2022
SISTEM KEKERABATAN MELAYU RIAU
Abstrak
Masyarakat Melayu-Riau adalah salah satu kelompok etnik yang ada di Provinsi
Riau yang dalam menjalankan kehidupan dan hubungan sosial kemasyarakatan,
senantiasa berpegang kepada ajaran agama Islam, yakni al-Qur`an dan al-hadis serta
adat. Kedua sistem hukum tersebut merupakan hukum yang hidup (living law) dalam
kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu-Riau. Berdasarkan latar belakang masalah
diatas, maka perlu dilakukan perumusan masalah sebagai berikut : Sistem Dan
Pelaksanaan Waris Adat Melayu Di Siak Sri Indrapura. Penelitian ini secara umum
bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk dan tata cara waris adat Adat Melayu Riau.
Khususnya di Adat Melayu Di Siak Sri Indrapura. Melalui penelitian ini diharapkan
dapat menghasilkan luaran berupa jurnal yang akan bermanfaat memberikan
kontribusi guna pelestarian budaya Melayu Riau.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakanng
Kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
pusat kehidupan masyarakat yang bersifat mandiri dan biasanya cenderung menjunjung
tinggi sesuai dengan kepercayaannya masing masing. Kepercayaan masyarakat dari turun
temurun memiliki kekuatan yang besar dalam kehidupan bermasyarakat, karena 2 tidak
melaksanakan kebiasaan adat sama saja tidak menghormati leluhur mereka, dan bagi yang
melanggar adat akan mendapat hukuman adat dan kadang sering dikaitkan dengan karma.
Dalam kesatuan masyarakat hukum adat tersebut dikenal adanya lembaga adat yang
di pimpin oleh penghulu/ ninik mamak, serta dan telah tumbuh hingga berkembang di
dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam eksistensinya, masyarakat hukum adat memiliki
wilayah hukum adat dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut
serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai
permasalahan kehidupan masyarakat Desa berkaitan dengan adat istiadat dan hukum
adat yang berlaku.
Masyarakat Melayu-Riau adalah salah satu kelompok etnik yang ada di Provinsi
Riau yang dalam menjalankan kehidupan dan hubungan sosial kemasyarakatan,
senantiasa berpegang kepada ajaran agama Islam, yakni al-Qur`an dan al-hadis serta
adat. Kedua sistem hukum tersebut merupakan hukum yang hidup (living law) dalam
kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu-Riau.
Harmonisasi hubungan adat dan Islam diungkap dalam pepatah adat yang
menyebutkan, ”adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak mengata adat
memakai, ya kata syarak benar kata adat, adat tumbuh dari syarak, syaraktumbuh dari
kitabullah”. Itu artinya, semua aspek budaya dan norma sosial masyarakat Melayu wajib
merujuk kepada ajaran Islam dan dilarang bertikai apalagi menyalahinya. Sebaliknya,
nilai budaya yang dianggap belum serasi dan belum sesuai dengan ajaran Islam
haruslah diluruskan dan disesuaikan dengan Islam. Acuan ini menyebabkan Islam tidak
dapat dipisahkan dari adat dalam kehidupan orang Melayu (Tens Effendy, 2011).
Kata Melayu berasal dari kata “Mala” dan “Yu”. Kata “Mala” berarti mula dan
“Yu” berarti negeri. Sehingga kata Melayu mengandung arti negeri mula-mula. Dalam
bahasa Jawa, kata Melayu atau Belayu berarti berjalan cepat atau lari. Sedangkan dalam
bahasa Tamil kata Melayu dan Melayur berarti hujan. Selain itu terdapat pula istilah
Melayu untuk nama sungai, di antaranya adalah sungai Melayu yang terdapat dekat
Johor dan Bangkahulu (Hidayat Syah, 2011: 39-40) Melayu-Riau adalah masyarakat
Melayu yang tinggal dalam wilayah Provinsi Riau atau tepatnya masyarakat Melayu
yang bermukim di daerah bekas wilayah Kesultanan Melayu-Siak (Amir Luthfi, 1991:
264).
Secara georafis, daerah ini terletak antara Selat Malaka di sebelah timur dan
daerah Minangkabau di sebelah barat. Daerahnya terdiri dari daratan yang cukup
berawa di bagian sebelah pantai. Di bagian tengah daerah ini mengalir sebuah sungai
yang terkenal dengan sungai Siak. Sungai ini berhulu di daerah Minangkabau dan
bermuara di Selat Malaka. Sungai ini dapat dilayari sampai ke hulunya yang berbatasan
dengan daerah Minangkabau. Di sebelah utara terdapat sungai Rokan dan di sebelah
selatan terdapat sungai Kampar yang sama-sama berhulu di daerah Minangkabau dan 4
bermuara di Selat Malaka. Sungai Siak memiliki potensi pelayaran yang lebih baik
karena airnya yang cukup dalam dan tenang.
Hukum waris sangat erat kaitannya dengan dengan ruang lingkup kehidupan
manusia sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan
kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum
kematian seseorang diantaranya masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan
hakhak dan kewajiban kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Penyelesaian
hakhak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang diatur dalam
hukum waris.1
Hukum waris adat suatu golongan masyarakat sangat dipengaruhi oleh bentuk
kekerabatan dari masyarakat itu sendiri, setiap kekerabatan atau kekeluargaan
memiliki sistem hukum waris sendiri-sendiri. Secara teoritis sistem kekerabatan di
Indonsesia dapat dibedakan atas tiga corak, yaitu sistem Patrilineal, sistem matrilineal
dan sistem parental atau bilateral. Sistem keturunan ini berpengaruh dan sekaligus
membedakan masalah hukum kewarisan, disamping juga antara sistem kekerabatan
yang satu dengan yang lain dalam hal perkawinan.2
B. Ter Haar Bzn dalam bukunya berjudul Beginselen en stclsel van het
Adatrecht(diterjemahkan K. Ng.Soebakti Poesponoto: Asas-asas dan Hukum Adat) mengemukakan
pendapatnya tentang rakyat Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan sebagai berikut:
Bilamana orang meneropong suku bangsa Indonesia manapun juga, maka tampaklah
dimatanja dilapisan paling bawah jang amat luasnja, suatu masjarakat jang terdiri dari gerombolan2
jang bertalian satu sama lain ... sehingga untuk mendapatkan gambaran yang sedjelas2nya
gerombolan2 tadi dapat disebut masjarakat2 hukum (rechtsgemeenscahppen). Dalam pergaulan
hukum maka 3 U.U. Hamidy, Jagad Melayu Dalam Lintasan Budaya di Riau. Pekanbaru : Bilik Kreatif
Press, tahun 2006, hlm 74. 4 Ibid, hlm 75 7 mereka jang merasa mendjadi anggauta daripada ikatan2
itu bersikap dan bertinclak sebagai suatu kesatuan.5
Selanjutnya, Ter Haar Bzn memberi gambaran dari apa yang dimaksud sebagai suatu
kesatuan dengan kata lainnya yaitu persekutuan:
Bila dirumuskan sesingkat2-nja maka persekutuan2 itu dapat disebut: gerombolan2 jang
teratur bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri, pula kekajaan sendiri berupa benda
jang kelihatan dan tidak kelihatan mata. 6
Menurut Miriam Budiarjo sebagaimana dikutip oleh Soleman B Taneko, menyatakan bahwa :
Didalam suatu Negara terdapat suatu organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan
melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di dalam wilayahnya.
Keputusan-keputusan ini antara lain, berbentuk undang-undang dan peraturan-peraturan lain.
Dalam hal ini pemerintah bertindak atas nama Negara menyelenggarakan kekuasaan dari Negara.7
Bertitik tolak dari pemikiran ini maka apabila dibandingkan dalam struktur masyarakat
hukum adat, juga terdapat suatu badan pengurus yang melaksanakan pemerintahan, yang bertugas
dan berwenang untuk mengurus dan mengatur segala kegiatan persekutuan guna kepentingan
anggota-anggotanya. Badan ini dapat terdiri atas ketua atau kepala persekutuan menurut tingkatnya
masing-masing.8
Kepengurusan dan pemerintahan persekutuan dalam masyarakat hukum adat dipengaruhi
oleh struktur masyarakatnya. Jalinan asal-usul terbentuknya masyarakat mempengaruhi struktur
kepemimpinan dalam suatu masyarakat hukum adat. Tegasnya, tinggi atau rendahnya bagian dari
struktur dalam pemerintahan suatu masyarakat hukum adat akan berbeda pada saerah satu dengan
daerah lainnya. 5
PEMBAHASAN
Hukum adat merupakan salah satu aturan hukum yang masih digunakan dalam proses
pewarisan. Proses pewarisan yang mengedepankan musyawarah sebagai landasannya merupakan
hal terpenting, agar keselarasan dan kerukunan dalam keluarga tetap terjaga. Pewarisan merupakan
salah satu proses yang dilalui dalam kehidupan keluarga. Pewarisan mempunyai arti dan
pemahaman sebagai salah satu proses beralihnya harta peninggalan pewaris kepada ahli warisnya.
Keberadaan ahli waris mempunyai kedudukan penting dalam proses pewarisan. Kedudukan ahli
waris, seperti janda harus dipenuhi haknya sebagai ahli waris dalam pembagian harta warisan.
Pengertian yang lazim di Indonesia pewarisan ialah perpindahan berbagai hak dan kewajiban
tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup. Secara
umum dalam setiap pewarisan disyaratkan memenuhi unsurunsur yang terdiri atas: (a) pewaris, (b)
harta warisan, dan (c) ahli waris. Pengertian pewaris sendiri dapat diartikan sebagai seorang
peninggal warisan yang pada waktu wafatnya meninggalkan harta kekayaan pada orang yang masih
hidup.
Ahli waris adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia yang
menggantikankedudukan pewaris. Sedangkan harta warisan menurut hukum adat adalah harta
pencaharian yaitu harta yang diperoleh semasa masa perkawinan dan harta bawaan.Proses
beralihnya harta peninggalan pewaris kepada ahli warisnya harus dilakukan sesuai ketentuan aturan
hukum yang berlaku, dengan tetap menjadikan musyawarah dan kesepakatan sebagai landasan
dalam pembagiannya. Keberadaan hukum waris adat sangat penting dalam proses pewarisan,
keberadaan hukum waris adat tersebut dapat dijadikan dasar dalam tatanan pembagian harta
warisan dalam keluarga. Pengertian hukum waris adat sendiri adalah aturan-aturan hukum yang
mengatur cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang
berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut. Keberadaan harta warisan dalam
hukum adat dapat materiil benda seperti tanah, dan perhiasan, serta dapat pula imateriil benda,
melainkan suatu nilai atau prestise, misalnya dalam hal ini adalah status jabatan, seperti status raja
maupun kepala adat.
Dalam adat melayu Siak sendiri masalah waris ini sangat berkaitan erat dengan hukum waris
yang ada di dalam agama islam, karena dalam adat melayu siak itu sendiri memiliki semboyan “adat
bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah” sehingga dalam pembagian harta warisan
yang terjadi dimasyarakat adat siak itu sendiri dijalankan dan diterapkan sesuai ketentuan mawaris
dalam hukum islam.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti Orang yang berhak
menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.9Di dalam bahasa Arab kata waris berasal
dari kata ورثا-ي رث- ورثyang artinya adalah Waris. Contoh, ورث اب اهyang artinya Mewaris harta
(ayahnya).
Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.dan
juga berbagai aturan tentang perpidahan hak milik, hak milik yang dimaksud adalah berupa harta,
seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain waris disebut juga
dengan fara‟id. Yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang
berhak menerimanya dan yang telah di tetapkan bagianbagiannya. Adapun beberapa istilah tentang
waris yaitu :
1. Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan. Ada ahli
waris yang sesungguhnya yang memiiki hubungan kekerabatan yang dekat akan tetapi tidak berhak
menerima warisan. Dalam fiqih mawaris, ahli waris semacam ini disebut ini disebut Zawil alarham.
Hak-hak Waris bisa ditimbulkan karenahubungan darah, karena hubungan perkawinan, dan karena
akibat memerdekakan hamba.10
2. Mawarrits, ialah orang yang diwarisi harta benda peninggalan. Yaitu orang yang
meninggal baik itu meninggal secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan), atau melalui keputusan
hakim. Seperti orang yang hilang (al-mafqud), dan tidak tahu kabar beritanya setelah melalui
pencaharian dan persaksian, atau tenggang 9Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia,.ed.3 .( jakarta: balai pustaka 2001)h.. 1386. 10Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris,
(Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005), h.4 10 waktu tertentu hakim memutuskan bahwa ia
dinyatakan meninggal dunia melalui keputusan hakim.
3. Al-Irts, ialah harta warisan yang siap dibagi kepada ahli waris sesudah diambil untuk
keperluan pemeliharaan zenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan utang, serta pelaksanaan wasiat.
4. Waratsah, ialah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda dengan
harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak bisa dibagi-bagi, karena menjadi milik kolektif
semua ahli waris.
5. Tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk
kepentingan pemeliharaan zenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiyat yang dilakukan oleh
orang yang meninggal ketika masih hidup.11
Dalam kewarisan Islam ada beberapa asas yang berkaitan dengan peralihan harta kepada
ahli warist, cara pemililkan harta oleh yang menerima kadar jumlah harta dan waktu terjdinya
peralihan harta. Asas-asas tersebut yaitu:
1. Asas Ijbari Asas Ijbari ialah pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada
ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Tanpa digantungkan kepada
kehendak pewaris dan ahli warisnya dan asas ini dapat dilihat dari berbagai segi yaitu:12
a. Dari segi pewaris, mengandung arti bahwa sebelum meninggal ia tidak dapat menolak
peralihan harta tersebut. Apa pun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya dibatasi
oleh ketentuan yang di tetapkan oleh Allah. Oleh karena itu sebelum meninggal Ia tidak perlu
memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadaphartanya, kerena dengan meninggalnya seseorang
secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya.
b. Dari segi peralihan harta, mengandung arti bahwa harta orang yang meninggal itu beralih
dengan sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa- 11Ibid, h.5 12Suhrawardi K. Lubis dan Komis
Simanjuntak, Hukum Waris Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika , Tahun 2008).h.39 11 sapa kecuali oleh
Allah. Oleh karena itulah kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta, bukan pengalihan
harta karena pada peralihan berarti beralih dengan sendirinya sedangkan pada kata pengalihan ialah
usaha seseorang.
c. Dari segi jumlah harta yang beralih, dari segi jumlah dapat dilihat dari kata “mafrudan”
secara etimologis berarti telah ditentukan atau telah diperhitungkan, kata-kata tersebut dalam
terminologi Ilmu Fikih, berarti sesuatu yang telah diwajibkan Allah kepadanya, yaitu berarti bagian
waris sudah ditentukan.
d. Dari segi penerima peralihan harta itu, yaitu bahwa penerima harta, dan mereka yang
berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti.
2. Asas Bilateral Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah
seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis keturunan
perempuan maupun keturunan laki-laki. Untuk lebih jelasnya asas bilateral in dapat dilihat dalam
surah an-Nisa ayat :7, dan 11. Dalam ayat 7 dijelaskan dikemukakan bahwa seorang laki-laki berhak
memperoleh warisan dari pihak ayahnya maupun ibunya. Begitu juga dengan perempuan mendapat
warisan dari kedua belah pihak orang tuanya.
3. Asas Individual Yang dimaksud asas individual ini adalah, setiap ahli waris (secara individu)
berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan demikian bagian
yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan semua harta yang telah menjadi
bagianya. Ketentuan ini dapat dijumpai dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7 yang secara
garis besar menjelaskan bahwa anak laki-laki 22 maupun prempuan berhak meerima warisan dari
orang tuanya dan karib kerabatnya, terlepas dari jumlah haran yang yang telah ditentukan .yang
mengemukakan bahwa bagian masing-masing ahli waris ditentukan.13 13Amir Syarifuddin, Hukum
Kewarisan Islam,( Jakarta: Prenada Media tahun 2004) h.21 12
4. Asas Keadilan Berimbang Yang dimaksud asas keadilan berimbang adalah keseimbangan
antara antara hak dengan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan
dan kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidak
menentukan dalam hak kewarisan.14
5. Kewarisan Akibat Kematian Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan
harta hanya semata-mata karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak
dapat beralih apabila belum ada kematian. Apabila pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak
dapat dilakukan dengan pewarisan.15
4. Sebab- Sebab Adanya Hak Kewarisan Dalam Islam.
Ada beberapa sebab dalam kewarisan dalam islam terkait hak seseorang mendapatkan
warisan yaitu hubungan kekerabatan dan hubngan perkawinan. Kedua bentuk hubungan itu adalah
sebagai berikut.
1. Hubungan Kekerabatan.
Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab ditentukan oleh adanya
hubungan darah, dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat adanya kelahiran, seorang
ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkannya dan si anak mempunyai
hubungan kekerabatan dengan kedua orang tuanya.
Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya ditentukan oleh adanya akad nikah
yang sah antara ibunya dengan ayahnya, dengan mengetagui hubungan kekerabatan antara ibu
dengan anaknya dan anak dengan ayahnya, dapat pula diketahui hungan kekerabatan ke atas yaitu
kepada ayah atau ibu dan seterusnya, kebawah, kepada anak beserta keturunanya. Dari hubungan
kerabat yang demikian, dapat juga diketahui struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris
bilamana seorang mninggal dunia dan meninggalkan harta warisan. Hubungan kerabata tersebut,
bila dianalisis pengelompokannya menurut Hazairin yang mengelompokannya kedalam tiga
kelompok ahli waris, yaitu dzawul faraid, dzawul qarabat dan 14Ibid h.24 15Ibid h.28 13 mawali.
Yang dimaksud mawali ialah ahli waris pengganti, atau dapat juga diartikan sebagai orang-orang
yang menjadi ahli waris dikarenakan tidak lagi penghubung antara mereka dengan pewaris.
Demikian pendapat ahlus sunna yang mengelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu dzawul faraid,
ashabah, dan dzawul arham.
2. Hubungan Perkawinan
Kaitan hubungan perkawinan dengan hukum kewarisan Islam, berarti hubungan perkawinan
yang sah menurut Islam. Apabila seorang suami meninggalkan harta warisan dan janda, maka istri
yang dinggalkan itu termasuk ahli warisnya demikian pula sebaliknya.
Al-Wala‟ adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan hamba sahaya, atau
melelui perjanjian tolong menolong. Untuk yang terakhir ini, agaknya jarang dilakukan jika malah
tidak ada sama sekali. Adapun al-wala‟ yang pertama disebut dengan wala‟ al-„ataqah atau
„ushubah sababiyah, dan yang kedua disebut dengan wala‟ al-mualah, yaitu wala‟yang timbul akibat
kesedihan seseorang untuk tolong menolong dengan yang lain melalui suatu 29 perjanjian
perwalian. Orang yang memerdekakan hamba sahaya, jika laki-laki disebut dengan al-mu‟tiq dan jika
perempuan al-mu‟tiqah. Wali penolong disebut maula’ dan orang yang ditolong yang disebut
dengan mawali. Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya adalah 1/6 dari harta
peninggalan. Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada hamba sahaya, maka
jawabanya adalah bahwa hapusnya perbudakan merupakan salah satu keberhasilan misi Islam.
Karena memang imbalan warisan kepada al-mu‟tiq dan atau al-mu‟tiqah salah satu tujuanya adalah
untuk memberikan motifasi kepada siapa saja yang mampu, agar membantu dan mengembalikan
hakhak hamba sahaya menjadi orang yang merdeka.
1. Perbudakan Seorang yang berstatus sebagai budak tidaklah mempunyai hak untuk
mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak menjadi milik tuannya
juga.
2. Perbedaan Agama.
Adapun yang dimaksud perbedaan agama ialah keyakinan yang dianut antara ahli waris dan
muaris (orang yang mewarisi) ini menjadi penyebab hilangnyahak kewarisan sebagaimana
ditegaskan dalam hadis Rasulullah dari Usama bin Zaid, diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu
Daud, AtTirmizi dan Ibn Majah. Yang telah disebutkan bahwa seorang muslim tidak bisa menerima
warisan dari yang bukan muslim. Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa hubungan antara
kerabat yang berbeda agama dalam kehidupan sehari-hari hanya nenyangkut hubungan sosial saja.
3. Pembunuhan
4. Berlainan Negara
Yang dimaksud dengan negara dalam hal ini ialah ibarat suatu daerah yang ditempat tinggali
oleh muarris dan ahli waris, baik daerah itu berbentuk kesultanan, kerajaan, maupun republik.
5. Murtad
Adapun yang dimaksud Murtad ialah orang yang keluar dari agama Islam, dan tidak dapat
menerima harta pusaka dari keluarganya yang muslim. Begitu pula sebaliknya.
1. Pewaris baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara
taqdiri.
2. Adanya ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta
penenggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab),atau ikatan pernikahan, atau
lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalankan pewaris baik
berupa uang, tanah.
Adapun syarat waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan. Rukun waris
dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu:
1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang, yang mewariskan
hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian seorangmuwaris
itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam:
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan
putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera
dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang
dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan
hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan
muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan
tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat 16 ulama
mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam
segi kemungkinannya.
c. Mati Taqdiry (mati menurut dugaan). Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah
kematian (muwaris) berdasarkan dugaan yang sangat kuat, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang
dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan
dugaan kuat kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.
Yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah
(nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya.
Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benar-benar dalam keadaan
hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga
syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu, antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling
mewarisi.
3. Al –Mauruts Adalah segala sesuatu harta benda yang menjadi warisan. Baik berupa harta
atau hak yang termasuk dalam kategori warisan.
a. Golongan ahli waris Adapun ahli waris dari kalangan dari kalangan laki-laki ada sepuluh
yaitu:
1) Anak laki-laki
7) Paman
8) Anak laki-laki 17
9) suami
10) Tuan laki-laki yang memerdekakan budak Ada tujuh ahli waris dari dari kalangan
perempuan
1) Anak perempuan
3) Ibu
4) Nenek
5) Saudara perempuan
6) Istri
7) Tuan wanita yang memerdekakan budak Ada lima ahli waris yang yang tidak perna gugur
mendapatkan mendapatkan hak waris
1) Suami
2) Istri
3) Ibu
4) Ayah
1) Anak laki-laki
3) Ayah
9) Paman
11)Jika Ashabah tidak ada, maka tuan yang memerdekakan budaklah yang mendapatkannya
1. Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separuh dari harta waris peninggalan pewaris
ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh
tersebut adalah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara
kandung perempuan dan saudara perempuan seayah.
2. Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta peninggalannya
hanya ada dua yaitu suami dan istri.
3. Seperdelapan
Dari sederet ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian warisan seperdelapan (1/8)
yaitu istri. Istri baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan
suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau rahim
istri yang lain.
Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga dari harta peninggalan pewaris ada
empat dan semuanya terdiri dari wanita:
5. Sepertiga
Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapat warisan sepertiga bagian hanya dua yaitu
ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
6. Seperenam
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam, ada tujuh orang.
Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak
laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Hukum adat merupakan salah satu aturan hukum yang masih digunakan dalam
proses pewarisan. Proses pewarisan yang mengedepankan musyawarah sebagai
landasannya merupakan hal terpenting, agar keselarasan dan kerukunan dalam
keluarga tetap terjaga. . Secara umum dalam setiap pewarisan disyaratkan memenuhi
unsurunsur yang terdiri atas: (a) pewaris, (b) harta warisan, dan (c) ahli waris. Dalam
adat melayu Siak sendiri masalah waris ini sangat berkaitan erat dengan hukum waris
yang ada di dalam agama islam, karena dalam adat melayu siak itu sendiri memiliki
semboyan “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah” sehingga dalam
pembagian harta warisan yang terjadi dimasyarakat adat siak itu sendiri dijalankan dan
diterapkan sesuai ketentuan mawaris dalam hukum islam.
2. Saran
Proses pembagian waris dalam adat melayu Siak merupakan suatu ketentuan
yang mengikuti kepada semboyan atau adat yang bersendikan syara’ dan syara’
bersendikan kitabullah” atau dalam proses pembagian seharusnya dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam hukum Islam. Karena proses pembagian warisan yang
dijalankan dapat sejalan dengan aturan-aturan yang sudah ada pada adat melayu Siak