Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki ribuan suku bangsa ya ng beraneka
ragam. Masing-masing daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebu dayaan
daerah lain atau kebudayaan yang berasal dari luar. Salah satu kebudayaan tersebut adalah
Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam terdapat di daerah Jambi dan Sumatera Selatan. Suku
Anak Dalam belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia karena Suku Anak Dalam
sudah sangat langka dan mereka tinggal di tempat-tempat terpencil yang jauh dari jangkauan
orang-orang
Suku Anak Dalam disebut juga Suku Kubu tau Orang Rimba. Menurut tradisi lisan
suku Anak Dalam merupakan orang Malau sesat yang lari ke hutan rimba disekitar Air
Hitam, Taman Nasional Bukit Duapuluh. Mereka kemudian dinbmakan Moyang Segayo.
Sistem kemasyarakatan mereka , hidup mereka secara nomaden atau tidak menetap dan
mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun diantara mereka sudah banyak
yang telah memiliki lahan karet ataupun pertanian lanilla.
Sistem kepercayaan mereka adalah Polytheisme yaitu mereka mempercayai banyak dewa.
Dan mereka mengenal dewa mereka dengan sebutan Dewo dan Dewa. Ada dewa yang baik
adapula dewa yang jahat. Selain kepercayaan terhadap dewa mereka juga percaya adanya roh.
Suku Anak Dalam juga Sangay antusias terhadap pendidikan. Mereka sangat
bersemangat mengikuti belajar di sekolah. Tak hanya anak-anak saja yang bersekolah akan
tetapi juga orang dewasa pun mengikutinya. Mereka berpikir bahwa dengan bersekolah
mereka akan pintar dan tak mudah untuk dibodohi oleh orang luar.
Hal-hal yang telah diuraikan diatas menurut saya sangat menarik sehingga saya akan
mengangkat makalah dengan judul Kebudayaan Suku Anak DalamSuku Anak Dalam
merupakan salah satu Komunitas Adat Terpencil ( KAT ) yang ada di Propinsi Jambi yang
mempunyai permasalahan spesifik. Jika kita melihat pola kehidupan dan penghidupan
mereka, hal ini disebabkan oleh keterikatan adat istiadat yang begitu kuat. Hidup
berkelompok dengan pakaian hanya sebagian menutupi badan dengan kata lain mereka
sangat tergantung dengan hasil hutan / alam dan binatang buruan.
Orang Rimba
Penyebutan terhadap Orang Rimba perlu untuk diketahui terlebih dahulu, karena ada
tiga sebutan terhadap dirinya yang mengandung makna yang berbeda, yaitu : Pertama KUBU,
merupakan sebutan yang paling populer digunakan oleh terutama orang Melayu dan
masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti
primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah terlanjur populer terutama
oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan etnografer pada awal abad ini. Kedua SUKU
ANAK DALAM, sebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui Departemen Sosial. Anak
Dalam memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Karena itulah dalam
perspektif pemerintah mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari
hutan dan dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT).
Ketiga ORANG RIMBA, adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk menyebut
dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai etnis yang
mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan ini adalah yang
paling proposional dan obyektif karena didasarkan kepada konsep Orang Rimba itu sendiri
dalam menyebut dirinya.
Suku Anak Dalam masih berpaham animisme. Mereka percaya bahwa alam semesta
memiliki banyak jenis roh yang melindungi manusia. Jika ingin selamat, manusia harus
menghormati roh dan tidak merusak unsur-unsur alam, seperti hutan, sungai, dan bumi.
Kekayaan alam bisa dijadikan sumber mata pencarian untuk sekadar menyambung hidup dan
tidak berlebihan.Hingga kini suku Anak Dalam masih mempertahankan beberapa etika
khusus
Masyarakat tradisional merupakan suatu ciri masyarakat yang masih menjaga tradisi
peninggalan nenek moyangnya baik dalam aturan hubungan antara manusia maupun dengan
alam sekitarnya yang mengutamakan keselarasan dan keharmonisan.
dilihat
dari
keturunan,
tradisi
dan
mungkin
mata
Pedalaman
Beberapa
suku
pedalaman
yang
ada
di
Indonesia:
Suku Togutil (atau dikenal juga sebagai Suku Tobelo Dalam) adalah kelompok/komunitas
etnis yang hidup di hutan-hutan secara nomaden di sekitar hutan Totodoku, Tukur-Tukur,
Lolobata, Kobekulo dan Buli yang termasuk dalam Taman Nasional Aketajawe-Lolobata,
Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara. Yang perlu diingat, Orang Togutil sendiri tak
ingin disebut "Togutil" karena Togutil bermakna konotatif yang artinya "terbelakang".
Kehidupan mereka masih sangat tergantung pada keberadaan hutan-hutan asli. Mereka
bermukim secara berkelompok di sekitar sungai. Komunitas Togutil yang bermukim di
sekitar Sungai Dodaga sekitar 42 rumah tangga. Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu,
bambu dan beratap daun palem sejenis Livistonia sp. Umumnya rumah mereka tidak
berdinding dan berlantai papan panggung.
Suku Togutil yang dikategorikan suku terasing tinggal di pedalaman Halmahera bagian utara
dan tengah, menggunakan bahasa Tobelo sama dengan bahasa yang dipergunakan penduduk
pesisir, orang Tobelo. Orang Togutil penghuni hutan yang dikategorikan sebagai masyarakat
terasing, sementara orang Tobelo penghuni pesisir yang relatif maju. Selain itu fisik orang
Togutil, khususnya roman muka dan warna kulit, menunjukkan ciri-ciri Melayu yang lebih
kuat daripada orang Tobelo. Ada cerita, orang Togutil itu sebenarnya penduduk pesisir yang
lari ke hutan karena menghindari pajak. Pada 1915 Pemerintah Belanda memang pernah
mengupayakan untuk memukimkan mereka di Desa Kusuri dan Tobelamo. Karena tidak mau
membayar pajak, mereka kembali masuk hutan dan upaya itu mengalami kegagalan. Dari sini
lah rupanya beredar cerita semacam itu. Namun cerita ini rupanya tidak benar.
Suku Polahi, Gorontalo
Polahi adalah julukan untuk suku terasing yang hidup di hutan pedalaman Gorontalo.
Menurut cerita yang beredar di masyarakat, polahi adalah masyarakat pelarian zaman dahulu
yang melakukan eksodus ke hutan karena takut dan tidak mau dijajah oleh Belanda sehingga
menjadikan mereka sebagai suku terasing sampai dengan saat ini. Mereka hidup di
pedalaman hutan daerah Boliyohuto, Paguyaman dan Suwawa, Provinsi Gorontalo.
Konon orang Polahi adalah pelarian pada zaman Belanda, yang katanya untuk menghindari
pembayaran pajak. Jumlah mereka seluruhnya sekitar 500 orang, kira-kira 200 orang di
Kecamatan Paguyaman dan 300 orang di Kecamatan Suwawa. Mereka tinggal di hutan dalam
kelompok-kelompok kecil. Departemen Sosial di tingkat Kabupaten Gorontalo
mengidentifikasi masyarakat Polahi dengan Kelompok 9, Kelompok 18, Kelompok 21,
Kelompok 70, dan sebagainya, berdasarkan jumlah anggota kelompok dalam satu
"kampung".Literatur mengenai masyarakat ini tak ada.
Bahasanya adalah dialek Gorontalo, dan menganut agama tradisional. Mereka hidup dari
bercocok tanam alakadarnya dan berburu babi hutan, rusa, serta ular sanca. Belum mengenal
pakaian seperti umumnya orang Indonesia, hanya memakai penutup syahwat dari daun palma
dan kulit kayu. Rumah mereka sederhana, tak berdinding, dapur dibuat di tengah, juga
berfungsi untuk penghangat. Mereka tak mengenal sekolah dan fasilitas kesehatan modern.
Untuk mencapai Kelompok 9, diperlukan jalan kaki naik gunung sekitar tujuh jam.
Suku Bauzi atau Baudi - Papua
Suku Bauzi atau orang Baudi merupakan satu dari sekitar 260-an suku asli yang kini
mendiami Tanah Papua. Oleh lembaga misi dan bahasa Amerika Serikat bernama Summer
Institute of Linguistics (SIL), suku ini dimasukan dalam daftar 14 suku paling terasing.
Badan Pusat Statistik (BPS) Papua pun tak ketinggalan memasukan suku Bauzi kedalam
daftar 20-an suku terasing yang telah teridentifikasi. Bagaimana tidak, luasnya hutan
belantara, pegunungan, lembah, rawa hingga sungai-sungai besar yang berkelok-kelok di
sekitar kawasan Mamberamo telah membuat suku ini nyaris tak bersentuhan langsung dengan
peradaban modern. Kehidupan keseharian suku ini masih dijalani secara tradisonal.
Menurut sejarah penyebarannya, suku Bauzi berasal dari daerah Waropen utara. Tapi dalam
kurun waktu yang lama menyebar ke selatan danau Bira, Noiadi dan tenggara Neao, dua
daerah yang terletak di perbukitan Van Rees Mamberamo. Panjang wilayah ini kurang lebih
80 kilometer. Suku Bauzi bisa menyebar karena memiliki kemampuan berpindah
menggunakan perahu menyusuri sungai dan berjalan kaki. Jumlah penduduknya hanya
beberapa ribuan jiwa. SIL di tahun 1991 pernah merilis data yang memperlihatkan jumlah
orang Bauzi sekitar 1.500 jiwa. Mereka menyebar di bagian utara dan tengah wilayah
Mamberamo. Kini jumlah jiwa suku Bauzi bisa dipastikan telah bertambah tiap tahun,
walaupun
belum
ada
data
resmi
mengenai
perkembangan
mereka.
Suku Korowai - Papua
Suku Korowai adalah suku yang baru ditemukan keberadaann 30 tahun yang lalu. di
pedalaman Papua, Indonesia dan berpopulasi sekitar 3000 orang. Suku terasing ini hidup di
rumah yang dibangun di atas pohon yang disebut Rumah Tinggi. Beberapa rumah mereka
bahkan bisa mencapai ketinggian sampai 50 meter dari permukaan tanah. Suku Korowai
adalah salah satu suku di daratan Papua yang tidak menggunakan koteka. Sampai tahun 1970,
mereka tidak mengetahui keberadaan setiap orang selain kelompok mereka.
Bahasa mereka termasuk dalam keluarga Awyu-Dumut (Papua tenggara) dan merupakan
bagian dari filum Trans-Nugini. Sebuah tata bahasa dan kamus telah diproduksi oleh ahli
bahasa misionaris Belanda.Mayoritas klan Korowai tinggal di rumah pohon di wilayah
terisolasi mereka. Sejak tahun 1980 sebagian telah pindah ke desa-desa yang baru dibuka dari
Yaniruma di tepi Sungai Becking (area Kombai-Korowai), Mu, dan Basman (daerah
Korowai-Citak). Pada tahun 1987, desa dibuka di Manggl, di Yafufla (1988), Mabl di
tepi Sungai Eilanden (1989), dan Khaiflambolp (1998).Tingkat absensi desa masih tinggi,
karena relatif panjang jarak antara permukiman dan sumber daya makanan (sagu).
Suku Anak Dalam - Jambi
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu
suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan
Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah
populasi sekitar 200.000 orang. Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang
Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit
Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo.
Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini
diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku
Minangkabau, seperti sistem matrilineal. Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3
wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran
Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi
(sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya
pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet
dan
pertanian
lainnya.
menambah wawasan kita semua mengenai masyarakat tradisional dan .suku pedalaman
yang ada di Indonesia.