sungai Boh,
tepatnya di Ulu Riam Udang Sebelah Kanan Mudik di ilir Sungai
Nyaan.Setelah proses migrasi atau perpindahan kedua tersebut, karena adanya
tanda-tanda atau gejala alam yang dipercaya sebagai sebuah musibah bagi
komunitas masyarakat tersebut, sehingga dari perkampungan kedua di Sungai
Gelat, mereka bermigrasi lagi akhirnya mendirikan kampung ketiga di
85
Ibid.
86
Ibid.
87
Ibid.
45
wilayah Apau Suling perkampungan baru tersebut dinamakan Batoq Masan/
Batoq Palaq.88
Perpindahan keempat terjadi dari Apau Suling(Batoq Masan/ Batoq
Palaq) ke Long Isun di sebalah kiri Mudik Sungai Meraseh anak dari Sungai
Mahakam, Muara sungai Meraseh berada di Sebelah Kanan Mudik Sungai
Mahakam di antara Long Pahangai dan Datah Suling Saat Ini. Selang waktu
berada di wilayah Long Isun maka terjadi kebakaran di dalam kampung
sehingga masyarakat bermusyawarah (Pepetang Kenap), dari musyawarah
tersebut masyarakat sepakat untuk berpindah kampung ke 5 (lima) ke
kampung Baru yang di sebut Lulau Pakuq, selang waktu masyarakat menetap
dan berladang di wilayah tersebut maka terjadi kejadian aneh dalam tahun
tersebut banyak warga yang meninggal dunia tanpa ada sebab sehingga para
hipui (Raja) waktu itu sepakat untuk meninggalkan kampung tersebut dan
membuat perkampungan baru di Long Isun sebelah kanan mudik Melaseh.89
Pada tahun 1991 melalui program pemerintah dengan adanya
Regroping Desa, sehingga masyarakat Long Isun pindah ke Datah Suling
sampai saat ini. Namun dalam perpindahan ini terjadi pro dan kontra karena
ada yang tidak menghendaki pindah dan ada yang menghendaki pindah
sehingga long Isun terbagi 2 kampung yaitu Long Isun Datah Suling, dan
Long Isun Melaseh merupakan dusun RT 3 dari Long Isun Datah Suling.
Sebelum adanya pemekaran wilayah kabupaten pada tahun 2012, Kampung
Long Isun merupakan wilayah Kampung yang masuk dalam Kecamatan Long
Pahangai, Kabupaten Kutai. Tetapi sejak penetapan pemekaran kabupaten
Kutai Barat pecah lagi menjadi 1kabupaten baru, yaitu Mahakam Ulu, maka
Kampung Long Isun secara defenitif berada dalam wilayah administrasi
Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Makaham Ulu.90
Penduduk kampung Long Isun per Maret 2014 berjumlah 374 orang,
dengan Laki-laki 203 orang, Perempuan 171 orang dengan KK 109 terbagi
dalam usia 0-4 Tahun 24 orang, 5-9 Tahun 38 orang, 10-14 tahun 42 orang,
88
Ibid.
89
Ibid.
90
Ibid.
46
15-19 tahun 20 orang, 20-24 tahun 17 orang, 25-29 tahun 20 orang, 30 tahun
keatas 213 orang. Agama yang dianut katolik 369 orang, islam 5 orang.91
Penduduk asli Kampung Long Isun berasal dari Etnis Masyarakat
Dayak Bahau, sementara dengan adanya perkembangan terutama masuknya
pedagang dari luar serta para pekerja sarang burung dan Gaharu, terjadi
perubahan komposisi penduduk, sehingga penduduk kampung saat ini berasal
dari beberapa etnis, diantaranya batak, Jawa, dan lain-lain.92
Dalam hukum adat Dayak Bahau Umaaq Suling, antara masyarakat
hukum adat sebagai kesatuan dengan tanah, terdapat hubungan erat yang
bersumber dari pandangan yang bersifat sosio religius. Hubungan termaksud,
menyebabkan masyarakat hukum adat memperoleh hak untuk menguasai
tanah, memanfaatkan, memungut hasil dari tumbuhan yang hidup di atas
tanah, juga berburu binatang. Kesemua hak atas tanah itu, telah diatur dalam
hukum adat setempat.93
92
Ibid.
93
Ibid.
94
Lusang Aran, dkk., Riwayat Kehidupan dan Tradisi Warisan Leluhur Dayak Bahau Umaaq Suling Lung Isun,
Perkumpulan Nurani Perempuan dan BAPPEDA Kab. Mahakam Ulu, 2014.
47
7. Tanaaq Belahan, tanah yang di gunakan sebagai kawasan tempat
berusaha, terutama dalam hal pengumpulan hasil hutan untuk mencari
nafkah.
8. Tanaaq Mawaaq, kawasan untuk mengambil ramu-ramuan rumah.
9. Haang Tanaaq, batas tanah adat, yang berlaku baik untuk pihak internal
keluarga maupun eksternal.
10. Tanaaq Peraaq, tanah yang difungsikan sebagai kawasan hutan cadangan.
11. Tanaaq Pukung Buaaq, kawasan untuk mengambil ramu - ramuan obat –
obatan, buah-buahan dan sebagainya.
95
Ibid.
48
3. Hak gabungan antara hak individu dan kolektif, yang di miliki secara
perorangan, tetapi pemanfaatannya untuk kepentingan kolektif dan juga
sebaliknya.
1. Naaq Lumaq, tanah milik yang berasal dari hasil pembukaan tanah adat
untuk Perladangan
2. Kelineq, tanah hak milik yang berasal dari hasil warisan turun temurun.
3. Pebeleq-Meleq, tanah milik yang berasal dari hasil jual beli.
4. Tanaaq Dendaaq, tanah milik yang berasal dari denda perkara adat
96
Ibid.
49
Maka dengan demikian, status kepemilikan untuk tanah Bilah adalah
kolektif, sedangkan status kepemilikan untuk pohon durian adalah
perorangan. Uniknya, berlaku aturan demikian, bila buah durian masih
bergantung di pohon, itu merupakan hak Lusang Aran, namun bilamana buah
durian telah jatuh dari pohon, boleh dimanfaatkan oleh anggota masyarakat
setempat. Hak penguasaan yang menjadi milik masyarakat, baik perorangan
maupun kolektif, status kepemilikannya tidak dapat dialihkan kepada pihak
luar (pendatang) selain anggota masyarakat adat setempat. Pihak pendatang
hanya dapat memperoleh hak jika ia menikah dengan salah seorang dari
warga masyarakat. Maka perolehan hak bagi pendatang, didapat karena
adanya hubungan perkawinan.
97
Ibid.
50
Masyarakat Adat Dayak Bahau mayoritas bertahan hidup dengan
berladangang. Pola perladangan pada masyarakat Dayak Bahau Umaaq
Suling di Lung Isun, mengenal beberapa tingkatan suksesi. Adapun tingkatan
suksesi termaksud adalah:98
98
Lusang Aran, dkk., Riwayat Kehidupan dan Tradisi Warisan Leluhur Dayak Bahau Umaaq Suling Lung Isun,
Perkumpulan Nurani Perempuan dan BAPPEDA Kab. Mahakam Ulu, 2014.
51
bulan di langit adalah Bulan sabit (Bula Mahaaq). Susunan tata cara
perladangan Dayak Bahau Umaaq Suling adalah berikut:99
a. Mitang Tanaaq
Pada hari pertama hanya satu atau 20 kepala keluarga, ibu dari hari 1
(Dau Tahariiq) bekerja satu hari penuh, juga membuat patok lahan
“Nyang” 2 batang kayu kurang lebih satu depa, ujungnya di buat seperti
baji dan di tancap. Setelah itu membuat kerangka pondok darurat yang di
sebut Lepau Daa, di sekitar kerangka ini di tanam ubi jalar 1 pohon
sebagai syarat.
Hari kedua kerja satu hari penuh, hari itu pucuk ubi jalar yang di tanam
kemarin di ambil di jadikan sayur sebagai syarat, bahwa mereka sah
membuat ladang. Hari ketiga istirahat, istilahnya meloq selivit. Hari
keempat di sebut Dau Sul, kerja sampai hari tertentu kurang lebih 2 atau
3 hari mereka istirahat.
b. Nesak Lumaq
Mencari petunjuk “Alaaq Yoq” terutama suara burung hisit. Suara
burung ini, biasanya di lihat arah terbangnya, ke kanan baik, ke kiri tidak
baik. Burung ini di sebut Yoq Uk yang lainnya Burung Telajaan,
suaranya agak panjang “triiik”. Yoq ayaq jika satu atau dua suara telajaan
sama-sama di kanan atau sama-sama di kiri berarti baik, jika antara satu
atau dua suara ada di kanan da nada di kiri, pertanda tidak baik,
istilahnya telajaan patip. Namun pertanda baik atau buruk, tidak menjadi
masalah karena saat membuat prosesi ada tata cara sesuai pertanda alam.
Jikalau pertanda tidak baik, akan ada syarat tertentu yang harus dipenuhi
agar dapat berjalan lancar.
Hari pertama alaq yoq burung kecil (hisit), bekerja sengah hari siang
istirahat membuat syarat untuk yoq. Alaq yoq hari kedua manuk ayaq
(Telajaan), kerja setengah hari, siang istirahat membuat syarat untuk
Yoq. Hari ketiga kerja penuh dan seterusnya semua anggota kerja,
keluarga sudah bisa ikut.
99
Ibid.
52
Hari berikutnya sudah dapat palaaq dau (gotong royong) daleh sampai
selesai. Petagang daa (mengeringkan kayu tebasan), hal ini berlaku jika
kerja ladang tepat waktu, tetapi jika terlambat hal itu tidak berlaku karena
bukan adat. Sedangkan tujuannya adalah:
1. Supaya kayu tebasan kering menjadi dasar api pembakaran baik.
2. Saat itu mereka menebang kayu kecil untuk kapak, namun tak dapat
dipotong memakai parang, kurang lebih diameternya 5-10 cm untuk
mengeringkan tebangan kayu-kayu besar, istilah pekerjaan ini
Ngedah.
c. Nevang – Mulap
Awal menebang di lakukan dua hari penuh, hari ketiga istirahat (Loq
Selivit), seterusnya menebang sambil menutuh, misalnya pagi menebang
dan siang menutuh, hal ini berlaku kalau masa menugal masih jauh. Jika
terdesak, orang menebang sampai selesai baru menutuh, karena sampai
membakar mereka harus patuh walaupun pekerjaan menutuh tinggal
sebagian, supaya jadwal menugal tidak tertunda.
d. Nutung
Nutung syaratnya adalah alat yang di gunakan harus hiseh tidak boleh
menggunakan obor. Menurut pandangan mereka seperti minyak
disiramkan pada rerumputan layu, demikian pula padi mereka kelak akan
layu. Hiseh adalah belahanbelahan kecil dari kayu tertentu, nyalanya
baik, baranya tahan, mudah dibelah karena ukurannya satu atau ½ di
belah remuk diikat kurang lebih sebesar lengan atau betis. Kayu yang
sering digunakan adalah kayu taring dung nyelang guhung sibukan.
Besoknya istirahat, hari berikutnya setelah nutung lumaq baru di mulai
menugal.
e. Nugal
Peralatan untuk menugal adalah:
1. Peralatan untuk membuat lubang disebut tul di pergunakan oleh laki-
laki, terbuat dari kayu ulin supaya tidak cepat tumpul, khusus untuk
satu kepala keluarga paling kurang 10 buah tul.
53
2. Tayau, berbentuk seperti bakul tapi lepeh, di rancang khusus dengan
ikat pinggang di pakai perempuan, setiap kepala keluarga memiliki
sebanyak mungkin untuk menyimpan benih padi yang akan ditanam.
3. Padi benih yang memenuhi syarat adat, tidak kena longsor atau kayu
rebah pada tahun perladangan sebelumnya.
Musyawarah menentukan waktu menugal, di lakukan oleh tokoh yang
paham mengenai perjalanan matahari. Musyawarah ini dilakukan pada
bulan sayuq (Kelepsoq Uk) bulan Puun Sembilan bulan malam.
Pelaksanaannya sebagai berikut:
1. Pada hari pertama, Hipui maupun Panyin adalah Lavuu.
2. Hari kedua Lavuuq Panyin.
3. Hari ketiga Livai Hipui khusus untuk hari Hipui namun ada
perkecualian apabila ada masyarakat yang mempunyai anak kecil, di
wajibkan ikut pada hari liwai Hipuidengan maksud ngemhing araan
anak.
4. Hari Keempat, hari khusus untuk Panyin yang mempunyai masalah
dalam keluarga meninggal dunia ugal jaaq panyin.
5. Hari Kelima, hari khusus bagi keluarga Hipui di sebut Ugaal Jaaq
Hipui.
6. Hari Keenam pantangan umum bagi masyarakat yang di sebut
Pungaat Daput Toq.
7. Hari Ketujuh Nugal Parai Ja’ai Pungaan Daput Kelunaan.
8. Hari Kedelapan Liva Avoq bahannya abu dapur diaaduk dalam air
diabagikan emua kepada masyarakat. Cara mengambil air abu
memakai potongan kuas bambu ukuran sedang disimpan untuk
keesokan harinya.
9. Hari kesembilan menghambur air abu ke dalam ladang seluruhnya
dengan hakekat agar tanah menjadi subur sehingga padi pun subur
sekali.
10. Hari Kesepuluh Usaang Pungan Laliiq pada hitungan kesepuluh
dihitung ulang pada hari kesatu dan sembilan pungan laliiq.
54
11. Hari kedua sampai ketujuh pada hitungan kedua ini hari biasa dalam
hari-hari menugal.
12. Hari kedelapan Pungan Tasaam, Nelaang Liva Hudoq pada hari ini
semua alat atau bahan Hudoq seperti Tutul Hudoq, Tawak, Tuvung,
dan Hudoq di celupkan didalam air sebagai syarat. Telang Liva Hudoq
di ambil oleh seluruh masyarakat di dalam liva buluuq kecil sepanjang
dua kilan.
13. Pada hari kesembilan murah telaang liva di dalam ladang yang di
simpan dalam ruas bambu.
14. Hari kesepuluh Ngaraang Hudoq Kayoq semua masyarakat membuat
hudoq
15. Pada hari kesebelas Meloq Lutaang Ngaraang Atang dan Malah
Meban Uvang Umaaq, Hudoq Pakoq. Hari Kesebelas ini adalah hari
akhir rangkaian kegiatan dari adat nugal di tutup dengan membuat
Loq Yai mulai dari ujung kampung ulu di tutup pada ujung ilir
kampung.
1. Pawing laliq
2. Makan Malam Nelaang Liva Tagaan, alatnya mebang, kelbai, teloh,
uroq urip, lutung, wai, dan samit.
3. Pelepasan kepiting, dan siput di tebing, tujuan mengumpulkan padi
yang berhamburan untuk memasukan kedalam lubang-lubang tugal.
4. Pungan Tasaan karang Hudoq Kayoq, Hudoq Biasa, menugal sampai
selesai (Loq Lutan), selanjutnya menugal sampai selesai.
5. Pungan Kawit (Bulan Baik) Tengaraan Hudoq, Makaan Hudoq,
Ngawit Navoq, Ngawit Nyatoh.
6. Ngaraang Pakoq, tarian bebas mengunakan topi yang terbuat dari
pakis kemudian malamnya karaang Injuok.
f. Ngelunau
Kegitan panen padi, namun sebelum potong padi diadakan ritual adat
yang disebut Ngaping Umaaq, yakni Abai Gerung, membunyikan segala
55
sesuatu pada subuh hari, termasuk memukul dinding rumah sebagai tanda
mulainya adat Ngaping Umaaq, Mayau Sung dan Makaan.
Hari pertama Pejuk Pakaan Parai atau mengambil padi berkat, mulai
mengetam (parai jaai), padi dikumpulkan di juhan masing-masing
kelompok hipui, paling lambat pukul 10 pagi sudah terkumpul, pulang
masing-masing mandi, setelah makan siang, Hipui memukul tambur
tanda mengarak padi.
Pada saat itu padi di arak dari ujung kampung sampai ujung kampung
dengan membunyikan mebang dan tuvung, semua menyiapkan baraang
balaaq naaq ubak/emping di setiap rumah. Setelah itu di lakukan kegiatan
berikut:
1. Pengehngam sung atau mendinginkan lesung.
2. Ngelunau selama tiga hari
3. Membuat Ubak Tengaal (emping Tengaal), membuat teparung parai
(pintu gerbang di ujung kampung) dari bambu dan kayu mahang
ukuran 4x8, lemirii pohoh haq puun kayoq mahang, luku uk sebesar
telunjuk, dimakan di rumah.
4. Melaksanakan Ngevut Helah sekitar pukul 4 pagi. Bulir hampa padi
dijatuhkan dari tasuq ataang, kemudian nyatoh, perempuan hamil
tidak boleh ada di dalam rumah, menjual beras (ilau usud parai) di
rumah orang lain, betapa baha (piknik) pada sekitar pukul 10 pagi,
setelah itu menjemur padi di dalam tampi.
5. Lali Lepau, memasukan padi ke dalam lumbung padi (Lepau Parai).
Pada saat awal mengetam tidak boleh menggangu atau mengusik
laba-laba, kaki seribu dan capung. Setelah itu dilanjutkan laliq avaq
keluung parai atau membuat gundukan padi di lumbung. Setelah itu
saat dini hari beluan parai di kumpulkan.
Setelah usai ritual adat panen, berarti tahun padi pun selesai. Maka warga
setempat memasuki masa Mekaq Tik atau melepaskan tanda-tanda
tertentu di ladang. Kemudian dua minggu setelah panen, dilakukan mitang
jemeq (memotong jerami sebagai syarat), menanam kacang hijau,
nebukoq, makaan tiang betuvuq dan makan dinu jakaan.
56
BAB IV
PEMBAHASAN
1.1 Bentuk Pengakuan Masyarakat Hukum Adat
1.
2.
3.
4.
4.1.
4.1.1. Bentuk Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dalam Perundang-
undangan
57
Setidaknya terdapat tiga ketentuan utama dalam UUD 1945 yang dapat
menjadi dasar bagi keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Tiga
ketentuan tersebut yaitu Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 32
ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Tabel 4. Isi Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 32 ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945.
Pasal Isi
Pasal 18B ayat (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuanmasyarakat hukum adat serta hakhak
tradisonalnya sepanjangmasih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalamundangundang
Pasal 28I ayat (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman
dan peradaban.
Pasal 32 ayat (1) dan Ayat (1)
(2) Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya.
Ayat (2)
Negara menghormati dan memelihara bahasa
daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
58
daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Atas hal tersebut Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan
segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati
hak-hak asal-usul daerah tersebut.
59
Ketentuan Pendekatan Substansi Tanggungjawab Pembatasan/
Negara Persyaratan
Pasal 18B Tata Menyangkut Negara Dengan persyaratan
ayat (2) Pemerintaha subyek sebagai mengakui dan Sepanjang masih
n kesatuan menghormati. hidup, sesuai dengan
masyarakat Selanjutnya Perkembangan
hukum diatur masyarakat, sesuai
adat dan hak-hak di dalam dengan prinsip
tradisional undang-undang Negara Kesatuan
masyarakat Republik Indonesia
hukum adat diatur dalam undang-
undang
Pasal 28I Hak Asasi Menyangkut Negara Dengan persyaratan
ayat (3) Manusia identitas budaya Menghormati selaras dengan
dan hak perkembangan
masyarakat zaman
tradisional dan peradaban.
Pasal 32 Kebudayaan Menyangkut hak Negara
ayat (1) untuk menghormati
dan ayat mengembangkan dan menjamin
(2) nilai-nilai budaya kebebasan
bahasa daerah
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu landasan
konstitusional masyarakat adat menyatakan pengakuan secara deklaratif
bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak
masyarakat hukum adat. Namun pengakuan tersebut memberikan batasan-
batasan atau persyaratan agar suatu komunitas dapat diakui keberadaan
sebagai masyarakat hukum adat. Ada empat persyaratan keberadaan
masyarakat adat menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 antara lain: (a)
Sepanjang masih hidup; (b) Sesuai dengan perkembangan masyarakat; (c)
Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (d) Diatur dalam undang-
60
undang. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 merupakan bentuk dari pengakuan
bersyarat terhadap keberadaan masyarakat hukum adat. Rikardo Simarmata
menyebutkan model pengakuan bersyarat itu merupakan model yang
diwariskan oleh pemerintahan kolonial.101
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa pengakuan dan
penghormatan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat diatur
dalam undang-undang. Secara terminologis, frasa “diatur dalam undang-
undang” memiliki makna bahwa penjabaran ketentuan tentang pengakuan dan
penghormatan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat tidak harus
dibuat dalam satu undang-undang tersendiri. Hal ini berbeda dengan frasa
“diatur dengan undang-undang” yang mengharuskan penjabaran suatu
ketentuan dengan undang-undang tersendiri. Jadi bila dilihat secara
gramatikal, maka untuk menjalankan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tidak
harus dibentuk sebuah undang-undang khusus tentang masyarakat adat.
Pengaturan masyarakat hukum adat juga ditemukan dalam sejumlah
undang-undang. Dalam konteks tata pemerintahan, pertama kali istilah
masyarakat hukum adat ditemukan secara resmi di dalam undang-undang
yang berlaku di Indonesia adalah pada UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan Daerah. Di dalam undang-undang tersebut masyarakat
hukum adat dipertimbangkan sebagai bagian dari pemerintahan republik yang
akan berkedudukan sebagai daerah otonom pada tingkat ketiga, bersamaan
dengan desa. Selanjutnya dalam UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja
Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mencapau Terwujudnya Daerah Tingkat III
di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Dalam undang-undang ini
masyarakat hukum adat dan kesatuan-kesatuan hukum lainnya yang berbasis
territorial ditetapkan sebagai daerah tingkat ketiga yang disebut dengan
Desapraja.
Dalam konteks hukum agraria pengaturan mengenai masyarakat hukum
adat terdapat di dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria (UUPA). Dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA disebutkan bahwa
pelaksanaan hak menguasai dari negara dalam pelaksanaannya bisa
101
Ibid.
61
dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat. Dalam hal ini masyarakat hukum adat bisa menerima delegasi
kewenangan penguasaan negara atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam. Jika ada bidang tanah yang dikuasai langsung oleh negara (tanah
negara), termasuk yang berasal dari tanah bekas hak erfpact bahkan bekas hak
guna usaha (HGU), penguasaannya dapat didelegasikan kepada masyarakat
hukum adat, agar tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat bisa dicapai.
Kemudian penyebutan masyarakat hukum adat terdapat dalam pengaturan
pengakuan keberadaan hak ulayat. Hal ini terdapat dalam Pasal 3 UUPA yang
menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih
tinggi.
Pada masa Orde Baru tidak ada undang-undang baru yang mengatur
mengenai hak masyarakat hukum adat. Tercatat hanya UU No. 11 Tahun
1974 tentang Pengairan yang menentukan bahwa pelaksanaan hak menguasai
negara dalam bidang pengairan tetap menghormati hak yang dimiliki oleh
masyarakat adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional (Pasal 3 ayat (3)). Undang-undang ini sekarang sudah tidak berlaku
lagi karena sudah diganti dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya
Air, yang juga menyebut masyarakat hukum adat yang harus diperhatikan.
Pasal 6 ayat (2) UU ini menyatakan bahwa penguasaan sumber daya air oleh
negara diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan
tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang
serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan peraturan perundang-undangan. Kemudian, Pasal 6 ayat (3) memberikan
arahan teknis pengaturan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat atas
sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah
dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.
62
Setelah Orde Baruberganti dengan Reformasi sejak 1998, pengakuan
terhadap masyarakat hukum adat mengalami banyak perkembangan yang
dinamis. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat bermunculan di banyak
peraturan perundang-undangan. Diantaranya yaitu:
1. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
2. UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan
3. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
4. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
5. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
6. UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi
7. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
8. UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
9. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
10. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
11. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil
12. UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
13. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
14. UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan
15. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
16. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
17. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
18. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
19. UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewah
Yogyakarta
Dengan diakuinya masyarakat hukum adat dalam banyak aturan, hal
ini menjadikan posisi masyarakat hukum adat di mata hukum nasional
menjadi kuat. Dalam beberapa aturan, masyarakat hukum adat memiliki
63
kriteria-kriteria yang menjadi syarat diakuinya keberadaan masyarakat hukum
adat.
Tabel 6. Perbandingan Kriteria Masyarakat Hukum Adat
Undang-Undang Kriteria
UU No. 41 Tahun 1999 1. masyarakatnya masih dalam bentuk
tentang Kehutanan paguyuban (rechsgemeenschap);
2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat
penguasa adatnya;
3. ada wilayah hukum adat yang jelas;
4. ada pranata hukum, khususnya peradilan adat,
yang masih ditaati;
5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di
wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.
UU No. 18 Tahun 2004 1. masyarakat masih dalam bentuk paguyuban
tentang Perkebunan (rechtsgemeinschaft);
2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat
penguasa adat;
3. ada wilayah hukum adat yang jelas;
4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya
peradilan adat yang masih ditaati;
5. ada pengukuhan dengan peraturan daerah.
UU No. 32 Tahun 2009 1. kelompok masyarakat secara turun temurun
tentang bermukim di wilayah geografis tertentu;
Perlindungandan 2. adanya ikatan pada asal usul leluhur;
Pengelolaan 3. adanya hubungan yang kuat dengan
Lingkungan Hidup lingkungan hidup,
4. adanya sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial, dan hukum adat.
UU No. 6 Tahun 2014 1. memiliki wilayah paling kurang memenuhi
tentang Desa salah satu atau gabungan unsur adanya:
2. masyarakat yang warganya memiliki perasaan
64
bersama dalam kelompok;
3. pranata pemerintahan adat;
4. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau
5. perangkat norma hukum adat.
102
http://www.aman.or.id/apa-itu-hutan-adat/ diakses pada 17 Desember 2018, 7:56
65
yang diajukan oleh AMAN, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian
Kuntu, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu.
Dalam gugatannya, AMAN dan kedua pemohon lainnya meohon
untuk dilakukan uji materil terhadap Pasal 1 angka (6); Pasal 4 ayat (3); Pasal
5 ayat (1) ayat (2), ayat (3), ayat (4); Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3) UU
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. AMAN dan kedua pemohon
lainnya menganggap bahwa pasal-pasal tersebut merupakan pasal yang
mendiskriminasi keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Pasal tersebut
mengakibatkan Masyarakat Hukum Adat kehilangan hak atas tanah ulayat
yang seharusnya melekat pada komunitasnya.
Atas permohonan uji materil di atas, pada Juni 2013 Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia telah membacakan keputusan dari Judicial
Review terhadap UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tersebut.
Mahkamah Konstitusi memberikan putusan mengabulkan sebagian untuk
permohonan uji materil Pasal 1 angka (6); Pasal 4 ayat (3); dan Pasal 5 ayat
(1) ayat (2), ayat (3). Dan menolak permohonan untuk Pasal 5 ayat (4) dan
Pasal 67.
Dalam putusan No. 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi
menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat,
dan bukan lagi Hutan Negara. Kata ”negara” dalam Pasal 1 angka 6 Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sehingga Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan harus dimaknai “Hutan adat adalah hutan yang berada
dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Hutan Adat harus dimaknai sebagai
hutan hak yang diperuntukan bagi Masyarakat Hukum Adat.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 pada intinya
berisi:
2. Pernyataan Mahkamah Konstitusi bahwa UU Kehutanan yang selama ini
memasukan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan
bentuk dari pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat dan
66
merupakan pelanggaran konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya menyebutkan: Oleh karena itu, menempatkan hutan adat
sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-
hak masyarakat hukum adat (Putusan MK 35/PUU-IX/2012. hal. 173-4).
Peryataan bahwa selama ini telah terjadi pengabaian semestinya
membuat pemerintah semakin sadar untuk memulihkan hak-hak
masyarakat adat yang selama ini dirampas atau diabaikan.
3. Hutan Adat dikeluarkan posisinya dari sebelumnya merupakan bagian
dari hutan negara kemudian dimasukan sebagai bagian dari kategori
hutan hak. Hal ini sebagai konsekuensi dari perubahan Pasal 1 angka 6
UU Kehutanan.
Putusan ini berhubungan dengan Pasal 218B (2) UUD NRI 1945 yang
menyebutkan bahwa Masyarakat Hukum Adat diakui dan dihormati
keberadaan serta hak-haknya selama masih ada, sesuai dengan
perkembangann masyarakat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur di dalam Undang-Undang.103 Maka, Putusan MK 35/PUU-
IX/2012 adalah bentuk perlindungan dan pengakuan bagi Masyarakat
Hukum Adat berdasarkan UUD NRI 1945 yang merupakan dasar
bernegara bagi Republik Indonesia yang juga merupakan salah satu
sumber hukum selain Hukum Adat.
Tabel 7. Amar Putusan yang dikabulkan dalam Putusan MK 35
Pasal Amar Putusan
Kata ”negara” dalam pasal 1 Pasal 1 angka 6 UU No. 41 Tahun
angka 6, yaitu: “Hutan adatadalah 1999 tidak mempunyaikekuatan
hutan “negara” yang berada dalam hukum mengikat, sehingga pasal
wilayahmasyarakat hukum adat”, 1 angka 6dimaksud menjadi
tidak mempunyai kekuatanhukum “Hutan adat adalah hutan yang
mengikat. beradadalam wilayah masyarakat
103
Pasal 218B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam Undang-Undang”.
67
hukum adat”.
Pasal 4 ayat (3), yaitu: Pasal 4 ayat (3) dimaknai
“Penguasaan hutan oleh Negara “penguasaan hutan oleh negara
tetap memperhatikan hak tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat sepanjang masyarakat hukum adat,
kenyataannya masih ada dan sepanjang masih hidup dan sesuai
diakui keberadaannya, serta tidak dengan perkembangan masyarakat
bertentangan dengan kepentingan dan prinsip Negara Kesatuan
nasional”. Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang”.
Pasal 5 ayat (1), yaitu: Hutan Pasal 5 ayat (1), dimaknai “hutan
berdasarkan statusnya terdiri dari: negara sebagaimanadimaksud
a. hutan negara, pada ayat (1) huruf a, tidak
b. hutan hak termasuk hutaadat”.
Penjelasan Pasal 5 ayat (1)
bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Pasal 5 ayat (2), yaitu: Hutan Pasal 5 ayat (2) bertentangan
Negara sebagaimana dengan UUD Tahun 1945 dan
dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak mempunyai kekuatan
dapat berupa hutan adat hukum mengikat.
Pasal 5 ayat (3), yaitu: pemerintah Frasa “dan ayat (2)” dalam pasal 5
menetapkan status hutan ayat (3) bertentangan dengan
sebagaimana dimaksud pada ayat UUD Tahun 1945; Frasa “dan
(1) “dan ayat (2)” dan hutan adat ayat (2)” dalam pasal 5 ayat (3)
ditetapkan sepanjang menurut tidak mempunyai kekuatan
kenyataannya masyarakat hukum hukum mengikat, sehingga pasal
adat yang bersangkutan masih ada 5 ayat (3) dimaksud menjadi
dan diakui keberadaannya. “Pemerintah menetapkan status
hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1); dan hutan adat
68
ditetapkan sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum
adat yang bersangkutan masih ada
dan diakui keberadaannya”.
104
Kumpulan Aturan Tentang Pengelolaan Agraria, Siti Rakhma Mary Herwati, Perkumpulan HuMa
105
Pasal 2 (2) Peraturan Menteri KLHK Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tentang Perhutanan
Sosial
106
Pasal 1 (1) Peraturan Menteri KLHK Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tentang Perhutanan
Sosial
69
Implementasi program perhutanan sosial merupakan bagian dari
program Nawacita Presiden Jokowi. Target implementasi program tersebut
adalah mensejahterakan masyarakat di dalam kawasan hutan yang belum
memiliki aspek legal terhadap sumberdaya hutan melalui pemberian akses
dan dukungan terhadap pertumbuhan sektor-sektor perekonomian lokal.
Lebih lanjut lagi, implementasi program ini diharapkan juga berdampak
dalam meminimalisir konflik tenurial yang selama ini terjadi akibat adanya
tumpang tindih perizinan dan perbedaan klaim pengelolaan kawasan hutan.
70
akses bagi Masayarakat Hukum Adat dalam berbagai aspek kehidupan
termasuk hak mengelola tanah dan hutannya.
Hukum adat merupakan Hukum yang mengatur Masyarakat Adat,
dengan lingkup personal dan teritorial yang terbatas. Sementara Hukum
Agraria Nasional bertujuan untuk mengatur masyarakat modern, dengan
lingkup personal yang meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Penyempurnaan Hukum Adat dilakukan dengan menyesuaikan kepentingan
masyarakat dalam koteks negara modern.
Dalam Pasal 5 UUPA, disebutkan dengan jelas bahwa Hukum Agraria
yang berlaku di atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah Hukum adat.
Hukum Adat ini berlaku selama tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan Negara. Dalam penjelasan Pasal 5 tersebut, ditegaskan bahwa
Hukum Adat dijadikan dasar sebagai pembentukan Hukum Agraria yang
baru.107
Lebih lanjut disebutkan dalam Penjelasan III (I) UUPA, UUPA harus
sesuai dengan kessadaran hukum masyarakat banyak. Oleh karena sebagian
masyarakat Indonesia tunduk terhadap Hukum Adat, maka UUPA juga harus
didsarkan pada ketentuan-ketentuan Hukum Adat sebagai hukum yang asli,
yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentinganmasyarakat dalam
Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia Internasional,
serta disesuaikan dengan siosialisme Indonesia.108
Dalam bagian-bagian lain UUPA juga dapat dilihat ketentuan-ketuan
yang memberikan pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat. Beberapa
diantaranya:
g. Konsiderans Bagian Berpendapat a: Bahwa berhubung dengan apa yang
tersebut dalam pertimbangan diatas perlu adanya hukum Agraria
nasional, yang berdasarkan hukum adat tentang tanah, yang sederhana
yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan
tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
h. Pasal 2 ayat (4): Hak menguasai dari negara tersebut diatas
pelaksanaannya dapat dikuasai kepada Daerah-daerah Swatantra dan
107
UUPA
108
Kumpulan Aturan Tentang Pengelolaan Agraria, Siti Rakhma Mary Herwati, Perkumpulan HuMa
71
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional.
i. Pasal 3: Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan
Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.
Dari penjelasan di atas, maka dapat dilihat bahwa UUPA memberikan
kedudukan sebagai posisi dasar pada Hukum Adat. Maka Hukum Adat
sebagai kesatuan tidak terlepas dari UUPA itu sendiri. Dalam pembentukan
UUPA, Hukum Adat memiliki dua kedudukan:
b. Hukum Adat sebagai dasar pembentukan UUPA. Hukum adat sebagai
dasar utama hukum Agraria nasional disimpulkan dari Konsiderans
UUPA pada bagian Berpendapat dan dalam Penjelasan Umum III No. 1.
c. Hukum Adat sebagai Pelengkap. Hukum adat sebagai pelengkap
merupakan pembentukan hukum nasional yang mewujudkan kesatuan
hukum, kepastian hukum, perlindungan hukum kepada pemegang hak
memerlukan suatu proses yang memakan waktu. Selama proses itu belum
selesai, hukum tertulis yang sudah ada tetapi belum lengkap, maka
memerlukan pelengkap agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Pemberian kedudukan hukum adat sebagai dasar pembentukan UUPA
pada hakekatya adalah merupakan pengakuan terhadap eksistensi hukum
adat. Hukum adat yang dimaksudkan UUPA adalah hukum yang asli berasal
dari golongan rakyat pribumi yang merupakan hukum yang hidup dalam
bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu
sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berdasarkan keseimbangan serta
diliputi oleh suasana keagamaan atau prinsip nasionalitas, tidak bertentangan
dengan Undang-undang / peraturan perundangan yang lebih tinggi dan
ditambah unsur agama. Oleh karena itu pemberlakukan hukum adat disertai
72
dengan persyaratan, bahwa hukum adat itu tidak boleh bertentangan
dengan:109
a. Kepentingan nasionalis dan Negara.
b. Sosialisme Indonesia
c. Peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA
d. Peraturan-peraturan Perundangan lainnya.
Pembatasan-pembatasan bagi berlakunya Hukum Adat tidak
mengurangi arti ketentuan pokok dalam UUPA, bahwa UUPA sebagai
Hukum Agararia Nasional memakai Hukum Adat sebagai dasar dan sumber
utama pembentukannya.
4.1.2. Bentuk Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Citorek
Wewengkon Adat (Wilayah Adat) Kasepuhan Citorek merupakan satu
kumpulan atau komunitas masyarakat hukum adat yang berada di Kabupaten
Lebak, Banten. Secara administratif Wewengkon Citorek masuk ke dalam
Citorek Tengah, Citorek Timur, Citorek Kidul, Citorek Batrat, dan Citorek
Sabrang. Kelimanya secara administratif masuk ke dalam Kecamatan
Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Pada 2004-2005 Citorek dicoba untuk dipetakan daerah
administratifnya. Hal ini merupakan uoaya dalam menyelesaikan konflik
tenurial yang telah berlangsung sejak lama. Proses pemetaan ini merupakan
inisiatif masyarakan sipil seperti RMI, AMAN, JKPP dan HuMA. Warga
Citorek berhasil menyelesaikan peta partisipatifnya seluas lebih dari 7000ha.
Atas peta ini, dapat dilihat lokasi pembagian ruang kelola rakyat, aset
produksi dan aset konsumsi masyarakat.
Peta partisipatif yang sudah dilakukan menjadi dasar dalam proses
pengakuan Kasepuhan Citorek. Sejak 2006 telah diinisiasi lahirnya Peraturan
Daerah yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat Kasepuhan
Citorek. Bupati Lebak menanggapi inisiatif masyarakat sipil yang mendesak
untuk diakuinya Kasepuhan Citorek melalui Perda dengan menjanjikan
menerbitkan Surat Keputusan Bupati yang beriisi pengakuan atas keberadaan
Masyarakat Hukum Adat Kasepuan Citorek.
109
Ibid.
73
Rancangan Surat Keputusan Bupati tersebut disusun dan direvisi
sebanyak empat kali. Pada tahun 2008 posisi rancangan Skmasih dikaji Dinas
Pemuda dan Olahraga, Budaya, dan Pariwisata (Disporabudpar).110
Atas besarnya dorongan dari masyarakat hukum adat Citorek dan
sebagaian kelompok masyarakat sipil, pada tanggal 22 Agustus 2013 Bupati
Lebak menerbitkan Surat Keputusan No. 430/Kep.298/Disdikbud/2013
Tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan Adat
Abnten Kidul di Kabupaten Lebak. Terdapat 17 Kasepuhan yang tercantum di
dalamnya. Diantaranya Cisungsang, Cisitu, Cicarucub, Ciherang, Citorek,
Bayah, Karang, Guradog, Pasireurih, Garung, Karangcombong, Jamrut,
Cibedug, Sindangagung, Cibadak, Lebak Laran, dan Babakan Rabig. Surat
Keputusan ini melampirkan struktur kelembagaan adat secara umum di
Kesatuan Adat Banten Kidul, namunn belum menampilkan pengakuan adat
atas wilayah adat Kasepuhan.
Terkait dengan pengakuan atas hutan adat Kasepuhan Citorek, dapat
juga dilihat dari mekanisme Perhutanan Sosial. Pengakuan atas wilayah adat
Kasepuhan Citorek hingga saat ini belum ada. Pengkauan atas masyarakat
hukum adat Kasepuhan Citorek hanya tertuang dalam Surat Keputusan Bupati
Lebak dan tidak menjelaskan mengenai wilayah adatnya.
Dalam mekanisme perhutanan sosial, penajuan atas hutan adat dititik
beratkan pada masyarakat hukum adat itu sendiri. Dengan keterbatasan akses
atas teknologi dan fasilitas, masyarakat hukum adat mengalami kesulitan
karen Pemerintah bersifat pasif dengan menunggu pengajuan atas ketetapan
Hutan Adat. Hal ini salah satu penyebab banyaknya masyarakat hukum adat
yang belum diakui keberadaan dan hak atas hutan adatnya berdasarkan
Perhutanan Sosial.
74
ditetapkan sebagai kawasan hutan hak kepada Menteri KLHK. Pengajuan
hutan adat tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak. Terdapat
proses verifikasi dan persayaratan yang harus dipenuhi dalam mengajukan
penetapan Hutan Adat melalui mekanisme perhutanan sosial. Setelah
dinyatakan persyaratan tersebut terpenuhi, maka Pemerintah menerbitkan
Surat Keputusan Tentang Hutan Adat dalam mekanisme Perhutanan Sosial.
75
4.1.3. Bentuk Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Dayak Bahau, Kampung
Long Isun
Kabupaten baru Mahakam Ulu, melalui UU Nomor 2 tahun
2013. Peresmian sekaligus pelantikan pejabat Bupati Mahakam Ulu
Muhammad Sfari Ruslan Jaang di lakukan oleh Menteri Dalam Negeri di
Kementerian Dalam Negeri di Jakarta pada tanggal 22 April 2013. Kabupaten
Mahakam Ulu memiliki luas keseluruhan 15.315 kilo meter persegi, dengan
jumlah penduduk 27.923 jiwa, terdiri dari 5 kecamatan dan 49 kampung.
Kabupaten Mahakam Ulu Timur berbatasan dengan Desa Muara Tuboq
Kecamatan Tabang Kabupaten Kutai Kartanegara, sebelah Barat berbatasan
dengan Desa Kariho Kecamatan Putussibau Utara Kabupaten Kapuas Hulu,
sebelah Utara berbatasan dengan Desa MahakBaru Kecamatan Sungai Boh
Kabupaten Malinau, sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Kelian
KecamatanLong Iram Kabupaten Kutai Barat. Kabupaten Mahakam Ulu
merupakan bagian hulu Sungai Mahakam atau sungai terpenting di
propinsiKalimantan Timur, yang menjadi sumber penghidupan dari sekitar
1,4 juta jiwa penduduk di 3 kabupaten, 1 Kotamadya disepanjang DAS
Mahakam yakni: Mahakam Ulu; Kutai Barat; Kutai Kartenegara; dan
Samarinda.
Sebagai Kabupaten baru di tetapkan tahun ini dan belum memiliki
struktur pemerintahan, Mahakam Ulu, membutuhkan persiapan-persiapan
dalam membangun perencanaan untuk pembangunan di masa yang akan
datang. Di sisi lain, sebagai sebuah daerah otonom, kabupaten juga
membutuhkan pengembangan ekonomi yang bisa berkontribusi secara
signifikan bagi pendapatan daerah. Kabupaten Mahakam Ulu masih memiliki
tutupan hutan yang cukup besar, lebih dari 80% masih merupakan kawasan
hutan dan 100% wilayahnya berada dalam kawasan HoB. Kabupaten
Mahakam Ulu berada merupakan 100% kawasan Heart of Borneo (HoB)
yang telah di tanda tangan oleh 3 negara yakni Indonesia, Malaysia, dan
Brunei. Kabupaten Mahakam Ulu juga terletak di perbatasan Negara antara
Indonesia dan Malaysia. Kabupaten ini juga merupakanDAS Hulu Mahakam.
76
Sebagai sebuah komunitas masyarakat adat yang hidup dan menetap
di wilayah Kalimantan, masyarakat adat Long Isun juga tidak terlepas dari
berbagai dinamika yang terjadi dari masa lampau hingga saat ini. Berdasarkan
cerita yang diwariskan secara turun-temurun dari leluhur masyarakat Adat
Long Isun, migrasi penduduk telah terjadi, hiduplah sebuah Komunitas
Masyarakat Adat yang saat ini dikenal sebagai masyarakat Dayak Bahau
diwilayah Apau Kayan, dengan nama kampung atau dalam bahasa lokal
disebut Umaq .
Berdasarkan Peta Administrasi Kabupaten Kutai Barat, dan Peta
Lampiran SK Bupati Kutai Barat No. 136.146-3/K.917/2011 Tentang Tapal
Batas kampung se Kecamatan Long Pahangai, yang di inisiasi oleh PT.
Kemakuran Berkah Timber (KBT) dan PT. Roda Mas Group, di Fasilitasi
oleh Lembaga Swadaya Masyarakat The Nature Conservancy (TNC)
Kampung Long Isun memiliki Luas wilayah 78,040 Hektar. Namun hasil
pemetaan Yang di lakukan oleh Pemerintah Kutai Barat yang di fasilitasi oleh
TNC tidak di di terima atau di sepakati oleh Kampung Long Isun dengan
alasan tidak sesuai dengan batas-batas berdasarkan sejarah yang merupakan
warisan leluhur. SK ini menjadi sumber konflik tenurial bagi Kampung Long
Isu karena menjadi dasar atas aktivitas perambahan kayu di Hutan Adat
Kampung Long Isun oleh korporasi. Karena SK ini pula, Kampung Long Isun
hingga saat ini juga masih bersengketa tapal batas dengan Kampung lain yang
lokasinya bersebelahan.
Saat ini pengakuan yang ada bagi masyarakat hukum adat Dayak
Bahau Kampung Long Isun hanya melalui Surat Keputusan Bupati Kutai
Barat No. 136.146-3/K.917/2011 Tentang Tapal Batas kampung se
Kecamatan Long Pahangai. Saat ini, Kampung Long Isun telah masuk ke
dalam Kabuaten Mahakam Ulu yang dimekarkan dari Kabupaten Kutai Barat
sebagai Kabupaten Induk.
Hingga saat ini, masyarakat adat Dayak Bahau Kampung Long Isun
mengupayakan pengkauan atas keberadaannya dalam mekanisme peraturan
perundang-undangan. Sejak 2016, masyarakat hukum adat Dayak Bahau
Kampung Long Isun didampingi Lembaga Swadaya Masyarakat Pokja 30
77
dan Walhi Kaltim, telah melakukan pengusulan Hutan Adat ke Kementerian
Kehutanan dan Lingkungan Hidup melalui mekanisme Perhutanan Sosial.
Dengan pengajuan penetapan hutan adat oleh masyarakat adat Dayak
Bahau Kampung Long Isun, diharapkan konflik tenurial dapat diselesaikan
dengan baik. Masyarakat juga berharap, terbitnya penetapan Hutan Adat
Masyarakat Hukum Adat Kampung Long Isun nanti dapat memberikan
pengakuan yang kuat yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melindungi
hak dalam mengelola dan memanfaatkan hutan adat.
Pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat Dayak Bahau di
Kampung Long Isun saat ini hanya melalui Surat Keputusan Bupati Kutai
Barat sebagaimana dijelaskan di atas. Pengakuan atas hak hutan adat juga
dapat ditempuh dengan mekanisme perhutanan sosial sebagaimana tertuang
dalam Peraturan Menteri KLHK Nomor
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial , dapat
juga dilihat dari mekanisme Perhutanan Sosial.
Pengajuan atas hutan adat melalui Perhutanan Sosial mengharuskan
masyarakat hukum adat untuk mengajukan penetapan Hutan Adat di wilayah
adatnya. Masayrakat hukum adat Dayak Bahau di Kampung Long Isun masih
hidup dengan banyak keterbatasan akses dan teknologi. Pengajuan yang harus
dilakukan oleh masyarakat hukum adat itu sendiri menjadi masalah berat
yang harus dihadapi oleh masyarakat hukum adat Dayak Bahau.
78
dinyatakan persyaratan tersebut terpenuhi, maka Pemerintah menerbitkan
Surat Keputusan Tentang Hutan Adat dalam mekanisme Perhutanan Sosial.
79
Kesepuhan Citorek mencapai 7.416 Ha dengan luas lahan yang sudah
dikelola oleh warga/SPPT untuk sawah, huma, kebun seluas 2.760
Ha.111 Lahan adat Kasepuhan Citorek dikekola secara kelembagaan
adat yang telah dilakukan secara turun-temurun.
Masyarakat Kasepuhan Citorek merupakan masyarakat yang
berasal dari Guradog(Jasinga) dan mulai menetap di Citorek pada
tahun 1846.112 Perpindahan tersebut bertujuan untuk mencari lahan
yang luas di sebelah Gung Kendeng dan untuk mengembangkan
pertanian sesuai dengan wangsit dari leluhur. Pusat Kasepuhan berada
di wilayah Wewengkon adat Citorek meski beberapa kali sempat
berpindah-pindah. Terkait dengan masalah pemerintahan, masyarakat
hukum adat Citorek, dahulu masyarakat Kasepuhan laporan ke asisten
Wadana di Cilangkahan, Malingping. Baru beberapa waktu kemudian
ke Bayah lalu beralih ke Warung Banten(Cibeber). Citorek sejak awal
sudah masuk bagian dari wilayah Kabupaten Lebak.113
Masyarakat meyakini bahwa Citorek telah berdiri sebagai Desa
dan sudah sejak lama pula memiliki Kepala Desa(Jaro) yang sat itu
terpilih adalah Bapak Ratam. Setelah Ratam yaitu Rata, Saonah,
Nahari, Jaili, Markin, Sukarta, Usman, Nurkip, Subandi. Sebelum
masa Jaro Nahari, ada Pjs selama setahun yang dipegang oleh Masri.
Pada masa Jaro Nurkip, pada 1982 Desa Citorek dimekarkan menjadi
Desa Citorek dan Ciparay.
Hutan dan lahn di Citorek digunakan untuk berbagai keperluan
bagi masyarakat hukum adat Citorek. Tanah ulayat di Kesepuhan
Citorek digunakan diantaranya untuk lahan pertanian dan pemanfaatan
wilayah hutan. Masyarakat Kesepuhan Citorek hampir seluruhnya
hidup bergantung dengan memanfaatkan fungsi hutan adat sebagai
sumber makanan, obat-obatan tradisional, dan bahan-bahan
111
Nia Ramdhaniaty, dkk., Menuju Penyelesaian Konflik Tenurial Kehutanan, Perkumpulan HuMa Indonesia,
2013
112
Catatan Lapang RMI, 2005
113
Nia Ramdhaniaty, dkk., Menuju Penyelesaian Konflik Tenurial Kehutanan, hal. 73.
80
bangunan.114 Pemanfaatan ini diatur berdasarkan ketentuan adat yang
sudah dinut secara turun-temurun dalam Kelembagaan Adat
Kesepuhan Citorek.
Wilayah adat yang dalam istilah Kesepuhan Citorek disebut
dengan Wewengkon, digunakan oleh Masyarakat Hukum Adat
Kesepuhan Citorek sebagai ruang hiidup. Ruang hidup ini terkait
dengan sumber daya alam yang tersedia di wilayah adat Kesepuhan
Citorek yang diperkuat dengan tradisi atau adat yang mengatur
keberlanjutan sumber daya alam dan kehidupan Masyarakat Hukum
Adat Kesepuhan Citorek.115
Lahan di Kasepuhan Citorek dapat dibagi dan dibedakan dalam
beberpa jenis. Yaitu:
1. Tanah Garapan, Digarap masyarakat menurut hukum adat dan
hukum negara; Berbentuk sawa, huma, situ, dll.
2. Leuweng Kolot, merupakan Amanat leluhur: tidak boleh
diganggu/ digarap. Di sini terdapat sirah cai (karena keberadaan
sirah cai/ hulu cai inilah maka tidak diperbolehkan untuk dibuka
sebagai lahan garapan dan dirusak)
3. Tanah Panganonan/ Sempalan Ligar, tanah ini dimanfaatkan
bersama khusus untuk penggembalaan, termasuk wilayah tanah
adat (tanah ini tidak boleh diakui sebagai milik perseorangan,
tetapi sekrang tanah ini sudah tidak ada karena sudah dijadikan
pemukiman dan telah di SPPT-kan
4. Tanah Adat, tanah adat ini merupakan tanah milik bersama.
Lahan ini dipergunakan untuk: Permukiman, Perkuburan, Sawah
Adat, Perkantoran, Mesjid
5. Leuweng Titipan, tanah ini bisa berwujud hutan, bisa juga tidak.
115
Ibid.
81
melakukan aktivitas lainnya. Di Kasepuhan Citorek, pemukiman
berbentuk berjajar mengikuti arus sungai agar dapat memudahkan
melakukan kegiatan sehari-hari. Daulu rumah di Kasepuhan Citorek
terbuat dari kayu dengan atap yang dibuat dari daun Kirai. Namun
pada 2002 terjadi kebakaran dan merubah bentuk rumah. Saat ini
eumah-rumah yang ada terbuat dari tembok dengan atap genteng dan
sebgai masih ada yang terbuat dari kayu.
82
9. Ngoyos 2. Yaitu membersihkan tanaman penggangu yang
menghambat pertumbuhan padi.
10. Dibuat. Yaitu panen tanaman padi yang sudah matang.
11. Ngalantay/ Moe. Yaitu menjemur padi setelah dipanen.
12. Ngunjal. Yaitu mengangkat padi dari swah ke tempat
penjemuran
13. Asup Leuit. Yaitu memasukkan padi yang sudah kering dari
penjemuran.
14. Nganyaran/ Selametan. Yaitu selametan untuk padi yang sudah
dipanen, dan memasak padi menjadi nasi yang dipanen pada
tahun tersebut.
15. Badamian serah taun. Yaitu musyawarah adat untuk acara adat
seren tau.
83
yang membersihkan lahan dari tanaman yang tumbuh pada lahan
yang akan dijadikan huma. Kemudian dilanjutkan dengan
Ngaruduk. Ngaruduk merupakan kegiatan membakar bekas-bekas
tanaman yang ditebang pada lahan yang akan dijadikan huma, tetapi
harus menunggu lahan tersebut kering dari bekas-bekas tanaman
tersebut. Setelah Ngaruduk, kegiatan dilanjutkan dengan Ngaseuk.
Ngaseuk adalah menanam padi pada lubang-lubang yang telah
disediakan dengan menggunakan alat aseuk(kayu dengan ukuran
sebesar kepalan tangan dengan ujungnya diruncingkan). Setelah itu
Ngored. Ngored merupakan pembersihan atas tanaman pengganggu
yang dapat menghambat pertumbuhan padi. Dan yang terakhir
adalah panen terhadap padi yang sudah matang atau sudah layak
untuk diambil.
84
Banyak sumber mata air ini dianggap sebagai sumber kehidupan
bagi Masyarakat Kesepuhan Citorek, sehingga hutan ini tidak boleh
diganggu. Hutan lainnya adalah Hutan Titipan. Merupakan hutan
yang di dalamnya terdapat banyak jenis tanaman yang beragam
terutama tanaman kayu dan tanaman obat. Selain itu, hutan ini juga
memiliki beragam jenis satwa yang termasuk dalam kategori satwa
liar.116
116
Ibid.
117
Ibid.
85
Hak Ngalasan Mencari hasil alam untuk obat-
obatan, makanan, rotan, dll..
didapatkan berdasarkan izin dari
Kasepuhan
86
berburu binatang. Kesemua hak atas tanah itu, telah diatur dalam
hukum adat setempat.
9. Haang Tanaaq, batas tanah adat, yang berlaku baik untuk pihak
internal keluarga maupun eksternal.
87
10.Tanaaq Peraaq, tanah yang difungsikan sebagai kawasan hutan
cadangan.
88
secara perorangan, tetapi pemanfaatannya untuk kepentingan
kolektif dan juga sebaliknya.
2. Kelineq, tanah hak milik yang berasal dari hasil warisan turun
temurun.
89
di atas, yakni kolektif-perorangan atau perorangan-kolektif. Contoh
konkret dari kasus ini adalah demikian, pada kawasan tanah Bilah
(pekuburan), terdapat pohon durian yang ditanam oleh Lusang
Aran.
90
didenda menurut hukum adat dan barang yang diperolehnya
akan disita.
Lokasi Potensi
Melaseh Ikan, Binatang, Karangan, Kayu, Goa,
Tempat Bersejarah, Air Terjun yang bisa di
118
Hutan dan Kehidupan, Materi Pelatihan, Perkumpulan Nurani Perempuan
91
kembangankan menjadi Wisata Alam,
pemancingan, wisata Kuliner
(piknik/Paruq) dan Wilayah
Penelitian.
Besangaq Ikan, Binatang, Karangan, Kayu, Goa
Liang Hung, Tempat Bersejarah dan lain-
lain yang bisa di kembangankan menjadi
Wisata Alam, pemancingan, wisata Kuliner
(piknik/Paruq) dan
Wilayah Penelitian.
Lengasah Tebing Batu Putih, Ikan, Binatang,
Karangan, Kayu, Goa, Tempat Bersejarah
dan lain-lain yang bisa di kembangankan
menjadi Wisata Panjat Tebing, Alam,
pemancingan, wisata
Kuliner (piknik/Paruq) dan Wilayah
Penelitian.
Nuyung Ikan, Binatang, Karangan, Kayu, Goa,
Tempat Bersejarah, Air Terjun, Air Es,
Lapangan (Kamparan dataran yang
dikelilingi gunung-gunung), Wisata Panjat
Tebing yang bisa di kembangankan
menjadi Wisata Alam, pemancingan,
wisata
Kuliner (piknik/Paruq) dan Wilayah
Penelitian.
Lungai Ikan, Binatang, Karangan, Kayu, Goa,
Tempat Bersejarah, Mata Air Asin yang
bisa di kembangankan menjadi Wisata
Alam, pemancingan, wisata Kuliner
(piknik/Paruq) dan
Wilayah Penelitian.
Tasaan Ikan, Binatang, Karangan, Kayu, Goa,
Tempat Bersejarah, Wisata Panjat Tebing
“Sariq”, Arung Jeram, Kuburan Tua yang
bisa di kembangankan menjadi Wisata
Alam, pemancingan,
wisata Kuliner (piknik/Paruq) dan Wilayah
Penelitian.
92
masyarakat hukum adat Dayak Bahau masih memelihara adat
istiadat dan relevan dengan kriteria masyarakat hukum adat yang
dijelaskan di dalam ketentuan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan lembaga adat, di Kampung Long
Isun, masyarakat taat dan patuh atas ketentuan lembaga adat
dalam mengelola hutan adat. Hal ini telah menjadi tugas yang
i=diemban secara turun-temurun. Tugas dalam mengelola hutan
dibedakan berdasarkan jenis kelamin yang telah ditentukan oleh
lembaga adat.
Tabel 10. Pembagian Tugas Mengelola Hutan Adat
kampung Long Isun119
Kegiatan Perempuan Laki-laki
Kegiatan Produtif dalam pengelolaan
SDA dan Hutan:
1. Menebang pohon untuk √
bangunan rumah √
2. Menebang pohon untuk kayu √
√
bakar √
3. Mengumpulkan tumbuhan untuk √
obat-obatan √
4. Mengumpulkan rotan √
5. Mengumpulkan madu √ √
6. Berusaha (Belahan) √ √
7. Berburu √
8. Membuka lahan untuk ladang √
√
9. Menyiapkan benih padi
√ √
10. Menanam padi
11. Merumput, membersihkan √ √
ladang √ √
12. Berkebun karet √ √
13. Berkebun coklat √ √
14. Berkebun gaharu
√ √
15. Beternak Babi
16. Beternak ayam √
17. Kerajinan tangan √
18. Menjual, memasarkan : √ √
- Kerajinan √ √
- Rotan √ √
- Karet √ √
- Coklat
√ √
- Kayu
√
119
Hasil Pendokumentasian Potensi Hutan dan Aturan Lokal, Perkumpulan Nurani Perempuan
93
- Ternak
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam 2 contoh yang disebutkan dalam tesis ini, yaitu Kesepuhan
Citorek di Kabupaten Lebak, Banten, dan Masyarakat Hukum
Adat Dayak Bahau di Kampung Long Isun, Kabupaten Mahakam
Ulu, Kalimantan Timur, keduanya diakuai sebagai masyarakat
hukum adat melalui Surak Keputusan Bupati. Meskipun ada
perbedaan diantara kedua Surat Keputusan tersebut, hal ini
menjelaskan menjelaskan bahwa keberadaan keduanya sebagai
masyarakat hukum adat diakui oleh Pemerintah Daerah masing-
masing. Kasepuhan Citorek diakui melalui Surak Keputusan
Bupati Lebak Nomor 430/Kep.298/Disdikbud/2013 Tentang
Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan
Adat Abnten Kidul di Kabupaten Lebak. Terdapat 17 Kasepuhan
yang tercantum di dalamnya. Diantaranya Cisungsang, Cisitu,
Cicarucub, Ciherang, Citorek, Bayah, Karang, Guradog,
Pasireurih, Garung, Karangcombong, Jamrut, Cibedug,
Sindangagung, Cibadak, Lebak Laran, dan Babakan Rabig. Surat
Keputusan ini melampirkan struktur kelembagaan adat secara
umum di Kesatuan Adat Banten Kidul, namun belum
menampilkan pengakuan adat atas wilayah adat Kasepuhan.
Sementara Masyarakat Adat Dayak Bahau Kampung Long Isun
diakui di dalam Surat Keputusan Bupati Kutai Barat Nomor
136.146-3/K.917/2011 Tentang Tapal Batas kampung se-
Kecamatan Long Pahangai. Namun dalam Surat Keputusan
Bupati Kutai Barat ini tidak menerangkan struktur kelembagaan
masyarakkat hukum adat yang dijelaskan di dalamnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri
KLHKNomorP.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tentang
94
Perhutanan Sosial, Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Citorek
dan Masyarakat Hukum Adat Dayak Bahau di belum
mendapatkan Surat Keputusan Tentang Hutan Adat mereka. Salah
satu penyebabnya dapat diduga karena keterbatasan masyarakat
hukum adat dalam melakukan persiapan dan kelengkapan berkas
pengajuan ata Hutan Adat di wiilayah mereka.
2. Pengelolaan dan pemanfaatan wilayah adat termasuk hutan adat
di dalamnya oleh dua contoh masyarakat hukum adat di dalam
tesis ini, yaitu Kasepuhan Citorek di Kab. Lebak, Banten, dan
Masyarakat Adat Dayak Bahau di Kampung Long Isun Kab.
Mahakam Ulu, Kalimantan Timur memperlihatkan, bahwa
keduanya telah ada sejak lama dan telah menjalankan pengelolaan
dan pemanfaatan hutan adat berdasarkan keputusan lembaga
adatnya masing-masing yang diikuti dan ditaati oleh masyarakat
yang bermukim di dalamnya.
Pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat oleh dua kelompok
masyarakat hukum adat di dalam tesis ini memperlihatkan bahwa
keduanya memiliki ketergantungan atas hutan adat untuk
melanjutkan kehidupan sehari-harinya. Keberadaan dua kelompok
masyarakat hukum adat tersebut membuktikan bahwa masyarakat
hukum adat ini memnuhi kriteria-kriteria masyarakat hukum adat
yang dijelaskan dalam ketentuan perundang-undangan yang
berlaku saat ini.
B. Saran
1. Kedua contoh kelompok masyarakat hukum adat yang disebutkan
dalam tesis ini telah diakui dalam Surat Keputusan Bupati
daerahnya masing-masing. meski demikian, di dalamnya terdapat
kekurangan. Kasepuhan Citorek diakui melalui Surak Keputusan
Bupati Lebak Nomor 430/Kep.298/Disdikbud/2013 Tentang
Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan
Adat Abnten Kidul di Kabupaten Lebak. Terdapat 17 Kasepuhan
yang tercantum di dalamnya. Diantaranya Cisungsang, Cisitu,
95
Cicarucub, Ciherang, Citorek, Bayah, Karang, Guradog,
Pasireurih, Garung, Karangcombong, Jamrut, Cibedug,
Sindangagung, Cibadak, Lebak Laran, dan Babakan Rabig. Surat
Keputusan ini melampirkan struktur kelembagaan adat secara
umum di Kesatuan Adat Banten Kidul, namun belum
menampilkan pengakuan adat atas wilayah adat Kasepuhan.
Berbeda dengan Kasepuhan Citorek yang di dalam Surat
Keputusan Bupati Lebak dijelaskan kelengkapan pranata
kelembagaan adat di dalamnya tetapi idak menjelaskan wilayah
adatnya, Masyarakat Hukum Adat Dayak Bahau di Kampung
Long Isun justru di dalam Surat Keputusan Bupati Kutai Barat
Nomor 136.146-3/K.917/2011 Tentang Tapal Batas kampung se-
Kecamatan Long Pahangai dijelaskan batas wilayah kampungnya,
akan tetapi tidak mendapat penjelasan mengenai kelembagaan
adatnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan
Hidup Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016
Tentang Perhutanan Sosial, kedua contoh masyarakat hukum adat
yang dijelaskan dalam tesis ini belum memiliki SK Tentang
Hutan Adat karena keterbatasan atas akses terhadap teknologi
dalam mempersiapkan kelengkapan syarat yang harus dipenuhi.
Pemerintah seharusnya dapat memfasilitasi pengajuan atas Hutan
Adat, karena setelah diajukan Pemerintah juga akan melakukan
Verivikasi. Masyarakat Hukum adat harus difasilitasi atak
kekurangan dan keterbatasan yang ada sehingga dapat terlindungi
dan diakui haknya.
2. Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Citorek dan Masyarakat
Hukum Adat Dayak Bahau telah mengelola dan menfaatkan hutan
adat dengan aturan dan ketentuan lembaga adatnya masing-
masing. semuanya berdasarkan perintah lembaga adat dan telah
dilaksanakan sevara turun-temurun. Hal ini akan dapat dilindungi
secara hukum jika dimasukkan dan dijelaskan dalam peraturan-
96
peraturan yang berlaku yang melindungi, mengatur, dan
menjelaskan tentang tata cara kehidupan masyarakat hukum adat.
Pengaturan tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat oleh
Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Citorek dan Masarakat
Hukum Adat Dayak Bahau Kampung Long Isun di Kab.
Mahakam Ulu, Kalimantan Timur dapat menjadi contoh untuk
mendesak adanya inisiatif Pemerintah Daerah untuk kembali
memverifikasi keberadaan maysarakat hukum adat didaerah
dalam rangka memberikan kepastia hukum dan perlindungan bagi
masyarakat hukum adat.
97