SUKU SASAK
Untuk lebih memantapkan hubungan yang harm onis
penuh santun dalam berkomunikasi di tengah komunitas,
ungkapan perasaan harus disampaikan dengan bahasa
yang santun, sesuai dengan rasa Bahasa Sasak, dengan
memperhatikan:
a. Tata/titi basa, yaitu tata bahasa yang sesuai dengan
kaidah Bahasa Sasak yang benar. Dalam
pengungkapan pikiran, isi hati dan pendapat,
hendaknya menggunakan bahasa yang baik dan benar,
tidak menimbulkan salah makna dan salah tafsir. Hal
ini untuk menghilangkan ketersinggungan seseorang
akibat pengungkapan bahasa yang tidak benar.
b. Indit basa, yaitu penggunaan bahasa sesuai dengan
tingkatan status atau kedudukan sosial seseorang, baik
berdasarkan umur maupun jabatan dalam masyarakat.
Lawan bicara yang dihormati karena pangkat dan
jabatannya, harus disapa dengan menggunakan kata-
kata atau kalimat yang mengandung penghormatan.
c. Ragin basa, yaitu penggunaan kata yang mempunyai
makna lebih dari satu. Penggunaanya harus sesuai
dengan posisi lawan bicara.
d. Pribahasa, yaitu ungkapan-ungkapan bahasa yang
berbentuk sesenggak (pribahasa) sesimbing
(perumpamaan, sindiran), penerem (perumpamaan
penegas), yang jika digunakan dengan tepat dapat
menyejukkan pergaulan serta m enghindari
ketersinggungan.
Aktualisasi nilai-nilai dan bahasa karama adat tersebut
dilakukan dalam pelaksanaan upacara dan acara-acara
adat, baik adat urip atau pati, seperti pada acara sangkep
majelis adat, sorong serah aji krama dan lain-lain.
Beberapa model adat tersebut antara lain :
a. Adat krama seperti dalam upacara adat sorong serah
aji krama sebagai rangkaian dari adat perkawinan
Sasak yang berkaitan dengan penyepakatan harga
adat.
b. Adat gama, yaitu pelaksanaan adat yang berkaitan
dengan ajaran atau petunjuk agama, seperti adat
nikahang (adat pernikahan) adat nyunatang (adat
khitanan), adat ngurisan (adat cukuran), aqiqah dan
lain-lain.
c. Adat luar gama, yaitu adat yang berkaitan dengan
aturan hukum komunitas Sasak setempat yang
didasarkan pada awig-awig yang sudah disepakati
bersama. Seperti tata cara memilih kiai penghulu,
mangku adat, menghukum pencuri, menghukum orang
berzinah atau pasangan yang haram nikah, dan
sebagainya.
d. Adat tapsila, yaitu adat yang berlaku dalam pergaulan
dan hubungan komunikasi.
Misalnya adat bertamu, adat midang (bertandang ke
rumah pacar), adat menyilaq (adat mengundang) dan
lain-lain, serta adat lain yang berkaitan dengan sopan
santun, tata tertib dalam pergaulan.
Dalam menegakkan adat tapsila, nilai-nilai moral yang
harus dikedepankan adalah :
a. Moral kepatutan, seperti: bender lomboq (lurus hari,
jujur), las, rela (ikhlas, rela), polos (polos, jujur),
wanen (berani karena benar), dana, darma (murah
hati, dermawan), jamaq-jamaq (sederhana, rendah
hati), solah (bagus, damai), bagus perateq (baik hati),
periyak aseq (belas kasihan), wiring, malu ilaq (punya
rasa malu), sabar (sabar), meserah (tawakal),
nyandang, onang (sesuai, pantas), kenaq, patut jati
(benar dan patut), cumpu (setuju), teger (berketetapan
hati), teguq (kuat memegang prinsip).
b. Moral etika patuh dan ketuhan/ disiplin yang
tercermin dalam ungkapan trasna (kasih sayang), bekti
(berbakti), rema (kebersamaan, tenggang rasa
kegotong royongan), adung (mufakat), ra’i (tenggang
rasa), tao (bijaksana, kebijaksanaan memegang
prinsip).
Sebaliknya orang Sasak Islam tidak pernah mempengaruhi
para pendatang (minoritas) yang non Islam untuk
berpindah agama menjadi Islam. Masing-masing pemeluk
melakukan ibadah dengan tenang dan damai sesuai
kepercayaan dan agama masing-masing. Dengan demikian
telah terbentuk kebiasaan seluruh masyarakat untuk
hidup bersama. Kebiasaan-kebiasaan tersebut dibangun
dan dipelihara bersama-sama di tengah masyarakat tanpa
memandang agama, ideologi, adat, budaya dan kebiasaan
sehari-hari. Hal itu tercermin dalam bentuk-bentuk
kearifan lokal sebagai berikut:
Selain dari empat “saling” di atas, perekat silaturrahmi
komunitas Sasak juga berbentuk hubungan
kemasyarakatan/kekerabatan yang intensitasnya tidak
sekuat empat saling diatas, yaitu:
a. Saling jangoq, yaitu silaturrahmi saling menjenguk
jika ada diantara sahabat sedang mendapat atau
mengalami musibah seperti sakit, kecelakaan dan lain-
lain. Dalam kesempatan seperti itu, yang menjenguk
datang membawa kaluq-aluq (buah tangan) berupa
makanan, buah-buahan, minyak tanah dan lain-lain,
atau paling tidak, ucapan do’a dan rasa simpati.
b. Saling Bait, yaitu saling mengambil dalam adat
perkawinan, asalkan antara kedua calon keluarga dan
mempelai terjalin hubungan yang setara, yang disebut
kupu (setara, kesetaraan) dalam tingkat sosial,
ekonomi, ciri-ciri dan sifat fisik, terutama kufu dari
soal keyakinan agama. Jika tidak kufu, maka secara
adat dan agama, penyelesaian dilakukan secara
sepihak oleh pihak laki-laki. Hal ini dimaksudkan agar
keluarga pihak perempuan (karena dianggap
melanggar awig-awig adat) tidak dikucilkan secara
adat oleh komunitas, sehingga perdamaian akan
terjadi secara alami dalam waktu yang relatif sama.
c. Saling Wales/bales, yaitu saling berbalas kunjungan
atau semu budi (kebaikan), hal ini terjadi karena
kedekatan persahabatan antara semeton Sasak dan
batur Bali atau dengan suku dan agama lain. Ketika
saling bales ada buah tangan yang dibawa oleh yang
melakukan kunjungan, yang disebut pejambeq
(bawaan), umumnya berupa ayam dan ditambah hasil
sawah atau kebun yang sedang dipanen.
d. Saling Saduq, yaitu percaya mempercayai dalam
pergaulan dan persahabatan, terutama sesama Sanak
(saudara) Sasak dan antara orang Sasak dengan batur
luah (non Sasak).
e. Saling Pekiling/Saling Peringet, yaitu saling
mengingatkan satu sama lain dengan tulus hati antar
kerabat atau sahabat demi kebaikan bersama.
a. Perjodohan
Perjodohan merupakan sistem perkawinan pada
masyarakat Sasak asli, walaupun pada perkembangannya
ada anggapan dari banyak pihak bahwa kedatangan Bali
telah melahirkan akulturasi antara budaya asli dan
pendatang dari sistem perjodohan ke merariq (kawin lari).
[2] Padahal sesungguhnya merariq merupakan salah satu
dari model asli pernikahan pada masyarakat Sasak,
sebagai salah satu alternatif ketika sistem melamar
(memadiq) tidak berjalan. Sistem perjodohan pada
masyarakat Sasak memang cenderung bersifat patriarkhi,
yaitu lebih memberikan keleluasaan dan keutamaan pada
anak laki-laki untuk memilih pasangannya.
Beberapa pola perkawinan pada masyarakat Sasak adalah:
1. Memadiq, disebut juga melamar. Orang kebanyakan
menyebutnya belakoq (meminta). Di masa lampau,
memadiq ini dilakukan hanya pada satu rumpun yang
pertalian darahnya terlahir dari satu buyut, yaitu
saudara sepupu dari laki-laki dan dari rumpun garis
perempuan. Misan atau sepupu satu tidak dibenarkan
melakukan memadiq. Tetapi dapat dilakukan bila
kedua keluarga melakukan musyarakat mufakat.
2. Melaiq, dapat disebut juga selarian. Merariq berasal
dari kata Ariq (adik, maka merariq bisa juga dikatakan
sebagai memperadik). Jika seorang wanita disebut
Ariq (dalam perkawinan) maka seorang wanita sudah
sanggup dianggap adik. Merarik merupakan pola
alternatif bagi orang yang tidak diizinkan oleh keluarga
untuk melakukan memadiq[3].
3. Perondong, yaitu sistem perjodohan yang dilakukan
atas dasar hubungan kekeluargaan antara keluarga
pihak perempuan dengan laki-laki yang telah menjalin
hubungan percintaan. Dari hubungan ini orang tua
kedua belah pihak telah setuju dan berkehendak
menjodohkan keduanya. Sistem perjodohan ini
biasanya dilakukan ada satu rumpun keluarga dari
pihak laki-laki.
4. Peruput, yaitu sistem perjodohan untuk menutup
atau menangani aib keluarga bila hubungan percintaan
seorang anak sudah tidak terkontrol. Labih-lebih bila
seorang wanita telah hamil duluan. Dengan dasar itu
maka ditempuhlah sistem perjodohan dengan sistem
peruput ( perjodohan yang didasari atas adanya
masalah pada salah satu diantara kedua calon
mempelai).
5. Meneken, merupakan cara perjodohan yang
dilakukan dengan cara pihak perempuan memberikan
selembar tikar dan sebuah bantal kepada laki-laki yang
telah menjalin hubungan cinta dengannya. Pemberian
kedua simbol tersebut berarti pihak laki-laki diminta
untuk menikahi calon mempelai perempuan.
6. Ngukuh/Ngekeh, dilakukan dengan cara pihak laki-
laki beserta keluarganya mendatangi pihak perempuan
dengan membawa pisau kecil (Sasak: maje) atau
pelocok (tempat menumbuk sirih) meminta untuk
dinikahkan karena sudah lama menjalin hubungan
percintaan.
7. Murugul, dilakukan dengan cara yang nista yaitu bila
laki-laki memperkosa perempuan yang notabene
adalah pacarnya sendiri, hal ini disebabkan waktu
pacaran yang cukup lama akan tetapi pihak
perempuan tidak bersedia untuk menikah. Langkah
pemerkosaan ini ditempuh agar pihak perempuan
merasa terikat dan tidak menolak bila diajak kawin.
8. Kawin Tadong, yaitu sistem perkawinan yang
dilakukan dengan menjodohkan seorang anak
semenjak belum akil balig. Sistem perkawinan ini
sebagai bentuk rasa syukur sebuah keluarga karena
telah dianugerahkan anak perempuan oleh Yang Maha
Kuasa. Dalam pelaksanaanya, Sistem ini biasa
dilakukan oleh keluarga dari kaum bangsawan,
hartawan dan perkanggo lainnya.
9. Kawin Gantung, sistem perkawinan ini dilakukan
untuk mengantisipasi bila dimungkinkan ada orang
lain yang menyukai anak perempuannya, sementara si
orang tua sudah memiliki calon bagi anaknya.
Perkawinan yang sebenarnya akan dilakukan pada saat
kedua belah pihak telah sama-sama sepakat tentang
waktu dan caranya. Tetapi sebelum itu (selama masa
kawin gantung), kedua belah pihak biasanya diberikan
kebebasan untuk melanjutkan studi atau
pekerjaannya.
A. Cara-Cara Penyelesaian Urusan Perkawinan
[3] Merariq (melarikan diri) dalam gramatika Sasak merupakan kata kerja yang secara
umum dimaknai sebagai tindakan melarikan gadis. Proses ini dianggap sebagai prosesi
awal pernikahan. Tetapi terhadap istilah ini pun terdapat interpretasi beragam, ada
yang memaknainya sebagai proses melarikan diri (dengan kesepakatan kedua
pasangan), ada juga yang dimengerti sebagai tindakan “mencuri” (Sasak - memaling)
seorang gadis dari pengawasan orang tua dan lingkungan sosialnya. Prosesi merariq
pada masyarakat Sasak dilaksanakan dalam lima tahap tindakan (aksi), yaitu: pertama,
kedua pasangan melarikan diri; Kedua, Besebo (bersembunyi), di mana gadis yang
sudah dilarikan disembunyikan di rumah keluarga atau kerabat calon suami; Ketiga,
mesejati, yaitu tindakan pemberitahuan kepada pihak keluarga gadis oleh orang utusan
dari pihak laki-laki tentang pencurian anak gadisnya dan bahwa mereka berencana
menikah; Keempat, pembicaraan antar dua keluarga pasangan berkaitan dengan
besarnya mahar (maskawin) dan biaya prosesi lainnya yang disebut selabar. Selanjutnya
proses Kelima adalah proses sorong serah dan nyongkolang.
Sorong serah merupakan upacara adat yang melibatkan pemuka adat kampung dan
aparat pemerintahan desa guna penyelesaian persoalan-persoalan adat yang timbul dari
perkawinan tersebut. Pada prosesi inilah dapat dipertanyakan signifikansi nikah dalam
Islam, karena proses pernikahan cara Islam merupakan persoalan kecil dibandingkan
dengan proses sorong serah yang menyangkut soal material, menyangkut semua
keluarga dan institusi adat kampung yang ada. Sedangkan nyongkolang merupakan
prosesi di mana pasangan pengantin datang ke rumah orang tua pengantin perempuan
dengan diringi rombongan arak-arakan dan musik gamelan Sasak (bila ada) guna
penerimaan dan pemberian restu atas perkawinan tersebut. Prosesi ini dalam beberapa
kesatuan adat kampung di Lombok sering dilakukan setelah pernikahan Islam
dilaksanakan. Lihat: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat Istiadat Daerah
Nusa Tenggara Barat, (Jakarta: Proyek pengkajian Nilai-Nilai Budaya Pusat, CV. Eka
Dharma,
1997), Edisi II, hlm. 161-170. Lihat Juga Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Adat
Istiadat Perkawinan Di Lombok, (Lombok: Proyek Inventarisasi Dan Pembinaan Nilai-
Nilai Budaya, 1991. Bandingkan dengan John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim,
Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 217.