Anda di halaman 1dari 23

SISTEM DAN PELAKSANAAN WARIS ADAT MELAYU

DI SIAK SRI INDRAPURA

Oleh:
Dr. Emilda Firdaus, SH., MH, Widia Edorita, SH., MH, Sukamarriko
Andrikasmi, SH., MH

Abstrak

Masyarakat Melayu-Riau adalah salah satu kelompok etnik yang ada di Provinsi
Riau yang dalam menjalankan kehidupan dan hubungan sosial kemasyarakatan,
senantiasa berpegang kepada ajaran agama Islam, yakni al-Qur`an dan al-hadis serta
adat. Kedua sistem hukum tersebut merupakan hukum yang hidup (living law) dalam
kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu-Riau. Berdasarkan latar belakang masalah
diatas, maka perlu dilakukan perumusan masalah sebagai berikut : Sistem Dan
Pelaksanaan Waris Adat Melayu Di Siak Sri Indrapura. Penelitian ini secara umum
bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk dan tata cara waris adat Adat Melayu Riau.
Khususnya di Adat Melayu Di Siak Sri Indrapura. Melalui penelitian ini diharapkan
dapat menghasilkan luaran berupa jurnal yang akan bermanfaat memberikan kontribusi
guna pelestarian budaya Melayu Riau.

Kata Kunci: Waris, Adat, Siak

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakanng Masalah

Masyarakat dahulunya terbentuk dan berkumpul karena adanya satu kebutuhan,


keinginan yang sama dan juga kepentingan yang satu. Hidup bermasyarat dan
bersosialisasi semestinya menjadi kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial, tidak ada
seorangpun manusia di dunia ini yang bisa hidup sendiri. Manusia cenderung selalu
membutuhkan orang lain dalam melanjutkan proses kehidupannya. Kebersamaan
manusia tersebut dengan sendirinya membentuk suatu kesatuan yang tertata, memiliki
norma, dan aturan/ hukum adat.
Kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
pusat kehidupan masyarakat yang bersifat mandiri dan biasanya cenderung menjunjung
tinggi sesuai dengan kepercayaannya masing masing. Kepercayaan masyarakat dari
turun temurun memiliki kekuatan yang besar dalam kehidupan bermasyarakat, karena
1
tidak melaksanakan kebiasaan adat sama saja tidak menghormati leluhur mereka, dan
bagi yang melanggar adat akan mendapat hukuman adat dan kadang sering dikaitkan
dengan karma.
Dalam kesatuan masyarakat hukum adat tersebut dikenal adanya lembaga adat
yang di pimpin oleh penghulu/ ninik mamak, serta dan telah tumbuh hingga
berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam eksistensinya, masyarakat
hukum adat memiliki wilayah hukum adat dan hak atas harta kekayaan di dalam
wilayah hukum adat tersebut serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus,
dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan masyarakat Desa berkaitan
dengan adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.
Ninik mamak berkedudukan yang sangat penting dalam masyarakat yang
memiliki adat istiadat, ninik mamak adalah sebagai pemimpin anak
kemenakan dan mengarahkan masyarakat kejalan yang lurus menurut adat, menjaga
harta pusaka untuk kesejahteraan bersama, baik dalam konsep desa adat dan desa
lainnya.
Desa Adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan
masyarakat lokal yang dipelihara secara turuntemurun yang tetap diakui dan
diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat Desa Adat agar dapat berfungsi
mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa Adat memiliki
hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul Desa sejak Desa Adat itu lahir
sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat. Desa Adat adalah sebuah
kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan
identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.
Pada dasarnya kesatuan masyarakat hukum adat terbentuk berdasarkan tiga
prinsip dasar, yaitu genealogis, teritorial, dan/atau gabungan genealogis dengan
teritorial. Yang diatur dalam UndangUndang ini adalah kesatuan masyarakat hukum
adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan teritorial. Dalam kaitan itu,
negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari kesatuan masyarakat
hukum adat tersebut telah ada dan hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, seperti huta/nagori di Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di

2
Minangkabau, marga di Sumatera bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa
pakraman/desa adat di Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan
negeri di Maluku.
Masyarakat Melayu-Riau adalah salah satu kelompok etnik yang ada di Provinsi
Riau yang dalam menjalankan kehidupan dan hubungan sosial kemasyarakatan,
senantiasa berpegang kepada ajaran agama Islam, yakni al-Qur`an dan al-hadis serta
adat. Kedua sistem hukum tersebut merupakan hukum yang hidup (living law) dalam
kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu-Riau.
Harmonisasi hubungan adat dan Islam diungkap dalam pepatah adat yang
menyebutkan, ”adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak mengata
adat memakai, ya kata syarak benar kata adat, adat tumbuh dari syarak, syaraktumbuh
dari kitabullah”. Itu artinya, semua aspek budaya dan norma sosial masyarakat Melayu
wajib merujuk kepada ajaran Islam dan dilarang bertikai apalagi menyalahinya.
Sebaliknya, nilai budaya yang dianggap belum serasi dan belum sesuai dengan ajaran
Islam haruslah diluruskan dan disesuaikan dengan Islam. Acuan ini menyebabkan Islam
tidak dapat dipisahkan dari adat dalam kehidupan orang Melayu (Tens Effendy, 2011).
Kata Melayu berasal dari kata “Mala” dan “Yu”. Kata “Mala” berarti mula dan
“Yu” berarti negeri. Sehingga kata Melayu mengandung arti negeri mula-mula. Dalam
bahasa Jawa, kata Melayu atau Belayu berarti berjalan cepat atau lari. Sedangkan dalam
bahasa Tamil kata Melayu dan Melayur berarti hujan. Selain itu terdapat pula istilah
Melayu untuk nama sungai, di antaranya adalah sungai Melayu yang terdapat dekat
Johor dan Bangkahulu (Hidayat Syah, 2011: 39-40) Melayu-Riau adalah masyarakat
Melayu yang tinggal dalam wilayah Provinsi Riau atau tepatnya masyarakat Melayu
yang bermukim di daerah bekas wilayah Kesultanan Melayu-Siak (Amir Luthfi, 1991:
264).
Secara georafis, daerah ini terletak antara Selat Malaka di sebelah timur dan
daerah Minangkabau di sebelah barat. Daerahnya terdiri dari daratan yang cukup
berawa di bagian sebelah pantai. Di bagian tengah daerah ini mengalir sebuah sungai
yang terkenal dengan sungai Siak. Sungai ini berhulu di daerah Minangkabau dan
bermuara di Selat Malaka. Sungai ini dapat dilayari sampai ke hulunya yang berbatasan
dengan daerah Minangkabau. Di sebelah utara terdapat sungai Rokan dan di sebelah
selatan terdapat sungai Kampar yang sama-sama berhulu di daerah Minangkabau dan

3
bermuara di Selat Malaka. Sungai Siak memiliki potensi pelayaran yang lebih baik
karena airnya yang cukup dalam dan tenang.

Masyarakat Melayu-Riau mengenal dua bentuk adat, yaitu Adat Temenggung


dan Adat Perpatih dengan dua bentuk sistem kekerabatan, yakni sistem kekerabatan
matrilineal dan parental. Kedua corak ini, terutama Adat Perpatih mengandung unsur-
unsur adat yang berlaku di Minangkabau. Selain itu, Perpatih dan Temenggung
merupakan dua tokoh adat di Minangkabau yang masingmasing mengembangkan dua
aliran adat, yaitu aliran Caniago yang dikembangkan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang
dan aliran Koto Piliang yang dikembangkan oleh Katumanggungan. Maka orang
Melayu memandang bahwa adat mereka berasal dari adat Minangkabau (Amir Luthfi,
1991: 105).
Untuk memperjelas adat yang berlaku dalam masyarakat Melayu-Riau, perlu
ditinjau terlebih dahulu bentuk dan isi adat yang terdapat di Minangkabau. Hal itu perlu
dilakukan karena ada hubungan historis antara orang-orang Minangkabau dengan orang
Melayu-Riau, terutama pada masa Kesultanan Siak Sri Indrapura. Di mana Adat
Minangkabau, pada waktu itu dan masa-masa sesudahnya, mempunyai pengaruh yang
luas terhadap perkembangan adat di daerah Melayu-Riau.

Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat genealogis (menurut asas


kesadaran (keturunan)) ialah masyarakat hukum adat yang anggota-anggotanya merasa
terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal
satu keturunan yang sama. Dengan kata-kata lain: seorang menjadi atau menanggap
dirinya keturunan dari seorang ayah-asal (nenek-moyang laki-laki) tunggal melalui
garis keturunan laki-laki atau dari seorang ibu asal (nenek moyang perempuan) tunggal-
melalui garis keturunan perempuan dan dengan demikian maka semua anggota
masyarakat yang bersangkutan itu tadi merasa seabagai satu kesatuan dan tunduk pada
peraturan-peraturan hukum (adat) yang sama, sehingga yang berhak untuk
mendapatkan gelar adat gelar ninik mamak biasanya adalah yang memiliki garis
keturunan.
Sejalan dengan pertumbuhan wilayah/ perkampungan/ koto yang kian
bertambah, maka dalam Ras Rumpun Melayu yang terus berkembang tersebut mula-
mula diangkatlah seorang “ketua” biasanya dipilih dan anggota masyarakat yang tertua

4
dan memiliki banyak pengetahuan. Ketualah yang membuat perintah dan peraturan
pada perkampungan yang menjadi kekuasaannya. Daerah kekuasaan ketua tersebut
dapat bertambah dengan merangkul daerah lain masuk kedalam wilayah kekuasaannya,
atau dengan mendirikan daerah baru. Ketua yang daerah kekuasaannya bertambah besar
tersebut disebut datuok ( Da artinnya sang, sedangkan tuok asal dari kata Tuo/Tua jadi
datuok artinya sang tua) orang yang sudah tua. Demikianlah proses terjadinya
kepemimpinan yang disebut Datuok (Ninik Mamak) tersebut.

Hukum waris sangat erat kaitannya dengan dengan ruang lingkup kehidupan
manusia sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan
kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum
kematian seseorang diantaranya masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-
hak dan kewajiban kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-
hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang diatur dalam
hukum waris.1
Hukum waris adat suatu golongan masyarakat sangat dipengaruhi oleh bentuk
kekerabatan dari masyarakat itu sendiri, setiap kekerabatan atau kekeluargaan memiliki
sistem hukum waris sendiri-sendiri. Secara teoritis sistem kekerabatan di Indonsesia
dapat dibedakan atas tiga corak, yaitu sistem Patrilineal, sistem matrilineal dan sistem
parental atau bilateral. Sistem keturunan ini berpengaruh dan sekaligus membedakan
masalah hukum kewarisan, disamping juga antara sistem kekerabatan yang satu dengan
yang lain dalam hal perkawinan.2
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perlu dilakukan perumusan
masalah sebagai berikut : Sistem Dan Pelaksanaan Waris Adat Melayu Di Siak Sri
Indrapura. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk dan
tata cara waris adat Adat Melayu Riau. Khususnya di Adat Melayu Di Siak Sri
Indrapura. Melalui penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan luaran berupa artikel/
monograf yang akan bermanfaat memberikan kontribusi guna pelestarian budaya
Melayu Riau.

1
Eman Suparman, Inti Hukum Waris Indonesia, Armico, Bandung: 1985, hlm 13.
2
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung: 1999, hlm 23
5
2. Teori Yang Relevan
Masyarakat adat adalah masyarakat yang terpelihara dan tersusun oleh nilai-nilai
adat. Masyarakat adat terbingkai oleh ketentuan adat sehingga susunan masyarakat
terbagi oleh norma-norma adat. Sistem nilai adat dalam bentuk seperangkat norma dan
sanksi menjadi panduan. Sehingga lalu lintas sosial berjalan dengan harmonis.
Harmonis antar hubungan manusia dengan manusia serta harmonis pula dengan alam
sekitar. Karena adat sudah bersendikan kitabullah, maka keselarasan hubungan antar
manusia serta hubungan dengan alam, berpunca pada hubungan dengan Allah. Dengan
cara ini manusia menunaikan tugasnya sebagai Khalifah (pemelihara) di muka bumi
3
dalam rangka beribadah kepada-Nya.
Adat istiadat dan budaya Melayu Riau adalah seperangkat nilai-nilai
kaidahkaidah dan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang sejak lama bersamaan
dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang telah dikenal, dihayati dan
diamalkan oleh yang bersangkutan secara berulang-ulang secara terus menerus dan
turun temurun sepanjang sejarah, adat-istiadat dan budaya Melayu Riau yang tumbuh
dan berkembang sepanjang zaman tersebut dapat memberikan andil yang cukup besar
terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Satu kesatuan
masyarakat adat biasanya terdiri satu puak atau bagian dari suku bangsa (sub etnis). Di
Riau misalnya dapat dikenal beberapa puak suku Melayu, seperti puak Melayu Riau-
Lingga, Puak Melayu Siak, Puak Melayu Inderagiri, puak Melayu Kuantan, puak
Melayu Kampar, puak Melayu Pelalawan, Puak Melayu Pekanbaru dan sebagainya.
Dalam satu puak dapat dipimpin oleh beberapa teraju adat dengan gelar Datuk. 4
B.Ter Haar Bzn dalam bukunya berjudul Beginselen en stclsel van het
Adatrecht(diterjemahkan K. Ng.Soebakti Poesponoto: Asas-asas dan Hukum Adat)
mengemukakan pendapatnya tentang rakyat Indonesia pada masa sebelum
kemerdekaan sebagai berikut:
Bilamana orang meneropong suku bangsa Indonesia manapun juga, maka
tampaklah dimatanja dilapisan paling bawah jang amat luasnja, suatu masjarakat
jang terdiri dari gerombolan2 jang bertalian satu sama lain ... sehingga untuk
mendapatkan gambaran yang sedjelas2nya gerombolan2 tadi dapat disebut
masjarakat2 hukum (rechtsgemeenscahppen). Dalam pergaulan hukum maka

3
U.U. Hamidy, Jagad Melayu Dalam Lintasan Budaya di Riau. Pekanbaru : Bilik Kreatif
Press, tahun 2006, hlm 74.
4
Ibid, hlm 75
6
mereka jang merasa mendjadi anggauta daripada ikatan2 itu bersikap dan
bertinclak sebagai suatu kesatuan.5

Selanjutnya, Ter Haar Bzn memberi gambaran dari apa yang dimaksud
sebagai suatu kesatuan dengan kata lainnya yaitu persekutuan:
Bila dirumuskan sesingkat2-nja maka persekutuan2 itu dapat disebut:
gerombolan2 jang teratur bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri,
pula kekajaan sendiri berupa benda jang kelihatan dan tidak kelihatan mata. 6
Menurut Miriam Budiarjo sebagaimana dikutip oleh Soleman B Taneko,
menyatakan bahwa :
Didalam suatu Negara terdapat suatu organisasi yang berwenang untuk
merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi
seluruh penduduk di dalam wilayahnya. Keputusan-keputusan ini antara lain,
berbentuk undang-undang dan peraturan-peraturan lain. Dalam hal ini
pemerintah bertindak atas nama Negara menyelenggarakan kekuasaan dari
Negara.7

Bertitik tolak dari pemikiran ini maka apabila dibandingkan dalam struktur
masyarakat hukum adat, juga terdapat suatu badan pengurus yang melaksanakan
pemerintahan, yang bertugas dan berwenang untuk mengurus dan mengatur segala
kegiatan persekutuan guna kepentingan anggota-anggotanya. Badan ini dapat terdiri
atas ketua atau kepala persekutuan menurut tingkatnya masing-masing.8
Kepengurusan dan pemerintahan persekutuan dalam masyarakat hukum adat
dipengaruhi oleh struktur masyarakatnya. Jalinan asal-usul terbentuknya masyarakat
mempengaruhi struktur kepemimpinan dalam suatu masyarakat hukum adat. Tegasnya,
tinggi atau rendahnya bagian dari struktur dalam pemerintahan suatu masyarakat
hukum adat akan berbeda pada saerah satu dengan daerah lainnya.

5
Mr.B.Ter Haar Bzn diterjemahkan K. Ng.Soebakti Poesponoto,“Asas-Asas dan Susunan
Hukum Adat (Beginselen en Stelsel van Hat Adat Recht)”, cetakan kesembilanbelas, (Jakarta:
PT.Pradnya Paramita,1987),hal.15-16. Dalam Lalu Sabardi, Konstruksi Makna Yuridis Masyarakat
Hukum Adat Dalam Pasal 18b Uudnri Tahun 1945 Untuk Identifikasi Adanya Masyarakat hukum Adat
<http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/19/19>
6
Ibid
7
I Gede A.B Wiranata, Antropologi Budaya, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Tahun 2011, hlm
71.
8
Ibid.
7
PEMBAHASAN

1. Sistem dan Pelaksanaan Waris Adat Melayu di Siak Sri Indrapura

Hukum adat merupakan salah satu aturan hukum yang masih digunakan dalam
proses pewarisan. Proses pewarisan yang mengedepankan musyawarah sebagai
landasannya merupakan hal terpenting, agar keselarasan dan kerukunan dalam keluarga
tetap terjaga. Pewarisan merupakan salah satu proses yang dilalui dalam kehidupan
keluarga. Pewarisan mempunyai arti dan pemahaman sebagai salah satu proses
beralihnya harta peninggalan pewaris kepada ahli warisnya. Keberadaan ahli waris
mempunyai kedudukan penting dalam proses pewarisan. Kedudukan ahli waris, seperti
janda harus dipenuhi haknya sebagai ahli waris dalam pembagian harta warisan.

Pengertian yang lazim di Indonesia pewarisan ialah perpindahan berbagai hak


dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain
yang masih hidup. Secara umum dalam setiap pewarisan disyaratkan memenuhi unsur-
unsur yang terdiri atas: (a) pewaris, (b) harta warisan, dan (c) ahli waris. Pengertian
pewaris sendiri dapat diartikan sebagai seorang peninggal warisan yang pada waktu
wafatnya meninggalkan harta kekayaan pada orang yang masih hidup.

Ahli waris adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia yang
menggantikankedudukan pewaris. Sedangkan harta warisan menurut hukum adat
adalah harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh semasa masa perkawinan dan harta
bawaan.Proses beralihnya harta peninggalan pewaris kepada ahli warisnya harus
dilakukan sesuai ketentuan aturan hukum yang berlaku, dengan tetap menjadikan
musyawarah dan kesepakatan sebagai landasan dalam pembagiannya. Keberadaan
hukum waris adat sangat penting dalam proses pewarisan, keberadaan hukum waris
adat tersebut dapat dijadikan dasar dalam tatanan pembagian harta warisan dalam
keluarga. Pengertian hukum waris adat sendiri adalah aturan-aturan hukum yang
mengatur cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta
kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut.
Keberadaan harta warisan dalam hukum adat dapat materiil benda seperti tanah, dan
perhiasan, serta dapat pula imateriil benda, melainkan suatu nilai atau prestise, misalnya
dalam hal ini adalah status jabatan, seperti status raja maupun kepala adat.
8
Dalam adat melayu Siak sendiri masalah waris ini sangat berkaitan erat dengan
hukum waris yang ada di dalam agama islam, karena dalam adat melayu siak itu sendiri
memiliki semboyan “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah”
sehingga dalam pembagian harta warisan yang terjadi dimasyarakat adat siak itu sendiri
dijalankan dan diterapkan sesuai ketentuan mawaris dalam hukum islam.

2. Pengertian Kewarisan Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti Orang yang
berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.9Di dalam bahasa Arab
kata waris berasal dari kata ‫ورث‬-‫يرث‬-‫ ورثا‬yang artinya adalah Waris. Contoh, ‫اباه ورث‬
yang artinya Mewaris harta (ayahnya).

Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli
warisnya.dan juga berbagai aturan tentang perpidahan hak milik, hak milik yang
dimaksud adalah berupa harta, seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli
warisnya. Dalam istilah lain waris disebut juga dengan fara‟id. Yang artinya bagian
tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya
dan yang telah di tetapkan bagianbagiannya. Adapun beberapa istilah tentang waris
yaitu :

1. Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
Ada ahli waris yang sesungguhnya yang memiiki hubungan kekerabatan yang
dekat akan tetapi tidak berhak menerima warisan. Dalam fiqih mawaris, ahli
waris semacam ini disebut ini disebut Zawil alarham. Hak-hak Waris bisa
ditimbulkan karenahubungan darah, karena hubungan perkawinan, dan karena
akibat memerdekakan hamba.10
2. Mawarrits, ialah orang yang diwarisi harta benda peninggalan. Yaitu orang yang
meninggal baik itu meninggal secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan), atau
melalui keputusan hakim. Seperti orang yang hilang (al-mafqud), dan tidak tahu
kabar beritanya setelah melalui pencaharian dan persaksian, atau tenggang

9
Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,.ed.3 .( jakarta: balai
pustaka 2001)h.. 1386.
10
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005), h.4
9
waktu tertentu hakim memutuskan bahwa ia dinyatakan meninggal dunia
melalui keputusan hakim.
3. Al-Irts, ialah harta warisan yang siap dibagi kepada ahli waris sesudah diambil
untuk keperluan pemeliharaan zenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan utang,
serta pelaksanaan wasiat.
4. Waratsah, ialah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda
dengan harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak bisa dibagi-bagi,
karena menjadi milik kolektif semua ahli waris.
5. Tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum
diambil untuk kepentingan pemeliharaan zenazah, pelunasan utang, dan
pelaksanaan wasiyat yang dilakukan oleh orang yang meninggal ketika masih
hidup.11

3. Asas – Asas Hukum Kewarisan Islam

Dalam kewarisan Islam ada beberapa asas yang berkaitan dengan peralihan
harta kepada ahli warist, cara pemililkan harta oleh yang menerima kadar jumlah harta
dan waktu terjdinya peralihan harta. Asas-asas tersebut yaitu:

1. Asas Ijbari
Asas Ijbari ialah pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah.
Tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris dan ahli warisnya dan asas
ini dapat dilihat dari berbagai segi yaitu:12
a. Dari segi pewaris, mengandung arti bahwa sebelum meninggal ia tidak
dapat menolak peralihan harta tersebut. Apa pun kemauan pewaris
terhadap hartanya, maka kemauannya dibatasi oleh ketentuan yang di
tetapkan oleh Allah. Oleh karena itu sebelum meninggal Ia tidak perlu
memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadaphartanya, kerena
dengan meninggalnya seseorang secara otomatis hartanya beralih kepada
ahli warisnya.
b. Dari segi peralihan harta, mengandung arti bahwa harta orang yang
meninggal itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa-
11
Ibid, h.5
12
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika ,
Tahun 2008).h.39
10
sapa kecuali oleh Allah. Oleh karena itulah kewarisan dalam Islam
diartikan dengan peralihan harta, bukan pengalihan harta karena pada
peralihan berarti beralih dengan sendirinya sedangkan pada kata
pengalihan ialah usaha seseorang.
c. Dari segi jumlah harta yang beralih, dari segi jumlah dapat dilihat dari
kata “mafrudan” secara etimologis berarti telah ditentukan atau telah
diperhitungkan, kata-kata tersebut dalam terminologi Ilmu Fikih, berarti
sesuatu yang telah diwajibkan Allah kepadanya, yaitu berarti bagian
waris sudah ditentukan.
d. Dari segi penerima peralihan harta itu, yaitu bahwa penerima harta, dan
mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara
pasti.
2. Asas Bilateral
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah
seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu
dari garis keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. Untuk lebih
jelasnya asas bilateral in dapat dilihat dalam surah an-Nisa ayat :7, dan 11.
Dalam ayat 7 dijelaskan dikemukakan bahwa seorang laki-laki berhak
memperoleh warisan dari pihak ayahnya maupun ibunya. Begitu juga
dengan perempuan mendapat warisan dari kedua belah pihak orang tuanya.
3. Asas Individual
Yang dimaksud asas individual ini adalah, setiap ahli waris (secara individu)
berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya.
Dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu
berhak mendapatkan semua harta yang telah menjadi bagianya. Ketentuan
ini dapat dijumpai dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7 yang
secara garis besar menjelaskan bahwa anak laki-laki 22 maupun prempuan
berhak meerima warisan dari orang tuanya dan karib kerabatnya, terlepas
dari jumlah haran yang yang telah ditentukan .yang mengemukakan bahwa
bagian masing-masing ahli waris ditentukan.13

13
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,( Jakarta: Prenada Media tahun 2004) h.21
11
4. Asas Keadilan Berimbang
Yang dimaksud asas keadilan berimbang adalah keseimbangan antara antara
hak dengan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan
kebutuhan dan kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa
faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan.14
5. Kewarisan Akibat Kematian Hukum waris Islam memandang bahwa
terjadinya peralihan harta hanya semata-mata karena adanya kematian.
Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih apabila belum ada
kematian. Apabila pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak dapat
dilakukan dengan pewarisan.15

4. Sebab- Sebab Adanya Hak Kewarisan Dalam Islam.

Ada beberapa sebab dalam kewarisan dalam islam terkait hak seseorang
mendapatkan warisan yaitu hubungan kekerabatan dan hubngan perkawinan. Kedua
bentuk hubungan itu adalah sebagai berikut.

1. Hubungan Kekerabatan.
Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab ditentukan
oleh adanya hubungan darah, dan adanya hubungan darah dapat diketahui
pada saat adanya kelahiran, seorang ibu mempunyai hubungan kerabat
dengan anak yang dilahirkannya dan si anak mempunyai hubungan
kekerabatan dengan kedua orang tuanya.
Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya ditentukan oleh
adanya akad nikah yang sah antara ibunya dengan ayahnya, dengan
mengetagui hubungan kekerabatan antara ibu dengan anaknya dan anak
dengan ayahnya, dapat pula diketahui hungan kekerabatan ke atas yaitu
kepada ayah atau ibu dan seterusnya, kebawah, kepada anak beserta
keturunanya. Dari hubungan kerabat yang demikian, dapat juga diketahui
struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris bilamana seorang mninggal
dunia dan meninggalkan harta warisan. Hubungan kerabata tersebut, bila
dianalisis pengelompokannya menurut Hazairin yang mengelompokannya
kedalam tiga kelompok ahli waris, yaitu dzawul faraid, dzawul qarabat dan

14
Ibid h.24
15
Ibid h.28
12
mawali. Yang dimaksud mawali ialah ahli waris pengganti, atau dapat juga
diartikan sebagai orang-orang yang menjadi ahli waris dikarenakan tidak
lagi penghubung antara mereka dengan pewaris. Demikian pendapat ahlus
sunna yang mengelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu dzawul faraid,
ashabah, dan dzawul arham.
2. Hubungan Perkawinan
Kaitan hubungan perkawinan dengan hukum kewarisan Islam, berarti
hubungan perkawinan yang sah menurut Islam. Apabila seorang suami
meninggalkan harta warisan dan janda, maka istri yang dinggalkan itu
termasuk ahli warisnya demikian pula sebaliknya.
3. Al-Wala‟ (Memerdekakan Hamba Sahaya atau Budak)
Al-Wala‟ adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan
hamba sahaya, atau melelui perjanjian tolong menolong. Untuk yang
terakhir ini, agaknya jarang dilakukan jika malah tidak ada sama sekali.
Adapun al-wala‟ yang pertama disebut dengan wala‟ al-„ataqah atau
„ushubah sababiyah, dan yang kedua disebut dengan wala‟ al-mualah, yaitu
wala‟yang timbul akibat kesedihan seseorang untuk tolong menolong
dengan yang lain melalui suatu 29 perjanjian perwalian. Orang yang
memerdekakan hamba sahaya, jika laki-laki disebut dengan al-mu‟tiq dan
jika perempuan al-mu‟tiqah. Wali penolong disebut maula’ dan orang yang
ditolong yang disebut dengan mawali. Adapun bagian orang yang
memerdekakan hamba sahaya adalah 1/6 dari harta peninggalan. Jika
kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada hamba sahaya, maka
jawabanya adalah bahwa hapusnya perbudakan merupakan salah satu
keberhasilan misi Islam. Karena memang imbalan warisan kepada al-mu‟tiq
dan atau al-mu‟tiqah salah satu tujuanya adalah untuk memberikan motifasi
kepada siapa saja yang mampu, agar membantu dan mengembalikan hak-
hak hamba sahaya menjadi orang yang merdeka.

5. Sebab –Sebab Hilangnya Hak Kewarisan Dalam Islam.

Adapun yang dimaksud sebab hilangnya hak keawarisan adalah hal-hal yang
menggugurkan hak ahli waris untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris. Ada
beberapa sebab yang mengakibatkan ahli waris kehilangan haknya yaitu:

13
1. Perbudakan Seorang yang berstatus sebagai budak tidaklah mempunyai hak
untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang
dimiliki budak menjadi milik tuannya juga.
2. Perbedaan Agama.
Adapun yang dimaksud perbedaan agama ialah keyakinan yang dianut
antara ahli waris dan muaris (orang yang mewarisi) ini menjadi penyebab
hilangnyahak kewarisan sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah
dari Usama bin Zaid, diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-
Tirmizi dan Ibn Majah. Yang telah disebutkan bahwa seorang muslim tidak
bisa menerima warisan dari yang bukan muslim. Dari hadis tersebut dapat
diketahui bahwa hubungan antara kerabat yang berbeda agama dalam
kehidupan sehari-hari hanya nenyangkut hubungan sosial saja.
3. Pembunuhan
Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dari
pewaris yang dibunuhnya. Ini berdasarkan hadis Rosulullah dari Abu
Hurairah yang di riwayatkan oleh Ibn Majah, bahwa seseorang yang
membunuh pewarisannya tidak berhak menerima warisan dari orang yang
dibunuhnya. Dari hadis tersebut menegaskan bahwa pembunuhan
menggugurkan hak kewarisan.
4. Berlainan Negara
Yang dimaksud dengan negara dalam hal ini ialah ibarat suatu daerah
yang ditempat tinggali oleh muarris dan ahli waris, baik daerah itu
berbentuk kesultanan, kerajaan, maupun republik.
5. Murtad
Adapun yang dimaksud Murtad ialah orang yang keluar dari agama
Islam, dan tidak dapat menerima harta pusaka dari keluarganya yang
muslim. Begitu pula sebaliknya.

6. Rukun Dan Syarat Kewarisan

Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan


kepemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli warisnya.
Dan dalam hukum waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan pada asas ijbari,
yaitu harta warisan berpindah dengan sendirinya menurut ketetapan Allah swt tanpa

14
digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris. Pengertian tersebut akan terwujud
jika syarat dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi. Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian harta warisan. Syarat-syarat
tersebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi sebagian ada yang berdiri sendiri. Ada tiga
rukun warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:

1. Pewaris baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal)


maupun secara taqdiri.
2. Adanya ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau
menerima harta penenggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan
kekerabatan (nasab),atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang
ditinggalankan pewaris baik berupa uang, tanah.
Adapun syarat waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan. Rukun
waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu:

1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang, yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah
meninggal dunia. Kematian seorangmuwaris itu, menurut ulama dibedakan
menjadi 3 macam:
a. Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini
tanpa membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut
disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat
dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
b. Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis).
Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah
suatu kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena
adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara
yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat
kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah
dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung
selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat

15
ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan
pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
c. Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian
(muwaris) berdasarkan dugaan yang sangat kuat, misalnya dugaan
seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun.
Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan kuat
kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.
2. Waris (ahli waris)
Yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik
hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau
karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat
meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benar-benar dalam keadaan
hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan
(al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu, antara
muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
3. Al –Mauruts Adalah segala sesuatu harta benda yang menjadi warisan. Baik
berupa harta atau hak yang termasuk dalam kategori warisan.
7. Golongan dan Bagian Waris dalam Islam

a. Golongan ahli waris Adapun ahli waris dari kalangan dari kalangan laki-laki
ada sepuluh yaitu:

1) Anak laki-laki

2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki

3) Ayah

4) Kakek dan terus ke atas

5) Saudara laki-laki sekandung

6) Saudara laki-laki dari ayah

7) Paman

8) Anak laki-laki
16
9) suami

10) Tuan laki-laki yang memerdekakan budak

Ada tujuh ahli waris dari dari kalangan perempuan

1) Anak perempuan

2) Anak perempuan dari anak laki-laki

3) Ibu

4) Nenek

5) Saudara perempuan

6) Istri

7) Tuan wanita yang memerdekakan budak

Ada lima ahli waris yang yang tidak perna gugur mendapatkan mendapatkan hak waris

1) Suami

2) Istri

3) Ibu

4) Ayah

5) Anak yang langsung dari pewaris

Dan ashabah yang paling dekat yaitu:

1) Anak laki-laki

2) Cucu dari anak laki-laki

3) Ayah

4) Kakek dari pihak ayah

5) Saudara laki-laki seayah dan seibu

6) Saudara laki-laki seayah


17
7) Anak laki-laki dari saudara laki seayah dan seibu

8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah

9) Paman

10) Anak laki-laki paman

11)Jika Ashabah tidak ada, maka tuan yang memerdekakan budaklah yang
mendapatkannya

b. Pembagian waris menurut islam

1. Setengah

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separuh dari harta waris


peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya
perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut adalah suami, anak perempuan,
cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan dan
saudara perempuan seayah.

2. Seperempat

Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapatkan seperempat dari


harta peninggalannya hanya ada dua yaitu suami dan istri.

3. Seperdelapan
Dari sederet ashhabul furudh yang berhak memperoleh
bagian warisan seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri baik seorang maupun lebih
akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami
mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau rahim
istri yang lain.

4. Dua per Tiga


Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga dari harta
peninggalan pewaris ada empat dan semuanya terdiri dari wanita:

a.Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.

b.Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.

18
c.Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.

d.Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.

5. Sepertiga

Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapat warisan sepertiga


bagian hanya dua yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan)
yang seibu.

6. Seperenam
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam, ada
tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu,
(4) cucu perempuan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6)
nenek asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu.

PENUTUP

1. Kesimpulan

Hukum adat merupakan salah satu aturan hukum yang masih digunakan dalam
proses pewarisan. Proses pewarisan yang mengedepankan musyawarah sebagai
landasannya merupakan hal terpenting, agar keselarasan dan kerukunan dalam keluarga
tetap terjaga. . Secara umum dalam setiap pewarisan disyaratkan memenuhi unsur-
unsur yang terdiri atas: (a) pewaris, (b) harta warisan, dan (c) ahli waris. Dalam adat
melayu Siak sendiri masalah waris ini sangat berkaitan erat dengan hukum waris yang
ada di dalam agama islam, karena dalam adat melayu siak itu sendiri memiliki
semboyan “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah” sehingga dalam
pembagian harta warisan yang terjadi dimasyarakat adat siak itu sendiri dijalankan dan
diterapkan sesuai ketentuan mawaris dalam hukum islam.

2. Saran

Proses pembagian waris dalam adat melayu Siak merupakan suatu ketentuan
yang mengikuti kepada semboyan atau adat yang bersendikan syara’ dan syara’
bersendikan kitabullah” atau dalam proses pembagian seharusnya dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam hukum Islam. Karena proses pembagian warisan yang
dijalankan dapat sejalan dengan aturan-aturan yang sudah ada pada adat melayu Siak.

19
Maka segala ketentuan mengenai pembagian waris harus tunduk dan patuh pada adat
yang berada di daerah tersebut atau di daerah melayu Siak itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
Asikin, Zainal, dan Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Nasuha, 2005, Teori Sistem, Prenada Media, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.

Prasetyo, Dossy Iskandar dan Bernard Tanya, 2011, Hukum dan Etika Kekuasaan,
Genta Publishing, Yogyakarta.
Raharjo, Satjipto, 2006. Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Oktober.
Jakarta.
----------------------, 2009. Hukum dan Perilaku, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Salim, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta.
Soekanto, Soerjono,1993, Faktor- faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.
Rajawali. Jakarta.
Sunaryati, 1982., Hukum dan Pembangunan, Balai Pustaka, Jakarta.
Sunggono, Bambang,1996, Metode Penelitian Hukum,PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Lembaga Adat Melayu
Riau.
Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah
Ulayat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
ke 3. Balai Pustaka, Jakarta.
Soedarsono, 1999, Kamus Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
20
21
REPUBLIK INDONESIA
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

SURAT PENCATATAN
CIPTAAN
Dalam rangka pelindungan ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra berdasarkan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan ini menerangkan:

Nomor dan tanggal permohonan : EC00202056255, 4 Desember 2020

Pencipta
Nama : Dr. Emilda Firdaus, SH., MH, Widia Edorita, SH., MH dkk
Alamat : Jl. Cemara Salju Komp Pemda RT/ RW 004/004 Kel. Delima Kec.
Tampan. Kota Pekanbaru. Prov Riau , PEKANBARU, RIAU, 28291
Kewarganegaraan : Indonesia

Pemegang Hak Cipta


Nama : Dr. Emilda Firdaus, SH., MH, Widia Edorita, SH., MH dkk
Alamat : Jl. Cemara Salju Komp Pemda RT/ RW 004/004 Kel. Delima Kec.
Tampan. Kota Pekanbaru. Prov Riau, PEKANBARU, RIAU, 28291
Kewarganegaraan : Indonesia
Jenis Ciptaan : Karya Tulis (Artikel)
Judul Ciptaan : Sistem Dan Pelaksanaan Waris Adat Melayu Di Siak Sri
Indrapura
Tanggal dan tempat diumumkan untuk : 22 Oktober 2020, di Pekanbaru
pertama kali di wilayah Indonesia atau di luar
wilayah Indonesia
Jangka waktu pelindungan : Berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70
(tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung
mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya.
Nomor pencatatan : 000225190

adalah benar berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Pemohon.


Surat Pencatatan Hak Cipta atau produk Hak terkait ini sesuai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta.

a.n. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


DIREKTUR JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL

Dr. Freddy Harris, S.H., LL.M., ACCS.


NIP. 196611181994031001

Disclaimer:
Dalam hal pemohon memberikan keterangan tidak sesuai dengan surat pernyataan, Menteri berwenang untuk mencabut surat pencatatan pemohon.
LAMPIRAN PENCIPTA

No Nama Alamat

Jl. Cemara Salju Komp Pemda RT/ RW 004/004 Kel. Delima Kec. Tampan.
1 Dr. Emilda Firdaus, SH., MH
Kota Pekanbaru. Prov Riau

Jl. Letkol Hasan Basri No. 42 RT/ RW 003/005 Kelurahan Cinta Raja,
2 Widia Edorita, SH., MH
Kecamatan Sail, Kota Pekanbaru, Prov Riau

Jl. Cipta Karya Perum Odrimari Blok D No 12 RT/ RW 002/ 026 Kel.
3 Sukamarriko Andrikasmi, SH., MH
Sialangmunggu. Kec. Tampan. Kota Pekanbaru. Prov Riau

LAMPIRAN PEMEGANG

No Nama Alamat

Jl. Cemara Salju Komp Pemda RT/ RW 004/004 Kel. Delima Kec. Tampan.
1 Dr. Emilda Firdaus, SH., MH
Kota Pekanbaru. Prov Riau

L. Letkol Hasan Basri No. 42 RT/ RW 003/005 Kelurahan Cinta Raja,


2 Widia Edorita, SH., MH
Kecamatan Sail, Kota Pekanbaru, Prov Riau

Jl. Cipta Karya Perum Odrimari Blok D No 12 RT/ RW 002/ 026 Kel.
3 Sukamarriko Andrikasmi, SH., MH
Sialangmunggu. Kec. Tampan. Kota Pekanbaru. Prov Riau

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

Anda mungkin juga menyukai