Oleh :
NIM : 2016040063
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Allah telah menciptakan manusia dengan memberinya anugerah yang tidak pernah
diberikan kepada makhluk lainnya. Karena itu, manusia adalah makhluk Allah, yang
diciptakan di dunia sebagai khalifah. Manusia lahir, hidup dan berkembang di dunia,
sehingga disebut juga sebagai makhluk duniawi. Sebagai makhluk duniawi sudah barang
tentu bergumul dan bergulat dengan dunia, terhadap segala segi, masalah dan tantangan-
tantangannya, dengan menggunakan budi dan dayanya serta menggunakan segala
kemampuannya baik yang bersifat cipta, rasa maupun karsa 3.
Hal ini menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan dunia itu tidaklah selalu
diwujudkan dalam sikap pasif, pasrah dan menyesuaikan diri dengan tuntutan
lingkungannya. Tetapi justeru harus diwujudkan dalam sikap aktif, memanfaatkan
lingkungannya untuk kepentingan hidup dan kehidupannya. Dari hubungan yang bersifat
1
Nurdien Harry Kistanto, Fakultas Ilmu, and Budaya Universitas, ‘Nurdien Harry Kistanto’, 1–11.
2
Jurnal Al- Ulum, ‘ISLAM DAN KEBUDAYAAN Fitriyani Institut Agama Islam Negeri Ambon’, 2012, 129–40.
3
Tadjab, dkk., Dimensi-Dimensi Studi Islam, (Surabaya: Karya Aditama, 1999), hlm. 306
2
aktif itu tumbuhlah kebudayaan 4.Dengan melalui kebudayaan inilah eksistensi suatu
entitas, masyarakat atau bangsa dapat dikenali.
4
Mustopa Mustopa, ‘Kebudayaan Dalam Islam: Mencari Makna Dan Hakekat Kebudayaan Islam’, Jurnal
Tamaddun : Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan Islam, 5.2 (2017) <https://doi.org/10.24235/tamaddun.v5i2.2121>.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Nagari Candung Koto Laweh merupakan salah satu dari 3 (tiga) Nagari yang berada
di wilayah Kecamatan Candung Kabupaten Agam yang memiliki 11 (sebelas) Jorong
dengan jumlah penduduk 9.579 jiwa dengan luas wilayah Nagari 36,88 km² atau 67,74%
dari luas Kecamatan Candung yaitu 53,44 km² dan berbatasan dengan beberapa wilayah,
antara lain:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Jorong Bonjo Nagari Panampuang dan Jorong Koto
Hilalang Nagari Lambah Kecamatan Ampek Angkek;
2. Sebelah selatan berbatas dengan Labuah Pancang/Suaka Gunung Merapi;
3. Sebelah timur berbatas dengan Jorong Baso Nagari Tabek Panjang, Jorong Batu Taba
dan Jorong Koto Gadang Nagari Koto Tinggi Kecamatan Baso, juga dengan Rimbo Bayua
Nagari Koto Laweh Kecamatan Tanjuang Baru Kabupaten Tanah Datar;
4. Sebelah barat berbatas dengan Jorong Lasi Tuo Nagari Lasi Kecamatan Candung, dan
Jorong Balai Gurah Nagari Balai Gurah Kecamatan Ampek Angkek.
Nagari Candung Koto Laweh mempunyai jarak yang cukup jauh dari pusat
pemerintahan.
5
Pasal 1, Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 31 Tahun 2001 Tentang Pemerintah Nagari
6
Pasal 1, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan
Pemanfaatannya, Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 Nomor: 6
4
1. Jarak ke Ibu Kota Provinsi 90 km;
2. Jarak ke Ibu Kota Kabupaten 86 km;
3. Jarak ke Ibu Kota Kecamatan 3 km.
Penduduk yang pertama kali datang ke canduang sebanyak 37orang yang berasal
dari Sariak Sungai Puar, Balai Gurah, Sungai Puar, Tilatang Kamang, Lambah Panampuang,
Kapau, Tabek Patah, Sumanik, Suliki, Talang Tangah, Lasi dsb. Ke 37 orang ini turun di
daerah balai-balai dan kemudian mereka bermusyawarah di sebuah tempat yang di
namakan dengan Gelanggang Dunia. Dari musyawarah itu di sepakati 30 orang turun
kearah bukittinggi atau tepatnya di pasar banto. Dari pasar banto 7 urang ke daerah
kamang dan 7 orang ke pintu kabun, sehingga yang tinggal di pasar banto 16 orang.
Sedangkan yang 7 orang tinggal di balai-balai untuk melanjutkan manaruko. Dan katiko
manaruko beliau membuat kesepakatan di daerah nan gantiang bukik manompang
sehingga di dekat itu didirikan buktinya adalah apabila orang di Canduang Koto Laweh
berhelat Adat maka penghulu- penghulu dari nagari-nagari ditas diundang(kulansing
lapeh, padek tibo) dan walaupun salah satu dari penghulu tersebut tidak hadir acara tetap
dapat dilanjutkan dengan sempurna.
Asal usul nagari canduang yang menurut legenda atau mitos ialah, kata canduang
berasal dari nama sebuah senjata tajam berupa parang atau dalam bahasa minang nya
adalah "Ladiang" Asal muasalnya adalah pernah suatu waktu terjadi perang antar
kampung, dan masyarakat di sekitar nagari ini ketika berkelahi selalu atau sering
membawa canduang ( parang ) karena itulah masyarakat luar mulai akrab memanggil
masyarakat di nagari ini dengan sebutan masyarakat Canduang atau masyarakat yang
ketika berkelahi sering menggunakan canduang ( parang )
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang aplikasinya
tahun 1982, 11 (sebelas) Jorong di Nagari Candung Koto Laweh merupakan sistem
pemerintahan terendah, yakni Pemerintahan Desa. Sedangkan Nagari Candung Koto Laweh
merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang dikelola oleh kaum adat. Setelah
diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang
memberi peluang kepada daerah untuk mengatur pemerintahan terdepan sesuai dengan
kreatifitas masing-masing.
5
Di Provinsi Sumatera Barat ditetapkan sistem Pemerintahan terdepan yaitu
Pemerintahan Nagari yang diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor
9 Tahun 2000, sehingga pemerintahan tersebut dinamakan dengan Nagari, dan dalam
pelaksanaannya bernuansa filosofi “Adat Basandi Syara’ dan Syara’ Basandi Kitabullah”.
Dalam melaksanakan berbagai tugas, Pemerintahan Nagari (Wali Nagari dan BAMUS) terus
memacu Perangkat Nagari dan masyarakat serta lembaga yang ada di Nagari seperti,
Kerapatan Adat Nagari, Majelis Ulama Nagari, Bundo Kanduang Nagari, Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Nagari, Tim Penggerak PKK Nagari, Parik Paga Nagari, Karang
Taruna, beserta para tokoh Agama, Adat, dan Masyarakat dalam melaksanakan otonomi
daerah.
Keadaan topografi Nagari Candung Koto Laweh terdiri dari dataran tinggi dengan
suhu 15°-25° C. Nagari Candung Koto Laweh terletak di lereng Gunung Marapi sehingga
tanah di Nagari Candung Koto Laweh sangat subur yang banyak dipergunakan untuk
pertanian, seperti sawah. Karena Nagari Candung Koto Laweh terletak di lereng Gunung
Marapi, jadi ransportasi yang bisa ditempuh hanya melalui jalur darat. Sedangkan menurut
kondisi fisiografinya, ketinggian atau elevasi wilayah Nagari Candung Koto Laweh berada
pada ketinggian 1.100 mdpl. Jumlah penduduk Nagari Candung Koto Laweh pada tahun
2021 adalah 9.579 jiwa dengan 2.848 Kepala Keluarga (KK). Keseluruhan masyarakat
Nagari Candung Koto Laweh adalah sukuminang dan beragama Islam. Meskipun ada
penduduk pendatang, tapi jumlahnya masih sangat sedikit
B. Keunikan Nagari Canduang
1. Kitab kuning dan Ulama
Hal yang unik dan menarik di nagari canduang adalah, nagari ini melahirkan banyak
ulama, hal itu di buktikan dengan ada nya syekh Sulaiman ar-rasuli, sekaligus sebagai
pendiri dari pesantren madrasah tarbiyah Islamiyah Canduang yang berada di nagari
canduang koto laweh yang tepat nya berada beberapa meter dari Simpang canduang.
Sampai saat ini pesantren ini masih banyak melahirkan banyak santri dan santriwati.
Bukan hanya pesantren tarbiyah, masih ada beberapa pesantren lagi seperti MUS
( Miftahul ulumiyah syar'iah ) dan pesantren ashabul yamin
6
Adat yang merupakan kebiasaan masyarakat yang lambat laun menjadi suatu
hukum, merupakan salah satu corak yang mempengaruhi aturan-aturan yang terdapat di
daerah Canduang yang merupakan bagian dari daerah Minangkabau.Namun, pada
kecamatan Canduang memiliki banyak keunikan. Salah satu keunikan tersebut adalah
bertahannya larangan perkawinan sesuku secara kental walaupun telah terjadi tranformasi
hukum dalam masyarakat Minangkabau secara umum.
Mak Kari mengatakan; “larangan perkawinan sesuku sudah ada semenjak nenek
moyang kita dulu baru merintis daerah ini, yang terdiri dari beberapa orang saja. Belum
seperti saat ini yang telah berkembang sehingga sulit untuk mengetahui garis keturunan
aslinya”. Hal yang senada juga dikemukan oleh Mak Panduko; “larangan perkawinan
sesuku ini sudah dari pertama nenek moyang kita ada di sini. Satu lagi, ketika menikahi
keluarga dekat, kalau terjadi masalah sangat susah menyelesaikanya”. Wawancara ini
menggambarkan bahwa larangan perkawinan sesuku yang terdapat dalam masyarakat
Canduang dibuat atau disepakati ketika masing-masing suku yang ada di daerah kecamatan
Canduang masih sangat sedikit, sebab perkawinan sesuku akan menimbulkan kemelut
yang rumit.
7
penjajah. Namun, terbukti bahwa adat yang dari dahulu hidup dalam masyarakat
Minangkabau mampu bertahan dalam setiap perubahan tersebut.
8
dianggap moral dalam sebuah tradisi yang diangkat dalam bentuk aturan-aturan tertentu.
Aturan perkawinan tersebut lahir dari aturan-aturan agama dan aturan adat yang tertanam
dalam ungkapan “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.
Tambua adalah salah satu kesenian tradisional Minangkabau yang dimainkan secara
bersama dengan alat musik tasa.Gandang Tambua sendiri terbuat dari kayu ringan (kayu
tarantang), sejenis batang kapas. Dengan badan gandang berbentuk drum yang mempunyai
dua sisi yang masingmasingnya ditutupi oleh kulit kambing.
Kesenian tambua biasanya dipergunakan atau dimainkan dalam acara gembira, dan
untuk mengungkapkan kegembiraan itu dilakukan dengan penuh semangat bahkan sampai
tidak sadarkan diri.Biasanya dimainkan juga dalam acara pesta pernikahan, dan upacara
adat misalnya khatam Al Quran dan lain sebagainya.
2. Mambatua Kubua
Buadaya ini dikenal dengan mambatua kubua atau menanikkan batu kuburan. Hal
ini biasanya dilakukan setelah 3 hari jenazah di makamkan, para keluarga atau keluarga
inti akan menyeru kerabat lain untuk memasangkan/menaikkan batu kuburan yang nanti
di iringi dengan makan bersama di tempat ahli waris atau keluarga disertai pembacaan doa
3. Basambah/Barundiang
9
Dalam pelegaran pasambahan dilakukan secara berurutan dan beraturan seperti
ungkapan karano aia titian buluah, parundiangan nan tabik dikumbalian ka nan
tabik(karena air titan buluh, perundingan yang terbit dikembalikan kepada yang terbit),
maksudnya pelegaranya dari mana asal perundingan itu muncul akan kembali lagi secara
berurutan kepadanya
Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tak hanya dikenal dengan sejarah tentang sepak
terjang Syekh Amrullah, yang merupakan kakek Abdul Malik Karim Amrullah, atau lebih
dikenal dengan sebutan Buya Hamka, dengan sisa peninggalan berupa Masjid Syekh
Amarullah yang dibangun pada abad ke-18. Namun, juga diketahui memiliki sejumlah
benda peninggalan sejarah, sisa peninggalan pemerintah kolonial Belanda.
Salah satunya adalah makam Lareh Canduang yang berada di Jorong Batu Belantai,
Nagari Canduang Koto Laweh, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Makam ini merupakan makam Tuanku Lareh, atau dalam bahasa Belanda disebut dengan
Larashoofd, yang artinya Kepala Laras.
Tuanku Lareh yang diketahui merupakan jabatan adat buatan Pemerintah Kolonial
Belanda pada masa itu cukup bergengsi di Minangkabau. Jabatan Tuanku Lareh, secara
umum berasal dari kalangan penghulu yang berpengaruh di suatu negeri tersebut,
difungsikan untuk mengontrol masyarakat Minangkabau. Situs Makam Lareh Canduang
terletak di lahan seluas 663 meter persegi ini berada di kompleks pemakaman Keluarga
Tuanku Lareh Canduang dari Suku Sikumbang. Dalam kompleks ini, sedikitnya terdapat
tiga makam Lareh Canduang dengan ukuran 51×24 meter.
Ketiga makam Tuanku Lareh Canduang tersebut atas nama Oenus Rajo Lenggang
yang menjabat pada tahun 1842 hingga 1848 Masehi, Makam Thaib yang bergelar Khatib
Sampono yang menjabat sebagai Tuanku Lareh Canduang pada tahun 1848 hingga 1857
Masehi, dan Makam Abdul Karim bergelar Datuak Panduko Sianso, yang diketahui mulai
menjabat pada tahun 1857.
10
Kompleks makam Lareh Canduang yang sejak 2007 lalu, sudah ditetapkan sebagai
situs cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat ini,
mempunyai denah berbentuk empat persegi yang membujur arah barat-timur dengan
panjang 51 meter, lebar sisi timur 21 meter dan lebar sisi barat 13 meter. Untuk
menjaganya, situs kompleks makam Lareh Canduang sudah dipagar dengan pagar kawat
berduri. Namun, pengunjung masih bisa mendatangi lokasi itu untuk melihat secara dekat
seperti apa rupa makam tersebut.
Pada kompleks makam itu, pengunjung atau penikmat wisata sejarah dapat
menjumpai beberapa buah makam dengan nisan dari menhir. Makam dan nisan paling
besar jiratnya berundak dari bahan batu kali yang direkat dengan semen. Kekhasan dari
nisan-nisan tersebut terletak pada bentuk menhir yang sangat sederhana, pipih lebar, dan
berukuran besar.
Sekadar diketahui, tokoh tetua yang menyandang gelar Tuanku Lareh pada masa
dahulu merupakan orang yang betul-betul dipilih oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Mereka kebanyakan dari kalangan penghulu yang berpengaruh kuat terhadap suatu
wilayah, yang juga bisa diajak bekerja sama oleh Belanda. Pada masa itu, banyak Tuanku
Lareh yang tetap memegang idealisme, namun juga tak sedikit yang dibenci oleh
masyarakat. Sebab, secara langsung atau tidak, mereka juga tetap menjadi perpanjangan
tangan kolonial Belanda untuk menekan dan mengontrol masyarakat Minangkabau di
beberapa wilayah. Tuanku Lareh pada masa itu, selain dituntut harus loyal kepada Belanda,
juga harus bisa melindungi rakyatnya
5. Masjid Bingkudu
Masjid Bingkudu (kadang dieja atau ditulis Masjid Bengkudu dan disebut juga dengan
Masjid Jamik Bingkudu) adalah salah satu masjid tertua di Indonesia yang didirikan oleh
kaum Padri di tengah kecamuk perang Padri di Sumatra Barat pada tahun 1823. Masjid
dengan arsitektur khas Minangkabau ini terletak di Jorong Bingkudu, Nagari Canduang
Koto Laweh, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Saat mulai didirikan,
bangunan masjid ini terbuat dari bahan kayu, mulai dari lantai, tiang, hingga dinding
masjid.
11
Saat ini, selain digunakan sebagai aktivitas ibadah umat Islam dan sarana pendidikan
agama bagi pelajar, Masjid Bingkudu juga digunakan sebagai kantor pusat Tim Koordinasi
Pemberantasan Kemiskinan Jorong Bingkudu. Bahkan jauh sebelumnya, telah ditetapkan
oleh pemerintah Kabupaten Agam sebagai cagar budaya pada tahun 1989. Sehingga pada
tahun 1991, masjid ini mulai mengalami pemugaran secara keseluruhan.
6. Hidangan Hajatan (Baralek)
Setiap daerah memiliki hidangan khas atau budaya khusus dalam acara baralek.
Nagari Canduang mengidientikkan hidangan untuk menjemput menantu laki-laki atau
marapulai dengan “singgang ayam” satu ekor utuh dan pisang ambon.
12
Dulunya dalam kehidupan sehari-hari, bagi wanita muda, pemakaian baju kurung
dikombinasikan dengan rok yang bahan dan motifnya sama dengan baju kurung. Atau bisa
juga dikombinasikan dengan rok bermotif polos berbahan beda. Sementara bagi wanita
yang sudah (mulai) berumur biasanya bawahan pasangan baju kurung atau kebaya yang
sering digunakan adalah kain sarung batik harian.
Untuk kegiatan bukan harian seperti ke pasar mingguan atau ke pasar besar,
biasanya para ibu-ibu memakai baju kurung atau kebaya dengan bawahan kain sarung
batik. Begitu juga untuk acara-acara penting lainnya seperti pergi ‘baralek’ atau kondangan,
ibu-ibu memakai baju kurung dengan bawahan batik juga. Ada juga yang menggunanakan
bawahannya kain songket, tapi itu untuk acara-acara yang lebih formal.
Sekarang ini dalam kehidupan sehari-hari masyarakat juga jarang memakai baju
kurung. Sehingga Pemda Sumatera Barat ‘mewajibkan’ PNS wanita mengenakan baju
kurung pada hari Jumat. Biasanya kaum wanita memakai baju kurung untuk pesta
pernikahan dan acara-acara adat saja. Dengan adanya ‘kewajiban’ memakai baju kurung
pada hari Jumat, menjadi salah satu cara bagi masyarakat minang untuk melestarikan baju
kurung minang ini.
2. Baralek memakai pakaian khusus
Bagi perempuan yang telah menikah, pakaian hitam kalau disini disebut “pangkek
duo” tidak boleh hanya pakai baju kurung, tetapi kalau yang masih gadis boleh memakai
baju kurung tapi tidak boleh memakai gamis.
3. Makan Bajamba
Dominannya kegaiatan baralek yang dilakukan dengan konsep yang lebih mudah,
salah satu budaya yang mulai terkikis adalah makan bajamba. Makan bajamba adalah
makan secara bersama-sama pada satu piring besar dengan lauk yang berbeda-beda.
Makan bajamba mulai ditinggalkan karena dianggap lebih susah dan terkesan mubazir.
13
Mudahnya akses terhadap budaya-budaya lain yang terkesan lebih modern
membuat masyarakat memilih untuk meninggalkan budaya lama yang terkesan
lebih kuno dan tidak modern.
2. Dominasi dari masyarakat yang lebih memilih jalan yang lebih mudah tidak “ribet”
dibandingkan mengikuti adat
3. Minimnya minat belajar dan rasa ingin tau dari masyarakat dari budaya yang
seharusnya ada
4. Terjadinya asimilasi budaya luar atau terdapatnya penduduk mendatang (bukan
penduduk asli) yang dapat mempengaruhi budaya yang ada
KESIMPULAN
Nagari Canduang Koto Laweh merupakan daerah yang memiliki adat dan buadaya
yang khas tetapi juga memiliki budaya yang sama dengan daerah lain atau budaya minag
secara keseluruhan, terdapat budaya yang khas yaitu kampong ulama dengan kitab kuning,
larang pernikahann sesuku, music tambua, mambatua kubua, hidangan baralek untuk
menjemput marapulai serta terdapat cagar budaya yaitu Makam lareh candung dan Masjid
Bingkudu. Tetapi terdapat juga budaya yang mulai terkisis diantaranya yaitu : baju kurung,
baju tingkek duo dan makan bajamba. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal mulai dari
pengaruh teknologi informasi, pencampuran budaya, memilih hal yang terkesan lebih
mudah disbanding adat.
14
DAFTAR PUSTAKA
Kistanto, Nurdien Harry, Fakultas Ilmu, and Budaya Universitas, ‘Nurdien Harry Kistanto’,
1–11
Mustopa, Mustopa, ‘Kebudayaan Dalam Islam: Mencari Makna Dan Hakekat Kebudayaan
Islam’, Jurnal Tamaddun : Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan Islam, 5.2 (2017)
<https://doi.org/10.24235/tamaddun.v5i2.2121>
Ulum, Jurnal Al-, ‘ISLAM DAN KEBUDAYAAN Fitriyani Institut Agama Islam Negeri Ambon’,
2012, 129–40
Lampiran
15
16