Anda di halaman 1dari 32

FILOSOFI HUBUNGAN SOSIAL

SUKU SASAK

A. Postur Budaya Sasak

Kebudayaan Sasak terwujud dari percampuran antara


kebudayaan penduduk asli (penghuni pulau Lombok
sebelum kedatangan migran dari Jawa), dengan
kebudayaan Jawa, Bali, dan Melayu Islam (Cederroth:
1981, Bartholomew: 1999, Ecklund: 1976). Dengan
kata lain, kebudayaan Sasak berkaitan dengan sebuah
sistem yang kompleks. Mengenai hal ini tampak jelas pada
bahasa, adat, tata nilai, busana, sistem kepercayaan,
beberapa tradisi dan kebiasaan, juga terlihat pada nama-
nama orang dan tempat, ragam kesenian, permainan
rakyat, dan lain-lain.
            
Sejarah panjang penguasaan oleh berbagai etnis di
Lombok sejak abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-20,
telah menghasilkan akulturasi budaya yang cukup luas.
Kondisi ini melahirkan permasalahan-permasalahan
budaya bagi etnis Sasak. babak sejarah penguasaan oleh
berbagai etnis tersebut telah mempengaruhi rancang
bangun budaya Sasak dan melahirkan bias pada
pembentukan karakter (caracter building)
masyarakatnya. Namun demikian, pengalaman pahit
sejarah tersebut tidak sampai berimbas pada postur utama
kebudayaan yang menjadi lemah, dan mental masyarakat
yang mudah putus asa. Corak kebudayaan Sasak lebih
banyak dibentuk oleh pilar etika dan moral sehingga
membentuk satu corak kebudayaan yang bersahaja dan
penuh tatakrama.
       
Pengalaman panjang penguasaan oleh etnis lain di
samping melahirkan beberapa kelemahan, ternyata juga
melahirkan hal-hal yang positif. Dalam pergaulan dan
hubungan kemanusiaaan dengan orang lain, misalnya.
Masyarakat Sasak selalu mengedepankan moral kepatutan
dan kepatuhan. Misalnya melalui moral dan sikap
“bender, lomboq” (lurus, jujur), las, reda (ikhlas, rela
dalam memberi), wanen (berani karena benar), dana-
darma (dermawan, murah hati kepada siapa saja), jamaq-
jamaq (rendah hati, sikap sederhana), solah bagus
perateq (suka damai, baik hati, cepat baik, tidak
pendendam),periak-asek (belas kasihan), sabar (cepat
mengalah), rema(tenggang rasa yang
tinggi), gerasaq (ramah-tamah), teguq (kuat memegang
janji) dan sebagainya.
           
Contoh nyata dalam keseharian masyarakat misalnya
ketika tradisibetemoe (bertamu), tuan rumah tidak akan
menanyakan agama sang tamu. Yang ditanyakan adalah
seputar asal-muasal. Selanjutnya tuan rumah
menawarkan “makan” sembari dalam waktu singkat
disuguhkan penginang (tempat, wadah kapur sirih),
dan lanjaran(rokok) dengan gerasak (ramah). Kemudian
menyusul sajian air minum dan sedaq (makanan kecil
berupa masakan ringan dengan jajan, biji-biji atau buah).
Tradisi seperti ini dilakukan orang Sasak dengan sikap
yang tindih, yakni dilakukan wajar dan tidak dibuat-buat,
rapi dan teratur menurut adat.
         
Kearifan budaya tradisional-lokal (local knowledge, local
indigenous) adalah manifestasi dari kedalaman
pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tradisional
dalam memanfaatkan sumber alam dan lingkungan untuk
mewujudkan hidup yang harmonis. Kearifan budaya
(cultural wisdom) adalah suatu terminologi yang
diberikan bagi keluhuran nilai-nilai maupun sistem
kehidupan leluhur di masa lampau, yang tebukti secara
signifikan masih survive dan memberikan nilai-nilai dasar
bagi era kekinian. Nilai-nilai ini semestinya bisa
diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat
secara teguq (kuat dan utuh), bender atau lomboq (lurus
dan jujur),patut (benar) tuhu (sungguh-sungguh)
dan trasna (penuh rasa kasih atau sayang).
          
Dalam penataan hidup yang harmonis di tengah
masyarakat, kearifan tradisional masih dirasakan
mempunyai keampuhan dan keunggulan. Hal ini terlihat
jelas misalnya dalam pergulan sehari-hari masyarakat
Islam-Sasak Hindu Bali dan yang masih tradisional di
khususnya di Dusun Tratak-Desa Batu Kumbung, Dusun
Karang Bayan- Desa Segerongan (Kecamatan Lingsar),
Dusun Suranadi-Desa Selat, Dusun Sesaot- Desa
Sesaot  (Kecamatan Narmada), juga di Desa Bilebante,
Ubung dan Mantang di Lombok Tengah, serta di banyak
tempat lain. Kedua kelompok etnis dan agama yang
berbeda ini hidup berdampingan penuh kedamaian dan
harmoni sejak ratusan tahun yang lalu. Hubungan sosial
diatur oleh krama banjardan dan awig-awig desa.
          
Dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat Hindu Bali
dengan masyarakat Sasak- Islam, menggunakan bahasa
Sasak halus dengan fasih[1]. Karena menurut tuntunan
adat pergaulan harus dilandasi oleh saling menghormati
(Sasak: saling ajinin). Ini ditunjukkan dengan
digunakannya bahasa halus, dibarengi sikap merendah, di
mana segala ucapan disampaikan dengan nada rendah,
lebih-lebih terhadap orang lain yang baru dikenal.
            
Kitab Kotaragama (kotara berarti wilayah, gama berarti
aturan atau hukum) adalah suatu kitab hukum dan aturan
adat etnis Sasak. Dalam kitab itu disebutkan bahwa setiap
pelanggaran adat dapat dikenai sanksi adat
berupa dedosan (denda adat) dan juga dikenai hukuman
moral atau sosial. Dedosan dapat berupa kepeng tepong
(uang bolong) yaitu uang Cina zaman dahulu. Dalam
prosesnya, bila kepeng tepong tidak ada maka dapat
diganti dengan mata uang yang sedang berlaku.
Sedangkan hukuman moral atau sosial antara lain dapat
berupa pengucilan keluar kampung atau desa yang dalam
istilah adat disebut teselong.
            
Sementara dalam konteks institusi kebudayaan,
kebudayaan Sasak mengalami permasalahan utama pada
terputusnya peran dan fungsi instansi pedesaan yang
berbasis budaya lokal, sebagai dampak dari munculnya
institusi baru yang bersifat sentralistik akibat kuatnya
peran birokrasi yang mengabaikan otonomi desa yang
berbasis adat.
            
Sisa-sisa institusi adat yang masih hidup seperti krama
banjar sebagai salah satu bentuk pekraman adat (aturan
adat) di perkampungan dan pedesaan kemudian dianggap
kurang praktis dan kurang fungsional untuk menjawab
tantangan perkembangan peradaban modern di masa
mendatang.
           
Bersamaan dengan itu, muncul berbagai institusi-institusi
non-formal berbasis agama di pedesaan, seperti kelompok
pengajian/majelis ta’lim, kelompok wiridan, hizib, zikir
khusus, kelompok arisan dan lain-lain. Akan tetapi
institusi-institusi tersebut hanya menata pola hubungan
kemasyarakatan secara internal, hanya dalam lingkup
kepentingan yang sangat terbatas. Bahkan ketika
maraknya pertumbuhan partai politik, institusi tadi
cenderung hanya “dimanfaatkan” sebagai basis politik.
Padahal sesungguhnya bila dilakukan revitalisasi dan
rekonstruksi, institusi-institusi lokal tersebut memiliki
potensi untuk mampu membangun harmonisasi
hubungan sosial dalam memperteguh hubungan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Disamping itu, kecenderungan melemahnya citra budaya


daerah menyebabkan ekspresi budaya daerah pada
berbagai event budaya menjadi tidak representatif
mewakili komunitas dan budaya Sasak. Hal ini disebabkan
oleh sikap masyarakat Sasak sendiri yang cepat
terpengaruh oleh budaya luar, meskipun yang kurang
baik. Sebagai akibatnya, beberapa permasalahan budaya
lokal yang menyeruak saat ini antara lain:
1. Landasan etik, seperti adat tapsila (budi pekerti,
sopan santun), adat krama (aturan, hukum, norma
adat) tidak lagi dianut dan dipatuhi secara ajeg dan
konsekuen untuk merepresentasikan etika ke-Sasak-
an.
2. Lembaga adat “pekraman” hampir tidak lagi
melembaga dalam masyarakat Sasak. Begitu juga
halnya dengan awig-awig adat (aturan-aturan adat)
sudah tidak lagi menjadi pegangan normatif dalam
masyarakat.
3. Proses sosioalisasi tentang kearifan tradisional
melalui pendidikan formal dan non- formal tidak lagi
berjalan sistematis, efektif dan berkelanjutan.
Demikian juga prakteknya secara langsung maupun
tidak langsung relatif sangat kurang. Media sosialisasi
dan pengkomunikasian kearifan tradisional dalam
bentuk puwaran (dongeng atau cerita rakyat), perilaku
adat (adat krama, adat agama, adat tapsila) tidak
banyak dilakukan oleh orang tua, guru dan tokoh adat.
Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan para
orang tua, guru, tokoh adat dan bahkan tokoh agama
tentang kearifan budaya lokal. Penerapan adat yang
benar dan patut, sesungguhnya tidak bertentangan
dengan agama, malah mendukung pelaksanaan ajaran
agama, terutama dalam pembinaan hubungan
mu’amalah sesama manusia.

B. Lembaga Adat Sasak


           
Untuk menjalankan dan menegakkan adat yang dianut
masyarakat Sasak, di masa lampau dikenal beberapa
pranata adat yang disebut krama. Untuk lebih solidnya
pelaksanaan tugas dari krama, diperkokoh dengan
pembentukan desa adat, yang dikelola dengan struktur
organisasi yang dipimpin oleh pemusungan (kepala desa),
kliang (kepala kampung/dusun), lang-lang desa/dusun
(pamswakarsa), serta juru arah (pembantu khusus
pemusungan atau kliang). Semua aturan disepakati
sebagai awiq-awiq adat.
          
Krama, secara bahasa, selain berarti “masyarakat” juga
dapat berarti adat istiadat, tingkat laku, aturan dan
hukum. Bahkan dalam arti yang lebih luas, krama berarti
pula suatu majelis, perkumpulan atau paguyuban.
Berkaitan dengan pekraman adat urip-pati (krama adat
hidup dan mati), etnis Sasak mengenal beberapa bentuk
krama yaitu:

1.   Krama Banjar, yaitu suatu kelompok adat atau


perkumpulan masyarakat adat yang anggotanya terdiri
dari penduduk di suatu kampung atau dusun (Sasak:
dasan), atau yang berasal dari beberapa desa, yang
keanggotaannya mempunyai tujuan yang sama.
Anggota-angggota banjar dapat saja terdiri dari
keturunan yang sama, satu kelompok atau satu agama.
Perkumpulan adat yang keanggotannya homogen, atau
karena adanya hubungan sosiologis dan emosional atas
dasar pada kepentingan bersama disebut juga krama
banjar urip-pati, yaitu suatu banjar yang menyeleng-
garkan urusan orang hidup dan orang yang mati.
Tempat pertemuan para anggota banjar disebut bale
banjar yaitu rumah tempat pertemuan berwujud
balairung atau berugaq sekenem atau sekewalu (balai-
balai bertiang enam atau delapan). Krama banjar
dikoordinir oleh kliang atau seorang penoaq (pemuka)
lainnya, ditambah seorang atau lebih petugas
perlengkapan banjar. Krama banjar urip-pati, sesuai
kepentingan masyarakat adat setempat dan berbentuk:
     Krama Banjar Subak, adalah perkumpulan para
petani penggarap sawah atau pengguna air irigasi
yang berada dalam wilayah subak tertentu,
misalnya pada daerah teritorial bendungan
tertentu. Anggotanya disebut sekeha subak, yang
berkewajiban membayar upah bagi pekasih
(petugas pengatur air) dengan seikat padi atau
lebih, sesuai luas tanah garapan maisng-masing.
Kewajiban lain adalah bergotong royong
membersihkan dan memperbaiki salurah kokoh
(sungai), telabah (parit), pengempel (cek dam),
tembuku (pintu air) dan lain-lain. Termasuk juga
bergotong royong melakukan selametan pengempel
atau kenduri setelah selesainya pekerjaan-
pekerjaan tersebut. Anggota sekeha banjar subak
bersifat heterogen secara etnis dan agama.
Kepentingan utama banjar ini adalah berkaitan
dengan urusan irigasi sawah. Pada krama ini dapat
terpatri rasa persaudaraan yang tinggi.
    Krama Banjar Merariq, yaitu banjar pemuda yang
membentuk kelompok untuk mengadakan arisan
perkawinan. Uang iuran anggota banjar diberikan
untuk membantu anggota banjar yang menikah.
     Krama Banjar Mate, yaitu perkumpulan untuk
saling membantu anggota yang ditimpa musibah
kematian. Iuran anggota dapat berupa kain kafan
putih, uang belasungkawa, serta barang-barang
lain yang dapat membantu kebutuhan keluarga
yang ditinggal mati.
    Krama Banjar Haji, yaitu perkumpulan untuk
kepentingan berhaji, dengan pola yang sama
seperti mendapat dana haji dari iuran anggota yang
terkumpul. Anggota krama ini juga bergotong-
royong membantu penyelenggaraan persiapan
keberangkatan, seperti membuat tetaring (semcam
terop), melaksanakan adat zikir dan do’a bersama
di rumah calon haji. Termasuk juga mengantar dan
menjemput anggota pada saat berangkat dan
kembali dari Mekkah.

2.   Krama Gubuk, yaitu suatu bentuk krama adat yang


beranggotakan seluruh masyarakat dalam suatu
kampung atau dusun, tanpa kecuali. Artinya bahwa
keanggotaan krama ini tidak membedakan orang dan
kepentingan khususnya, asalkan secara adat dan
administratif merupakan penduduk sah di gubuk
tersebut. Unsur pimpinan krama gubuk bisa berbeda-
beda pada tiap kampung (dasan, dusun), tetapi
umumnya terdiri dari kliang adat (kepala dusun), juru
arah (pembantu kliang yang bertindak sebagai
penghubung gubuk), lang-lang (kepala keamanan).
Kiai, penghulu gubuk, mangku gubuk (pemangku adat)
juga penaoq gubuk (para tetua kampung) yang lain.
Juga termasuk penaoq agama (tokoh agama) seperti
para tuan guru dan ustadz yang bertempat tinggal di
dalam gubuk.
           
Di Bayan, Lombok Barat bagian utara, yang menjadi
anggota majelis krama gubuk adalah para toaq
lokaq/mangku. Sementara di Tanjung dan Gangga,
pekasih (petugas pembagi air irigasi) dan mangku
pengalas (pawang hujan), selain sebagai sebagai tetua
Majelis Krama Subak juga termasuk tetua Majelis
Krama Desa.

3.   Krama Desa, yaitu majelis adat tingkat Desa, terdiri


dari pemusungan (kepala Desa adat), juru arah
(pembantu kepala Desa), lang-lang Desa (kepala
keamanan Desa), jaksa (hakim Desa), luput
(koordinator kesejahteraan Desa), kiai-penghulu.
            
Khusus di Bayan, majelis adat disebut gegundem, dengan
pimpinan inti terdiri dari kiai ketip (kitab), lebe (lebai),
modim, dan kiai santri (kiai pembantu). Sementara
anggota lainnya meliputi para toaq lokaq/mangku adat
dan mangku gubuk. Dalam hal ini yang termasuk toaq
lokaq atau mangku adat adalah: lokaq pelawangan,
pemomong, penyunat gumi, gantungan rombong, kliang
adat, walin gumi, pande, penguban, pengontas, perumbaq,
gedeng lauq, pejambeq gedeng daye, pemangku timuk
orong, pemangku bat orong, dan pemangku karang salah.
          
Ke depan, kemungkinan dapat terbentuk krama adat yang
lebih luas wilayahnya. Kemungkinan bentuknya adalah :
1. Krama paer, yaitu sebuah krama yang mewilayahi
beberapa desa adat dalam suatu wilayah setingkat
Kecamatan.
2. Krama gumi paer, yaitu krama pada wilayah setingkat
kabupaten atau lebih luas          

Dalam operasionalnya, krama ini dapat membuat


kesepakatan adat dalam bentuk awig-awig (aturan) yang
memuat aturan-aturan normatif dan hukum adat yang
wajib ditaati setiap anggota masyarakat adat Sasak. Setiap
pelanggaran terhadap awig- awig, dikenai sanksi adat
berupa dedosan (denda-denda adat dalam bentuk uang,
ternak, dan lain-lain). Selain itu, ada juga sanksi sosial
atau sanksi moral berupa dengan tidak diurusnya
kepentingan adat si pelanggar. Misalnya, dalam hal-hal
yang berkaitan dengan upacara atau acara adat gawe
(pesta), daur hidup dan kematian (gawe urip dan gawe
pati). Sementara hukuman fisik diberikan dalam bentuk
pengucilan dari masyarakat, diusir keluar kampung atau
desa. Tindakan pengusiran seperti ini disebut selong.
Selain sebagai hukuman badan, pengucilan (selong) juga
dimaksudkan sebagai hukuman moral.
            
Krama sebagai sebuah norma sosial dalam pergaulan
hidup atau dalam hubungan muamalah sesama manusia
dapat berbentuk:
a.   Tata atau titi krama, yaitu adat yang diatur awig-
awig sebagai hasil kesepakatan adat dari seluruh
masyarakat adat. Jika dilanggar akan dikenai sanksi
sosial atau sanksi moral. Tata krama ini antara lain
menyangkut adat midang (bertamu dirumah pacar)
adat liwat (melewati halaman rumah orang lain), adat
betemoe (adat bertamu) dan lain-lain.
b.   Basa Krama, yaitu budi pekerti, sopan santun atau
tata tertib adat yang diatur dalam awig-awig adat.
Krama ini mengatur cara berkomunikasi yang harus
dilakukan dengan bahasa lisan dan sikap tubuh yang
santun, tertib dan sepenuh hati (tertib- tapsila).
Terutama terhadap orang yang dihormati dan dihargai
karena umur dan kedudukannya (yang muda lebih
menghormati yang tua, rakyat menghormati
pimpinannya) dan lain-lain.
c.   Aji Krama, yaitu harga adat suatu komunitas, atau
harga status sosial seseorang, atau nilai martabat
kekerabatan seseorang dalam komunitas, baik dalam
lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan
masyarakat adat secara umum. Besar kecilnya nilai
adat atau aji karama itu terungkap dalam ketentuan
adat perkawinan, sorong serah aji krama.
            
Menyepakati aji krama berarti menghargai kedudukan
atau martabat seseorang atau komunitas dalam
masyarakat adat. Dengan kesepakatan itu terciptalah
lingkungan hidup bermasyarakat yang harmonis.

            
Untuk lebih memantapkan hubungan yang harm onis
penuh santun dalam berkomunikasi di tengah komunitas,
ungkapan perasaan harus disampaikan dengan bahasa
yang santun, sesuai dengan rasa Bahasa Sasak, dengan
memperhatikan:
a.   Tata/titi basa, yaitu tata bahasa yang sesuai dengan
kaidah Bahasa Sasak yang benar. Dalam
pengungkapan pikiran, isi hati dan pendapat,
hendaknya menggunakan bahasa yang baik dan benar,
tidak menimbulkan salah makna dan salah tafsir. Hal
ini untuk menghilangkan ketersinggungan seseorang
akibat pengungkapan bahasa yang tidak benar.
b.   Indit basa, yaitu penggunaan bahasa sesuai dengan
tingkatan status atau kedudukan sosial seseorang, baik
berdasarkan umur maupun jabatan dalam masyarakat.
Lawan bicara yang dihormati karena pangkat dan
jabatannya, harus disapa dengan menggunakan kata-
kata atau kalimat yang mengandung penghormatan.
c.   Ragin basa, yaitu penggunaan kata yang mempunyai
makna lebih dari satu. Penggunaanya harus sesuai
dengan posisi lawan bicara.
d.  Pribahasa, yaitu ungkapan-ungkapan bahasa yang
berbentuk sesenggak (pribahasa) sesimbing
(perumpamaan, sindiran), penerem (perumpamaan
penegas), yang jika digunakan dengan tepat dapat
menyejukkan pergaulan serta m enghindari
ketersinggungan.
       Aktualisasi nilai-nilai dan bahasa karama adat tersebut
dilakukan dalam pelaksanaan upacara dan acara-acara
adat, baik adat urip atau pati, seperti pada acara sangkep
majelis adat, sorong serah aji krama dan lain-lain.
Beberapa model adat tersebut antara lain :
a.   Adat krama seperti dalam upacara adat sorong serah
aji krama sebagai rangkaian dari adat perkawinan
Sasak yang berkaitan dengan penyepakatan harga
adat.
b.  Adat gama, yaitu pelaksanaan adat yang berkaitan
dengan ajaran atau petunjuk agama, seperti adat
nikahang (adat pernikahan) adat nyunatang (adat
khitanan), adat ngurisan (adat cukuran), aqiqah dan
lain-lain.
c.   Adat luar gama, yaitu adat yang berkaitan dengan
aturan hukum komunitas Sasak setempat yang
didasarkan pada awig-awig yang sudah disepakati
bersama. Seperti tata cara memilih kiai penghulu,
mangku adat, menghukum pencuri, menghukum orang
berzinah atau pasangan yang haram nikah, dan
sebagainya.
d.  Adat tapsila, yaitu adat yang berlaku dalam pergaulan
dan hubungan komunikasi.
            
Misalnya adat bertamu, adat midang (bertandang ke
rumah pacar), adat menyilaq (adat mengundang) dan
lain-lain, serta adat lain yang berkaitan dengan sopan
santun, tata tertib dalam pergaulan.
Dalam menegakkan adat tapsila, nilai-nilai moral yang
harus dikedepankan adalah :
a.   Moral kepatutan, seperti: bender lomboq (lurus hari,
jujur), las, rela (ikhlas, rela), polos (polos, jujur),
wanen (berani karena benar), dana, darma (murah
hati, dermawan), jamaq-jamaq (sederhana, rendah
hati), solah (bagus, damai), bagus perateq (baik hati),
periyak aseq (belas kasihan), wiring, malu ilaq (punya
rasa malu), sabar (sabar), meserah (tawakal),
nyandang, onang (sesuai, pantas), kenaq, patut jati
(benar dan patut), cumpu (setuju), teger (berketetapan
hati), teguq (kuat memegang prinsip).
b.   Moral etika patuh dan ketuhan/ disiplin yang
tercermin dalam ungkapan trasna (kasih sayang), bekti
(berbakti), rema (kebersamaan, tenggang rasa
kegotong royongan), adung (mufakat), ra’i (tenggang
rasa), tao (bijaksana, kebijaksanaan memegang
prinsip).

C. Hubungan Sosial dalam Bingkai Kearifan


Tradisional
            
Dalam kitab Negarakertagama, sebuah kitab Hukum dan
Pemerintahan kerajaan Majapahit yang ditulis oleh Empu
Prapanca, pada pupuh 14 tertulis sebutan untuk Pulau
Lombok adalah “Lombok Mirah Sasak Adi” yang makna
bebasnya: “Kejujuran adalah permata kenyataan yang
utama”. Karena itu, tau Sasak (orang Sasak) yang
menghuni Lombok atau Gumi Selaparang, pada dasarnya
dalam pergaulan hidupnya mengedepankan sifat dan
tingkah laku yang lomboq yang bermakna lurus atau jujur.
           
Jika kemudian lahir tingkah laku yang bertentangan
dengan makna filosofis lomboq, hal itu disebabkan
semata-mata karena penetrasi pengaruh dari etnis dan
bangsa lain secara bergantian, selama hampir dua
setengah abad. Dimulai sejak kedatangan Suku Bugis dari
kerajaan Gowa/Bone, disusul dengan masuknya
cengkeraman kerajaan Gelgel-Bali dan seterusnya, sampai
dengan berakhirnya pendudukan bangsa Nippon (Jepang)
pada tahun 1945.
           
Secara administratif Lombok Mirah meliputi wilayah
Lombok Barat, mulai dari batas Sungai Dodokan di dekat
Pemepek, ke arah barat sampai pantai selatan Lombok.
Sedangkan dari Kokoq Dodokan (Sungai Dodokan) ke
arah timur sampai pantai selatan Alas termasuk wilayah
administratif Sasak Adi.
          
Sejiwa dengan makna filosofis dari sebutan Lomboq Mirah
Sasak Adi, terdapat beberapa bentuk “kearifan tradisional”
dalam hubungan kemasyarakatan, yang sudah tumbuh
lama dalam menciptakan suasana hidup yang harmonis
antara sesama manusia dan juga lingkungannya. Misalnya
(dalam pergaulan sehari-hari), masyarakat Sasak
menyebut sahabat/kawan sebagai batur seperti batur Bali,
Jawa, Ambon, Batak dan batur Kristen, sedang sebaliknya,
sahabat dari suku Bali dan suku lain (non-Sasak),
memanggil orang Sasak dengan panggilan semeton
(saudara).
          
Dalam interaksi sosial antar kelompok masyarakat
(terutama antar orang Sasak dengan Bali), telah terjadi
proses akulturasi dan adaptasi sistem nilai yang satu
dengan lainnya. Pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi
adalah individu antar warga. Masing- masing membawa
sistem nilai sendiri-sendiri, sehingga interaksi sosial yang
berlangsung pada hakekatnya adalah interaksi berbagai
sistem budaya yang secara aktual terekspresi ke dalam
berbagai bentuk perilaku positif.
          
Dari pergaulan hidup yang telah berlangsung ratusan
tahun, orang Sasak dan orang Bali di Lombok, telah terjadi
empati dan saling menghargai perbedaan di antara
mereka, tetapi harus tetap dapat hidup bersama,
berdampingan dalam kedamaian. Keyakinan damai dalam
masyarakat majemuk akan dikekalkan, manakala
golongan minoritas diakui keberadannya, dihormati
keyakinan agamanya oleh golongan mayoritas. Sebaliknya
golongan minoritas harus menghargai keberadaan dan
hak kelompok mayoritas secara profesional sebagai
pemukim terdahulu dan terbanyak.
     
Minoritas dalam masyarakat Sasak ialah kelompok nukan
(non) Sasak. Ada minoritas Hindu-Bali, Kristen, etnis
Tionghoa dan kelompok migran/pendatang lainnya.
Selama ini kelompok minoritas diperlakukan sebagai
tetangga dengan sikap baik. Hidup dan bekerjasama
dalam segala hal, tetapi tidak dalam hal agama. Selama ini
kelompok minoritas telah mengetahui dan memahami
budaya Sasak. Baik umat Hindu maupun Kisten, tidak
pernah secara eksklusif dan terbuka menyebarkan agama
mereka.

            
Sebaliknya orang Sasak Islam tidak pernah mempengaruhi
para pendatang (minoritas) yang non Islam untuk
berpindah agama menjadi Islam. Masing-masing pemeluk
melakukan ibadah dengan tenang dan damai sesuai
kepercayaan dan agama masing-masing. Dengan demikian
telah terbentuk kebiasaan seluruh masyarakat untuk
hidup bersama. Kebiasaan-kebiasaan tersebut dibangun
dan dipelihara bersama-sama di tengah masyarakat tanpa
memandang agama, ideologi, adat, budaya dan kebiasaan
sehari-hari. Hal itu tercermin dalam bentuk-bentuk
kearifan lokal sebagai berikut:

1.  Hubungan Sosial Kemasyarakatan.


            
Dalam hubungan sosial kemasyarakatan, khususnya
dalam hubungan kekerabatan dan persahabatan,
masyarakat Sasak mengenal empat “saling” yang dapat
diangkat sebagai pengikat tali silaturrahmi, yaitu:
a.   Saling Perasak, yaitu saling memberi atau
mengantarkan makanan. Termasuk pemberian kepada
masyarakat/kerabat yang berbeda agama. Pemberian
ini sebagai wujud penghormatan terhadap kerabat
Hindu, Budha ataupun Nasrani, demikian pula
sebaliknya kerabat Hindu, Budha ataupun Nasrani,
setelah selesai mengadakan hajatan atau merayakan
hari raya tertentu, misalnya Ngaben, Galungan,
Natalan, Tembru (tahun baru imlek), pesta
perkawinan dan sebagainuya, mereka akan
mengantarkan makanan kering berupa jajan dan buah-
buahan kepada kerabat atau sahabatnya orang Sasak
yang beragama Islam.
b.   Saling Pesilaq, yaitu saling undang untuk suatu
hajatan keluarga, misalnya dalam upacara perkawinan,
potong gigi, ngaben dan lain-lain. Jika yang
mengundang sahabat Hindu, maka undangan Sasak
atau Non-Sasak lainnya, oleh yang punya hajatan
(handowe karya) disipkan bahan-bahan mentah
berupa beras, lauk-pauk (baik berbentuk daging halal
maupun non-daging, termasuk bumbu-bumbunya), di
tambah kelapa, minyak kelapa, serta kayu bakar.
Sedangkan wadah untuk makan, perlengkapan masak-
memasak juga ditinggal (dititipkan) sebagai tanggung
jawab. Yang punya hajatan akan hadir juga untuk
menemani (nenemin) acara santapan sebagai
penghormatan dan wujud kebersamaan kepada tamu
undangan. Akan tetapi jika hajatan diselenggarakan
oleh sahabat Islam, undangan dari sahabat Hindu Bali
dan non-Islam lainnya, menerima dengan senang hati
semua sajian yang dipersiapkan menurut adat Sasak
Islam.
c.    Saling Laiq/ Saling Ayo (saling kunjungi), yaitu
saling layat jika ada kerabat/ sahabat yang meninggal.
Jika sahabat Islam yang meninggal, maka sahabat
Hindu atau non-Islam lainnya akan datang melayat,
sekalipun tidak diberitahu secara resmi, lebih-lebih
jika ada permakluman. Pelayat Hindu akan datang
membawa pelangar (bawaan berupa beras atau uang
dalam wadah adat berupa bokor perak almunium).
Bahkan yang laki-laki ikut mengantarkan jenazah ke
tempat pemakaman, tetapi mereka cukup mengantar
sampai di luar batas halaman kuburan, kecuali jika
dipersilahkan masuk. Akan tetapi jika ada sahabat
Hindu atau non-Islam lainnya meninggal, sahabat
Sasak Islam akan datang melayat cukup sampai di
rumah duka saja. Tetapi jika turut mengantar jenazah
sampai ke sema (pekuburan hindu) tidak dilarang,
asalkan kehendak dari pelayat sendiri. Saling
laiq/saling ayo, diartikan juga sebagai saling kunjung
mengunjungi. Tanpa harus saling undang secara resmi.
Kebiasaan saling kunjung mengunjungi ini sudah
merupakan kebiasaan, lebih-lebih jika pemukiman
antar komunitas Sasak dan Bali saling berdekatan. Jika
tamu Islam yang datang ke rumah sahabat Hindu,
kalau ada suguhan, umumnya tidak akan disajikan
makanan basah berupa nasi dan lauknya, kecuali jika
dipesankan di warung atau restoran Islam. Biasanya,
jajan yang disajikan menggunakan wadah, untuk
setiap orang ditaruh di tempat tersendiri pada lepekan
atau wadah lain yang kecil. Tidak akan terjadi dalam
satu piring dipergunakan bersama. Akan tetapi jika
sahabat Hindu Bali yang bertamu ke tempat sahabat
Sasak Islam, akan tersajikan apa adanya menurut adat
Sasak. Pada saat kepulangannya, baik yang bertamu
orang Sasak Islam maupun Hindu Bali, maka sang
tamu biasanya akan diberikan buah tangan yang
disebut kaluq- aluq yang berupa tanaman buah-
buahan di sekitar rumah.
d.  Saling ajin/saling lilaq, yaitu saling menghormati
atau saling menghargai di dalam persahabatan dan
pergaulan. Jika ada rombongan pengantin yang
diiringi gamelan atau tabuhan kesenian lainnya, begitu
melewati kampung komunitas Hindu Bali, hanya suara
tabuhan yang terdengar, dan tidak akan keluar
tepukan emosional. Sebaliknya, jika rombongan
tabuhan gamelan Bali yang mengikuti prosesi ngaben
atau pejagrayan melewati pemukiman/kampung
komunitas Sasak, maka tabuhan spontan dihentikan,
lebih-lebih jika sedang berbarengan dengan waktu
sholat. Itulah wujud saling menghormati antar umat.

            
Selain dari empat “saling” di atas, perekat silaturrahmi
komunitas Sasak juga berbentuk hubungan
kemasyarakatan/kekerabatan yang intensitasnya tidak
sekuat empat saling diatas, yaitu:
a.   Saling jangoq, yaitu silaturrahmi saling menjenguk
jika ada diantara sahabat sedang mendapat atau
mengalami musibah seperti sakit, kecelakaan dan lain-
lain. Dalam kesempatan seperti itu, yang menjenguk
datang membawa kaluq-aluq (buah tangan) berupa
makanan, buah-buahan, minyak tanah dan lain-lain,
atau paling tidak, ucapan do’a dan rasa simpati.
b.   Saling Bait, yaitu saling mengambil dalam adat
perkawinan, asalkan antara kedua calon keluarga dan
mempelai terjalin hubungan yang setara, yang disebut
kupu (setara, kesetaraan) dalam tingkat sosial,
ekonomi, ciri-ciri dan sifat fisik, terutama kufu dari
soal keyakinan agama. Jika tidak kufu, maka secara
adat dan agama, penyelesaian dilakukan secara
sepihak oleh pihak laki-laki. Hal ini dimaksudkan agar
keluarga pihak perempuan (karena dianggap
melanggar awig-awig adat) tidak dikucilkan secara
adat oleh komunitas, sehingga perdamaian akan
terjadi secara alami dalam waktu yang relatif sama.
c.   Saling Wales/bales, yaitu saling berbalas kunjungan
atau semu budi (kebaikan), hal ini terjadi karena
kedekatan persahabatan antara semeton Sasak dan
batur Bali atau dengan suku dan agama lain. Ketika
saling bales ada buah tangan yang dibawa oleh yang
melakukan kunjungan, yang disebut pejambeq
(bawaan), umumnya berupa ayam dan ditambah hasil
sawah atau kebun yang sedang dipanen.
d.   Saling Saduq, yaitu percaya mempercayai dalam
pergaulan dan persahabatan, terutama sesama Sanak
(saudara) Sasak dan antara orang Sasak dengan batur
luah (non Sasak).
e.   Saling Pekiling/Saling Peringet, yaitu saling
mengingatkan satu sama lain dengan tulus hati antar
kerabat atau sahabat demi kebaikan bersama.

2.  Perilaku Sosial dan Transformasi Mental


            
Perkembangan budaya di kalangan masyarakat Sasak
terjadi seiring dengan proses kemajuan yang dialami
masyarakat ini sebagai dampak dari kemajuan
pembangunan. Sebagai bagian dari peradaban, kekayaan
landasan budaya yang dimiliki masyarakat Sasak
merupakan aspek pendukung yang potensial bagi
pembangunan.
            
Dalam hubungan kehidupan sehari-hari di sana-sini kita
dapat melihat wujud tradisionalitas yang berpadu dengan
nilai kebudayaan seperti :
a. Acara Besiru yakni gotong-royong bekerja di lahan,
mulai dari mengolah tanah, menanam sampai menuai
hasil, secara bergilir tanpa upah. Pada tingkatan yang
sama disebut juga: betnak, betjak.

b.   Nginjam, meminta orang untuk menggarap sawah


(menggunakan sapi) dengan upah uang atau alat
pembayaran lain seperti beras, hewan dan lain-lain.

c.    Begal, saling bantu mengolah tanah sawah dengan


bajak, cangkul maupun lainnya dengan upah murah
yakni hasil sawah kelak apabila sudah panen.
d.   Bederep, mengetam atau menuai hasil sawah
pertanian dengan upah dalam bentuk hasil produksi
pertanian, misalnya padi.
            
Pada tradisi gawe ngawinan atau merariq (pesta
perkawinan) di masyarakat Sasak, jika pihak mempelai
pria tidak memiliki seekor sapi jantan untuk membayar
gantiran (hantaran) kepada pihak keluarga pengantin
wanita, maka pengadaan sapi tersebut dapat dibantu oleh
orang lain. Cara ini disebut nenalet (menanam semu
budi). Kelak, keluarga yang pernah dibantu tersebut akan
mengganti sapi juga pada saat keluarga yang pernah
membantunya menghadapi kewajiban adat serupa. Sapi
pengganti ini harus sama besar dan sama umurnya seperti
sapi yang dipinjamkan semula.
           
Sebagai sebuah kearifan lokal, semua bentuk tatanan
sosial tersebut di atas, telah menciptakan suasana
kehidupan yang harmonis. Model-model kearifan lokal ini
dan beberapa model lainnya seperti hubungan gotong
royong dengan pola beriuk tinjal (kebersamaan gerak
pikiran), perlu direvitalisasi untuk mendorong laju
pembangunan yang berbasis harmoni masyarakat.
           
Pada konteks pergaulan yang lebih spesifik, masyarakat
Sasak mengenal istilah semeton sebagai ungkapan
kekerabatan dalam lingkungan pergaulan secara umum.
Meskipun pada dasarnya, konotasi semeton memiliki arti
khusus dalam lingkungan keluarga, yaitu saudara dalam
pertalian genealogis.
           
Namun demikian, dalam pergaulan umum, istilah
semeton telah berkembang menjadi simbol keakraban
dalam konteks yang lebih luas, ---tidak hanya bagi yang
memiliki hubungan genealogis---, yang mengarah pada
terciptanya persaudaraan antar sesama. Manifestasi dari
keakraban dalam konsep semeton tercermin lewat
ungkapan besopoq jejengku, besopoq amburase (bertemu
lutut, bersatu bau dan rasa).
Sikap yang lahir dari ikatan semeton dalam makna khusus
maupun umum yaitu:
1.   Mérang, yaitu rasa solidaritas tinggi untuk
mempertahankan hal-hal yang hakiki, dimana untuk
mempertahankannya akan ditempuh segala
pengorbanan.
2.   Lome, merupakan perasaan sangat peka terhadap
penderitaan orang lain. Dalam hal ini, orang yang lome
sanggup mengorbankan apa saja agar orang yang
terkena masalah dapat terlepas dari beban tersebut.
3.   Ngayah, sebagai salah satu wujud kontribusi
masyarakat kebanyakan dalam melakukan gotong-
royong memperbaiki berbagai sarana peribadatan,
sekolah, madrasah, jalan dan saluran irigasi.
4.   Belangar, mendatangi seseorang yang ditimpa
musibah kematian, sebagai wujud belasungkawa atas
musibah yang dihadapi oleh penderita, tanpa
mengenal siapa saja yang ditimpa musibah.
5.   Bejango (menjenguk). Ada dua versi yang dikenal
dalam bejango yaitu; pertama, bejango bila teman atau
kerabat ditimpa musibah, sebagai wujud empati
terhadap musibah orang lain. Kedua, bejango ketika
mengantar kedua mempelai yang telahmelakukan
upacara sorong serah.
3.  Sistem Perkawinan Sasak

a.   Perjodohan
            
Perjodohan merupakan sistem perkawinan pada
masyarakat Sasak asli, walaupun pada perkembangannya
ada anggapan dari banyak pihak bahwa kedatangan Bali
telah melahirkan akulturasi antara budaya asli dan
pendatang dari sistem perjodohan ke merariq (kawin lari).
[2]  Padahal sesungguhnya merariq merupakan salah satu
dari model asli pernikahan pada masyarakat Sasak,
sebagai salah satu alternatif ketika sistem melamar
(memadiq) tidak berjalan. Sistem perjodohan pada
masyarakat Sasak memang cenderung bersifat patriarkhi,
yaitu lebih memberikan keleluasaan dan keutamaan pada
anak laki-laki untuk memilih pasangannya.
Beberapa pola perkawinan pada masyarakat Sasak adalah:
1.    Memadiq, disebut juga melamar. Orang kebanyakan
menyebutnya belakoq (meminta). Di masa lampau,
memadiq ini dilakukan hanya pada satu rumpun yang
pertalian darahnya terlahir dari satu buyut, yaitu
saudara sepupu dari laki-laki dan dari rumpun garis
perempuan. Misan atau sepupu satu tidak dibenarkan
melakukan memadiq. Tetapi dapat dilakukan bila
kedua keluarga melakukan musyarakat mufakat.
2.   Melaiq, dapat disebut juga selarian. Merariq berasal
dari kata Ariq (adik, maka merariq bisa juga dikatakan
sebagai memperadik). Jika seorang wanita disebut
Ariq  (dalam perkawinan) maka seorang wanita sudah
sanggup dianggap adik. Merarik merupakan pola
alternatif bagi orang yang tidak diizinkan oleh keluarga
untuk melakukan memadiq[3].
3.   Perondong, yaitu sistem perjodohan yang dilakukan
atas dasar hubungan kekeluargaan antara keluarga
pihak perempuan dengan laki-laki yang telah menjalin
hubungan percintaan. Dari hubungan ini orang tua
kedua belah pihak telah setuju dan berkehendak
menjodohkan keduanya. Sistem perjodohan ini
biasanya dilakukan ada satu rumpun keluarga dari
pihak laki-laki.
4.   Peruput, yaitu sistem perjodohan untuk menutup
atau menangani aib keluarga bila hubungan percintaan
seorang anak sudah tidak terkontrol. Labih-lebih bila
seorang wanita telah hamil duluan. Dengan dasar itu
maka ditempuhlah sistem perjodohan dengan sistem
peruput ( perjodohan yang didasari atas adanya
masalah pada salah satu diantara kedua calon
mempelai).
5.   Meneken, merupakan cara perjodohan yang
dilakukan dengan cara pihak perempuan memberikan
selembar tikar dan sebuah bantal kepada laki-laki yang
telah menjalin hubungan cinta dengannya. Pemberian
kedua simbol tersebut berarti pihak laki-laki diminta
untuk menikahi calon mempelai perempuan.
6.   Ngukuh/Ngekeh, dilakukan dengan cara pihak laki-
laki beserta keluarganya mendatangi pihak perempuan
dengan membawa pisau kecil (Sasak: maje) atau
pelocok (tempat menumbuk sirih) meminta untuk
dinikahkan karena sudah lama menjalin hubungan
percintaan.
7.   Murugul, dilakukan dengan cara yang nista yaitu bila
laki-laki memperkosa perempuan yang notabene
adalah pacarnya sendiri, hal ini disebabkan waktu
pacaran yang cukup lama akan tetapi pihak
perempuan tidak bersedia untuk menikah. Langkah
pemerkosaan ini ditempuh agar pihak perempuan
merasa terikat dan tidak menolak bila diajak kawin.
8.  Kawin Tadong, yaitu sistem perkawinan yang
dilakukan dengan menjodohkan seorang anak
semenjak belum akil balig. Sistem perkawinan ini
sebagai bentuk rasa syukur sebuah keluarga karena
telah dianugerahkan anak perempuan oleh Yang Maha
Kuasa. Dalam pelaksanaanya, Sistem ini biasa
dilakukan oleh keluarga dari kaum bangsawan,
hartawan dan perkanggo lainnya.
9.   Kawin Gantung, sistem perkawinan ini dilakukan
untuk mengantisipasi bila dimungkinkan ada orang
lain yang menyukai anak perempuannya, sementara si
orang tua sudah memiliki calon bagi anaknya.
Perkawinan yang sebenarnya akan dilakukan pada saat
kedua belah pihak telah sama-sama sepakat tentang
waktu dan caranya. Tetapi sebelum itu (selama masa
kawin gantung), kedua belah pihak biasanya diberikan
kebebasan untuk melanjutkan studi atau
pekerjaannya.
A. Cara-Cara Penyelesaian Urusan Perkawinan

        Dalam rangka mempertahankan ikatan persaudaraan,


proses penyelesaian urusan perkawinan dilakukan dengan
cara musyawarah mufakat tanpa memandang starata
maupun tingkat ekonomi yang dimiliki sebuah keluarga.
Hal ini untuk menghindari terjadinya desintegrasi dalam
masyarakat. Karena sesungguhnya perkawinan menurut
adat Sasak adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa, untuk
itu masyarakat Sasak memiliki aturan-aturan dalam
proses penyelesaian perkawinan sebagai berikut :
1.   Saling Ajinin, proses saling ajinin dilakukan dengan
pola saling tagih-menagih antar keluarga. Pemberian
beban oleh pihak perempuan kepada pihak pria
disebut gantiran. Saling ajinin biasanya dilakukan
kepada pasangan yang sekufu agama dan kebangsaan.
2.   Keterimen/Ketampen, yaitu bila perkawinan yang
tidak sekufu kebangsaan namun sekufu agama, maka
diberikan hak untuk menikah dengan prosesi yang
terbatas, dimana keluarga dekat pihak laki-laki dalam
jumlah yang terbatas datang bejango kepada pihak
perempuan.
3.   Kepaicayang, bila terjadi perkawinan namun pihak
perempuan lebih tinggi statusnya dan keluarga pihak
perempuan tidak setuju. Pihak laki-laki dibolehkan
bejango namun tidak diterima oleh keluarga
perempuan, pihak perempuan boleh menyerahkan
kepada orang lain untuk menerimanya.
4.  Kehambil/Tegadingan, bila terjadinya perkawinan
yang sekufu dalam segala hal, tetapi keluarga
pengantin wanita meminta calon pengantin pria untuk
dinikahkan di rumah keluarga pihak perempuan. Hal
ini sekaligus sebagai wujud syukur dari pihak
perempuan atas hadirnya anak laki-laki dalam
keluarganya (Sasak: ite nganak mame)
5.   Kepanjing, adalah hak pihak perempuan untuk
dinikahkan, sementara urusan adat menjadi tugas
pemerintah adat (krama Desa). Artinya pihak
perempuan tidak boleh batal dinikahkan gara-gara
tersangkut masalah adat.

[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan


Keluarga Masyarakat NTB,(Mataram, 1989), hal. 85
[2] Perbedaan pandangan para peneliti terhadap masalah ini adalah sebagai berikut:
Pendapat Pertama beranggapan bahwa fenomena merariq merupakan bias dari
berkuasanya kerajaan-kerajaan Bali di Lombok. Membaurnya masyarakat Bali dan
Lombok berdampak pada terjadinya penetrasi bahkan adopsi kebudayaan, termasuk
didalamnya sistem kawin lari. Sebelum kerajaan Bali berkuasa di Lombok, sistem
perkawinan dilakukan melalui perjodohan. Mengenai hal ini lihat: Ahmad Abd. Syakur,
Islam dan Budaya Sasak (Studi Tentang Akulturasi Nilai-nilai Islam ke Dalam
Kebudayaan Sasak, Disertasi S3, IAIN Jogjakarta, 2002). Periksa juga; Ahmad
Nurjihadi, Implikasi Tradisi Merariq Terhadap Kehidupan Keluarga Muslim Pada
Masyarakat Sasak, (Thesis S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005).
Pendapat Kedua berpandangan bahwa budaya kawin lari merupakan tradisi asli
masyarakat Sasak sebagai jalan keluar bagi “sumpeknya” sistem perjodohan yang
seringkali tidak diterima oleh pihak laki-laki maupun perempuan. Sistem perjodohan
telah menimbulkan rekasi keras berupa tindakan melarikan diri untuk menikah.
Popularitas perjodohan awalnya disebabkan karena penduduk Lombok relatif tidak
dinamis. Dominasi ekonomi pertanian dan kurangnya transportasi yang efisien
mengakibatkan komunitas- komunitas agraris ini memiliki peluang yang terbatas untuk
berpindah ke daerah luar. Dengan kenyataan bahwa prospek pasangan pengantin
terbatas dari sekitar desa, menambah kebutuhan untuk mempertahankan perbedaan
yang jelas antara kaum ningrat dan orang-orang biasa dalam komunitas yang lebih
kecil. Hal ini memberi kontribusi terhadap strategi orang tua dalam menjalankan
kontrol langsung terhadap pilihan pasangan perkawinan anak-anaknya. Untuk lebih
jelasnya lihat: Judith Ecklund, Marriage, Seaworms and Song: Ritualized Respons to
Cultural on Lombok, dalam PHD (Cornell Univercity, 1977).   Pendapat kedua ini juga
diolah dari diskusi bersama para pemuka masyarakat Sasak. Pandangan lain tentang
alasan lahirnya budaya kawin lari, disebabkan karena secara kultural masyarakat adat
Sasak meyakini dan menyetujui cara ini sebagai evidensi kelaki-lakian calon suami
yakni dengan menunjukkan keberanian, keseriusan, dan gambaran artikulasi tanggung
jawab dalam perkawinan serta dalam kehidupan keluarga nantinya. Ditambah lagi
dengan meningkatnya otonomi dan kebebasan anak dalam menentukan pilihan
jodohnya. Lebih jelasnya lihat John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim, Kearifan
Masyarakat Sasak, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001) hlm. 201-207.
Pandangan Ketiga mengatakan bahwa tradisi asli sistem perkawinan masyarakat Sasak
adalah perjodohan. Biasanya dilakukan antar keluarga batih yang tergabung dalam satu
gubuk dan suteran. Perjodohan mula-mula dilakukan sebagai tradisi kuat kaum ningrat
Sasak yang menghendaki perkawinan antar golongan dan trah yang sama, guna
memlihara trah golongan. Praktek kawin lari yang diadopsi dari Bali telah merusak
tatanan sistem perjodohan ini karena banyak dari laki-laki non-ningrat membawa lari
gadis dari kelompok ningrat. Sistem perjodohan ini juga terjadi karena preferensi yang
luas untuk menyatukan garis keturunan laki-laki yang sederajat dan pola-pola
penduduk verilokal. Untuk lebih jelasnya lihat Ruth Krulfeld, Fatalism in Indonesia, A
Comparison of Socio-Religious Types on Lombok, dalam Anthropological Quarterley.

[3] Merariq (melarikan diri) dalam gramatika Sasak merupakan kata kerja yang secara
umum dimaknai sebagai tindakan melarikan gadis. Proses ini dianggap sebagai prosesi
awal pernikahan. Tetapi terhadap istilah ini pun terdapat interpretasi beragam, ada
yang memaknainya sebagai proses melarikan diri (dengan kesepakatan kedua
pasangan), ada juga yang dimengerti sebagai tindakan “mencuri” (Sasak - memaling)
seorang gadis dari pengawasan orang tua dan lingkungan sosialnya. Prosesi merariq
pada masyarakat Sasak dilaksanakan dalam lima tahap tindakan (aksi), yaitu: pertama,
kedua pasangan melarikan diri; Kedua, Besebo (bersembunyi), di mana gadis yang
sudah dilarikan disembunyikan di rumah keluarga atau kerabat calon suami; Ketiga,
mesejati, yaitu tindakan pemberitahuan kepada pihak keluarga gadis oleh orang utusan
dari pihak laki-laki tentang pencurian anak gadisnya dan bahwa mereka berencana
menikah; Keempat, pembicaraan antar dua keluarga pasangan berkaitan dengan
besarnya mahar (maskawin) dan biaya prosesi lainnya yang disebut selabar. Selanjutnya
proses Kelima adalah proses sorong serah dan nyongkolang.
Sorong serah merupakan upacara adat yang melibatkan pemuka adat kampung dan
aparat pemerintahan desa guna penyelesaian persoalan-persoalan adat yang timbul dari
perkawinan tersebut. Pada prosesi inilah dapat dipertanyakan signifikansi nikah dalam
Islam, karena proses pernikahan cara Islam merupakan persoalan kecil dibandingkan
dengan proses sorong serah yang menyangkut soal material, menyangkut semua
keluarga dan institusi adat kampung yang ada. Sedangkan nyongkolang merupakan
prosesi di mana pasangan pengantin datang ke rumah orang tua pengantin perempuan
dengan diringi rombongan arak-arakan dan musik gamelan Sasak (bila ada) guna
penerimaan dan pemberian restu atas perkawinan tersebut. Prosesi ini dalam beberapa
kesatuan adat kampung di Lombok sering dilakukan setelah pernikahan Islam
dilaksanakan. Lihat: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat Istiadat Daerah
Nusa Tenggara Barat, (Jakarta: Proyek pengkajian Nilai-Nilai Budaya Pusat,  CV. Eka
Dharma,
1997), Edisi II, hlm. 161-170. Lihat Juga Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Adat
Istiadat Perkawinan Di Lombok, (Lombok: Proyek Inventarisasi Dan Pembinaan Nilai-
Nilai Budaya, 1991. Bandingkan dengan John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim,
Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 217.

Anda mungkin juga menyukai