Anda di halaman 1dari 15

KEARIFAN LINGKUNGAN

PADA MASYARAKAT SASAK

ABSTRAK
Budaya Indonesia sangat beragam dan merupakan aset dan kekayaan yang
harus dijaga dan dilestarikan. Salah satu budaya yang terkenal di Indonesia
yaitu Budaya Sasak yang berasal dari Nusa Tenggara Barat. Pada
masyarakat Sasak, kearifan lokal merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Kearifan local digunakan
untuk mengatur sistem sosial kemasyarakatan suku Sasak. Dalamkearifan
local terdapat nilai kearifan lingkungan yang didasarkan pada mitos dan
sistem kepercayaan. Kearifan lingkungan masyarakat suku Sasak
tercermin dari kebiasaan mereka untuk selalu menjaga lingkungan di
sekitarnya dan diwujudkan dalam berbagai ritual adat.
Kata Kunci: Suku Sasak, kearifan lokal, kearifan lingkungan

PENDAHULUAN
Indonesia, sebagai sebuah bangsa, terbentuk dari aneka kultur dan struktur
sosial yang berbeda-beda. Kebudayaan yang ada di Indonesia sangatlah beragam yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Setiap daerah di wilayah Indonesia pasti
memiliki kebudayaan tradisional masing-masing. Keaneka ragaman budaya yang ada
di Negara ini merupakan ciri khas dan kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia yang
perlu dijaga dan dilestarikan.
Budaya sangatlah berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Tidak
hanya berkaitan dengan hal-hal yang berbau seni dan adat istiadat saja namun budaya
juga dapat dilihat dari segi sosial, pola perilaku, bahasa, religi, dan hukum. Seiring
berkembangnya zaman budaya tradisional di masyarakat mulai terpengaruh oleh
perkembangan teknologi. Hal ini yang menyebabkan budaya yang ada di Indonesia
semakin punah dari generasi ke generasi.
Salah satu daerah yang masih kental akan kebudayaan tradisionalnya yaitu
Nusa Tenggara Barat. Dimana di daerah ini terkenal akan suku dan budaya Sasak.
Masyarakat di daerah tersebut kebanyakan menggunakan bahasa Sasak dalam
berkomunikasi. Bahasa Sasak yang berkembang di Lombok ternyata beragam. Hal ini
dapat dilihat dari dialeg maupun kosa katanya. Selain itu, baik budaya dan agama

disini juga sangat beragam. Komunitas agama yang ada di Suku Sasak mayoritas
beragama Islam, namun ada juga yang beragama Hindu, dan Kristen.
Suku bangsa Sasak memiliki adat istiadat yang kuat. Keteraturan hidup di
dalam lingkungan sosialnya terjaga dengan baik oleh ketaatan anggota masyarakat
melaksanakan berbagai nilai dan norma adat yang tertuang dalam adat istiadat
mereka. Oleh karenanya mereka kurang meminati masuknya modernisasi, yang
dianggap hanya akan menghilangkan tradisi-tradisi yang berharga, yang sangat
fungsional untuk menghadapi kondisi-kondisi yang ada dalam lingkungannya.
Dalam masyarakat suku Sasak dikenal istilah kearifan lokal dan kearifan
lingkungan. Kearifan local adalah bagaimana masyarakatan suku Sasak memegang
adat-istiadat mereka dalam kehidupan social sehari-hari. Adat yang sangat kental dan
kepatuhan mereka akan norma yang berlaku dapat menjaga keteraturan system social
kemayarakatan suku Sasak, bahkan di era modern sekalipun.
Cara berpikir orang Sasak lebih dikuasai sistem kepercayaan, begitu yakin jika
mereka memperlakukan sumber hidup tidak semestinya, maka akan mendatangkan
mala petaka atau bencana besar. Dengan demikian, mereka tidak sembarangan
menebang kayu atau pohon-pohon di hutan. Begitu pula di sumber air, dijaga dengan
sebaik-baiknya dengan cara mengirimkan sesajen pada waktu-waktu tertentu,
khususnya Malam Jum'at. Mereka juga memanfaatkan air sesuai dengan kebutuhan.
Sikap-sikap inilah yang disebut sebagai kearifan lingkungan suku Sasak. Sistem
kepercayaan suku Sasak menuntut masyarakat suku Sasak untuk selalu menjaga
lingkungan di sekitarnya.
SUKU SASAK
Pulau Lombok adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda kecil atau Nusa
Tenggara yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelah barat dan Selat
Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Dan Sasak merupakan suku asli pulau Lombok,
Nusa Tenggara Barat. Meskipun Lombok sangat dipengaruhi oleh budaya Bali yang
mayoritas memeluk agama Hindu Bali tetapi suku Sasak di Lombok mayoritas
memeluk Islam.
Etnis Sasak merupakan etnis mayoritas penghuni pulau Lombok, suku Sasak
merupakan etnis utama meliputi hampir 95% penduduk seluruhnya. Bukti lain juga
menyatakan bahwa berdasarkan prasasti tong-tong yang ditemukan di Pujungan, Bali.

Suku Sasak sudah menghuni pulau Lombok sejak abad IX sampai XI masehi. Kata
Sasak pada prasasti tersebut mengacu pada tempat suku bangsa atau penduduk seperti
kebiasaan orang Bali sampai saat ini sering menyebut pulau Lombok dengan gumi
Sasak yang berarti tanah, bumi atau pulau tempat bermukimnya orang Sasak.
Disamping bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, penduduk pulau
Lombok terutama suku Sasak, menggunakan bahasa Sasak atau bahasa asli mereka
sebagai bahasa utama dalam percakapan sehari-hari. Di seluruh Lombok sendiri
bahasa Sasak dapat dijumpai dalam empat macam dialek yang berbeda yakni dialek
Lombok utara , tengah, timur laut dan tenggara.
Mata pencaharian mereka berasal dari lahan pertanian, peternakan dan hanya
sebagian kecil saja yang mata pencahariannya berasal dari pariwisata. Mereka
bertanam padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedele,
maupun sorgum. Selain itu, mereka mengusahakan kebun kelapa, tembakau, kopi, dan
tebu. Peternakan merupakan mata pencaharian sampingan. Mereka beternak sapi,
kerbau, dan unggas. Mata pencaharian lain adalah usaha kerajinan tangan berupa
anyaman, barang-barang dari rotan, ukir-ukiran, tenunan, barang dari tanah liat,
barang logam, dan lain-lain. Kain tenun songket Sasak merupakan salah satu yang
terbaik dan sangat diminati oleh para wisatawan. Di daerah pantai mereka juga
menjadi nelayan.
Suku Sasak merupakan daerah yang memiliki sistem kemasyarakatan yang
terdiri dari pelapisan social dan system kekerabatan. Di daerah lombok secara umum
terdapat 3 Macam lapisan sosial masyarakat yaitu golongan ningrat, golongan
pruangse, dan Golongan Bulu Ketujur atau Masyarakat Biasa.
Yang kedua adalah sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan di Tolot-tolot
khususnya dan lombok selatan pada umumnya adalah berdasarkan prinsip Bilateral
yaitu menghitung hubungan kekerabatan melalui pria dan wanita. Kelompok terkecil
adalah keluarga batin yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan Anak.
Suku Sasak memiliki budaya dan adat istiadat yang berbeda dari suku atau
daerah lainnya, sehingga menjadikan suku Sasak termasuk suku atau daerah yang
memiliki budaya dan adat istiadat yang sangat unik.
Etnis Sasak merupakan salah satu suku yang tetap mempertahankan tradisi dan
adat tradisional bahkan di era modern seperti saat ini. Hal ini tercermin pada sikap
mereka yang memegang teguh system kepercayaan dan hukum adat. Namun, justru

dengan sikap demikian masyarakat Sasak dapat tumbuh menjadi suatu komunitas
yang memiliki nilai-nilai luhur yang saat ini sudah hampir punah di kalangan
masyarakat modern. Nilai-nilai luhur tersebut tidak hanya terbatas pada sikap mereka
terhadap satu sama lain, namun juga sikap mereka terhadap lingkungan di sekitarnya.

KEARIFAN LOKAL
Etnik Sasak adalah penganut kepercayaan adat yang sangat kuat dan fanatic.
System kepercayaan sebagai dasar filosofi hidupnya terlihat kental dalam praktek dan
tradisi hidup keseharian. Pada masyarakat Sasak, kearifan lokal merupakan hal yang
tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Kearifan local bahkan
digunakan untuk mengatur sistem sosial kemasyarakatan. Karenanya kehidupan
masyarakat Sasak dipenuhi aturan mengenai cara bermasyarakat yang arif lagi
bijaksana. Ini tercermin dari petuah orang-orang Sasak terdahulu yang masih
dipegang teguh hingga sekarang.
Kearifan local juga tercermin pada kehidupan sosial masyarakat. Menurut
Zulyani (1990), beberapa kearifan yang dimiliki masyarakat Sasak, yaitu: saling
jot/perasak (saling memberi atau mengantarkan makanan); pesilaq (saling undang
untuk suatu hajatan keluarga); wales/bales (saling balas silaturrahmi, kunjungan atau
semu kebaikan yang pernah terjadi); saling tembung/sapak (saling tegur sapa jika
bertemu atau bertatap muka antarseorang dengan orang lain dengan tidak
membedakan suku atau agama) dan saling saduq (saling mempercayai dalam
pergaulan dan persahabatan). Sikap-sikap tersebut apabila di transformasikan secara
utuh

akan

menimbulkan

kerukunan

dan

keharmonisan

dalam

kehidupan

bermasyarakat suku Sasak.


Kearifan lokal lain masyarakat suku Sasak adalah mereka masih berpegang
teguh pada hukum adat atau warga sering menyebutnya awig-awig. Awig-awig adalah
suatu bentuk aturan hukum tradisional baik tertulis atau tidak yang dibuat oleh
anggota secara mufakat sebagai pedoman bagi tingkah laku masing-masing anggota.
Selain awig-awig, juga terdapat istilah krama. Sejak masa lampau etnis Sasak telah
mengenal tentang wadah yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat

mereka dan tempat mereka mencari rujukan untuk menetapkan sanksi atas terjadi
pelanggaran dalam tata pergaulan komunitasnya. Wadah itulah yang disebut krama.
Menurut Ismail dkk (2009) krama, yaitu institusi adat yang memayungi
kearifan local, terdiri dari dua macam: karma sebagai lembaga adat dan karma
sebagai aturan pergaulan social. Krama sebagai lembaga adat dibagi menjadi tiga
tingkatan. Krama tingkat paling rendah adalah karma banjar urip pati yang hanya
beranggotakan kelompok-kelompok masyarakat dalam suatu dusun atau desa.
Tingkatan selanjutnya adalah karma gubuk, beranggotakan seluruh masyarakat dalam
suatu desa tanpa terkecuali. Tingkatan paling tinggi adalah karma desa, yaitu majelis
adat tingkat desa. Krama desa memiliki fungsi seperti pengadilan negeri daerah.
Krama desa memiliki hierarki kekuasaan tersendiri, terdiri dari Pemusungan (Kepala
Desa Adat), Juru Arah (Pembantu Kepala Desa), Lang-Lang Desa (Kepala Keamanan
Desa), Jaksa (Hakim Desa), Luput (Koordinator Kesejahteraan Desa), dan Kiai
Penghulu.
Krama sebagai aturan pergaulan sosial dibagi menjadi tiga bagian, yaitu titi
karma, bahasa karma, dan aji karma. Titi krama, merupakan adat yang diatur awigawig sebagai hasil kesepakatan adat dari seluruh rnasyarakat adat. Jika dilanggar,
dikenakan sanksi sosial atau sanksi moral seperti adat bejiran (bertetangga), adat
nyangkok (menginap di rumah pacar). Bahasa krama, merupakan budi pekerti, sopan
santun atau tata tertib adat yang diatur dalam awig-awig adat yang harus dilakukan
dengan bahasa lisan dan bahasa tubuh yang santun dan tertib, dilakukan dengan penuh
tertib-tapsila. Dalam bahasa krama terdapat beberapa kaidah dan tata bahasa yang
termuat dalam kearifan lokal masyarakat Sasak, antara lain: tata bahasa, indit
bahasa, rangin bahasa, paribahasa. Aji krama, merupakan harga adat komunitas atau
juga harga status sosial seseorang atau nilai martabat kekerabatannya seseorang yang
terkait dengan hak adat dalam komunitas, baik dalam lingkungan keluarga maupun
dalam lingkungan masyarakat adat secara umum. Aji krama ini mencerminkan
pengakuan terhadap status sosial sesorang dalam masyarakat. .
Nilai-nilai kearifan lokal dalam komunitas Sasak yang tinggi dan sangat cocok
diterapkan dalam kehidupan dewasa ini dan di masa depan, terdapat dalam ungkapan
bahasa yang dipegang teguh dalam pergaulan, yang berwujud peribahasa dan pepatah
sebagai perekat pergaulan masyarakat Sasak. Dalam komunitas Sasak diistilahkan
dengan sesenggak.

Sesenggak, yaitu ungkapan bahasa tradisional yang berbentuk peribahasa dan


pepatah sebagai perekat pergaulan masyarakat Sasak. Dalam ajaran sesenggak banyak
terkandung ajaran-ajaran dan nilai-nilai kearifan tradisional, seperti mengajarkan
tentang ketuhanan, pendidikan, moral, hukum dan sebagainya. Beberapa contohnya
antara lain: adeqta/adeqte tao jauq aiq, maknanya bahwa dalam suatu perselisihan
atau pertengkaran yang sedang terjadi dan memanas, kita harus mampu menjadi
pendingin; dan besual/besiaq cara anak kemidi, maknanya boleh saja kita
berselisih pendapat, tetapi tidak boleh menyimpan dendam.
Masyarakat suku Sasak menjadikan adat-istiadat, kepercayaan, bahkan petuah
leluhur sebagai filosofi hidup mereka. Nilai-nilai luhur tersebut tidak hanya mengatur
kehidupan social masyarakat Sasak, namun juga turut berperan menciptakan kearifan
lingkungan masyarakat Sasak. Nilai kearifan local dalam sistem kepercayaan secara
tidak langsung telah membentuk sikap kepedulian lingkungan

pada masyarakat

Sasak.

KEARIFAN LINGKUNGAN
Kearifan lingkungan masyarakat suku Sasak tercermin dari kebiasaan mereka
untuk selalu menjaga lingkungan di sekitarnya. Sikap ini didasari dari filosofi hidup
mereka, yang memegang teguh adat istiadat dan system kepercayaan. Bagi orang
Sasak, hidup di dunia ini sifatnya sementara. Untuk itu maka setiap orang haruslah
selalu berbuat baik. Manusia harus mengikuti adat istiadat yang berlaku, selalu
memberikan sajian kepada arwah leluhur yang menjaga desa dan tempat-tempat
tertentu.
Orang Sasak relatif tidak terlalu mengejar materi dan keduniawian. Menurut
anggapan mereka, apa yang dialami sekarang sudah cukup. Oleh karena itu sikap
hidup yang mewarnai mereka adalah pasrah terhadap nasib. Dengan demikian setiap
yang dihasilkan mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan biologis dan menunaikan
tugas-tugas sosialnya ataupun kewajiban-kewajiban ritualnya. Rejeki yang diperoleh
sebagai hasil kerja mereka, sebagian harus dikorbankan untuk tujuan-tujuan
memenuhi adat istiadat mereka, serta keperluan pemujaan kepada arwah leluhur.

Sebab menurut anggapan mereka, rejeki itu bukan semata-mata karena prestasi
mereka, tetapi berkat kemurahan dari Tuhan dan pertolongan arwah leluhur yang
memelihara tempat-tempat tertentu. Tempat-tempat tertentu dianggap mempunyai
kekuatan sakti dan ditempati oleh mahluk harus yang harus dipuja dan dihormati,
seperti hutan, pohon-pohon besar, sumber air dan sebagainya, yang semuanya
merupakan sumber kehidupan bagi orang Sasak, yang selalu harus dijaga dan diolah
untuk kebutuhan mereka.
Suatu hal yang dipedomani mereka secagai cara untuk selalu menjaga
keserasian hubungan dengan lingkungannya. Hutan yang dianggap memiliki penghuni
tidak sembarang bisa dimasuki apalagi dtebangi pohon-pohonnya. Begitu pula sumber
air dan sumber daya alam lainnya sangat dipercaya dapat mendatangkan musibah
apabila tidak diperlakukan dengan baik, karena tempat-tempat tersebut ada
penghuninya. Mereka membutuhkan air untuk hidupnya, karenanya sumber-sumber
air harus selalu dijaga dengan baik. Berbagai ketentuan, pantarangan atau tabu
tersebut harus dipatuhi. Peran tabu dan aturan (awig-awig) tersebut dapat
mengendalikan tindakan pemanfaatan sumber daya alam agar tidak merusak, tamak
dan tidak mencemari.
System kepercayaan pada masyarakat Sasak telah menjaga lingkungan dan
alam di sekitar mereka. Namun, system kepercayaan yang mereka anut tidak hanya
terbatas dari mitos masyarakat saja. Kepercayaan mereka terhadap petuah leluhur juga
turut melahirkan sikap kearifan lingkungan. Petuah yagn terkenal dalam masyarakat
Sasak adalah Solah mum gaweq, solah eam daet, bayoq mum gaweq bayoq eam daet.
Petuah ini memiliki arti Baik yang dikerjakan maka akan mendapat kebaikan dan
buruk yang dikerjakan maka akan mendapatkan keburukan. Masyarakat suku Sasak
memahami bahwa seluruh alam raya diciptakan untuk digunakan oleh manusia dalam
melanjutkan evolusinya, hingga mencapai tujuan penciptaan. Kehidupan mahlukmahluk Tuhan saling terkait. Bila terjadi gangguan yang luar biasa terhadap salah
satunya, maka mahluk yang berada dalam lingkungan hidup akan ikut terganggu pula.
Dalam petuah tersebut jelas terlihat bahwa perusakan terhadap alam dan
lingkuran merupakan hal yang bersifat tabu. Perusakan terhadap alam akan sangat
berpengaruh terhadap makhluk hidup di sekitarnya. Masyarakat susu Sasak tidak
hanya mengaplikasikan nilai kearifan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.

Kearifan lingkungan masyarakat suku Sasak juga diwujudkan dalam berbagai tradisi
adat. Beberapa diantaranya adalah tradisi malelang, menjango, dan bau nyale.

KEARIFAN LINGKUNGAN DALAM TRADISI MASYARAKAT SASAK


Tradisi Malelang
Pola pengelolaan lingkungan bagi orang Sasak masih sangat dipengaruhi oleh
system pengetahuan dan kepercayaan yang diwariskan secara turun temurun. Mereka
memiliki system pengetahuan tentang gejala-gejala alam, perhitungan waktu yang
baik untuk melaksanakan suatu kegiatan, dan sebagainya.
Bagi orang Sasak, keberhasilan panen tidak terlepas dari sikap dan prilaku
mereka yang selalu menghormati dan memanjakan lingkungan alamnya. Keberhasilan
panen inipun disyukuri mereka dalam berbagai bentuk upacara dan atraksi, salah
satunya adalah maleang. Sampai saat ini kebiasaan mempertunjukkan malenag tetap
hidup dan berkembang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan para
petani Sasak.
Malelang merupakan tradisi yang berkembang menjadi permainan rakyat.
Cara berpikir orang Sasak yang lebih dikuasai sistem kepercayaan, begitu yakin jika
mereka memperlakukan sumber hidup tidak semestinya, maka akan mendatangkan
mala petaka atau bencana besar. Sebagai contohnya pandangan yang melatarbelakangi
pengolahan sawah. Bahwa tanah pertanian itu harus dianggap sakral, oleh karenanya
alat pertanian yang digunakan harus yang telah ditentukan oleh sistem kepercayaan
yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Sawah hanya boleh diinjak-injak oleh
sapi atau kerbau pada waktu pembajakan dan garu.
Dengan demikian para petani Sasak masih mengerjaan lahan pertanian secara
tradisional. Para petani juga mengerjakan lahan secara gotong royong. Jika tanah
sudah mulai rata, para petani yang sedang bergotong royong tersebut biasanya lalu
memacu sapinya di tanah yang berlumpur. Ternyata berpacu di tanah berlumpur dan
berair ini menimbulkan kegembiraan. Ini dirasakan bukan saja oleh para pelakunya,
tetapi juga oleh orang-orang yang menyaksikan. Keadaan seperti itulah kemudian
berkembang menjadi permainan maleang hingga sekarang. Akhirnya Maleang

dijadikan sebagai permainan rakyat yang dapat diselenggarakan oleh setiap lapisan
masyarakat, khususnya petani.
Tanah yang diolah dengan menggunakan sapi ini lebih gembur dari pada jika
diolah dengan traktor. Oleh karena itulah para petani Sasak tidak berniat akan alih
teknologi untuk pengerjaan lahan pertaniannya. Kualitas tanah dapat dipertahankan
hingga beberapa generasi berikutnya. Pengetahuan masyarakat yang masih sederhana,
menganggap teknologi baru hanyalah akan membawa masalah baru bagi sumber daya
yang tersedia. Oleh karenanya mereka tetap bertahan untuk melanjutkan warisan
leluhur mereka dengan mengerjakan lahan pertanian secara tradisional.

Tradisi Menjango
Masyarakat suku Sasak mengenal tradisi menjango, yaitu datang melihat areal
yang layak atau tidak layak untuk usaha pertanian, ini sama dengan kegiatan survei.
Menjango merupakan penentuan lahan yang digarap, diberi tanda (pengajiran) agar
tidak digarap orang lain. Lantas menentukan hari baik untuk mengerjakannya dengan
mengacu pada uriga (kalender) atau pranata mangsa. Proses ini mirip pemetaan lahan.
Bukak tanak (membuka tanah), menggarap lahan, atau tahap pengolahan dan
penanaman.
Upaya konsevasi juga terlihat dari istilah yang diberikan pada pohon yang
dalam pertumbuhannya memerlukan jangka waktu relatif lama dan bernilai ekonomis
tinggi. Umpamanya, julukan prabu nangka untuk kayu nangka, batara suren pada
kayu suren dan tumenggung jati bagi kayu jati. Julukan itu simbolisasi kegiatan
konservasi, mengingat kayu suren yang berbau harum,, kayu jati yang harganya mahal
ternyata menjadi buruan banyak orang.
Tradisi menjango dapat mengendalikan kegiatan pembukaan hutan secara
berlebihan. Tidak semua ruang termasuk hutan dapat diperuntukkan untuk kegiatan
produksi maupun lokasi permukiman. Dengan demikian secara tidak disadari, bahwa
dengan sendirinya telah terbangun ruang-ruang konservasi yang tidak boleh
dieksploitasi.

Tradisi Bau Nyale

Tradisi bau nyale merupakan upacara adat yang diadakan satahun sekali oleh
masyarakat suku Sasak. Upacara ini dilakukan dengan menangkap nyale atau cacing
laut. Meski demikian, maksud upacara Bau Nyale bukan sekedar untuk memperoleh
nyale saja. Akan tetapi mereka ingin memperoleh ke selamatan dan kesejahteraan,
terutama yang berhubungan dengan upacara memohon kesuburan tanaman padi yang
baru selesai di tanam, dengan harapan akan memperoleh hasil panen yang baik pada
tahun yang bersangkutan. Perkiraan, panen yang akan di perolehnya akan segera
tergambar pada warna nyale yang keluar pada tahun itu. Menurut kepercayaan
mereka, panen padi akan melimpah bila warna putih, hitam, gading, kuning dan
coklat. Kelengkapan warna itu juga menunjukan pula/pertanda akan banyak turun
hujan sesudah Nyale.
Dengan tetap dipertahankannya tradisi Bau Nyale ini, dengan sendirinya
masyarakat akan menjaga lingkungan di sekitar pantai, sehingga tidak tercemar oleh
sampah atau kotoran. Apalagi bila sudah tiba musim hujan. Polusi dan bibit penyakit
akan bertebaran apabila lingkungan di sekitar pantai tidak dijaga dengan baik.
Kearifan masyarakat setempat tercermin dalam upaya masyarakat memelihara
dan melestarikan tradisi Bau Nyale yang dikaitkan dengan kesuburan. Hasil panen
padi akan melimpah bila warna nyale yang keluar pada tahun yang bersangkutan
lengkap. Itu sebenarnya memiliki arti bahwa nyale atau cacing tersebut sebenarnya
dapat menyuburkan tanah. Sehingga tanah tempat menanam padi tersebut menjadi
subur maka dengan sendirinya akan menghasilkan panen yang baik pula. Bahkan
setiap keluarga berusaha mendapatkan uang untuk membeli nyale untuk kesuburan
tanamannya.
Sebenarnya kepedulian penduduk terhadap lingkungan sudah ada sejak dulu,
semenjak kehidupan nenek moyang mereka. Aspek lingkungan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kelangsungan kehidupan manusia seperti yang dilakukan
oleh masyarakat Sasak. Dengan adanya upacara Bau Nyale pada masyarakat Sasak,
maka tanpa disadari masyarakat telah memelihara lingkungan secara arif.

PENUTUP
Suku Sasak merupakan suku yang sangat kental akan nilai adat, tradisi, dan
kepercayaan. Suku Sasak memiliki nilai-nilai luhur yang merupakan warisan budaya

dari generasi-generasi pendahulunya. Nilai-nilai kearifan lokal dalam komunitas


Sasak terkandung dalam petuah leluhur, hukum adat atau awig-awig, krama, dan
sesenggak atau peribahasa. Nilai-nilai luhur tersebut kemudian menjadi kearifan local
masyarakat Sasak dan digunakan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat mereka.
Dalam kearifan local masyarakat Sasak ternyata juga terkandung nilai kearifan
lingkungan. Kearifan lingkungan tersebut tercipta dari berbagai mitos dan petuah
yang diyakini masyarakat Sasak sebagi sesuatu yang sakral. Kearifan lingkungan
masyarakat Sasak tidak hanya terwujud dalam kehidupan sehati-hari, namun juga
diwujudkan dalam berbagai tradisi adat. Beberapa diantaranya adalah tradisi
malelang, menjango, dan bau nyale.
Melalui tradisi maleang ternyata dapat menciptakan rasa kesetiakawanan
sosial, meningkatkan etos kerja, pengembangan usaha ternak sapi, serta peningkatan
hasil panen. Sedangkan tradisi menjango dapat mengendalikan kegiatan pembukaan
hutan secara berlebihan. Tidak semua ruang termasuk hutan dapat diperuntukkan
untuk kegiatan produksi maupun lokasi permukiman. Dengan demikian secara tidak
disadari, bahwa dengan sendirinya telah terbangun ruang-ruang konservasi yang tidak
boleh dieksploitasi. Kemudian dengan adanya upacara Bau Nyale pada masyarakat
Sasak, secara tidak langsung masyarakat telah memelihara lingkungan secara arif.
Nilai kearifan lingkungan masyarakat Sasak merupakan hal yang bersifat
tradisional. Alam dan lingkungan justru terjaga berkat sikap masyarakat Sasak yang
tidak menerima modernisasi. System kepercayaan yang mereka anut membuat
masyarakat Sasak secara tidak sadar selalu menjaga lingkungan di sekitarnya.
Nilai kearifan lingkungan masyarakat Sasak seharusnya dapat diterapkan
pada masyarakat modern. Sikap masyarakat modern yang cenderung acuh terhadap
lingkungan akan menimbukan kerusakan alam secara perlahan-lahan. Dengan
menerapkan nilai kearifan lingkungan kepada masyarakat modern diharapkan dapat
mengubah perspektif masyarakat modern. Lingkungan dan alam tidak lagi dipandang
sebagai sesuatu yang remeh, namun sebagai hal penting yang harus terus dijaga
kelestariannya.

DAFTAR RUJUKAN
Ismail, M. Sukardi, dan Suud Surachman. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran
IPS Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sasak : Kearah Sikap dan
Berprilaku Berdemokrasi Siswa SMP/MTs, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran
Jilid 42, Nomor 2, Juli 2009, Singaraja : Undiksha
Hidayah, Zulyani. 1990. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2009. Bunga Rampai Kearifan Lingkungan.

KEARIFAN LINGKUNGAN PADA


MASYARAKAT SASAK

OLEH:
DESINTA NUR L.
(105060100111005)
RIZKI A. T. CAHYANI
(105060100111025)
NIKEN NURDIANI
(105060101111018)
TIARA GEA N.
(105060100111029)
IMANUDDIN
(105060100111040)
SOFYAN SAURI
(105060101111018)
ADITYA W.
(115060107111007)
MOCH. FACHRUR R.(115060100111016)

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN SIPIL

TUGAS I

TEKNIK PONDASI

OLEH:
NAMA
NIM
NO. ABSEN

: RIZKI A. T. CAHYANI
: 105060100111025
: 19

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN SIPIL

Anda mungkin juga menyukai