Anda di halaman 1dari 7

FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT BATAK

DALIHAN NA TOLU

TIGA DASAR KEHIDUPAN MANUSIA

Oleh :

Imelda Theresia Natalia S

181124023

I. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA)
maupun sumber daya manusia (SDM). Menurut Deputi Kedaulatan Maritim Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman, terdapat 17.504 pulau yang termasuk ke dalam wilayah
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, letak geografis Indonesia juga
sangat strategis untuk berlangsungnya aktivitas-aktivitas sosial. Seperti yang kita ketahui
bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama dan ras yang terbentang dari sabang
sampai merauke. Salah satu suku yang terkenal di Indonesia adalah suku Batak.

Suku batak merupakan salah satu suku yang mendiami pulau Sumatera. Salah satu ciri
khas budaya batak yaitu memiliki marga. Secara sederhana, marga dapat diartikan sebagai
nama yang diambil dari garis keturunan ayah. Selain itu, kebudayaan yang dimiliki oleh suku
batak ini pun beragam, salah satunya yaitu Dalihan Na Tolu yang menjadi falsafah hidup
masyarakat batak. Tema ini diangkat karena Dalihan Na Tolu dapat diandaikan sebagai
peranan Allah dalam kehidupan manusia. Sebab Dalihan Na Tolu dimaknakan sebagi
kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan suku batak. Begitu pula dengan peranan
Allah di dunia yang bersifat adil kepada semua umat manusia dalam hidup di dunia.

Dalam perkembangan jaman, budaya tradisional mulai terlupakan, khususnya dalam


perayaan-perayaan ekaristi, gereja hanya berfokus dengan tata peribadatan barat. Indonesia
terdiri dari berbagai macam budaya yang mewarnai berbagai tempat di seluruh penjuru
negeri. Gereja perlu memajukan inkulturasi agar iman Kristiani dapat mengakar pada budaya-
budaya daerah itu. Arus globalisasi dapat menjadi tantangan bagi budaya daerah ketika nilai-
nilai materialisme, konsumerisme, dan hedonisme memasuki kehidupan masyarakat dan
menggeser kehidupan tradisional (Rukiyanto, 2012: 82). Oleh sebab itu masyarakat Gereja
harus turut aktif dalam menjaga dan melestarikan budaya setempat. Salah satu keterlibatan
yang dapat dilakukan sebagai masyarakat Gereja yaitu dengan pelaksanaan katekese
inkulturatif sehingga umat dapat menyadari pentingnya penghayatan liturgi melalui unsur-
unsur budaya setempat. Misalnya dengan cara pelaksanaa perayaan ekaristi menggunakan
bahasa daerah setempat, dengan begitu generasi selanjutnya dapat melestarikan bahasa
daerah setempat.

II. Isi
Sebelum penjelasan mengenai Dalihan Na Tolu, akan membahas unsur-unsur budaya
dalam masyarakat Batak. Unsur-unsur budaya terdiri dari mata pencaharian, adat istiadat,
kepercayaan, kesenian serta sistem kekerabatan yang ada di dalam kebudayaan suku batak.
Mata Pencaharian sebagian besar masyarakat Batak bercocok tanam dalam bidang irigasi dan
ladang. Selain itu, perternakan juga merupakan salah satu mata pencaharian suku batak
misalnya ternak kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Sedangkan di daerah danau
Toba, sebagian masyarakat bekerja sebagai nelayan.

Sektor kerajinan juga berkembang misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu,
tembikar dan lainnya yang memiliki hubungan dengan pariwisata. Hasil kerajinan yang
paling terkenal adalah kain ulos. Dalam pengertian adat Batak “mangulosi” (memberikan
ulos) melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima ulos.
Biasanya pemberi ulos adalah orang tua kepada anak-anaknya, hula-hula kepada boru. Ulos
terdiri dari berbagai jenis dan motif yang masing-masing memiliki makna tersendiri, kapan
digunakan, disampaikan kepada siapa dan dalam upacara adat yang bagaimana. (Pardede,
2005)

Unsur lainnya yaitu adat istiadat. Dahulu keseluruhan aspek kehidupan Masyarakat
Batak di atur di dalam adat. Gunanya ialah untuk menciptakan keteraturan di dalam
masyarakat. Kegiatan sehari-hari masyarakat Batak selalu diukur dan diatur berdasarkan adat.
Dari berbagai suku yang ada di Indonesia, dapat kita ketahui bahwa suku batak merupakan
salah satu suku yang hingga saat ini masih menjaga keaslian adat yang diwariskan oleh
leluhur. Meskipun saat ini perkembangan teknologi semakin berkembang pesat tetapi
masyarakat batak dengan berbagai cara tetap melestarikan kebudayaan mereka kepada anak-
anaknya.

Dalam sistem kepercayaan masyarakat Batak pada mulanya belum mengenal istilah
‘dewa-dewa’. Kepercayaan masyarakat batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada
arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati dipercayai
memiliki roh misalnya : gunung, pohon, batu, dll yang dianggap keramat dijadikan tempat
yang sakral (tempat sembahan). Masyarakat batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat
menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan
penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan dan
kesejahteraan bagi masyarakat tersebut maupun pada keturunannya. Kuasa-kuasa inilah yang
paling ditakuti dalam kehidupan Masyarakat Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali
dengan aktifitas manusia. 
Selain itu dalam bidang kesenian, rumah adat batak disebut ruma/jabu (bahasa Toba)
merupakan kombinasi seni pahat ular serta kerajinan. Dalam bidang seni tari, yang paling
terkenal yaitu tari tor-tor. Sedangkan seni musik suku Batak adalah ogung sabangunan.
Peralatan yang digunakan adalah empat gendang dan lima taganing (sejenis gamelan Batak).
Salah satu kebudayaan atau pedoman hidup masyarakat batak yaitu Dalihan Na Tolu.
Dalam kehidupan sehari-hari, memasak merupakan kebutuhan rumah tangga yang
sangat penting. Kebiasaan masyarakat Batak pada zaman dahulu yaitu memasak
menggunakan tungku yang berkaki tiga, dengan bahan bakar kayu. Dalihan dapat
diterjemahkan sebagai “tungku” dan “sahundulan” sebagai “posisi duduk”. Sedangkan
Dalihan Na Tolu merupakan tungku tempat memasak yang diletakkan diatas tiga batu.
Dalihan yang dibuat haruslah sama besar dan diletakkan atau ditanam ditanah serta jaraknya
harus seimbang satu sama lain dan tingginya harus sama agar dalihan yang diletakkan tidak
miring dan menyebabkan wadah yang ada diatas dalihan dapat tumpah atau terbuang.

Konsep Dalihan Na Tolu dalam hukum adat maupun budaya batak diartikan dalam
tiga bagian yaitu : Somba marhula-hula, Manat Mardongan Tubu, dan Elek Marboru. Somba
marhula-hula artinya hormat kepada hula-hula. Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga
laki-laki dari pihak istri atau ibu. Selanjutnya yaitu manat mardongan tubu artinya suatu sikap
berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara
adat. Sedangkan elek marboru artinya lemah lembut terhadap boru atau perempuan, berarti
rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Pengelompokan tersebut
bukanlah berdasarkan kasta karena setiap masyarakat Batak memiliki posisi tersebut. Prinsip
Dalihan Na Tolu tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau
statusnya.

Menurut Hutajulu (2008: 1) yang mengatakan bahwa : Dalam tradisi perkawinan,


masyarakat Batak Toba menganut konsep bahwa sebuah ikatan perkawinan merupakan
penyatuan unsur Dalihan Na Tolu dari dua keluarga luas individu yang akan menikah. Benda-
benda ritual yang sering dipakai dalam tradisi upacara adat perkawinan Batak Toba sebagai
sebuah proses pesta adat adalah beras, ulos (selendang tenunan khas Batak), jambar (daging)
dan uang, setiap individu yang menghadiri suatu upacara harus dibawanya dan yang akan
diterimanya dalam upacara tersebut. Dengan kata lain, perkawinan merupakan sistem
transaksi tukar menukar yang mana hal ini ditandai dengan tradisi tuhor atau pemberian
mahar dari pihak laki – laki.

Di tengah perkembangan zaman yang pesat ini, falsafah hidup masyarakat batak yang
diibaratkan dengan Dalihan Na Tolu hingga saat ini masih dihidupi. Sebagai seorang
Kristiani, Gereja cenderung memperhatikan susunan-susunan peribadatan yang liturgis saja
tanpa menyadari bahwa penghayatan iman dapat dilakukan melalui kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu sebagai calon katekis, diharapkan dapat mengetahui secara mendalam setiap
makna yang tersirat di dalam sebuah kebudayaan. Jika kebudayaan dari setiap daerah yang
ada di Indonesia tidak di jaga dan di lestarikan maka penghayatan iman ditengah globalisasi
ini semakin sulit. Oleh karena itu, katekese inkulturatif diperlukan agar masyarakat Indonesia
menyadari pentingnya keterlibatan di dalam masyarakat setempat.

Ibrani 11 : 1-2 “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti
dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada
nenek moyang kita.” Dalam kutipan ayat tersebut dijelaskan bahwa iman adalah bukti dari
sesuatu yang manusia tidak lihat. Oleh karena itu, iman harus dinyatakan dengan tindakan
manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Tindakan manusia yang baik mecerminkan
imannya kepada Allah. Dengan begitu manusia dapat merasakan kehadiran dan cinta kasih
Allah melalu tindakan baik sesama manusia.

Falsafah hidup masyarakat batak memiliki kesamaan dengan iman katolik. Dalam
iman katolik, Dalihan Na Tolu serupa dengan konsep Trinitas. Bagi seseorang yang tidak
beriman katolik, mungkin mereka akan menganggap bahwa umat katolik memiliki tiga
Tuhan. Namun bagi kita yang percaya kepada Yesus dalam iman katolik konsep Trinitas
tidak dapat diterima dengan akal manusia karena dapat menimbulkan pertanyaan. Oleh
karena itu, ada baiknya jika sebagai seorang katolik kita cukup mengetahui dan mempercayai
konsep Trinitas tersebut. Trinitas berarti satu Tuhan dalam tiga pribadi yaitu Allah Bapa,
Allah Putera dan Allah Roh Kudus.

Ketiga pribadi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Begitu
pula dengan falsafah Dalihan Na Tolu dalam masyarakat batak. Dalihan Na Tolu yang berarti
“Tungku Nan Ketiga” yang harus ditempatkan secara seimbang agar wadahnya tidak tumpah.
Dalam kehidupan sehari-hari, Dalihan Na Tolu terdiri dari tiga peranan penting dalam
upacara adat yaitu Hula-Hula, Dongan Sabutuha dan Boru. Namun dalam falsafah
kekerabatan masyarakat batak, peranan tertinggi berada pada Hula-Hula yang harus
dihormati. Berbeda dengan konsep Trinitas dalam iman katolik. Ketiga pribadi tersebut
memiliki posisi yang sama yaitu Allah. Allah haruslah di hormati dan di sembah karena Dia
yang empunya kehidupan.

Jika dihubungkan dengan falsafah kekerabatan Dalihan Na Tolu, posisi Hula-hula


serupa dengan Allah. Di mana dalam sebuah pesta adat, Hula-Hula yang memegang peranan
penting dan mengatur segala kesuksesan pesta adat tersebut. Namun, jika dalam pesta adat
Hula-Hula tidak hadir maka pesta tersebut tidak dapat dilaksanakan. Marbun dan Hutapea
(1987: 37) mengatakan bahwa Dalihan Na Tolu berfungsi menentukan tentang kedudukan,
hak dan kewajiban seseorang atau kelompok orang atau mengatur dan mengendalikan
tingkah laku seseorang atau kelompok dalam kehidupan adat bermasyarakat. Selain itu juga
berfungsi sebagai dasar dalam bermusyawarah dan mufakat masyarakat Batak.

Dalihan Na Tolu dengan konsep Trinitas juga memiliki bagan yang sama. Meskipun
gambar bagannya sama, tetapi tetap ada pembeda di antara keduanya yang menunjukkan ke
khasan masing-masing.

Berikut adalah bagan dari konsep Dalihan Na Tolu dengan Trinitas.

Dalihan Na Tolu Konsep Trinitas

Kesamaan dari kedua bagan tersebut memiliki bentuk yang serupa, tetapi terdapat perbedaan.
Dalam bagan Dalihan Na Tolu, dapat kita lihat bahwa memiliki puncak tertinggi yang berada
di atas, sedangkan dalam konsep Trinitas juga terdapat sebuah puncak namun bukan menjadi
yang tertinggi.

Dalam konsep Trinitas, umat Katolik mengakui bahwa Bapa adalah Allah, Putera
adalah Allah dan Roh Kudus adalah Allah. Namun, Bapa bukan Putera, Putera bukan Roh
Kudus dan Roh Kudus bukan Bapa. Konsep Trinitas ingin menjelaskan bahwa ketiga pribadi
tersebut memiliki kedudukan dan kekuasaan yang sama dalam mengatur kehidupan manusia
di dunia. Berbeda dengan konsep Dalihan Na Tolu, dengan puncak tertinggi ditempati oleh
Hula-Hula yang mempunyai peranan penting dalam sebuah pesta adat. Namun, kedua posisi
lainnya juga mempunyai peranan yang sama pentingnya meskipun tidak menonjol dalam
sebuah pesta adat. Meskipun begitu, kedua posisi lainnya dalam Dalihan Na Tolu juga
merupakan satu kesatuan yang harus turut serta dalam sebuah pesta adat.

III. Penutup

Kebudayaan merupakan peninggalan leluhur yang harus kita lestarikan. Salah satu
kebudayaan yang telah dibahas yaitu Dalihan Na Tolu yang menjadi falsafah atau pedoman
hidup masyarakat Batak. Inti dari falsafah hidup masyarakat batak berdasarkan Dalihan Na
Tolu yaitu jika salah satu posisi dalam “Dalihan Na Tolu” tersebut tidak hadir dalam sebuah
pesta adat, maka pesta tersebut tidak akan terlaksana karena tiganya memiliki peranan dan
fungsi yang sangat penting dalam pesta. Begitu pula dengan konsep trinitas yaitu satu Tuhan
dalam wujud tiga pribadi, dimana ketiganya memiliki peranan dan fungsi yang sangat penting
dalam berlangsungnya kehidupan manusia di dunia.

Refrensi :

1. Jan. S Aritonang, dkk. Beberapa Pemikiran Menuju Dalihan Natolu. Jakarta : Dian
Utama. 2006.
2. Rukiyanto, B.A. Pewartaan Di Zaman Global. Yogyakarta : Kanisius. 2012.
3. Gultom, A.F, dkk. Pijar-Pijar Filsafat Sumatera. Yogyakarta : FA PRESS. 2014
4. Marpaung, Alexander. 2019. Dalihan Na Tolu Dalam Budaya Adat Batak Toba.
(Akses 28 Mei 2019) https://bonaposagithutaki.blogspot.com
5. Banualuhu. 2018. Dalihan Na Tolu. (Akses 28 Mei 2019)
https://smpbanualuhu96.torasoit.com
6. Nababan, Niken. 2015. Allah Dalam Falsafah Dalihan Na Tolu Masyarakat Batak.
(Akses 28 Mei 2019) https://ratadiajo.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai