Anda di halaman 1dari 12

“MENGURAI MAKNA MALLISU TONDOK”

(Suatu Tinjauan praktik Ritual Adat di desa Salutiwo, Kecamatan Bonehau)

OLEH:

Nama : YUSTUS
NIRM : 1020186235
Kelas : B/PAK

INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI (IAKN) TORAJA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN KRISTEN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

TAHUN AJARAN 2021/2022


RITUAL ADAT MALLISU TONDOK

Latar Belakang
Ruang dan waktu agaknya terlalu sempit dan singkat jika hendak membahas tentang
budaya. Budaya yang sifatnya kompleks dan luas tetapi menjadi sebuah kekayaan dan
identitas diri yang membedakannya dari kelompok masyarakat yang satu dengan masyarakat
lainnya. Budaya tercipta dari kebiasaan-kebiasaan sekelompok masyarakat dalam memenuhi
kebutuhannya. Karena itu, antara budaya dan masyarakat memiliki hubungan yang sifatnya
dwi tunggal. Maksudnya bahwa tidak ada masyarakat tanpa budaya, dan budaya tidak akan
pernah tercipta tanpa masyarakat, jadi antara budaya dan masyarakat tentu saling
berhubungan dan saling tergantung.
Seiring zaman yang semakin maju, budaya yang berhasil diwujudkan oleh manusia,
juga lambat laun tentu mengalami pembaruan-pembaruan dalam makna atau simbol. Hal ini
tidak dapat dihindari, karena demikianlah kenyataan yang disebut perubahan sosial. Tetapi
satu hal yang pasti, bahwa jika suatu budaya yang tercipta bernilai baik bagi masyarakatnya,
maka kebudayaan itu menjadi keharusan bagi masyarakat untuk mewariskannya kepada
generasi-generasi selanjutnya. Sebaliknya, jika kebudayaan memberi dampak negatif, maka
budaya tersebut seharasnya dibaharui. Budaya, jika ditinjau dari sudut pandang iman Kristen,
maka hal itu merupakan mandat yang secara langsung diberikan oleh Sang Pemilik
Kehidupan kepada manusia agar saling bekerja sama dalam mengolah dan memelihara alam
semesta demi keberlangsungan hidup yang Tuhan berikan1. Jadi, pada dasarnya budaya
adalah untuk kebaikan manusia.
Setiap budaya yang ada dalam masyarakat, tentunya memiliki makna, yang berbeda
dengan budaya yang ada pada masyarakat yang lain, tergantung pada konteks dan keberadaan
ekspresinya masing-masing. Oleh sebab itu, menjadi penekanan bahwa budaya adalah
identitas, budaya adalah kekayaan oleh masyarakatnya, baik yang diekspresikan lewat praktik
hidup atau simbol-simbol. Dengan melihat produk atau simbol budaya tertentu, sedikit
banyaknya kita sudah bisa mengenal siapa masyarakatnya.
Kalumpang awalnya merupakan suatu wilayah administratif yang memanjang dari hulu
sungai Karama sampai hilir sungai Sampaga sebelum mekar menjadi 3 wilayah kecamatan,
Kalumpang, Bonehau, Sampaga2. Desa Salutiwo, merupakan sebuah kampung yang berada
1
Kejadian 1: 28, Allah Memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka
“beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-
ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”
2
www.wikipedia.org.com
di wilayah kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sul-Bar. Masih menganut sistem Ada’
Tuo (Adat yang Hidup dan Lestari). Sehingga, hampir dalam setiap konflik atau masalah
yang terdapat dalam desa tersebut sebisa mungkin dapat diselesaikan dengan sistem Adat,
tidak terkecuali masalah yang yang berkaitan dengan fenomena alam dan fenomena sosial,
dan yang terbaru dilakukan adalah Mallisu Tondok (Tahun 2018).
Ritual Mallisu Tondok merupakan sebuah ritual adat yang umumnya dikenal oleh suku
Kalumpang-Bonehau, termasuk juga masyarakat desa Salutiwo yang merupakan bagian dari
suku kalumpang itu sendiri. Bagi masyarakat Kalumpang-Bonehau, secara umum meyakini
serta menganggap ritual Mallisu Tondok adalah hal yang sangat sakral sehingga sangat jarang
untuk terjadi, hanya masalah tertentu yang sangat urgen dan kompleks yang akan
diselesaikan dengan cara ritual Mallisu. Diperkirakan bahwa ritual ini hanya terjadi paling
cepat satu kali dalam kurun waktu 40-50 tahun. Tujuan Mallisu tak lain ialah untuk proses
pembersihan dan pembenahan kampung dari berbagai masalah dan persoalan yang dihadapi
yang dianggapnya tidak normal atau wajar terjadi.
Dalam ritual Mallisu Tondok terdapat berbagai media sebagai perantara yang
digunakan untuk menyampaikan harapan, doa dan permohonan kepada Alla Ta’alah atau
Deata. Misalnya saja hewan untuk disembelih (babi, kerbau, sapi, dan ayam) serta hasil
tanaman seperti jagung. Setiap media yang dipakai memiliki makna tersendiri. Permohonan
doa diucapkan secara bergantian dari rohaniawan setiap agama dan denominasi gereja, lalu
kemudian diakhiri doa dari tetua adat dalam bahasa asli masyarakat setempat.
Salah satu konflik fenomena alam dan fenomena sosial yang diuraikan dengan sistem
adat adalah kasus pembunuhan, kasus perkelahian, meninggalnya kepala desa aktif sekaligus
juga Tobara’ (ketua adat) yang hampir bersamaan dengan beberapa saudara dan keluarga
dekat yang lain di desa Salutiwo. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, fenomena
tersebut merupakan kondisi yang tidak normal. Dengan kata lain bahwa fenomena yang
terjadi menunjukkan bahwa alam tidak bersahabat dengan keadaan masyarakat di desa
salutiwo. Oleh sebab itu, dengan adanya kasus-kasus yang dianggap tidak wajar tersebut,
maka tetua-tetua kampung, lembaga adat serta rohaniawan sepakat agar mengadakan sebuah
ritual Mallisu Tondok, dengan harapan melalui pengakuan atas kesalahan dan pelanggaran
baik yang disadari ataupun tidak di hadapan Tuhan melalui ritual tersebut, maka segala
masalah-masalah yang terjadi dapat segerah berlalu dan keadaan kampung segerah pulih dan
tidak akan terjadi lagi.
Sejalan dengan konteks dunia Perjanjian Lama, khususnya dalam Imamat 16 mengenai
Hari Raya Pendamaian, nampaknya cukup relevan dengan ritual Mallisu Tondok. Oleh sebab
itu, agar dapat menemukan relevansi yang dimaksudkan tersebut, akan dibahas pada bahasan
berikut.

Kalumpang, Tana Lotong dan Sejarahnya

Nama Kalumpang (pendudduk setempat menyebutnya Kaluppang) merupakan nama


yang diambil dari nama sebuah pohon besar. Dalam bahasa Indonesia nama pohon ini adalah
kepuh atau kelumpang3. Menurut sejarahnya, nama kalumpang ini pertama kali dipakai oleh
orang Belanda yang berkunjung ke daerah Kalumpang. Ia melihat pohon yang unik, tumbuh
besar dan tinggi, karena penasaran orang tersebut kemudian menanyakan ke masyarakat
nama pohon tersebut, kemudian masyarakat setempat pun menjawab, kaluppang. Namun,
perbedaan dialek dan bahasa, orang Belanda tersebut kesulitan menyebut kata kaluppang,
sehingga ia menyebutnya Galumpang, namun pada akhirnya tetap menulisnya Kalumpang
dalam catatan administrasi Belanda4.
Tana Lotong adalah nama atau sebutan bagi tanah Kalumpang pada zaman dahulu.
Ialah sebuah wilayah hunian tertua bagi penutur Austronesia berada di atas dataran tinggi di
sebelah timur berjarak 121 KM dari kota Mamuju5. Tana Lotong, sesungguhnya bukan hanya
nama kampung, tetapi juga sekaligus menjadi karakteristik tanah Kalumpang, Tana Lotong
secara harafiah adalah tanah hitam, tanah yang subur 6. Sebelum menjadi dua kecamatan,
Kalumpang dan Bonehau7, wilayah Kalumpang sangatlah luas di bagian utara berbatasan
dengan Toraja dan Luwu dan bagian selatan berbatasan dengan Kalukku dan Mamuju.
Dalam menjaga kestabilan sistem kehidupan sosial, Kalumpang dan Bonehau menganut
sistem adat terlepas dari sistem hukum positif (aparat keamanan Negara), sehingga berbagai
macam pelanggaran-pelanggaran, fenomena atau konflik tertentu yang terjadi dalam suatu
wilayah Kalumpang-Bonehau, tak jarang diselesaikan dengan sistem adat dan salah satunya
ialah melalui ritual adat Mallisu Tondok. Sebelum membahas lebih jauh makna dari ritual
Mallisu Tondok, terlebih dahulu penulis memperkenalkan struktur kepemimpinan dalam
masyarkat adat di desa Salutiwo, Kecamatan Bonehau yang merupakan bagian dari
Masyarakat Adat Tana Lotong (Kalumpang).

3
Irfan Mahmud, dkk. Kebudayaan Kalumpang Sulawesi Barat, (Makassar: Masagena Press,
2019), 20
4
Ibid, 22
5
Truman Simanjuntak, Manusia-Manusia dan Peradaban Indonesia, (Yogyakarta: Gadja
Mada Unersity Pers, 2020), 240
6
Radar Sul-Bar, Even Seni Budaya Rakyat Tana Lotong Memanggil, Yayasan Orang
Independen, 2014
7
Permendagri No 27 Tahun 2016 tentang Penetapan dan Penegasan Batas Desa.
Adat adalah perilaku atau kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat
tertentu yang diwarisi dari para nenek moyang sejak dulu 8. Sedangkan masyarakat adat ialah
sekumpulan orang yang masih menganut sistem peraturan-peraturan berdasarkan hukum adat
yang diwarisi dari para leluhurnya 9. Jadi, Salutiwo adalah salah satu bagian dari masyarakat
adat yang dibuktikan hingga kini masih melestarikan kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-
kepercayaan yang pernah dilakukan oleh pendahulu-pendahulunya. Misalnya, kebiasaan
berburuh, percaya pamali atau pantang, dan masih banyak yang lain seperti permainan
tradisional, tenunan Sekomandi, alat musik dan tari-tarian.
Dalam sistem adat Salutiwo dibentuk menjadi sebuah lembaga, dikepalai oleh ketua
adat (sebagai mediator berlangsungnya persidangan adat). Keputusan tertinggi ada di tangan
Tobara’ Pondan (pemimpin utama) dan wakilnya disebut Tobara’ Timba’ (Penasehat).
Tobara’ tidak dipilih menurut sistem demokrasi, melainkan sistem aklamasi berdasarkan
saluan rara atau keturunan. Jadi, hanya dari keturunan Tobara’ yang bisa menjadi Tobara’
Pondan atau Tobara’ Timba’. Jika bukan keturunan Tobara’, menurut kepercayaan
masyarakat setempat dapat menyebabkan malapetaka berupa sakit penyakit, keluarga atau
kerabat meninggal secara tidak wajar10.
Dari sistem adat yang dijelaskan di atas, hal yang menarik bagi penulis, yaitu
pemecahan masalah yang dari sistem adat bentuk pemecahan masalah yang sifatnya
kekeluargaan, seberat apapun masalah yang terjadi dalam kampung, dapat diselesaikan
melalui sidang adat. Proses penyelesaiannya berupa pemberian sangsi atau denda (Ma’base
Tondok=Cuci Kampung) sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. Jika,
pelanggarannya berat (Pembunuhan, Penganiayaan, Perceraian) tentu dendanya hewan 4 kaki
yang bertanduk (Bondo’=Kerbau atau Penamile=Sapi), jika pelanggarannya sedang
(Kekerasan dalam rumah tangga, pencurian barang berharga) dendanya babi (Kristen),
kambing (Islam). Pelanggaran ringan (merusak fasilitas umum) dendanya bakar ayam. Meski
setiap pelanggaran sanksinya telah ditetapkan, namun dapat saja sanksi tersebut berubah.
Artinya disesuaikan dengan keadaan Si pelanggar (To Makrupa Tau, Taeki’ Siteppoan
Ada’=kita sesama manusia jangan diukur oleh adat, tetapi kita yang menyesuaikan
keadaan)11.

8
KBBI, “Adat”
9
Wawancara Bersama bpk. Markus Syayan
10
Wawancara Bersama bpk. Markus Syayan
11
Wawancara bersama bpk. Markus Syayan
Pengertian dan Makna Mallisu Tondok
Mallisu Tondok, secara harafiah terdiri dari dua suku kata benda, yaitu Lisu dan
Tondok. Lisu artinya pusaran air, sedangkan Tondok adalah kampung. Lisu yang dibubuhi
imbuhan Ma, maka menjadi kata kerja. Dengan demikian, Mallisu Tondok secara harafiahnya
diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat secara spiral seperti lisu
(yang terbentuk dari lingkaran-lingkaran mulai dari yang kecil hingga besar). Dalam konteks
kehidupan masyarakat, Mallisu adalah suatu kegiatan yang melibatkan seluruh lapisan
masyarakat, mulai dari masyarakat kecil, menengah, bahkan yang terbesar sekalipun agar
secara bersama-sama untuk menilik hidup dan perilakunya apakah sesuai dengan tatanan adat
yang berlaku12.
Makna yang terkandung dari ritual adat Mallisu Tondok ialah bagaimana merangkul
segenap menyatukan masyarakat, apabila suatu masalah yang terjadi, dianggap tidak wajar
atau dalam istilah masyarakat disebut Malassu Tondok (Kehidupan/Kampung lagi memanas),
karena itu perlu adanya pemulihan, sehingga proses kehidupan dapat berjalan seperti
biasanya. Inti dari Mallisu Tondok ialah suatu upaya dan harapan melalui doa-doa agar segala
masalah, keadaan dan kondisi yang terjadi di dalam kampung tersebut segerah berlalu
bersama dengan pusaran air13. Menurut pendapat lain (Harun Abner Bawan) mengatakkan
bahwa Mallisu Tondok adalah suatu bentuk ritual adat sebagai upaya pembersihan kampung
(Ma’base Tondok) terhadap berbagai macam masalah-masalah yang sudah terjadi, bahkan
belum terjadi melalui proses pedamaian dengan alam serta Sang Pemilik Alam atas segalah
bentuk pelanggaran manusia, baik yang disengaja ataupun tidak dengan cara memberikan
korban persembahan dari jenis tallu rara (tiga atau lebih jenis binatang)14.
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ritual Mallisu Tondok adalah
permohonan atas pengampunan serta pendamaian diri kepada Sang Pemilik kehidupan
sehingga segalah masalah yang dihadapi dapat segerah larut bersama pusaran air, dan pada
akhirnya kehidupan seluruh masyarakat kembali berjalan secara normal dan wajar.

Prosesi dan Doa-doa dan Media Khusus dalam Ritual Mallisu Tondok
November, 2018 secara khusus bagi penulis adalah tahun yang sangat istimewa yang
sekaligus juga tahun penuh duka bagi masyarakat adat di desa Salutiwo secara umum.
Istimewa, karena penulis dapat menyaksikan secara langsung ritual Mallisu Tondok, dan

12
Wawancara bersama Yunus Abner Bawan
13
Wawancara bersama Harun Abner Bawan
14
Wawancara bersama Yunus Abner Bawan
penuh duka karena ritual tersebut dilaksanakan sebagai bentuk pendamaian terhadap alam
atas berbagai konflik dan fenomena langka seperti yang telah penulis disebutkan di atas.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, sangat perlu diadakannya suatu bentuk
pendamaian dengan Alam dan Deata, melalui ritual adat Mallisu Tondok atas ketidakwajaran
fenomena yang terjadi. Berbagai macam tragedi dan masalah tersaji berada di luar dari hal-
hal yang biasanya dengan kata lain semua yang terjadi itu tidak wajar. Karena itu, ketua adat
Salutiwo (Bpk. Markus Siayan) melalui koordinasi dengan tetua-tetua adat, Tobara’ Timba’
(Bpk. Lepinus Darius), dan pemuka agama agar bersedia mengambil bagian dalam ritual
tersebut, dan tak luput juga mengundang tokoh-tokoh adat dari seluruh masyarakat Adat
Tana Lotong (Ada’ Lembang= Keseluruhan sistem adat wilayah Kalumpang-Bonehau yang
dikepalai oleh Tobara’ Lembang) 15, dan pada akkhirnya 18 November 2018 Mallisu Tondok
dilaksanakan.
Adapun pembukaan kegiatan ini, diawali dengan Sambutan Pemerintah Camat
Bonehau (Bpk. Sultani, S.Pdi) yang sekaligus menyampaikan rasa prihatin dan
belangsungkawa atas meninggalnya Kepala Desa aktif sekaligus Tobara’ Pondan (Alm.
Gusti Abner Bawan), dilanjutkan oleh sambutan PLT. Kepala Desa Salutiwo sekaligus
membuka kegiatan secara resmi (Bpk. Marannu P. Poli S.Ip).
Prosesi adat dibuka dengan Mangngarru. Adalah ungkapan sejenis sajak dari seorang
pemimpin yang disampaikan dengan lantang dan penuh emosional, (kadang juga dipakai
sebagai penyambutan tamu kehormatan, penahbisan gedung gereja, pembukaan fasilitas
umum seperti sekolah dan rumah sakit)16. Pesan yang disampaikan dalam Mangngarru,
tergantung dengan konteks kegiatannya. Dalam ritual Mallisu Tondok, sajak ini bermakna
pemberian semangat dan motivasi bagi seluruh masyarakat yang hadir dalam kegiatan yang
dilaksanakan.

(“inde mesa’ la’bo, natowe manuk londongnga


Salutiwo, la’bo’ iya te’e lanapake to mekkarang. Era’
iya te’e nasassikan anggana to Salutiwo, la’bo
patta’ran la ipake uttolloan rarana angganna penamile
lu dokko litaknga’ to Salutiwo, anna mala masakke,
iangei undakai’ katuoan inde lino... Ahihihi....)

Selain terdapat prosesi ritual Mangngarru yang disebutkan di atas, dalam ritual Mallisu
Tondok, terdapat juga media atau objek perantara (hewan dan tumbuhan) yang lain untuk

15
Enslikopedia Fotografi Kalumpang, Masyarakat Adat dengan Batas Desa, Edisi 02 Januari
2017.
16
Wawancara Bersama bpk. Markus Syayan
dijadikan korban persembahan. Media yang dimaksudkan terdiri dari berbegai jenis namun
yang paling utama ialah tallu rara dan di balik semua itu tersiimpan maksud, tujuan dan
makna-makna khusus. Adapun media atau yang dijadikan sebagai korban persembahan itu,
antara lain17:
- Bondo’ atau Kerbau. Merupakan hewan peliharaan yang berada pada kasta tertinggi di
antara ternak-ternak lainnya. Selain memiliki nilai jual yang tinggi, hewan ini juga
dijadikan sebagai tolok ukur pemiliknya. Artinya bahwa hanya dari kasta dan
keturunan orang-orang tertentu yang dapat memeliharanya, misalnya keturunan
Tobara’, karena menurut kepercayaan masyarakat setempat, jika sang pemilik kerbau
bukan dari keturunan yang pantas (Tobara’), maka ternak ini tidak mungkin dapat
berkembang biak dengan baik. Kenyataan tersebut cukup relevan dengan konteks
yang ada sampai hari ini di desa Salutiwo (umumnya Kalumpang-Bonehau),
keberadaan kerbau cukup langka. Kerbau juga dijadikan alat sanksi atau denda
terhadap pelanggaran-pelanggaran berat.
Dalam kaitannya Mallisu Tondok, kerbau dikorbankan sebagai wujud
permohonan maaf yang begitu dalam, dan dengan mengorbankan kerbau menjadi
bukti bahwa masyarakat desa Salutiwo benar-benar telah menyesali semua kesalahan-
kesalahannya, dan kiranya persembahan ini dapat berbau harum dan menyenangkan
di hadapan Sang Deata.
- Bai atau babi. Hampir sama halnya dengan ayam, babi juga menjadi ternak peliharaan
yang umum bagi masyarakat Salutiwo, khususnya yang beragama Kristen. Hewan ini
hampir setiap rumah tangga memiliknya. Dalam kaitan Ritual Mallisu Tondok, hewan
ini dijadikan sebagai pengganti tembusan dan sekaligus permohonan ampun dari
masyarakat yang beragama Kristen. Jadi, babi yang disembelih dipilih paling terbaik
yang ada dipelihara oleh masyarakat.
- Penamile/sebagian menyebut sapi’ atau Sapi. Keberadaan ternak sapi di desa
Salutiwo cukup familiar. Sejak menjadi wilayah transmigrasi (Tahun 1993), hewan ini
semakin berkembang biak di kalangan masyarakat dari suku Jawa dan NTB. Dalam
ritual adat, hewan ini tidak menjadi pilihan yang utama, tetapi kehadiran Suku Jawa
dan NTB mayoritas penganut agama Islam, secara otomatis tunduk dan mengakui
keberadaan kehidupan masyarakat Salutiwo yang menganut sistem adat. Sapi menjadi
layak dijadikan sebagai keterwakilan korban penghapus dosa masyarakat yang
beragama Islam.
17
Wawancara Bersama bpk. Markus Syayan
- Manuk/dassi atau Ayam. Bagi masyarakat desa Salutiwo, ayam adalah hewan yang
umumnya dipelihara oleh masyarakat. Namun, dalam ritual adat apapun, termasuk
juga Mallisu Tondok, ayam yang digunakan bukanlah ayam sembarangan, melainkan
manuk Mallo atau ayam yang dominan berwarna hitam dari kuku hingga kepala
termasuk biji mata dan darahnya. Jenis ayam ini sangat langka. Karena itu diyakini
oleh masyarakat setempat, bahwa ayam ini begitu berharga karena darahnya dapat
menyembuhkan berbagai penyakit.
- Pare sola Bata’. atau padi dan Jagung. Selain padi, jagung juga merupakan makanan
pokok bagi masyarakat Salutiwo. Dipilihnya jagung (atau salah satunya) dengan
maksud ialah bahwa makanan adalah paling utama untuk penopang kehidupan, oleh
karena itu, dimohonkan agar jagung atau padi sebagai sumber pokok makanan utama
bagi masyarakat selalu dijaga dan dilindungi serta dibuat berhasil oleh Deata. Karena
itu, dalam prosesi menyembelih segalah ternak yang telah disebutkan di atas,
darahnya ditumpahkan atau diteteskan di atas jagung atau padi.

Selanjutnya dalam ritual Mallisu Tondok, seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa
di dalamnya terdapat ungkapan khusus, selain doa yang dari pemuka agama. Doa-doa
dibawakan oleh para pemuka agama (Kristen, Katolik dan Islam), pada intinya meminta
pengampunan kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar masyarakat dapat segera pulih dan luput
dari masalah-masalah fenomenal yang ada. Sedangkan doa khusus dalam ritual Mallisu
Tondok (dibawahkan oleh Ketua adat dengan cara menengadah ke langit). Adapun doa
khusus tersebut (dalam Bahasa asli Salutiwo) adalah sebagai berikut:

“Oh... Puang Alla Ta’ Alah, iyao tangngana langi’ To Ma’


Bala’lingan’ tallu uttowe, bukunna katuoan to ma’rupa tau
lan lino iya te’e., tangnga era’ iya te’e, Musassikan sola
matam-Mu, Musa’bisan illan sola talingam-Mu. Saemokan..!
umbawa tallu penamile, mekkalao to ketanduk lette’nga, to
ketanduk pudu’nga, to ketanduk kabongo’na. Lakitolloan
rarana dokko litak iya te’e, anna mala masakke litak iya te’e,
kiangei torro, kiangei mekkarang uppatuo angganna
penamula undaka’ katuoan, lanangei to bassa’ ba’tu to
mangngu’da’ mekkarang undakai’ kande angganna to
Salutiwo.

Oh...Puang Alla Ta Alah iyao tangngana langi’...


Lamukaseikanni, lamusolakkanni annu tae’ pa’belakanni,
mekkalao kamammasakki sae lako kamillikakki. Alaikanni
lammai kamaparrisanki anna lamusapui angganna
kasalaakki, mekkalai era’ iya te’e sae lako-lakona.
Oh... Puang Ala Ta Alah iyao tangngana langi’, mettingayo-
Ko, Perangngi’imi te sambayangki”. Amin...

Berdasarkan uraian ungkapan doa yang disampaikan kepada Alla Ta Alah atau Deata
tergambar jelas bahwa, para orang Kalumpang-Bonehau sejak zaman dahulu menganut
kepercayaan Trinitarian, di mana dalam ungkapan To’ma’la’Linkan Tallu uttowe bukunna
katuaoan to ma’ rupa tau lan lino (Tiga Pribadi Pemilik Kehidupan umat manusia yang ada
di bumi). Kemudian, arti dan makna selanjutnya yang terdapat dalam doa tersebut ialah,
korban sembelih yang darahnya di tumpahkan, tujuannya selain menggantikan manusia untuk
menjadi korban, juga dimaksudkan untuk permohonan perlindungan serta ketentraman
masyarakat di dalam menjalani hidup.

Mallisu Tondok Konteks Israel


Di dalam Alkitab, ada banyak informasi tentang korban penghapus dosa, baik melaui
korban persebahan juga melaui permohonan doa. Secara khusus di dalam Kitab Imamat yang
berjumlah 27 pasal dan hampir seluruh isi pasalnya menuliskan secara rinci upacara
penebussan dosa atau pendamaian (dalam Bahasa Ibrani disebut Yom Kippur)18. Khususnya
di dalam Imamat 16:1-34 yang menjadi puncak hari besar itu.
Hal yang melatar belakangi diadakannya hari raya pendamaian, yaitu sesudah kedua
anak Harun (Nadap dan Abihu) melakukan apa yang tidak dikehendaki oleh Tuhan, dan
seketika itu mereka mati di hasapan Tuhan (Imamat 10:1). Jika melihat kenyataan yang ada
di desa Salutiwo, yang menurut kepercayaan masyarakat setempat terdapat adanya dosa atau
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh masyarakat Salutiwo terhadap Dewata, sehingga
belakangan fenomena yang terjadi dianggapnya suatu hal yang tidak wajar (adanya
pembunuhan di TPS ketika pemilihan DPRD, meninggalnya Kepala Desa aktif sekaligus
Tobara’, masyarakat mengalami gagal panen, meninggalnya seorang ibu yang hampir
bersamaan dengan dua orang anaknya, meninggalnya seoarang anak muda karena kecelakaan
motor, dan masih banyak lagi fenomena lain yang tidak disebutkan). Karena itu, ketua adat
berinisiatif agar dilakukan sebuah ritual Mallisu Tondok.
Sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Musa yang memberi nasihat kepada Harun,
agar tidak terus menerus larut dalam kegelisahan dan ketakutan atas apa yang menipah kedua
anaknya. Terlebih lagi, karena sebab dosa dari anak-anaknya, akibatnya terus melekat dan
membayangi keluarga dan juga Bangsa Israel. Oleh sebab itu, Musa mengharapakan agar
Harun kiranya dapat melaksanakan proses pendamaian kepada Allah. Sehingga dengan hal

18
www.wikipedia.org.com
tersebut Harun beserta keluarganya juga Israel, tetap memiliki hubungan yang baik dengan
Allah serta tetap beroleh berkat dari Allah. Atas nasihat Musa tersebut, Harun akhirnya
melakukannya yaitu dengan mempesembahkan seekor lembu jantan muda dan domba jantan
sebagai korban pendamaian atau penebusan dosa, serta sebagai korban bakaran bagi dirinya
sendiri (Imamat 16:3; 16:6). Untuk umat Israel, Harun mengambil dua ekor kambing jantan
untuk korban penghapus dosa dan seekor untuk korban bakaran (ayat 5).
Dengan demikian, dari uraian dan pejelasan mengenai prosesi yang dilaksanakan di
desa Salutiwo dalam kaitan Mallisu Tondok, cukup memiliki relevansi dengan konteks yang
dilakukan oleh Bangsa Israel pada zaman Perjanjian Lama. Di mana, ternak yang
dipersembahkan sebagai korban pendamaian dan penebuasan dosa oleh masyarakat desa
Salutiwo yang diantaranya ada kerbau, sapi, babi, dan ayam. Masing-masing menjadi
keterwakilan dari setiap lapisan masyarakat yang ada di desa Salutiwo. Selanjutnya, hal yang
hampir sama yang juga dilakukan dalam ritual Mallisu Tondok, yaitu menngambil darah
hewan yang dikorbankan, kemudian diteteskan di atas permukaan jagung atau padi. Hal ini
hampir sama yang dilakukan oleh Harun, bagaimana darah dari setiap korban persebahan itu
dipercikkan dan dioleskan ke permukaan atau tutup pendamaian (Imamat 16:14).

Kesimpulan
Setiap pelanggaran pasti ada akibat, dan setiap akibat dimungkinkan juga punya
solusi. Pelanggaran di bidang hukum, berujung pada proses hukum, di bidang agama
berujung pada dosa dengan imbalan maut, serta pada bidang pelanggaran adat juga
mendapatkan sanksi adat. Adat adalah warisan kebiasaan para leluhur, yang terus lestari
dalam hati bahkan praktik hidup masyarakat. Karena itu, tak mmengherankan apabila apa
yang ada dan terjadi di masa lampau juga masih berlaku pada konteks sekarang ini. Misalnya
saja ritual adat Kalumpang-Bonehau Mallisu Tondok yang berlangsung pada tahun 2018 di
desa Salutiwo. Hal itu merupakan suatu bentuk praktik budaya yang ada di zaman dahulu
oleh nenek moyang masyarakat Kalumpang-Bonehau. Pada zaman dahulu, Mallisu Tondok
yang dilaksanakan dilatar belakangi oleh kondisi kampung yang lagi memanas, adanya
tragedi dan kematian secara tidak wajar, terjadinya pembunuhan, adanya konflik
antaramasyarakat, terjadi kelaparan yang hebat akibat gagal panen, dan masih banyak lagi
faktor lain yang tidak disebutkan.
Mallisu Tondok adalah suatu bentuk tindakan nyata untuk melaksanakn pendamaian
dengan Sang pemilik kehidupan di bumi. Dengan persembahan korban yang berikan,
setidaknya dapat menjadi dupa yang berbau harum di hadapan Puang Alla Ta Alah, sehingga
atas perkenaan-Nya segalah bentuk masalah yang dihadapi baik masalah yang wajar, terlebih
masalah-masalah yang tidak wajar agar segerah larut dibawa oleh pusaran air.

REFERENSI

Alkitab

Enslikopedia Fotografi Kalumpang, Masyarakat Adat dengan Batas Desa, Edisi 02


Januari 2017.

KBBI

Mahmud, Irfan., dkk. Kebudayaan Kalumpang Sulawesi Barat, Makassar: Masagena


Press, 2019.

Permendagri No. 27 Tahun 2016 tentang Penetapan dan Penegasan Batas Desa

Radar Sul-Bar, Even Seni Budaya Rakyat Tana Lotong Memanggil, Yayasan Orang
Independen, 2014.

Simanjuntak, Truman. Manusia-Manusia dan Peradaban Indonesia, Yogyakarta:


Gadja Mada Unersity Pers, 2020

Wawancara via Telephone bersama bpk. Markus Syayan (Ketua Adat Desa Salutiwo)

Wawancara via Telephone bersama Yunus Abner Bawan (Saudara Kandung Alm.
Tobara’)

Wawancara via Wa bersama Harun Abner Bawan (Keponakan Alm. Tobara’

www.wikipedia.org.com diakses pada tanggal 13 Desember 2021 Pukul 17.30

Anda mungkin juga menyukai